Laman

Entri Populer

Rabu, Desember 29, 2010

audisi al-muthaffifin

Siapapun kita manusia pada
dasarnya punya keinginan untuk
curang. Meminta lebih kalau
diberi orang. Dan cenderung
mengurangi apabila memberi ke
orang lain. Ada yang protes? Ya, begitulah. Bayangkan kita masih
anak-anak berumur 8 tahun.
Bayangkan ibu kita membagi kue
brownies kepada semua
anaknya, termasuk kita dan tak
lepas saudara kita tentunya. Ibu berusaha membagi dengan adil,
karena setiap anak memang
berbeda kadarnya. Bayangkan
kita bukan anak pertama. Tentu
ada sedikit rasa ngiri kenapa
kakak tertua mendapat yang paling besar. Sementara kita
tidak melirik bahwa adik pun
bagiannya yang lebih kecil. Yang
kita tahu,”Kok aku cuman dapet sedikit? Gak adil… ..!“. Masa berputar dan waktu
berlalu. Kita pun beranjak
dewasa dengan perkembangan
psikologi yang mengiringi.
Perkembangan psikologi tidaklah
sama pada setiap orang. Ada yang cepat menjadi dewasa.
Bahkan tidak sedikit yang telat
menjadi dewasa. Banyak kita
temui orang tua yang kekanak-
kanakan, kitakah itu? Perkembangan psikologi sangat
dipengaruhi oleh lingkungan dan
orang-orang sekitar. Dengan
bertambahnya usia, akal pun
semakin berkembang. Akal yang
berkembang itu menjadi sebuah dilemma, bisa bermanfaat atau
sebaliknya. Membinasakan. Kembali ke persoalan curang.
Ketika anak-anak, ketika
berontak kita hanya bisa diam
membisu menerima keputusan
sang ibu. Lebih dari itu, paling-
paling nangis atau ngambek. Saat dewasa, source yang dimiliki
bertambah, akal yang
berkembang dan fisik yang
semakin kuat. Implikasi dari
perkembangan kedua hal
tersebut bisa kita lihat di kehidupan sehari-hari. Sebuah SMA di Malang nekat
memalsukan nilai rapor muridnya
yang hendak mendaftar program
penelusuran bakat dan minat
untuk bisa kuliah di Universitas
Brawijaya, universitas kenamaan di kota Bentoel. “Mau kemana mas?“, tanya seorang tukang becak pada
sesosok pemuda yang tampak
kebingungan di terminal
tirtonadi, Solo. “Pasar Legi, pak“, pemuda itu menjawab. “20 ribu aja mas. Kan lewat Gemblegan dulu. Ayo saya anter.
Udah murah ni…!“ tukang becak itu membujuk sambil menipu. Tak perlulah ke Gemblegan dulu
dari terminal Tirtonadi kalau mau
ke Pasar Legi. Satu lagi bentuk
kecurangan. Mengulur waktu masuk kerja,
bagi yang karyawan, dan
tentunya sering curi start
pulang kerja. Lantas tiap tahun
menuntut kenaikan gaji. Sungguh
ini adalah bentuk kecurangan komunal, berjamaah. Pedagang
pun tidak luput dari praktik ini.
“Wah, gak boleh mas. Kulakannya aja gak dapet segitu! Bisa rugi
saya!“. Begitu seruan yang sering kita dengar dalam sebuah
fragmen tawar menawar antara
calon pembeli dengan sang
empunya dagangan. Menipukah
ini? Curangkah ini? *** “Ke mana Pak?” Tanya seorang penjual jasa taksi padaku. “Deket Bang, cuman cimone situ aja“,jawabku sedikit meramahkan diri. Karena aku tahu, orang
yang menawarkan jasa itu tak
lebih adalah preman bandara. “100 ribu aja. Udah murah ni“, orang itu menawarkan harga
taksi tembak atau borongan
yang bagiku adalah harga
banting. Perasaan calon
penumpang yang dibanting habis-
habisan. “Gocap!” aku hanya menjawab singkat. “Wah, gak boleh Pak. Ijin masuk aja 20 ribu. Itu kalo “Taksi Biru” gak ada yang mau, semuanya
lewat Cengkareng, tambah tol
bisa nyampe 150 ribu. 100 ribu
uda murah ni!” calo itu masih berharap aku iba padanya.
Namun sayang, aku sudah
mengenal medan. Jarak 8 km
tidak pantas dihargai 100 ribu
naik taksi. Akhirnya akupun dapet “Taksi Biru” yang tanpa calo, tanpa menipu, dan service lebih santun.
Tidak lebih dari 50 ribu. Jasa
parkir bandara hanya 10 ribu.
Sungguh, calo di bandara tadi
sudah melakukan 6 kebodohan.
Kebodohan pertama, tidak mau menggunakan argo meter.
Kedua, memalsukan trayek taksi
lain dengan menipu calon
penumpang. Ketiga, memalsukan
ongkos taksi lain. Keempat,
memalsukan ongkos jasa parker di bandara. Kelima, berniat
menipu calon penumpang. Dan
keenam, dia tidak sadar dia
sudah menjadi golongan Al-
Muthaffifin. Sungguh sebuah
penipuan besar-besaran. *** Dalam kancah politik, partai-
partai mengumbar janji. Saya
akan… .. Saya akan… . Saya akan… .. Sementara bangsa dan rakyat
negeri mayoritas muslim ini lebih
membutuhkan kerja nyata, riil.
Kita semua lebih membutuhkan
bukti, bukan janji. Janji-janji
partai politik gadungan itu memang diniatkan hanya untuk
memanen jutaan dana kampanye.
Dan… menipu para calon pemilihnya. Tidak lebih. Dan
sayangnya, belum banyak partai
politik yang benar-benar tulus
melayani negeri. Kau yang
berjanji… kau yang mengingkari… kau yang mulai… kau yang mengakhiri… . Semua contoh kasus di atas
berawal dari rasa tidak puas
dengan apa yang ada padanya.
Apa yang sudah Allah karuniakan
padanya. Fisik yang sehat,
oksigen gratis setiap hari, cukup makan, tidaklah cukup membuka
mata hati orang-orang
bermental Muthaffifin. “Masih kurang ni… .!” Begitulah mindset mereka, Al-Muthaffifin. *** Akibat salah asuhan Tak perlulah kita semua
memicingkan mata melihat
sadisnya watak manusia
muthaffifin di atas. Tak perlulah
kita khawatir apakah diri kita
bagian dari mereka. Cukuplah Allah dan Rasulnya menjadi
panutan setiap helaan nafas.
Menjadi titian setiap langkah.
Menjadi Suri untuk diteladani.
Cukuplah Al-Quran dan As-
Sunnah menuntun kita menjadi pribadi yang sholeh dan Ihsan.
Sholeh karena perangai kita
tidak untuk menyakiti orang lain.
Ihsan karena yakin setiap
perbuatan diawasi oleh Sang
Pemilik alam, Allahu Akbar. Wal ihsan an ta’ budallaha ka annaka taroohu, fa in lam takun taroohu
fa innahu yarooka. Sebagai muslim, setiap kita
bertanggung jawab mendidik
generasi militan dalam
menjalankan ajaran suci Islam.
Dan hendaklah takut kepada
Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di
belakang mereka anak-anak
yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh
sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan
hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar. [QS. an-Nisa' (4) : 9]. Mendidik kejujuran dan menjauhi
karakter muthaffifin termasuk
dalam kepribadian muslim sejati
yang digariskan. Orang-orang itu
tak mungkin mau menipu kalau
tidak khawatir tidak bisa makan. Orang-orang itu tak mungkin
menipu kalau mereka yakin
dengan janji Allah dengan setiap
perkataan yang benar. Lantas bagaimanakah dengan
calo di atas? Perlu kita kasihan
pada mereka. Kasihan karena
mereka masih mau menipu.
Kasihan karena mereka tidak
diajarkan nilai-nilai kejujuran. Kasihan karena mereka belum
saatnya mengenal kebenaran
hakiki. Kasihan karena keluarga
mereka makan dari yang tidak
halal, hasil menipu. Kasihan
karena mereka adalah penganut paham yang haram aja susah
apalagi dapetin yang halal.
Mungkin inikah masa yang
digambarkan oleh Rasulullah SAW
itu? Wahai sadaraku, persiapkan
generasi muslim yang militan.
Berkarakter kuat.
Berkepribadian memikat. Tidak
mudah tertipu dengan tipu
muslihat. Perkenalkanlah pada wajah-wajah surga itu
kebenaran hakiki. Kenalkanlah
pada anak-anak kita kejujuran.
Kenalkanlah akan janji Allah akan
ketaqwaan. Janganlah
meninggalkan generasi lemah akibat kesalahan kita mengasuh
mereka. Mungkin, tidak mendidik
anak-anak dengan nilai-nilai Islam
juga termasuk dengan tindakan
curang, muthaffif. Lantas, tertarikkah kita menjadi
Al-Muthaffif? Kecelakaan besarlah bagi Al-
Muthaffifin (orang-orang yang
curang). Yaitu orang-orang yang
apabila menerima takaran dari
orang lain mereka minta dipenuhi.
Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang
lain, mereka mengurangi.
Tidakkah orang-orang itu
menyangka, bahwa
sesungguhnya mereka akan
dibangkitkan. [Q.S. Al- Muthaffifin :1-4]

Tidak ada komentar: