Laman

Entri Populer

Selasa, Desember 11, 2012

aku ingin menikah dengan sederhana

Aku ingin menikah dengan
sederhana

Bukan berlangsung di gedung
mewah lalu di iringi gamelan, atau
pakaian mengkilap

Aku berharap dengan itu
keluarga ku kelak tidak menjadi
silau oleh kemewahan dunia

Aku ingin Menikah dengan sederhana

Berlangsung di masjid dengan
khitmat disaksikan orang-orang
yang benar-benar tulus menerima kekuranganku

Aku ingin beribdah dengan mudah
bukan mempersulit

Karena aku tak ingin disibukkan
oleh ribetnya upacara adat atau aturan yang menurut agama tak semestinya wajib ada

Sebab aku berharap agamalah
yang memandu perjalanan kita
Walimatul ‘ursy nantinya hanya
dilangsungkan di rumah saja

Menunya mungkin tak istimewa Cukup mengundang anak yatim
piatu,kerabat terdekat dan sahabat yang melekat

Namun dengan itu ku harap kita
masih bisa mendengar adzan dan
shalat pada waktunya Harapanku nantinya kita selalu mendengar adzan dalam setiap kesibukan rumah-tangga kita

Sehingga aku bediri didepanmu,
membimbing sholat berjamaah
disetiap waktu kita
Bermunajat bersama disepertiga
malam-malam

Aku ingin menikah dengan sederhana

Juga menikahi wanita yang
sederhana saja
Meminta Mahar sederhana dan
memudahkan usahaku untuk menjadi bagian dari hidupnya

Tak memusingkan masalah makan
dan tempat tinggal

Karena selama bersamaku tak
akan ku biarkan lambungnya perih menahan lapar atau raganya menggigil oleh terpaan dingin,,
aku janji..

harapanku,  aku bisa menikah
dengan cara sederhana mencoba mendobrak kebiasaan dan tradisi yang mempersulit pernikahan

Bahwa inti pernikahan bukanlah
prestise yang harus ditunjukkan
pada tamu-tamu bangswan dan
kaya

Bukan pula menilai sebuah kemegahan pernikahan sebagai ukuran kebahagian

Bukan karena aku meremehkanmu duhai calon istriku..
Bukan pula karena aku tak mau
berusaha membiayai pernikahanku

Namun aku hanya pria sederhana Bekerja setiap hari agar dapat
menghidupi ibu dan bapaku

Bekerja agar aku bisa berbagi
dengan orang-orang yang tak
seberuntung aku

Maka tak pernah ku bermimpi
meminta ALLAH menitipkan
bidadari sempurna untukku

Cukup wanita sederhana yang
mencintaiku kedua setelah
ALLAHnya

semoga aku menemukan wanita
dengan keluarga yang luarbiasa
itu yang mempercayakan buah
hatinya sebagai ma’mumku

Yang akan ku jaga dan cintai ia
dengan segenap jiwa Ku
memuliakan ia semulia-mulianya

Dan Aku berharap, jika kelak aku
dan istriku tercinta telah tiada semoga ALLAH menghisab kami
dengan cara sederhana

Dan kami berjumpa
bersama,berkumpul kembali di
syurga illahirabbi

Rabu, Oktober 03, 2012

konsekuensi cinta kepada rosulullah

Konsekuensi Dan Tanda-Tanda Cinta Kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam

[A]. Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharuskan adanya peng-agungan,
memuliakan, meneladani beliau dan men-dahulukan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas segala ucapan makhluk serta mengagungkan Sunnah-Sunnahnya.

[B]. Mentaati apa yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan Allah memerintahkan setiap Muslim dan Muslimah untuk taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena dengan taat kepada beliau menjadi sebab seseorang masuk Surga.
Kita wajib mentaati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menjalankan apa yang diperintahkannya dan meninggalkan apa yang dilarangnya.
Hal ini merupakan konsekuensi dari syahadat (kesaksian) bahwa beliau adalah Rasul (utusan) Allah.

Dalam banyak ayat Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk mentaati Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antaranya ada yang diiringi dengan perintah taat kepada Allah, sebagaimana firman-Nya

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya…” [An-Nisaa': 59]

Tekadang pula Allah mengancam orang yang mendur-hakai Rasul-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

“Maka hendaklah orang-orang yang melanggar perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa adzab yang pedih” [An-Nuur: 63]

Artinya hendaknya mereka takut jika hatinya ditimpa fitnah kekufuran, nifaq, bid’ah atau siksa pedih di dunia, baik berupa pembunuhan, had, pemenjaraan atau siksa-siksa lain yang disegerakan. Allah telah menjadikan ketaatan dan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sebab hamba mendapatkan kecintaan Allah dan ampunan atas dosa-dosanya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan ketaatan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai petunjuk dan mendurhakainya sebagai suatu kesesatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk” [An-Nuur : 54]

Allah mengabarkan bahwa pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat teladan yang baik bagi segenap ummatnya. Allah berfirman:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang meng-harap (rahmat) Allah dan kedatangan hari Kiamat dan dia banyak menyebut Nama Allah” [Al-Ahzaab: 21]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ayat yang mulia ini adalah pokok yang agung tentang meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbagai perkataan, perbuatan dan perilakunya.

Untuk itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan manusia untuk meneladani sifat sabar, keteguhan, kepahlawanan, perjuangan dan kesabaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menanti pertolongan dari Rabb-nya Azza wa Jalla ketika perang Ahzaab.

Semoga Allah senantiasa mencurahkan shalawat dan salam kepada beliau hingga hari Kiamat.”[1]

[C]. Membenarkan apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkata menurut hawa nafsunya.

[D]. Menahan diri dari apa yang dilarang dan dicegah oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkan-lah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” [Al-Hasyr: 7]

[E]. Beribadah sesuai dengan apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam syari’atkan, atau dengan kata lain ittiba’ kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Agama Islam sudah sempurna, tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurangi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengajarkan ummat Islam tentang bagaimana cara yang benar dalam beribadah kepada Allah, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan semuanya.
Oleh karena itu, ummat Islam wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mereka mendapatkan kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, kejayaan dan dimasukkan ke dalam Surga-Nya.

Ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hukumnya adalah wajib, dan ittiba’ menunjukkan kecintaan seorang hamba kepada Allah Azza wa Jalla

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”[Ali ‘Imran: 31]

Berkata Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H):

“Ayat ini adalah pemutus hukum bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah namun tidak mau menempuh jalan Ra-sulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka orang itu dusta dalam pengakuannya tersebut hingga ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan dan perbuatannya”[2]

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya.

Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.[3]

[F]. Anjuran Bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[4]
Di antara hak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disyari’atkan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas ummatnya adalah agar mereka mengucapkan shalawat dan salam untuk beliau.

Allah Subhanahu wa Ta’ala dan para Malaikat-Nya telah bershalawat kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada para hamba-Nya agar mengucapkan shalawat dan salam kepada beliau.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat-Nya ber-shalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [Al-Ahzaab: 56]

Diriwayatkan bahwa makna shalawat Allah kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pujian Allah atas beliau di hadapan para Malaikat-Nya, sedang shalawat Malaikat berarti mendo’akan beliau, dan shalawat ummatnya berarti permohonan ampun bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam”

Dalam ayat di atas, Allah telah menyebutkan tentang kedudukan hamba dan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tempat yang tertinggi, bahwasanya Dia memujinya di hadapan para Malaikat yang terdekat, dan bahwa para Malaikat pun mendo’akan untuknya, lalu Allah memerintah-kan segenap penghuni alam ini untuk mengucapkan shalawat dan salam atasnya, sehingga bersatulah pujian untuk beliau di alam yang tertinggi dengan alam terendah (bumi).

Adapun makna: “Ucapkanlah salam untuknya” adalah berilah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam penghormatan dengan penghormatan Islam.

Dan jika bershalawat kepada Nabi Muhammad hendaklah seseorang menghimpunnya dengan salam untuk beliau.

Karena itu hendaknya tidak membatasi dengan salah satunya saja.

Misalnya dengan mengucapkan: “Shallallaahu ‘alaih (semoga shalawat dilimpahkan untuknya)” atau hanya mengucapkan:

“‘alaihis salaam (semoga dilimpahkan baginya keselamatan).”

Hal itu karena Allah memerintahkan untuk mengucapkan keduanya. Mengucapkan shalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan oleh syari’at pada waktu-waktu yang dipentingkan, baik yang hukumnya wajib atau sunnah mu-akkadah.

Dalam kitab Jalaa’ul Afhaam, Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan 41 waktu (tempat).

Beliau rahimahullah memulai dengan sesuatu yang paling penting yakni ketika shalat di akhir tasyahhud.

Di waktu tersebut para ulama sepakat tentang disyari’atkan-nya bershalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antara waktu lain yang beliau sebutkan adalah di akhir Qunut, kemudian saat khutbah, seperti khutbah Jum’at, hari raya dan istisqa’, kemudian setelah menjawab adzan, ketika berdo’a, ketika masuk dan keluar dari masjid, juga ketika menyebut nama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kaum Muslimin tentang tatacara mengucapkan shalawat.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memperbanyak membaca shalawat kepadanya pada hari Jum’at.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Perbanyaklah kalian membaca shalawat kepadaku pada hari dan malam Jum’at. Barangsiapa yang ber-shalawat kepadaku sekali niscaya Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali”[5]

Kemudian Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan beberapa manfaat dari mengucapkan shalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana beliau menyebutkan ada 40 manfaat. Di antara manfaat itu adalah

1. Shalawat merupakan bentuk ketaatan kepada perintah Allah.

2. Mendapatkan 10 kali shalawat dari Allah bagi yang bershalawat sekali untuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

3. Diharapkan dikabulkannya do’a apabila didahului dengan shalawat tersebut.

4. Shalawat merupakan sebab mendapatkan syafa’at dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika ketika mengucapkan shalawat diiringi dengan permohonan kepada Allah agar memberikan wasilah (kedudukan yang tinggi) kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Kiamat.

5. Shalawat merupakan sebab diampuninya dosa-dosa.

6. Shalawat merupakan sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab orang yang mengucapkan shalawat dan salam kepadanya.[6]

Tetapi tidak dibenarkan mengkhususkan waktu dan cara tertentu dalam bershalawat dan memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali berdasarkan dalil shahih dari Al-Qur-an dan As-Sunnah.
Para ulama Ahlus Sunnah telah banyak meriwayat-kan lafazh-lafazh shalawat yang shahih, sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para Sahabatnya Radhiyallahu anhum

Di antaranya adalah dari hadits berikutِ

Telah bercerita kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik bin Anas dari ‘Abdullah bin Abi Bakr bin Muhammad bin ‘Amru bin Hazm dari bapaknya dari ‘Amru bin Sulaim Az Zuraqiy telah mengabarkan kepadaku Abu Humaid as-Sa’idiy radliallahu ‘anhu bahwa mereka berkata;

“Wahai Rasulullah, bagaimana caranya kami bershalawat kepada baginda?”.
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ucapkanlah;

Allahumma shalli ‘alaa Muhammadin wa azwaajihi wa dzurriyyatihii kamaa shollaita ‘alaa aali Ibrahim wa baarik ‘alaa Muhammadin wa azwaajihi wa dzurriyyatihii kamaa baarakta ‘alaa aali Ibrahim innaka hamiidun majiid”
(Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad, istri-istrinya dan anak keturunannya sebagaimana Engkau telah memberi shalawat kepada keluarga Ibrahim dan berilah barakah kepada Muhammad, istri-istrinya dan anak keturunannya sebagaimana Engkau telah memberi barakah kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkah Maha Terpuji dan Maha Mulia) “.[HR. Bukhari No. 3118]

lihat juga catatan kaki [no 7]

Di antara contoh shalawat-shalawat yang bid’ah adalah:

1. Shalawat thibbul qulub
2. Shalawat naariyah, serta adanya keyakinan bathil bahwa barangsiapa yang membacanya 4444 kali maka akan dilapangkan kesulitannya. Shalawat naariyah ini mengandung kesyirikan.
3. Shalawat al-faatih, serta adanya anggapan bahwa membaca shalawat ini lebih baik daripada membaca Al-Qur’an, dan lain-lainnya. Shalawat al-faatih ini adalah perbuatan bid’ah.
4. Shalawat basyisyiyah.[8]

Setiap muslim harus menjauhkan semua bentuk shalawat bid’ah yang tidak ada asalnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan wajib ber-pegang kepada hadits-hadits shahih yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena apa yang beliau ajarkan sudah cukup dan memadai, tidak boleh ditambah lagi.

Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi yang mulia ini, juga bagi keluarga beliau, para Sahabat, dan orang-orang yang mengikuti jejak beliau hingga hari Kiamat.

Larangan Ghuluw (Berlebih-lebihan) Dalam Memuji Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam .

Ghuluw artinya melampaui batas.
Dikatakan: jika ia melampaui batas dalam ukuran. Allah berfirman:

“Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu.” [An-Nisaa': 171]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.”[9]

Salah satu sebab yang membuat seseorang menjadi kufur adalah sikap ghuluw dalam beragama, baik kepada orang shalih atau orang yang dianggap wali, maupun ghuluw kepada kuburan para wali, hingga mereka minta dan berdo’a kepadanya padahal ini adalah perbuatan syirik akbar.

Sedangkan ithra’ artinya melampaui batas (berlebih-lebihan) dalam memuji serta berbohong karenanya.

Dan yang dimaksud dengan ghuluw dalam hak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah melampaui batas dalam menyanjungnya, sehingga meng-angkatnya di atas derajatnya sebagai hamba dan Rasul (utusan) Allah, menisbatkan kepadanya sebagian dari sifat-sifat Ilahiyyah.

Hal itu misalnya dengan memohon dan meminta pertolongan kepada beliau, tawassul dengan beliau, atau tawassul dengan kedudukan dan kehormatan beliau, bersumpah dengan nama beliau, sebagai bentuk ‘ubudiyyah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala , perbuatan ini adalah syirik.

Dan yang dimaksud dengan ithra’ dalam hak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berlebih-lebihan dalam memujinya, padahal beliau telah melarang hal tersebut melalui sabda beliau:

“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji ‘Isa putera Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah, ‘‘Abdullaah wa Rasuuluhu (hamba Allah dan Rasul-Nya).’”[10]

Dengan kata lain, janganlah kalian memujiku secara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku.

Hal itu sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihis Sallam, sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah.
Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku, maka katakanlah:

“Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya.”[11]

‘Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu ‘anhu berkata,

“Ketika aku pergi bersama delegasi bani ‘Amir untuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid (penghulu) kami!”
Spontan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Sayyid (penghulu) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta’aala!”
Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya.”
Serta merta beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
“Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian dan jangan-lah sampai kalian terseret oleh syaitan”[12]

Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Sebagian orang berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, wahai orang yang terbaik di antara kami dan putera orang yang terbaik di antara kami!
Wahai sayyid kami dan putera penghulu kami!’
Maka seketika itu juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

“Wahai manusia, ucapkanlah dengan yang biasa (wajar) kalian ucapkan! Jangan kalian terbujuk oleh syaitan, aku adalah Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak suka kalian mengangkat (menyanjung)ku di atas (melebihi) kedudukan yang telah Allah berikan kepadaku. [13]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci jika orang-orang memujinya dengan berbagai ungkapan seperti:
“Engkau adalah sayyidku, engkau adalah orang yang terbaik di antara kami, engkau adalah orang yang paling utama di antara kami, engkau adalah orang yang paling agung di antara kami.
” Padahal sudah diketahui sesungguhnya beliau adalah makhluk yang paling utama dan paling mulia secara mutlak. Meskipun demikian, beliau melarang mereka agar menjauhkan mereka dari sikap melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam menyanjung hak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga untuk menjaga kemurnian tauhid.

Selanjutnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan mereka agar menyifati beliau dengan dua sifat yang merupakan derajat paling tinggi bagi hamba yang di dalamnya tidak ada ghuluw serta tidak membahayakan ‘aqidah.

Dua sifat itu adalah ‘Abdullaah wa Rasuuluh (hamba dan utusan Allah).

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka disanjung melebihi dari apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan dan Allah ridhai.

Tetapi banyak manusia yang melanggar larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, sehingga mereka berdo’a kepadanya, meminta pertolongan kepadanya, ber-sumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah.
Hal itu sebagaimana yang mereka lakukan ketika peringatan maulid Nabi , dalam kasidah atau anasyid, dimana mereka tidak membedakan antara hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Setiap muslim wajib mengetahui bahwa di antara faktor yang menyebabkan manusia menjadi kafir dan meninggalkan agama mereka yaitu sikap berlebih-lebihan kepada orang-orang shalih,
seperti yang terjadi pada kaum Nabi Nuh Alaihissalam

“Dan mereka berkata: ‘Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) ilah-ilah kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, tidak juga suwaa’, yaghuts, ya’uq dan nasr.’” [QS. Nuh: 23][14]

[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 2] _________

Foote Note

[1]. Tafsiir Ibni Katsir (III/522-523), cet. Daarus Salaam.

[2]. Tafsiir Ibni Katsiir (I/384), cet. Daarus Salam.

[3]. Sebagian contoh-contoh bid’ah yang masih dilakukan kaum Muslimin seperti: Perayaan dan peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, perayaan Isra’ Mi’raj, tawassul dengan orang mati, membangun kubur, dan yang lainnya. Semua ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya.

[3]. Bahasan tentang shalawat selengkapnya dapat dilihat pada kitab Jalaa-ul Afhaam fii Fadhlish Shalaah was Salaam ‘alaa Muhammad Khairil Anaam (hal. 453-556), karya al-‘Allamah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dengan tahqiq Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman.

[4]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 158).

[5]. HR. Al-Baihaqi (III/249) dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, sanad hadits ini hasan. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1407) oleh Syaikh al-Albani rahimahullah

[6]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal 158-159).

[7]. HR. Al-Bukhari (no. 3370/Fat-hul Baari (VI/408)), Muslim (no. 406), Abu Dawud (no. 976, 977, 978), at-Tirmidzi (no. 483), an-Nasa-i(III/47-48), Ibnu Majah (no. 904), Ahmad (IV/243-244) dan lain-lain, dari Sahabat Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu ‘anhu. Untuk mengetahui lafazh-lafazh shalawat lainnya yang diriwayatkan secara shahih dari Nabi j dapat dilihat dalam buku Do’a dan Wirid (hal. 178-180), oleh penulis, cet. VI/ Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta, th. 2006 M.

[8]. Lihat Minhaaj al-Firqatin Naajiyah wat Thaa’ifah al-Manshuurah ‘ala Dhau-il Kitaab was Sunnah (hal. 116-122) oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu dan Mu’jamul Bida’ (hal. 345-346).

[9]. HR. Ahmad (I/215, 347), an-Nasa-i (V/268), Ibnu Majah (no. 3029), Ibnu Khuzaimah (no. 2867) dan lainnya, dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu. Sanad hadits ini shahih menurut syarat Muslim. Dishahihkan oleh Imam an-Nawawi dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

[10]. HR. Al-Bukhari (no. 3445), at-Tirmidzi dalam Mukhtasharusy Syamaa-il al-Muhammadiyyah (no. 284), Ahmad (I/23, 24, 47, 55), ad-Darimi (II/320) dan yang lainnya, dari Shahabat ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu.

[11]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal 151).

[12]. HR. Abu Dawud (no 4806), Ahmad (IV/24, 25), al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no 211/ Shahiihul Adabil Mufrad no 155), an-Nasa’i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 247, 249). Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata: “Rawi-rawinya shahih. Dishahihkan oleh para ulama (ahli hadits).” (Fathul Baari V/179) [13]. HR. Ahmad (III/153, 241, 249), an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 249, 250) dan al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (no. 2675). Sanadnya shahih dari Shahabat Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu.

[14]. Lihat Fat-hul Majid Syarah Kitabut Tauhid bab 18.

Minggu, Mei 20, 2012

menyelamatkan diri dari zaman jahiliah moderen

Segala puji bagi Allah, Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya yang senantiasa tekun mengikuti jalan petunjuk-Nya, amien.

Segala puji bagi Allah, pernahkah diri kita saat bangun dari tidur di pagi hari lalu kita memikirkan bahwa diri kita hidup ini dengan NYAWA yang dipinjamkan oleh Allah kepada kita ???,
dan suatu saat NYAWA itu kemudian akan diminta oleh yang memiliki NYAWA, yaitu Allah Tuhan Semesta Alam, sebagaimana firman-Nya yang artinya… .

Maka mengapa ketika NYAWA sampai di kerongkongan, (QS. 56:83)
padahal kamu ketika itu melihat, (QS. 56:84)

dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu.Tapi kamu tidak melihat, (QS. 56:85)

maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah) (QS. 56:86)

Kamu tidak mengembalikan NYAWA itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar, (QS. 56:87)

adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah), (QS. 56:88)

maka dia memperoleh rezki serta surga kenikmatan. (QS. 56:89) .

Segala puji bagi Allah, betapa kesadaran kita tentang kepemilikan NYAWA yang Allah pinjamkan kepada kita ini adalah sesuatu yang sangat besar manfaatnya, agar kita mau berpikir berikutnya, mengapa Allah meminjami kepada kita masing-masing NYAWA ???,
mengapa kita dipinjami oleh Allah dengan NYAWA dan kemudian kita diberi kesempatan untuk hidup di muka bumi.

Pernahkan kita berpikir sejenak ketika orang tua kita memadu kasih sayang sehingga kemudian lahirlah kita sebagaimana firman Allah yang artinya .

dan bahwasanya Dialah yang mematikan dan menghidupkan, (QS. 53:44)

dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan. (QS. 53:45)

dari air mani, apabila dipancarkan. (QS. 53:46)

Dan bahwasanya Dialah yang menetapkan kejadian yang lain (kebangkitan sesudah mati), (QS. 53:47)

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. (QS. 23:12)

Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). (QS. 23:13)

Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban) (QS. 75:36)

kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya, (QS. 75:38) .

Dapatkah firman Allah tersebut menggugah kesadaran kita, siapakah yang telah melindungi air mani yang dipancarkan itu, dan kemudian kemudian saling bertemu dan kemudian jadilah manusia ???, siapakah yang mengkondisikan dan mengamankan perjalanan setitik air mani di rahim seorang ibu dan kemudian tumbuh menjadi bayi dan lahir manusia ke dunia ini ???

Kesadaran yang demikian kita harapkan dapat menggugah hati kita untuk kemudian sadar bahwa di dunia ini kita juga membutuhkan perlindungan Allah SWT.
Setidaknya ketika kita telah mulai menyadari, kita kemudian menangisi diri dan anak-anak kita bahwa kita dan mereka itu semua membutuhkan bimbingan dan perlindungan Allah SWT dalam menempuh kehidupan di dunia ini.
Walhasil bahwa di saat NYAWA-NYAWA masih ada di dalam raga kita, masih dipinjamkan kepada kita, kita harus bersegera menyambut bimbingan Allah dan perlindungan-Nya dengan tekun belajar dan menempuh jalan petunjuk-Nya.
Dengan mengingat akan lemahnya kedudukan kita, sebaliknya dengan melihat akan begitu

Maha Mulia, Maha Tinggi dan Maha Perkasa nya Allah SWT, mendidik jiwa manusia untuk segera lari kepada Allah dan bersegera meninggalkan kelalaian-kelalaian yang tersebar luas di zaman di hari ini.

Banyak manusia yang akan menyesal di akherat, disebabkan mereka telah kembali ke akherat dengan kedudukan NYAWA yang rendah yang jauh dari Allah, bahkan mereka dibersamakan dengan syaitan di neraka yang menyala-nyala, sebagaimana firman-Nya yang artinya .

hampir-hampir (neraka) itu terpecah-pecah lantaran marah. Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka:”Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?” (QS. 67:8)

Mereka menjawab:”Benar ada”,sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, maka kami mendustakan(nya) dan kami katakan: “Allah tidak menurunkan sesuatupun; kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar”. (QS. 67:9)

Dan mereka berkata:”Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala”. (QS. 67:10)

Mereka mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”. (QS. 67:11)

. Demikianlah penyesalan NYAWA-NYAWA yang mengabaikan peringatan Allah, sehingga mereka di akherat harus ditempatkan di tempat yang amat menyusahkan.
Marilah kita umat manusia, apalagi kita umat manusia yang sedang berada di kedudukan puncak, sedang duduk sebagai PEMIMPIN, sebagai PANUTAN, sebagai KOORDINATOR,

Lihatlah dengan seksama, ketika sebuah system yang salah tetap dilestarikan, hingga timbul istilah Penyimpangan yang dilakukan secara bersama-sama, dan ketika orang-orang yang baik sudah tidak mampu lagi melakukan perbaikan, disebakan karena system yang salah yang sudah berakar dan berurat menggurita dalam sendi-sendi kehidupan.

PEMIMPIN, PANUTAN, KOORDINATOR, dihari ini pun biasanya sudah memiliki umur yang sudah cukup, dan beberapa saat lagi, NYAWA-NYAWA itu akan diambil oleh yang empunya NYAWA, yaitu Allah SWT.

Jangan sampai NYAWA kita termasuk NYAWA yang berkedudukan rendah dan harus ditempatkan di neraka.

Sambutlah wahai para PEMIMPIN, para PANUTAN, para KOORDITOR, selamatkan dirimu, keluargamu, sahabatmu, masyarakatmu, bangsamu, untuk segera sadar dan kembali kepada jalan-jalan Allah, kembalilah kepada ketekunan menekuni petunjuk-petunjuk Allah, Al-Qur’an dan As-Sunnah,
dialah jalan bimbingan dan jalan perlindungan Allah terhadap kehidupan di dunia ini,
untuk mencapai ketinggian dan kesucian NYAWA-NYAWA manusia . Katakanlah:

”Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu terputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 39:53)

Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). (QS. 39:54)

Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu(Al-Qur’an) sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya, (QS. 39:55)

supaya jangan ada orang yang mengatakan: “Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku sungguh-sungguh termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah). (QS. 39:56) .

Wahai para GURU masyarakat, sadarlah bahwa kesesatan yang telah menjamur ditengah-tengah kehidupan, diantaranya adalah termasuk kekurangan-kekurangan yang telah tumbuh akibat salah didik dan salah ajar.

Seharusnya DUNIA PENDIDIKAN ikut menangisi kondisi zaman, mengapa anak-anak didik kita, mereka lebih suka memilih jalan yang salah dibanding jalan yang benar.

Kebanggaan meluluskan alumni harus disertai dengan koreksi diri, berapa anak-anak didik kita yang telah menyimpang hidupnya akibat minimnya bekal TUNTUNAN AGAMA ISLAM, atau bahkan KETIDAK TANGGUHNYA dalam BERPENDIRIAN MEMEGANG KEBENARAN DAN KESANTUNAN dalam menghadapi godaan dan penyimpangan-penimpangan zaman yang terjadi dalam kehidupan.

Apakah memang kita ini manusia, masyarakat, sekumpulan manusia yang berkwalitas sebagaimana pepatah SEPERTI AIR DI DAUN TALAS, dan kemudian kita tanyakan dalam hati sanubari kapan kita memiliki pendirian, terutama memegang teguh pertanggung jawaban jalan kehidupan kita yang akan kita hadapi ketika kita menghadap kepada Allah SWT yang telah memberi NYAWA kehidupan kepada kita. Kita membutuhkan figure-figur GURU, PANUTAN dan PEMIMPIN yang memiliki ketegasan dalam memegang amanah jalan lurus kehidupan, dan tidak mudah tergoyah dengan hempasan ombak Zaman yang penuh dengan kepengapan budaya memeperturutkan hawa nafsu dan melanggar bimbingan kebenaran dan kesopanan.

Kita membutuhkan manusia-manusia PANUTAN yang memiliki ketegasan di dalam memegang teguh kebenaran yang datang dari Allah SWT, Tuhan Pencipta, dan Pemilik serta Pemelihara semesta Alam, Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa.

Sehingga NYAWA mereka kembali kepada Allah dalam keadaan di rahmati dan diridhoi. . Hai jiwa yang tenang. (QS. 89:27)

Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. (QS. 89:28)

Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, (QS. 89:29)

dan masuklah ke dalam surga-Ku. (QS. 89:30) .

Mari berbondong-bondong mengaji Al-Qur’an dan As-Sunnah, kemudian kita hayati dan kita amalkan, dan rasakan sejuknya kebahagiaan iman, karena disanalah tempat berlabuh yang paling aman dari kekacauan dan kerusakan zaman, disanalah tempat yang sejuk dan menenangkan NYAWA-NYAWA kita sebelum kita dipanggil oleh Allah masuk kedalam surga-Nya di akherat kelak
  Wallahu a’ala

terjebak kebiasaan

Di dalam kehidupan ini sering kali kita terjebak pada suatu kebiasaan. 

Secara garis besar kebiasaan dibagi menjadi dua.
 Kebiasaan baik dan kebiasaan buruk. Tapi di sini tentu saya tidak akan memakai istilah “terjebak” untuk suatu kebiasaan yang baik. 
Karena, menjadikan hal-hal yang baik menjadi kebiasaan itu sangat sulit, sangat berat ujiannya dan sangat besar tantangannya. 

Kebiasaan-kebiasaan yang baik tersebut antara lain, menuntut ilmu agama atau mengaji dengan mengikuti kajian-kajian keislaman, melaksanakan ibadah-ibadah baik wajib maupun sunnah sesuai dengan tuntunan Rosulullah SAW, memperbanyak dzikir dengan mengingat Allah SWT, saling bersilaturahim, bermuamalah dengan akhlakul karimah dan lain sebagainya.


Sedang kata terjebak dalam kebiasaan di sini, maksudnya terjebak dalam kebiasaan-kebiasaan yang buruk. Atau kebiasaan yang dinilai baik oleh manusia namun ternyata buruk di mata Allah SWT. Lho apa ada kebiasan-kebiasaan yang demikian ?
Hal ini sudah di sinyalir Allah SWT dalam 

QS. Al Kahfi ayat : 103-106

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأخْسَرِينَ أَعْمَالا (١٠٣)الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا (١٠٤)أُولَئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا (١٠٥)ذَلِكَ جَزَاؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوا وَاتَّخَذُوا آيَاتِي وَرُسُلِي هُزُوًا

Katakanlah: “Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”
Yaitu orang-orang yang Telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.
Mereka itu orang-orang yang Telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, Maka hapuslah amalan- amalan mereka, dan kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.
Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahannam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok. (QS. Al Kahfi [18] : 103-106)
Dalam ayat 103 Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menanyakan kepada ummatnya, apakah mereka mau ditunjukkan tentang ciri-ciri orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut :

 Pertama : orang yang paling merugi perbuatannya adalah orang yang melakukan amal perbuatan,  kebiasaan-kebiasaan, yang mereka mengira bahwa apa yang mereka jalankan itu adalah hal yang sebaik-baiknya, akan tetapi di mata Allah amal-amal mereka itu sia-sia. (ayat 104). Mengapa sia-sia ?


Kedua : karena mereka kufur dengan ayat-ayat Allah dan perjumpaan dengan Dia (hari Kiamat). Dalam melakukan amal-amal, perbuatan-perbuatan, kebiasaan-kebiasaan mereka mengkufuri, mengingkari, tidak mengindahkan apa yang digariskan dalam ayat-ayat Allah. 
Dengan kata lain, mereka melanggar ayat-ayat Allah. 
 Mereka juga tidak mempercayai perjumpaan dengan Allah, atau hari kiamat.
Sehingga dalam beramal mereka tidak menyadari bahwasannya Allah akan menilai segala amal dan perbuatan mereka. 
Sehingga orientasi amal-amal tersebut hanyalah keduniaan, hanya karena penilaian manusia, pujian manusia bahkan keuntungan-keuntungan yang sifatnya materialistis. 
Dengan demikian amal perbuatan dan kebiasaan yang mereka anggap sebaik-baiknya tersebut hapus, rusak, muspro karena Allah tidak menilainya pada hari Kiamat. (ayat 105)


Ketiga, mereka menjadikan ayat-ayat Allah dan Rosul-Rosul sebagai olok-olok. 
 Bisa jadi sebenarnya mereka juga mengetahui tentang ayat-ayat Allah dan sunnah Rosulullah. 
Tetapi apa yang diketahui dari Al-Qur’an dan As Sunnah itu tidak dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari, melainkan hanya sekedar bahan olok-olokan saja. Oleh karena itu balasan bagi mereka adalah neraka jahannam. (ayat 106)

***
Dalam kehidupan ini ada tiga parameter tentang kebenaran.
 Pertama, bener-benere dewe, yaitu kebenaran hanya di ukur dengan dirinya sendiri. 

 Kedua, bener-benere wong akeh, yaitu kebenaran yang diukur pandangan, pendapat, penilaian orang banyak. 

Ketiga, bener kang sejati, yaitu kebenaran yang diukur dengan nilai-nilai keIlahian (agama)

الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ

Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu. (QS. Al Baqarah [2] ayat : 147)
Kebenaran yang sejati adalah datang dari Allah, yaitu ajaran agama Islam. Dan tidaklah dinamakan agama Islam jika tidak berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah
 Oleh karena itu sesuatu perbuatan, amalan, kebiasaan meskipun dinilai secara pribadi dan masyarakat baik dan benar, namun dalam kacamata agama belum tentu baik apalagi benar.
 Sesuatu amal perbuatan dan kebiasaan bisa dikatakan baik dan benar jika sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah.

***
Jangan Terjebak Kebiasaan
Memang kalau sudah menjadi kebiasaan itu enak. 
Tetapi sebagai orang mengaji yang menjadikan Al Qur’an dan As Sunnah sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari, harus bisa menilai apakah kebiasaan ini sesuai dengan tuntunan agama atau tidak. 

Jika kebiasaan itu sesuai dengan tuntunan agama maka bisa dilanjutkan, bahkan dilestarikan.

Jika kebiasaan itu kurang pas dengan agama, bisa disesuaikan. 
Dan jika kebiasaan itu bertentangan dengan agama, baik secara syariat maupun aqidahnya, maka harus ditinggalkan.

Sedang terhadap kebiasaan yang sudah berjalan di masyarakat, baik itu dilakukan secara pribadi, keluarga, maupun masyarakat luas, jika kita belum tau ilmunya maka hendaklah kita tidak mengikuti sebelum mengetahui ilmunya dengan jelas. 
Meskipun kebiasaan itu nampaknya baik, nampaknya benar, bahkan kental dengan nilai-nilai keislaman.

Jangan sampai hanya karena mengikuti kebiasaan yang sudah ada kita terjebak pada kebiasaan yang kita belum tahu ilmunya, atau mungkin memang tidak ada ilmunya sama sekali, tidak ada dasar/dalil yang dapat dijadikan landasan hukum yang kuat.

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا

 Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. Al Israa’ [17] ayat 36)
Jika sudah dianggap “BIASA”

Sekarang ini terjadi pergeseran nilai tentang sesuatu dianggap biasa dan tidak biasa. Misalnya tentang pakaian yang tidak menutup aurat. 
 Dahulu kalau ada wanita  memakai rok mini atau baju you can see dianggap tidak biasa, tidak sopan, dianggap wanita nakal, binal, bahkan pakaian-pakaian seperti itu identik dengan pakaian – maaf agak kasar – pelacur.

Dulu kita bisa membedakan mana wanita baik-baik dan wanita-wanita yang sedang mangkal mencari obyekan ketika mereka sama-sama berdiri di pinggir jalan. 
Tetapi sekarang sudah sulit membedakannya.
Kalau sekarang kita merasa prihatin dengan cara berpakaian wanita yang mengumbar aurat, orang lain akan berkomentar :
 “Sekarang pakaian seperti itu sudah biasa”. 

Padahal dampak yang diakibatnya sangat fatal baik bagi diri wanita tersebut maupun bagi laki-laki yang tidak mampu menahan syahwatnya.

Dahulu, jika ada gadis hamil sebelum nikah, sudah dipandang sebagai aib, baik bagi si gadis, laki-laki yang menghamili, keluarga dan masyarakatnya. 
Tapi kini sudah dianggap biasa.
Bahkan kalau ada remaja yang berusaha membentengi dirinya dari pergaulan bebas, karena takut akan terjerumus ke dalam dosa yang besar, sehingga dia tidak punya teman berkencan atau pacar, justru dianggap ketinggalan zaman. Na’udzubillah.

Masih banyak lagi dosa-dosa yang sudah dianggap biasa. Oleh karenanya kita harus rajin mengaji Al Qur’an dan Assunnah agar diri kita tidak terjebak pada kebiasaan-kebiasaan yang menjerumuskan kita ke dalam neraka  Jahannam.

***
Ada cerita tentang seorang musafir yang datang dari negeri Arab ke tanah Jawa. Sampai di Jawa, musafir tersebut membutuhkan seekor kuda sebagai kendaraannya. 
Dia membeli seekor kuda kepada orang Jawa.
 Setelah terjadi kesepakatan di antara keduanya, musafir tersebut segera menaiki kudanya. 
Baginya syariat membaca basmallah setiap memulai sesuatu dan membaca alhamdulillah ketika menyudahinya sudah menjadi kebiasaan
Musafir itu pun naik kuda dengan membaca basmallah untuk menjalankannya.
 Tapi ajaib, kuda tersebut tidak mau berjalan.
Dia kembali turun, dengan marah-marah ia protes kepada penjualnya. 
 Akhirnya penjualnya menerangkan, bahwa untuk menjalankan dan memberhentikan kuda tersebut ada passwordnya. 
Kalau menjalankan bacalah ALHAMDULILLAH dan kalau menghentikan bacalah BISMILLAH.

Musafir kembali menaiki kudanya, kemudian membaca Alhamdulillah, kudanya mulai berjalan. 
Dia senang dalam dan mengucap bersyukur alhamdulillah, sehingga kudanya makin kencang lajunya. Semakin banyak ia baca alhamdulillah kudanya makin kencang lajunya.
Hingga akhirnya ia sadar di depannya ada jurang yang dalam.
 Dia panik dan lupa cara menghentikannya, kini keselamatannya terancam. 
Akhirnya dia ingat dan langsung membaca, BISMILLAH !!! Mendadak kuda berhenti tepat di bibir jurang.

Betapa senangnya dia selamat dari maut, sehingga dia mengucap syukur ALHAMDULILLAH. Sehingga kudanya melaju ke dalam jurang.  Akhirnya ia terjatuh ke dalam jurang karena TERJEBAK KEBIASAAN.

Kamis, April 19, 2012

bersyukur dengan yang sedikit

Alhamdulillah, puji syukur pada Allah pemberi berbagai macam nikmat. Shalawat dan salam senantiasa dipanjatkan pada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Setiap saat kita telah mendapatkan nikmat yang banyak dari Allah, namun kadang ini terus merasa kurang, merasa sedikit nikmat yang Allah beri.

Allah beri kesehatan yang jika dibayar amatlah mahal.
Allah beri umur panjang, yang kalau dibeli dengan seluruh harta kita pun tak akan sanggup membayarnya.

Namun demikianlah diri ini hanya menggap harta saja sebagai nikmat, harta saja yang dianggap sebagai rizki.

Padahal kesehatan, umur panjang, lebih dari itu adalah keimanan, semua adalah nikmat dari Allah yang luar biasa.

Syukuri yang Sedikit

Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ

“Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 667).

Hadits ini benar sekali. Bagaimana mungkin seseorang dapat mensyukuri rizki yang banyak, rizki yang sedikit dan tetap terus Allah beri sulit untuk disyukuri? Bagaimana mau disyukuri?
Sadar akan nikmat tersebut saja mungkin tidak terbetik dalam hati.

Kita Selalu Lalai dari 3 Nikmat

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa nikmat itu ada 3 macam.

Pertama, adalah nikmat yang nampak di mata hamba.

Kedua, adalah nikmat yang diharapkan kehadirannya.

Ketiga, adalah nikmat yang tidak dirasakan.

Ibnul Qoyyim menceritakan bahwa ada seorang Arab menemui Amirul Mukminin Ar Rosyid. Orang itu berkata,

“Wahai Amirul Mukminin. Semoga Allah senantiasa memberikanmu nikmat dan mengokohkanmu untuk mensyukurinya. Semoga Allah juga memberikan nikmat yang engkau harap-harap dengan engkau berprasangka baik pada-Nya dan kontinu dalam melakukan ketaatan pada-Nya. Semoga Allah juga menampakkan nikmat yang ada padamu namun tidak engkau rasakan, semoga juga engkau mensyukurinya.” Ar Rosyid terkagum-kagum dengan ucapan orang ini. Lantas beliau berkata, “Sungguh bagus pembagian nikmat menurutmu tadi.” (Al Fawa’id, Ibnul Qayyim, terbitan, Darul ‘Aqidah, hal. 165-166).

Itulah nikmat yang sering kita lupakan.
Kita mungkin hanya tahu berbagai nikmat yang ada di hadapan kita, semisal rumah yang mewah, motor yang bagus, gaji yang wah, dsb.

Begitu juga kita senantiasa mengharapkan nikmat lainnya semacam berharap agar tetap istiqomah dalam agama ini, bahagia di masa mendatang, hidup berkecukupan nantinya, dsb.

Namun, ada pula nikmat yang mungkin tidak kita rasakan, padahal itu juga nikmat.

Kesehatan Juga Nikmat

Bayangan kita barangkali, nikmat hanyalah uang, makanan dan harta mewah.
Padahal kondisi sehat yang Allah beri dan waktu luang pun nikmat.

Bahkan untuk sehat jika kita bayar butuh biaya yang teramat mahal.
Namun demikianlah nikmat yang satu ini sering kita lalaikan.

Dua nikmat ini seringkali dilalaikan oleh manusia –termasuk pula hamba yang faqir ini-. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

”Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang”. (HR. Bukhari no. 6412, dari Ibnu ‘Abbas)

Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan,
”Seseorang tidaklah dikatakan memiliki waktu luang hingga badannya juga sehat. Barangsiapa yang memiliki dua nikmat ini (yaitu waktu senggang dan nikmat sehat), hendaklah ia bersemangat, jangan sampai ia tertipu dengan meninggalkan syukur pada Allah atas nikmat yang diberikan. Bersyukur adalah dengan melaksanakan setiap perintah dan menjauhi setiap larangan Allah. Barangsiapa yang luput dari syukur semacam ini, maka dialah yang tertipu.” (Dinukil dari Fathul Bari, 11/230)

Rizki Tidak Hanya Identik dengan Uang

Andai kita dan seluruh manusia bersatu padu membuat daftar nikmat Allah, niscaya kita akan mendapati kesulitan. Allah Ta’ala berfirman,

وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَتَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا إِنَّ الإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ( إبراهيم

“Dan Dia telah memberimu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat lalim dan banyak mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34).

Bila semua yang ada pada kita, baik yang kita sadari atau tidak, adalah rizki Allah tentu semuanya harus kita syukuri.
Namun bagaimana mungkin kita dapat mensyukurinya bila ternyata mengakuinya sebagai nikmat atau rejeki saja tidak?

Saudaraku! kita pasti telah membaca dan memahami bahwa kunci utama langgengnya kenikmatan pada diri anda ialah sikap syukur nikmat.

Dalam ayat suci Al Qur’an yang barangkali kita pernah mendengarnya disebutkan,

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim: 7).

Alih-alih mensyukuri nikmat, menyadarinya saja tidak.
Bahkan dalam banyak kesempatan bukan hanya tidak menyadarinya, akan tetapi malah mengingkari dan mencelanya.
Betapa sering kita mencela angin, panas matahari, hujan dan berbagai nikmat Allah lainnya?

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Al Fudhail bin ‘Iyadh mengisahkan:

“Pada suatu hari Nabi Dawud ‘alaihissalam berdoa kepada Allah: Ya Allah, bagaimana mungkin aku dapat mensyukuri nikmat-Mu, bila ternyata sikap syukur itu juga merupakan kenikmatan dari-Mu? Allah menjawab doa Nabi Dawud ‘alaihissalam dengan berfirman: “Sekarang engkau benar-benar telah mensyukuri nikmat-Mu, yaitu ketika engkau telah menyadari bahwa segala nikmat adalah milikku.” (Dinukil dari Tafsir Ibnu Katsir)

Imam As Syafii berkata,

“Segala puji hanya milik Allah yang satu saja dari nikmat-Nya tidak dapat disyukuri kecuali dengan menggunakan nikmat baru dari-Nya. Dengan demikian nikmat baru tersebutpun harus disyukuri kembali, dan demikianlah seterusnya.” (Ar Risalah oleh Imam As Syafii 2)

Wajar bila Allah Ta’ala menjuluki manusia dengan sebutan “sangat lalim dan banyak mengingkari nikmat, sebagaimana disebutkan pada ayat di atas dan juga pada ayat berikut,

وَهُوَ الَّذِي أَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ إِنَّ الْإِنسَانَ لَكَفُورٌ

“Dan Dialah Allah yang telah menghidupkanmu, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (lagi), sesungguhnya manusia itu, benar-benar sering mengingkari nikmat.” (QS. Al Hajj: 66)

Artinya di sini, rizki Allah amatlah banyak dan tidak selamanya identik dengan uang. Hujan itu pun rizki, anak pun rizki dan kesehatan pun rizki dari Allah.

Surga dan Neraka pun Rizki yang Kita Minta

Sebagian kita menyangka bahwa rizki hanyalah berputar pada harta dan makanan.
Setiap meminta dalam do’a mungkin saja kita berpikiran seperti itu.
Perlu kita ketahui bahwa rizki yang paling besar yang Allah berikan pada hamba-Nya adalah surga (jannah). Inilah yang Allah janjikan pada hamba-hamba-Nya yang sholeh.

Surga adalah nikmat dan rizki yang tidak pernah disaksikan oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah tergambarkan dalam benak pikiran.

Setiap rizki yang Allah sebutkan bagi hamba-hamba-Nya, maka umumnya yang dimaksudkan adalah surga itu sendiri.
Hal ini sebagaimana maksud dari firman Allah Ta’ala,

لِيَجْزِيَ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

“Supaya Allah memberi Balasan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh. mereka itu adalah orang-orang yang baginya ampunan dan rezki yang mulia.” (QS. Saba’: 4)

وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَيَعْمَلْ صَالِحًا يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا قَدْ أَحْسَنَ اللهُ لَهُ رِزْقًا

“Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya Allah memberikan rezki yang baik kepadanya.” (QS. Ath Tholaq: 11)

Teruslah bersyukur atas nikmat dan rizki yang Allah beri, apa pun itu meskipun sedikit.
Yang namanya bersyukur adalah dengan meninggalkan saat dan selalu taat pada Allah. Abu Hazim mengatakan,

“Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah, itu hanyalah musibah.” Mukhollad bin Al Husain mengatakan, “Syukur adalah dengan meninggalkan maksiat.” (‘Iddatush Shobirin, hal. 49, Mawqi’ Al Waroq)

Wallahu waliyyut taufiq

menjadikan kiai sebagai panutan sekalipun bertentangan dengan al quran dan as-sunnah ?

Alloh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita agar melaksakan taat kepada Alloh dan Rosul-Nya. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh, taatilah Rosul-Nya dan pemimpin kalian.” (An Nisa’: 59)

Para ulama menjelaskan ayat di atas bahwa ketaatan kepada Alloh dan Rosul-Nya merupakan ketaatan yang mutlak, sedangkan ketaatan kepada makhluk itu tergantung pada ketaatan kepada Alloh dan Rosul-Nya.

Jika makhluk itu mengajak kepada perbuatan maksiat kepada Alloh dan Rosul-Nya, maka kita tidak boleh mengikutinya.

Karena tidak ada taat kepada makhluk dalam maksiat kepada Alloh dan Rosul-Nya. Sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam,

“Tidak ada ketaatan kepada siapa pun dalam maksiat kepada Alloh, ketaatan hanyalah dalam perkara yang baik menurut syariat.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Tetapi apa yang terjadi pada kaum muslimin?
Di antara mereka ada yang menentang perintah Alloh dan Rosul-Nya, menentang Al Qur’an, menentang sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam padahal dalil tersebut sudah jelas bagi mereka.

Mereka lebih memilih pendapat pemimpin golongan mereka, orang yang mereka anggap sebagai wali, pendapat Pak Kyai atau orang alim meskipun jelas-jelas pendapat tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Sampai-sampai mereka menghalalkan sesuatu yang Alloh Ta’ala haramkan, dan mengharamkan sesuatu yang Alloh Ta’ala halalkan demi mengikuti pendapat seseorang.

Karena inilah mereka telah menjadikan tuhan-tuhan selain Alloh Ta’ala. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya,

“Mereka jadikan orang-orang alim dan rahib-rahib(pendta-pendeta) mereka sebagai Tuhan selain Alloh.” (At Taubah: 31)

Kami Tidak Menyembah Mereka

Ketika mendengar ayat ini dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, sahabat Adi bin Hatim rodhiyallohu ‘anhu yang dulu beragama nasrani berkata,

“Sesungguhnya kami tidak menyembah mereka”.

Kemudian Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata,

“Bukankah mereka mengharamkan yang Alloh halalkan kemudian kalian ikut mengharamkannya, dan mereka menghalalkan yang Alloh haramkan kemudian kalian ikut menghalalkannya?

” Kemudian sahabat Adi bin Hatim rodhiyallohu ‘anhu menjawab, “Ya!” Rosululloh berkata, “Itulah bentuk peribadatan kalian kepada mereka.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).

Inilah yang disebut syirik dalam ketaatan.

Oleh karena itu, Syaikh Muhammad At-Tamimy rohimahulloh Ta’ala memasukan hadits di atas dalam Kitab Tauhid karya beliau pada bab:

Barang siapa yang menaati ulama dan pemimpin dalam mengharamkan yang dihalalkan oleh Alloh dan menghalalkan yang diharamkan oleh Alloh, maka dia telah menjadikannya sebagai tuhan-tuhan selain Alloh.

Marah Karena Alloh Ta’ala

Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma berkata,

“Hujan batu dari langit akan segera menimpa kalian. Aku katakan, ‘Rosululloh berkata demikian-demikian’, namun kalian mengatakan, ‘Abu Bakar dan Umar berkata demikian’.” Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma marah karena ada yang menentang perkataan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan Abu Bakar dan Umar rodhiyallohu ‘anhuma. Padahal Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam menginformasikan bahwa mereka berdua termasuk penghuni surga, bahkan Abu Bakar dan Umar rodhiyallohu ‘anhuma adalah orang yang paling utama di antara umat ini dan orang yang pendapat-pendapatnya lebih mendekati kebenaran.

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Jika kalian mentaati Abu Bakar dan Umar, kalian akan mendapat petunjuk.” (HR Muslim).

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

“Kalian wajib mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku, peganglah dan gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Abi Hatim, shohih)

Jadi apabila ada yang menentang perkataan atau hadits Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan Abu Bakar dan Umar saja terlarang, bagaimana lagi jika menentang hadits Rosululloh dengan pendapat atau perkataan selain mereka berdua?

Tentunya lebih terlarang lagi. (Lihat Al Qoulul Mufid 2/88-89).

Perkataan Ulama’ Tentang Menentang Hadits

1. Imam Abu Hanifah rohimahullohu

1. “Tidak halal bagi seorang pun untuk mengambil perkataan kami jika dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya”.

2. “Jika saya menyampaikan perkataan yang bertentangan dengan Kitabulloh dan hadits Rosululloh, maka tinggalkanlah perkataanku”.

2. Imam Malik rohimahullohu

1. “Sesungguhnya saya hanyalah manusia, kadang salah dan kadang benar, maka telitilah pendapatku. Yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah ambillah dan yang tidak sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah tinggalkanlah”.

2. “Pendapat semua orang dapat diterima atau ditolak kecuali perkataan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam”.

3. Imam Syafi’i rohimahullohu

1. “Jika suatu hadits itu shohih, maka itulah pendapatku”.

2. “Seluruh kaum muslimin sepakat bahwa jika ada yang mengetahui hadits Rosululloh, maka dia tidak boleh meninggalkannya karena mengikuti pendapat seseorang”.

Imam Ahmad rohimahullohu

1. “Janganlah engkau mengekor kepadaku, Malik, Syafi’i, Auza’i, dan Ats-Tsaury. Ambillah dari sumber mereka mengambil”.

2. “Barang siapa menolak hadits Rosululloh maka dia dalam jurang kehancuran”. (Lihat Sifat Sholat Nabi hal 47-53).

Demikianlah perkataan para ulama yang melarang kita menentang hadits Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dengan pendapat seseorang.

Maka sudah sepantasnya bagi kita untuk memperhatikan hal ini.
Hanya kepada Alloh Ta’ala kita memohon supaya kita termasuk orang-orang yang selalu mendahulukan perkataan Alloh dan Rosul-Nya dari pada perkataan manusia, dan menjadikan kita selalu berpegang teguh dengan sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.

Wallohul Musta’an.

WASPADALAH! tanpa kita sadarikita beerbuat menyekutukan allah

Keberadaan ulama dalam umat ini adalah sebuah keberkahan yang akan membawa kebaikan bagi umat.
Ulama adalah pewaris para nabi. Merekalah yang meneruskan estafet dakwah para nabi dalam rangka meninggikan kalimat tauhid di muka bumi.

Akan tetapi, dengan berbagai keutamaan yang terdapat dalam diri seorang ulama, mereka tetaplah berbeda dengan nabi.

Jika nabi itu ma’shum, maka ulama tidaklah ma’shum.
Seorang ulama bisa saja tergelincir dalam suatu permasalahan.
Maka yang wajib bagi kita adalah mengikuti apa yang sesuai dengan Al Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
meskipun kita harus menyelisihi ulama yang tergelincir tersebut, meskipun mengaku keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, betapa pun kita mencintai dan menyanjungnya.

Menjadikan Ulama Sebagai Tandingan Allah

Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah, di antara konsekuensi kalimat syahadat yang selalu kita dengung-dengungkan adalah tunduk dan patuh kepada aturan-aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
menghalalkan apa yang Allah halalkan dan mengharamkan apa yang Allah haramkan.

Maka sebuah kewajiban bagi semua kaum muslimin untuk selalu mendahulukan firman Allah Ta’ala dan sabda Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dari seluruh ucapan manusia di dunia ini setinggi apapun kedudukannya dan semulia apapun nasabnya.

Tidak boleh kita taklid buta kepada seseorang sampai-sampai ketika beliau tergelincir dalam suatu permasalahan, maka kita tetap mengikuti ketergelinciran beliau dan melupakan firman Allah Ta’ala dan sabda Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang kaum nasrani dan yahudi,

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah” (QS. At Taubah : 31)

Ayat ini ditafsirkan dengan hadits Adi bin Hatim Ath Thoo-i radhiyallahu ‘anhu dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat tersebut kepada beliau. Kemudian beliau berkata : “Wahai Rasulullah, kami tidaklah beribadah kepada mereka”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أليس يحلون لكم ما حرم الله فتحلونه، ويحرمون ما أحل الله فتحرمونه؟

“Bukankah mereka menghalalkan untuk kalian apa yang Allah haramkan sehingga kalianpun menghalalkannya, dan mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan sehingga kalian mengharamkannya?”. Beliau (Adi bin Hatim) berkata : “Benar”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فتلك عبادتهم

“Itulah (yang dimaksud) beribadah kepada mereka”[1]

Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah mengatakan : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits tersebut menafsirkan bahwa maksud “menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah”

bukanlah maknanya ruku’ dan sujud kepada mereka.
Akan tetapi maknanya adalah mentaati mereka dalam mengubah hukum Allah dan mengganti syari’at Allah dengan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

Perbuatan tersebut dianggap sebagai bentuk beribadah kepada mereka selain kepada Allah dimana mereka menjadikan para ulama dan ahli ibadah tersebut sebagai sekutu-sekutu bagi Allah dalam masalah menetapkan syari’at.

Barangsiapa yang mentaati mereka dalam hal tersebut, maka sungguh dia telah menjadikan mereka sebagai sekutu-sekutu bagi Allah dalam menetapkan syari’at serta menghalalkan dan mengharamkan sesuatu. Ini adalah syirik besar”[2]

Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh rahimahullah mengatakan : “Hadits tersebut adalah dalil bahwa mentaati ulama dan ahli ibadah dalam bermaksiat kepada Allah adalah bentuk ibadah kepada mereka selain kepada Allah, dan termasuk syirik akbar yang tidak diampuni oleh Allah”[3]

Kemudian Allah Ta’ala berfirman dalam kelanjutan ayat di atas,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا

“Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa” (QS. At Taubah : 31)

Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas : “Yakni Rabb yang jika mengharamkan sesuatu, maka hukumnya haram. Dan apa yang Dia halalkan, maka hukumnya halal. Dan apa yang Dia syari’atkan, maka harus diikuti. Dan apa yang Dia tetapkan, maka harus dilaksanakan”[4]

Hal ini menunjukkan bahwa penetapan syari’at, mengharamkan dan menghalalkan sesuatu, adalah hak mutlak milik Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Lalu Allah Ta’ala menutup ayat di atas dengan firman-Nya,

سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (QS. At Taubah : 31)

Akhir ayat tersebut menunjukkan mengikuti seseorang ataupun ulama yang mengharamkan apa yang Allah halalkan dan menghalalkan apa yang Allah haramkan adalah sebuah kesyirikan.

Kenapa? Karena mengikuti ulama yang mengharamkan apa yang Allah halalkan dan menghalalkan apa yang Allah haramkan sama saja mengatakan bahwa ulama tersebut berhak untuk mengharamkan dan menghalalkan sesuatu padahal hak menghalalkan dan mengharamkan sesuatu adalah hak mutlak Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Hakikatnya sama saja ia membuat tandingan/sekutu bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam menetapkan syari’at. Inilah yang disebut dengan asy syirku fit tha’ah, syirik dalam hal ketaatan.

Apakah pelakunya otomatis kafir?

Orang yang mengikuti ketergelinciran ulama dalam mengharamkan apa yang Allah Ta’ala halalkan dan sebaliknya tidak boleh langsung dicap kafir.

Akan tetapi dalam masalah ini ada perincian sehingga hukumnya berbeda-beda tergantung individunya.

Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah memberikan perincian dalam masalah ini :

1. Jika dia meyakini bahwa menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal adalah sebuah perkara yang diperbolehkan, maka ini adalah syirik akbar yang mengeluarkan pelakunya keluar dari Islam

2. Jika dia tidak meyakini bolehnya perbuatan tersebut, tetapi meyakini bahwa menghalalkan dan mengharamkan adalah hak milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi dia melakukannya karena dorongan hawa nafsunya, atau karena ingin mewujudkan beberapa maslahat, maka ini adalah dosa besar tetapi tidak sampai derajat syirik akbar[5]

Bahaya meninggalkan hadits Rasulullah demi mengikuti pendapat seseorang

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata : “Hampir saja batu jatuh dari langit menimpa kalian. Aku mengatakan : ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda’. Tetapi kalian mengatakan : ‘Abu Bakar dan Umar berkata?’ “[6]

Imam Ahmad rahimahullah mengatakan : “Aku heran terhadap orang yang mengetahui sanad suatu hadits dan keshahihannya, tetapi mereka berpaling kepada pendapat Sufyan (Ats Tsauri). Allah Ta’ala berfirman,

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” (QS. An Nuur : 63)

Apakah engkau tahu apa yang dimaksud ‘fitnah’? Fitnah adalah kesyirikan. Bisa jadi jika dia membantah sebagian sabda Rasulullah maka kesesatan akan tertanam di hatinya hingga akhirnya dia binasa”[7]

Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah mengatakan : “Orang yang sengaja membantah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena mengikuti hawa nafsunya atau karena fanatik terhadap syaikhnya yang ia taklid kepadanya, maka (berdasarkan surat An Nuur di atas) ia diancam dengan dua hukuman :

1. Kesesatan yang bercokol di hati. Ketika mereka berpaling dari Al Qur’an dan tidak mau mempelajarinya, maka Allah akan membuat hati-hati mereka berpaling dari kebenaran sebagai hukuman atas mereka. Ini adalah bahaya yang sangat besar

2. Tertimpa adzab yang pedih yang dirasakan jasad mereka, yakni dengan terbunuh di dunia. Dimana Allah akan memberikan orang lain keleluasaan untuk membinasakan dirinya dan membunuhnya sebagai bentuk hukuman bagi mereka. Jikapun mereka mati bukan karena dibunuh, maka mereka akan diadzab di neraka (akibat penyelisihan mereka terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). [8]

Penutup

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, sungguh musibah taklid buta telah tersebar saat ini di masyarakat kita.
Mereka lebih mendahulukan pendapat ustadz, ulama, kiyai, atau habib kesayangan mereka dibandingkan firman Allah Ta’ala dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah tidaklah membuat mereka meninggalkan adat kebiasaan yang tidak sesuai dengan keduanya.
Maka hendaklah kita semua takut akan ancaman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut ini:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” (QS. An Nuur : 63)

فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik” (QS. Ash Shaff : 5)

Hanya kepada Allah-lah kita memohon perlindungan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kita taufik untuk selalu berpegang teguh kepada Al Qur’an dan As Sunnah dan meninggalkan pendapat manusia siapapun dia jika bertentangan dengan keduanya. Wallahu waliyyut taufiq

Jumat, Januari 13, 2012

MEMEGANG TEGUH ALQURAN DAN AS-SUNAH

Keterpurukan dan kondisi umat
Islam saat ini, bukan disebabkan
karena kehebatan dan kemajuan
umat lain.

Namun disebabkan oleh
kesalahan kita sendiri dalam
memilih cara hidup yang tidak sesuai dengan tuntunan Islam.

Sebagian pemuka agama ada
yang berperilaku seperti perilaku
pemuka agama Yahudi dan
Nasrani.
Mereka menyembunyikan yang
haq, karena alasan yang bersifat
pribadi.
Bahkan sebagian yang
lain menyembunyikannya karena
alasan rejeki.
Padahal Ar Razaq
itu hanya Allah swt.
Bagaimana dapat memperoleh rejeki yang barakah kalau jalannya dengan
menyembunyikan yang haq?

Sebagian yang lain suka
mencampur adukkan yang haq
dan yang batil.
Sehingga umat tidak bisa melihat dengan jelas mana yang halal dan mana yang haram.

Kebenaran yang seharusnya disampaikan dengan
jelas menjadi kabur, kelihatan
samar-samar.

Sedangkan sebagian besar
rakyat jelata malas mempelajari
kebenaran langsung dari sumbernya Al Qur’ an dan As Sunnah.

Sehingga apa yang mereka dapatkan kebatilan yang dipoles sehingga seolah-olah nampak benar.

Yang mereka jadikan rujukan hanya mitos, tradisi, dan pendapat para kyai, bukan Al Qur’ an dan As Sunnah.

Padahal siapa yang dapat
menjamin kebenaran dari
ketiganya?
Tidak ada sama
sekali.
Apalagi sebagian yang lain lebih
suka hiburan, foya-foya, dan
memuaskan hawa nafsu dari
pada menuntut ilmu.

Panggung-panggung hiburan yang
menampilkan para penyanyi ndhang ndhut selalu dipenuhi
oleh anak-anak muda, laki-laki
maupun perempuan yang
bercampur baur.

Sedang pengajian yang mengajarkan Al Qur’ an dan As Sunnah mereka abaikan begitu saja.

Mereka tidak suka dibimbing untuk
menjadi bangsa yang maju
terpimpin.
Mereka lebih suka
hidup bebas untuk memuaskan
hawa nafsu.

Maka tidak heran kalau yang
kita lihat bukan kemajuan tapi
kemerosotan,
bukan prestasi tapi dekadensi,
bukan kehidupan yang aman, tenteram, damai, dan sejahtera, tetapi kehidupan yang resah, gelisah, penuh
kebencian dan kedengkian.

Bagaimana kita dapat
memperbaiki-nya?
Sudahkah kita terlambat untuk berbuat?

Tidak ada kata terlambat untuk
bertaubat.

Selama hayat masih dikandung badan, sebelum nyawa sampai di tenggorokan, Allah
tetap akan menghargai
pertaubatan kita.

Sebagai orang awam sebaiknya segera kita berusaha untuk mempelajari Al Qur’ an dan As Sunnah, sehingga tidak mudah tertipu dan tersesat dalam beramal.

Rasulullah saw berwasiat dalam
sebuah hadist riwayat Ibnu Abdil
Barr :

“Aku telah meninggalkan kepadamu dua perkara yang
kamu tidak akan sesat selama
kamu berpegang teguh kepada
keduanya, yaitu Kitab Allah dan
Sunnah Nabi-Nya.”

Apa yang kita fahami dari Al Qur’ an dan As Sunnah segera kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Amalan inilah yang memungkinkan
terjadinya proses perubahan
karakter kita yang jelek manjadi
baik, malas menjadi rajin, kikir menjadi dermawan, isyrak
menjadi ikhlas.

Dalam hadist yang diriwayatkan
oleh Imam Hakim dari Hudzaifah

Rasulullah saw berpesan: Duru
ma’ a kitabillahi haitsu ma dara (Hendaklah kamu sekalian
beredar bersama kitab Allah
kemana saja dia beredar).

Rasulullah saw mengajak kita
semua untuk senantiasa
mengikuti Al Qur’ an.

Menjadikan Al Qur’ an sebagai imam kita dan pemberi arah gerak kita.
Dan menjadikannya sebagai rujukan
atas kebenaran, karena Al
Qur’ an tidak pernah tersentuh oleh kebatilan, baik dari depan
maupun dari belakangnya
(QS 41: 42).

Dan Al Qur’ an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang
diberkati, maka ikutilah dia dan
bertakwalah agar kamu diberi
rahmat (TQS 6: 155)

Ayat yang dikutip di atas
mengingatkan kepada kita semua
untuk mengikutinya,
mengikutiaturan, tata kehidupan dan nilai-nilai moral yang diajarkan Allah di dalamnya dan mengingatkan kita untuk bertakwa agar kita
mendapatkan kasih sayang-Nya.

Begitu pentingnya bertakwa
sehingga beliau saw juga
berpesan:

“Ittaqillaha haitsu ma kunta” (bertakwalah kepada Allah dimana saja kamu berada.)

Umat ini terpuruk dan hina
karena jauh dari cinta dan kasih
sayang-Nya.

Untuk itu hanya dengan kembali bertaat kepada- Nya dan mengikuti sunnah nabi- Nya kita akan mendapatkan
cinta dan kasih sayangnya (QS 3:
31).

Bahkan dengan jalan
berbuat taat kepada Allah dan
Rasul-Nya inilah kita akan
mendapatkan kemenangan yang besar (QS 4: 13).

Akan tetapi sebaliknya kalau kita durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya yang akan kita peroleh tiada lain
kecuali neraka dan siksa yang
menghinakan (QS 4: 14).

Sebagai tokoh masyarakat,
pemuka agama, atau orang yang
dituakan di lingkungannya,
hendaklah kita berusaha untuk
senantiasa meningkatkan
kualitas moral dan intelektual kita masing-masing.

Dengan senantiasa mengoreksi pikiran, ucapan, dan amalan kita dengan ayat-ayat Al Qur’ an dan As Sunnah.

Apa yang sesuai kita
syukuri dengan terus
meningkatkan diri dan apa yang
tidak sesuai segera kita
tinggalkan.

Dunia ini bergerak dengan cepat,
anak muda maju dengan pesat
didukung oleh berbagai fasilitas
baru seperti CD, komputer,
televisi, dan internet.

Sebagai
orang tua kalau kita tidak bergerak maju, merasa cukup
ilmu yang dimiliki, maka kita akan
tertinggal dari yang muda.

Bukan masanya lagi kita
memperdebatkan khilafiyyah.
Dengan semangat kembali kepada Al Qur’ an dan As Sunnah, mari kita saling menghormati.

Lana a’ maluna walakum a’malukum.

Mari kita saling bekerja-sama, kalau memang tidak bisa mari kita sama-sama bekerja

AWAS!!!! fanatik buta kepada habib atau kiai

Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam membacakan firman
Allah berikut ini; 

"Mereka
menjadikan para pendeta, dan
rahib-rahibnya sebagai tuhan
selain Allah...(QS. At Taubah : 31),

Adi bin Hatim berkata: "Kami dulu
orang-orang Nasrani tidak
menyembah mereka [para
pendeta dan pemuka agama
Nasrani].
Kemudian Rasulullah
berkata : 

"Bukankah mereka
menghalalkan apa yang
diharamkan Allah dan
mengharamkan apa yang
dihalalkan Allah, lalu kalian
mengikutinya ?
Jawab Adi bin Hatim : "Ya, benar.

Kata Nabi : "Itulah bentuk
penyembahan [kalian]
terhadap mereka" . (HR. Tirmidzi dari Adi bin Hatim). *Adi
bin Hatim sebelum masuk Islam,
beliau dahulunya beragama
Nasrani.

Fanatik terhadap kyai, Habib,
ulama, atau ustadz memang
telah mendarah daging dalam
tubuh umat ini. Yang jadi masalah
bukanlah sekedar mengikuti
pendapat orang yang berilmu.

 Namun yang menjadi masalah
adalah ketika pendapat para
ulama tersebut jelas-jelas
menyelisihi Al Qur’ an dan As Sunnah tetapi dibela mati-matian.

Yang penting kata mereka ‘ sami’ na wa atho’ na’ (apa yang dikatakan oleh kyai kami, tetap
kami dengar dan kami taat).

Entah pendapat kyai tersebut
merupakan perbuatan syirik
atau bid’ ah, yang penting kami tetap patuh kepada guru-guru
kami.

Fenomena Fanatik Buta Fanatik -dalam bahasa Arab
disebut ta’ ashub - adalah sikap mengikuti seseorang tanpa
mengetahui dalilnya, selalu
menganggapnya benar, dan
membelanya secara membabi
buta.


Fanatik terhadap kyai,
ustadz, atau ulama bahkan kelompok tertentu telah terjadi
sejak dahulu seperti yang terjadi
di kalangan para pengikut
madzhab (ada 4 madzhab yang
terkenal yaitu Hanafi, Hanbali,
Maliki, dan Syafi’ i).

Di mana para pengikut madzhab tersebut
mengklaim bahwa kebenaran
hanya pada pihak mereka
sendiri, sedangkan kebathilan
adalah pada pihak (madzhab)
yang lain.

Banyak contoh yang dapat
diambil dari para pengikut
madzhab tersebut.

Di antara
contoh perkataan bathil di
antara mereka adalah ucapan


Abul Hasan Al Karkhiy Al Hanafi (seorang tokoh fanatik di
kalangan Hanafiyyah). 
Beliau
mengatakan, 

“Setiap ayat dan hadits yang menyelisihi penganut
madzhab kami (Hanafiyyah),
maka harus diselewengkan
maknanya atau dihapus
hukumnya.

” Syaikh Al Albani rahimahullah juga
mengisahkan, bahwa ada
seorang bermadzhab Hanafiyah
mengharamkan pria dari
kalangan mereka menikah
dengan wanita bermadzhab Syafi’ iyah, kecuali wanita tadi diposisikan sebagai wanita ahli kitab dianalogikan dengan wanita
Yahudi dan Nasrani!!
Hal ini masih
terjadi hingga sekarang.

Seperti
ada seorang bermadzhab Hanafi
dan dia begitu takjub dengan seorang khotib masjid Bani
Umayyah di Damaskus, dia
mengatakan, 

“Andaikan khotib tadi bukan bermadzhab Syafi’ i, niscaya aku akan nikahkan dia
dengan anak perempuanku!”

Imam Adz Dzahabi dalam Siyar
A’ lam Nubala’ juga menceritakan, bahwa Abu Abdillah Muhammad
bin Fadhl Al Farra’ pernah menjadi imam sholat di masjid
Abdullah selama 60 puluh tahun
lamanya.
Beliau bermadzhab
Syafi’ i dan melakukan qunut shubuh. Setelah itu imam sholat
diambil alih oleh seseorang yang
bermadzhab Maliki dan tidak
melakukan qunut shubuh.
 Karena hal ini menyelisihi tradisi
masyarakat setempat, akhirnya mereka bubar meninggalkan imam yang tidak melakukan qunut shubuh ini, seraya
berkomentar, 

“Sholat imam tersebut tidak becus !!!”.

Inilah contoh yang terjadi di
kalangan pengikut madzhab.
Begitu juga yang terjadi pada
umat Islam sekarang ini, banyak
sekali di antara mereka membela
secara mati-matian pendapat dari ulama atau guru-guru mereka (seperti membela
kesyirikan, kebid’ ahan, atau perbuatan haram yang dilakukan
guru-guru tersebut), padahal
jelas-jelas bertentangan dengan
ayat dan hadits yang shohih.

Mempertentangkan
Perkataan Allah dan Rasul-
Nya dengan Perkataan
Kyai/Ulama. Banyak dari umat Islam saat ini,
apabila dikatakan kepada
mereka,

“Allah telah berfirman” atau kita sampaikan “Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa sallam telah bersabda …” , mereka malah menjawab, “Namun, kyai/ustadz kami berkata demikian …” .

Apakah mereka belum pernah
mendengar firman Allah (yang
artinya), 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya” (Al Hujurat : 1)

 Yaitu janganlah kalian mendahulukan
perkataan siapapun dari
perkataan Allah dan Rasul-Nya.

Dan perhatikan pula ayat
selanjutnya dari surat ini. Allah
Ta’ ala berfirman (yang artinya), 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan
suaramu melebihi suara Nabi, dan
janganlah kamu berkata
kepadanya dengan suara yang
keras, sebagaimana kerasnya
suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak
hapus (pahala) amalanmu,
sedangkan kamu tidak
menyadari.” (Al Hujurot : 2). 

Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam
I’ lamul Muwaqi’ in mengatakan, “Apabila mengeraskan suara mereka di atas suara Rasul
saja dapat menyebabkan
terhapusnya amalan
mereka.

Lantas bagaimana
kiranya dengan
mendahulukan pendapat, akal, perasaan, politik, dan
pengetahuan di atas ajaran
rasul. Bukankah ini lebih
layak sebagai penghapus
amalan mereka “ Ibnu ‘ Abbas radiyallahu ‘ anhuma mengatakan, 

“Hampir saja kalian akan dihujani hujan batu dari
langit. Aku ,‘ 
Rasulullah bersabda demikian lantas
kalian membantahnya
dengan mengatakan, ‘ Abu Bakar dan Umar berkata
demikian.’ “ (Shohih. HR. Ahmad) .

Dari perkataan ini, wajib bagi
seorang muslim jika dia
mendengar hadits Nabi shallallahu
‘ alaihi wa sallam dan dia paham maksudnya/penjelasannya dari
ahli ilmu, tidaklah boleh bagi dia
menolak hadits tersebut karena
perkataan seorang pun. 

Tidak boleh dia menentangnya karena
perkataan Abu Bakar dan Umar - radiyallahu ‘ anhuma- (yang telah kita ketahui bersama kedudukan
mereka berdua), atau sahabat
Nabi yang lain, atau orang-orang
di bawah mereka, apalagi dengan
perkataan seorang kyai atau
ustadz. 

Dan para ulama juga telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah
mendapatkan penjelasan dari
hadits Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa sallam, maka tidak boleh
baginya meninggalkan hadits
tersebut dikarenakan perkataan
seorang pun, siapa pun dia.

Dan perkataan seperti ini selaras
dengan perkataan Imam Syafi’ i - semoga Alloh merahmati beliau-.
Beliau rahimahullah mengatakan;

“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang
telah jelas baginya ajaran
Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa sallam, maka tidak halal
baginya untuk
meninggalkannya karena
perkataan yang lainnya.” (Madarijus Salikin, 2/335, Darul
Kutub Al ‘ Arobi. Lihat juga Al Haditsu Hujjatun bi Nafsihi fil
‘ Aqoid wal Ahkam, Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 79, Asy
Syamilah)

Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa sallam juga bersabda, 

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya Musa hadir di
tengah kalian dan kalian
mengikutinya dan
meninggalkanku, maka
sungguh kalian telah tersesat dari jalan yang
lurus. 
Sekiranya Musa hidup
kembali dan menjumpai
kenabianku, dia pasti
mengikutiku.” (Hasan, HR. Ad Darimi dan Ahmad).

Maksudnya apabila kita
meninggalkan sunnah Nabi dan
mengikuti Musa, seorang Nabi
yang mulia yang pernah diajak
bicara oleh Allah, maka kita akan
tersesat dari jalan yang lurus. Lantas bagaimana pendapat
saudara sekalian, apabila kita
meninggalkan sunnah Nabi dan
mengikuti para kyai, habib, tokoh
agama, ustadz, mubaligh,
cendekiawan dan sebagainya yang sangat jauh bila
dibandingkan Nabi Musa ‘ alaihis salaam??! 

Renungkanlah hal ini. Dampak Fanatik Buta Fanatik memunculkan berbagai
dampak negatif yang sangat
berbahaya bagi pribadi secara
khusus dan masyarakat secara
umum.

Berikut ini kami paparkan
beberapa dampak yang terjadi karena fanatik buta.

[1] Memejamkan mata
dari dalil yang kuat dan
berpegang dengan dalil
yang rapuh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah mengatakan,
“Mayoritas orang-orang fanatik madzhab tidak
mendalami Al Qur’ an dan As Sunnah kecuali segilintir
orang saja. 
Sandaran mereka hanyalah hadit-
hadits yang rapuh atau
hikayat-hikayat dari para
tokoh ulama yang bisa jadi benar dan bisa jadi bohong.”

[2] Merubah dalil untuk
membela pendapatnya Contohnya adalah atsar tentang qunut shubuh yang
diriwayatkan oleh Ahmad,
Ibnu Majah, Tirmidzi, dan
beliau menshahihkannya. Dari
Malik Al Asyja’ i radiyallahu ‘ anhu berkata, 

“Saya pernah bertanya kepada
ayahku,’ 

Wahai ayahku! Sesungguhnya engkau
pernah sholat di belakang
Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali di sini -di
Kufah-. Apakah mereka
melakukan qunut shubuh?’ 

Jawab beliau,’ 
Wahai anakku, itu merupakan perkara
muhdats (perkara baru yang
diada-adakan dalam agama -
pen)’ “ . 

Tetapi seorang tokoh
bermadzhab Syafi’ i di Mesir malah mengganti hadits
tersebut dengan lafadz yang
artinya, 

‘ Wahai anakku, ceritakanlah (kata muhdats diganti dengan fahaddits
yang berarti ceritakanlah-
pen) [!]‘ 

Dan tokoh ini juga mengatakan, 

“Sholatnya orang yang meninggalkan
qunut shubuh secara
sengaja, maka sholatnya
batal yaitu tidak sah.”

 Sungguh perbuatan tokoh ini
dikarenakan sikap fanatik
beliau pada madzhabnya
yang mengakar kuat pada
dirinya. 

Tetapi lihatlah
perbedaan yang sangat menonjol dengan orang yang
mengikuti kebenaran,
walaupun madzhabnya sama
dengan tokoh fanatik di
atas. 

Beliau -Abul Hasan Al
Kurjiy Asy Syafi’ i- tidak pernah melakukan qunut
shubuh dan beliau pernah
berkata,”Tidak ada hadits shohih tentang hal itu (yaitu
qunut shubuh,-pen).”

[3] Sering memalsukan
hadits Di antara hadits palsu hasil
rekayasa orang-orang yang
fanatik madzhab untuk
membela madzhabnya, yaitu
dari Ahmad bin Abdilllah bin
Mi’ dan dari Anas secara marfu’ :

 “Akan datang pada umatku seorang yang
bernama Muhammad bin Idris
(yakni Imam Syafi’ i-pen), dia lebih berbahaya bagi umatku daripada Iblis. Dan akan datang pada umatku
seorang bernama Abu
Hanifah, dia adalah pelita
umatku”.

 Hadits ini selain palsu, juga
bertentangan dengan nash
yang menyatakan bahwa
pelita umat ini adalah Nabi
Muhammad shollallohu ‘ alaihi wa sallam, sebagaimana yang
terdapat dalam surat Al
Ahzab ayat 46. 

[4] Menfatwakan bahwa
taqlid hukumnya wajib Para fanatisme madzhab atau kelompok akan
menyerukan kepada
pengikutnya tentang
kewajiban taqlid yaitu
mengambil pendapat seseorang tanpa mengetahui dalilnya.

 Hal ini sebagaimana yang
diwajibkan organisasi Islam
terbesar di Indonesia. Salah
seorang tokoh organisasi
tersebut mengatakan,
“Sejak ratusan tahun yang lalu sampai sekarang
sebagian besar umat Islam di
seluruh dunia yang termasuk
dalam golongan Ahlus Sunnah
wal Jama’ ah membenarkan adanya kewajiban taqlid bagi
orang yang tidak memenuhi
syarat untuk berijtihad …” 

Ini adalah ucapan yang bathil.
Tidak pernah ada kewajiban
seperti ini dari Allah,
Rasulullah, sampai-sampai
imam madzhab sekalipun.
Karena pendapat imam madzhab itu kadangkala
benar dan kadangkala juga
salah. 

Seringkali para imam
madzhab berpegang pada
suatu pendapat dan beliau
meralat pendapatnya tersebut. Dan para imam itu
sendiri melarang untuk taqlid
kepadanya,

sebagaimana
Imam Syafi’ i rahimahullah (imam madzhab yang
organisasi ini ikuti)
mengatakan; 

“Setiap yang aku katakan, kemudian ada
hadits shahih yang
menyelisihinya, maka
hadits Nabi tersebut
lebih utama untuk
diikuti. 

Janganlah kalian taqlid kepadaku”. Janganlah Menolak Kebenaran Sesungguhnya Allah telah
mengutus para rasul untuk
segenap manusia.

Allah mengutus
para rasul untuk mendakwahi
manusia agar mereka beribadah
dan menyembah kepada Allah semata. Akan tetapi kebanyakan
mereka mendustakan rasul-rasul
utusan Alloh itu; mereka tolak
kebenaran yang dibawanya,
yaitu ketauhidan.
Akhirnya mereka pun menemui kebinasaan. Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa sallam bersabda,

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam
hatinya ada kesombongan
meskipun sebesar biji sawi.” Kemudian beliau melanjutkan hadits ini
dengan berkata,
“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan
merendahkan orang
lain.” (HR. Muslim) 

Berdasarkan hadits di atas, tidak
diperbolehkan bagi seorang
mukmin menolak kebenaran atau
nasehat yang disampaikan
kepadanya. 
Karena jika demikian
berarti mereka telah menyerupai orang-orang kafir dan telah
menjerumuskan dirinya ke dalam
sifat sombong yang bisa
menghalanginya masuk surga.
Maka, sikap hikmah (yaitu sikap
menerima kebenaran dan tidak meremehkan siapapun yang
menyampaikannya -pen) menjadi
senjata yang ampuh bagi
seorang mukmin yang selalu siap
digunakan. Maka dari itu, kita
wajib menerima kebenaran dari siapapun datangnya, bahkan dari
setan sekalipun.

Ya Allah, tunjukilah -
dengan izin-Mu- bagi
kami pada kebenaran
dalam perkara yang
kami perselisihkan.
Sesungguhnya Engkaulah yang menunjuki siapa
yang Engkau kehendaki
ke jalan yang lurus.

[Disarikan oleh Abu Isma'il
Muhammad Abduh Tuasikal dari
Majalah Al Furqon ed.11/Th.II, At
Tamhiid li Syarhi Kitaabit Tauhid-
Syaikh Sholeh Alu Syaikh, al
Firqotun Najiyah-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu]

Penulis: Muhammad Abduh
Tuasikal Artikel http://rumaysho.com/ Tulisan di masa silam, wisma MTI,
Pogung Kidul Repost by Anwar Baru Belajar [Gambar buku di atas ; Ditulis
oleh Hartono Ahmad Jaiz dan
Abduh Zulfidar Akaha, penerbit
Pustaka Al Kautsar]


Ilustrasi :

Dialoq antara seorang Kyai
atau Habib dengan seorang
anggota jama'ah pengajian

[sebutlah si fulan].

Fulan : [si fulan berkata kepada Kyai atau Habib] Pak Yai… atau Bib… Tolong saya diberi amalan, yang dengan
amalan itu saya bisa ini… .bisa itu… ..!

Kyai / Habib : Silahkan amalkan bacaan ini…… ..dibaca sekian kali…… .[misalnya 1000 x] Seandainya perintah si Kyai
atau Habib tersebut
menyalahi tuntunan
Rasulullah dan tidak pernah
dicontohkan oleh Rasulullah,
maka si Kyai atau si Habib tersebut telah membuat syari'at baru, dan bagi si fulan yang telah menuruti
perintah si Kyai atau Habib
tersebut secara tidak sadar
telah menuhankannya.

 Yang berhak membuat
syari'at dalam agama
hanyalah Allah.

Adapun melakukan ibadah adalah
dengan cara
ittiba' (mengikuti) Rasulullah dalam beribadah kepada
Allah