Laman

Entri Populer

Tampilkan postingan dengan label ciri ciri munafiq. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ciri ciri munafiq. Tampilkan semua postingan

Rabu, Juli 27, 2011

MENGENAL TANDA MUNAFIQ

Dari Abu Hurairah RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga: bila berbicara, ia berdusta; bila berjanji, ia mengingkari; dan bila diberi kepercayaan (amanah), ia berkhianat.” Muttafaqun ‘alaih. Dari hadits Abdullah bin Umar
disebutkan, “Dan bila berselisih,
ia berbuat fajir.” Pelajaran Hadits 1.Definisi Nifaq Ibn Rajab berkata: “Nifaq secara
bahasa merupakan jenis
penipuan, makar, menampakkan
kebaikan dan memendam
kebalikannya. Secara syari’at terbagi dua:
Pertama, Nifaq Akbar
(Kemunafikan Besar); yaitu
upaya seseorang menampakkan
keimanan kepada Allah SWT, para
malaikat, kitab-kitab, Rasul dan hari akhir, sebaliknya memendam
lawan dari itu semua atau
sebagiannya. Inilah bentuk nifaq
(kemunafikan) yang terjadi pada
masa Rasulullah SAW dan yang
dicela dan dikafirkan para pelakunya oleh al-Qur’an.
Rasulullah SAW menginformasikan
bahwa pelakunya kelak akan
menempati neraka paling bawah. Kedua, Nifaq Ashghar
(Kemunafikan Kecil); yaitu
kemunafikan dalam perbuatan.
Gambarannya, seseorang
menampakkan secara teranga-
terangan keshalihannya namun menyembunyikan sifat yang
berlawanan dengan itu. 2.Pokok-Pokok Nifaq Pokok-pokoknya kembali kepada
beberapa sifat yang disebutkan
dalam hadits-hadits (yang
disebutkan Ibn Rajab dalam
syarah Arba’in, termasuk hadits
yang kita kaji ini), di antaranya: 1. Seseorang berbicara mengenai
sesuatu yang dibenarkan orang
lain padahal ia berdusta. Nabi
SAW bersabda dalam kitab al-
Musnad karya Imam Ahmad,
“Amat besar pengkhianatanya manakala kamu berbicara kepada
saudaramu dengan suatu
pembicaraan di mana ia
membenarkanmu namun kamu
berdusta kepadanya.” 2. Bila berjanji, ia mengingkari. Ini
terbagi kepada dua jenis:
Pertama, seseorang berjanji
padahal di dalam niatannya tidak
ingin menepatinya. Ini merupakan
pekerti paling buruk. Kedua, Berjanji pada dirinya
untuk menepati janji, kemudian
timbul sesuatu, lalu
mengingkarinya tanpa alasan.
Dalam hadits yang dikeluarkan
Abu Daud dan at-Turmudzi dari hadits Zaid bin Arqam, dari nabi
SAW, beliau bersabda, “Bila
seorang laki-laki berjanji dan
berniat menepatinya namun
tidak dapat menepatinya, maka
tidak apa-apa baginya (ia tidak berdosa).” 3. Bila berseteru, ia berbuat fajir.
Makna fujur adalah keluar dari
kebenaran secara sengaja
sehingga kebenaran ini menjadi
kebatilan dan kebatilan menjadi
kebenaran. Dan inilah yang menyebabkannya melakukan
dusta sebagaimana sabda Nabi
SAW, “Berhati-hatilah terhadap
kedustaan, sebab kedustaan
dapat menggiring kepada ke-
fujur-an dan ke-fujur-an menggiring kepada neraka.” Di
dalam kitab ash-Shahihain dari
nabi SAW, beliau bersabda,
“Sesungguhnya laki-laki yang
paling dibenci Allah adalah yang
paling suka berseteru dalam kebatilan.” Dan di dalam sunan
Abi Daud, dari Ibnu ‘Umar, dari
nabi SAW, beliau bersabda,
“Barangsiapa yang berseteru
dalam kebatilan padahal ia
mengetahuinya, maka senantiasalah ia dalam
kemurkaan Allah hingga
menghadapi sakaratul maut.” Di
dalam riwayat lain, “Barangsiapa
yang membantu dalam
perseteruan secara zhalim, maka ia akan mendapatkan kemurkaan
dari Allah.” 4. Bila berjanji, ia mengkhianati
(mengingkari) dan tidak
menepatinya. Padahal Allah SWT
menyuruh agar menepati janji
seraya berfirman, “Dan
penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggung-jawabannya.”
(QS.al-Isra’/17:34) Dan firman-
Nya, “Dan tepatilah perjanjian
dengan Allah apabila kamu
berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah
(mu) itu, sesudah
meneguhkannya sedang kamu
telah menjadikan Allah sebagai
saksimu (terhadap sumpah-
sumpah itu).” (QS.an-Nahl/16:91) Di dalam kitab ash-Shahihain dari
Ibn ‘Umar dari Nabi SAW, beliau
bersabda, “Setiap pengkhianat
akan memiliki panji pengenal pada
hari kiamat, lalu dikatakan; inilah
pengkhianatan si fulan.” Mengkhianati setiap perjanjian
yang terjadi antara seorang
Muslim dan orang lain haram
hukumnya sekali pun orang yang
diajak berjanji itu adalah seorang
kafir. Oleh karena itu, di dalam riwayat
al-Bukhari, dari hadits ‘Abdullah
bin ‘Amr bin al-‘Ash, dari nabi
SAW, beliau bersabda, “Siapa
yang membunuh jiwa yang diberi
perjanjian tanpa hak, maka ia tidak akan mencium bau surga.
Sesungguhnya baunya terasa
dari jarak perjalanan 40 tahun.” Tentunya, perjanjian yang
terjadi di antara sesama Muslim,
harus lebih ditepati lagi dan
membatalkannya merupakan
dosa besar. Bentuk dosa paling
besar dalam hal ini adalah membatalkan perjanjian dengan
imam (pemimpin negara Islam)
yang dilakukan oleh orang-orang
yang mengikuti dan sudah rela
terhadapnya. Di dalam kitab ash-Shahihain, dari
hadits Abu Hurairah RA, dari nabi
SAW, beliau bersabda, “Tiga
orang yang tidak diajak bicara
oleh Allah pada hari Kiamat, tidak
Dia bersihkan diri mereka dan mereka malah akan mendapat
azab yang pedih…” Di dalam
hadits ini, beliau SAW
menyebutkan salah satu dari
mereka, yaitu seorang laki-laki
yang telah membai’at seorang imam, tetapi ia membai’atnya
hanya karena dunia; jika ia (sang
imam) memberinya sesuai dengan
apa yang diinginkannya, maka ia
menepatinya dan bila tidak, maka
ia tidak pernah menepatinya.” Termasuk dalam janji yang wajib
ditepati dan haram dikhianati
adalah seluruh akad seperti jual
beli, pernikahan dan akad-akad
lazim yang wajib ditepati, yang
terjadi di antara sesama Muslim bila mereka saling rela atasnya.
Demikian pula, sesuatu yang
wajib ditepati karena Allah SWT
dari perjanjian hamba dengan
Rabbnya seperti nadzar berbuat
kebajikan dan semisalnya. 5. Bila diberi amanah, ia
berkhianat. Bila seseorang diberi
amanah, maka ia wajib
mengembalikannya. Hal ini
sebagaimana firman Allah SWT,
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak
menerimanya…” (QS.an-
Nisa’/4:58) At-Turmudzi dan Abu Daud
mengeluarkan hadits dari Abu
Hurairah bahwasanya Nabi SAW
bersabda, “Tunaikanlah amanah
kepada orang yang beramanah
kepadamu dan janganlan mengkhianati orang yang
berkhianat kepadamu.” Khianat terhadap amanah
merupakan salah satu sifat
munafik sebagaimana firman Allah
SWT, “Dan di antara mereka ada
orang yang telah berikrar
kepada Allah, sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian
karunia-Nya kepada kami,
pastilah kami akan bersedekah
dan pastilah kami termasuk
orang-orang yang shaleh.[75]
Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari
karunia-Nya, mereka kikir
dengan karunia itu, dan
berpaling, dan mereka
memanglah orang-orang yang
selalu membelakangi (kebenaran). [76]Maka Allah menimbulkan
kemunafikan pada hati mereka
sampai kepada waktu mereka
menemui Allah, karena mereka
telah memungkiri terhadap Allah
apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena
mereka selalu berdusta.[77]”
(QS.at-Taubah/9:75-77) Dan firman-Nya, “Sesungguhnya
Kami telah mengemukakan
amanat (tugas-tugas
keagamaan) kepada langit, bumi
dan gunung-gunung…..” (QS.al-
Ahzab/33:72) Pokoknya, semua Nifaq Ashghar
terpulang kepada adanya
perbedaan antara perkara
tersembunyi (bathiniah) dan
terang-terangan (lahiriah). Al-
Hasan al-Bashori RAH berkata, “Sekelompok Salaf berkata,
‘Kekhusyu’an nifaq hanya
terlihat pada kehusyu’an raga
sedangkan hatinya tidak pernah
khusyu’.” ‘Umar RA berkata, “Sesuatu
yang paling aku khawatirkan dari
kalian adalah Munafiq ‘Alim
(yang berpengetahuan).” Lalu
ada yang bertanya, “Bagaimana
mungkin, seorang munafik memiliki sifat ‘alim.?” Ia
menjawab, “Ia berbicara dengan
penuh hikmah namun melakukan
kezhaliman atau kemungkaran.” Nifaq Ashghar merupakan sarana
melakukan Nifaq Akbar
sebagaimana halnya perbuatan-
perbuatan maksiat adalah
merupakan ‘kotak pos’
kekufuran. Bentuk sifat nifaq ‘amali
(praktis) yang paling besar
adalah manakala seseorang
melakukan suatu perbuatan,
tampak berniat baik namun ia
melakukan itu hanya agar dapat mencapai tujuan yang buruk.
Dengan tipuan itu, ia lantas
mencapai tujuannya, bergembira
dengan makar dan tipuannya
sementara orang-orang
memujinya atas pertunjukan (kepura-puraan) yang
membuatnya sampai kepada
tujuan buruk yang dipendamnya
itu. Manakala di kalangan shahabat
telah ditetapkan bahwa nifaq
adalah adanya perbedaan antara
perkara tersembunyi dan
terang-terangan, maka sebagian
mereka khawatir bila terjadi perubahan hati; konsentrasi,
kekhusyu’an dan
kelembutannya ketika
mendengar adz-Dzikr (al-Qur’an)
dengan menoleh dunia dan sibuk
dengan urusan keluarga, anak dan harta di mana hal itu semua
akan menjadi salah satu bentuk
kemunafikan dari mereka. Karena
itu, Rasulullah SAW sampai
berkata kepada mereka, “Hal itu
bukan termasuk kemunafikan.” 3. Perbedaan Para Ulama Para ulama berbeda pendapat
mengenai hukum menepati janji
dalam 3 pendapat:
PERTAMA, Menepati janji
hukumnya Mustahab (dianjurkan)
, bukan wajib, baik dari aspek keagamaan mau pun penunaian.
Ini adalah pendapat Jumhur
ulama, yaitu tiga imam madzhab;
Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan
Ahmad. Al-Hafizh Ibn Hajar RAH berkata,
“Meriwayatkan hal itu sebagai
ijma’ tidak dapat diterima
(ditolak) sebab perbedaan
mengenainya amat masyhur akan
tetapi yang mengatakan demikian sedikit. Mereka berdalil dengan beberapa
dalil, di antaranya:
1. Hadits yang dikeluarkan Ibn
Majah dan Abu Daud (yang
menilainya Hasan), bahwasanya
nabi SAW bersabda, “Bila salah seorang di antara kamu berjanji
kepada saudaranya sementara di
dalam niatnya akan menepatinya
namun tidak dapat menepatinya,
maka tidak ada dosa baginya.” 2. Bila seorang laki-laki berjanji,
bersumpah dan ber-
istitsna’ (bersumpah dengan
menggunakan kata; insya Allah
setelah sumpah tersebut), maka
menurut nash dan ijma’ pelanggaran terhadap
sumpahnya telah gugur (tidak
dinilai melanggar sumpah). Ini
merupakan dalil gugurnya janji
dari penjanji tersebut. KE-DUA, Tidak harus menepati
janji baik dari aspek keagamaan
mau pun penunaian. Ini adalah
pendapat Ibn Syubrumah, yaitu
madzhab sebagian ulama Salaf
seperti ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, al-Hasan al-Bashori, Ishaq bin
Rahawaih dan Zhahiriah. Pendapat ini berdalil dengan
nash-nash dari al-Qur’an dan
hadits, di antaranya:
1. Firman Allah SWT, “Hai orang-
orang yang beriman, penuhilah
aqad-aqad* itu.” (QS.al- Maa’idah:1) Dan firman-Nya,
“Hai orang-orang yang beriman,
mengapa kamu mengatakan apa
yang tidak kamu perbuat.? Amat
besar kebencian di sisi Allah
bahwa kamu mengatakan apa- apa yang tiada kamu kerjakan.”
(QS.ash-Shaff:3-4), dan ayat-
ayat lainnya. 2. Di dalam kitab ash-Shahihain
dari nabi SAW, beliau bersabda,
“Tanda orang munafiq ada
tiga…” Di antaranya disebutkan:
bila berjanji, ia berdusta. Dengan
begitu, mengingkari perjanjjan merupakan salah satu sifat
orang-orang munafik sehingga ia
diharamkan. 3. Hadits yang dikeluarkan at-
Turmudzi, bahwa nabi SAW
bersabda, “Jangan berdebat
dengan saudaramu, jangan
mencandainya dan berjanji
padanya lalu kemudian kamu mengingkari (melanggar)nya.” KE-TIGA, Merinci; wajib
menepatinya bila janji tersebut
ada sebabnya seperti bila ia
diperintahkan melakukan
pembelian barang atau
melakukan suatu proyek; bila orang yang diberi janji
melakukan tindakan kesalahan,
maka penjanji boleh menarik
janjinya. Dalam hal ini, wajib
memenuhi janji secara
keagamaan mau pun penunaian. Ada pun bila tidak terjadi hal
yang merugikan terhadap orang
yang diberi janji dengan
ditariknya janji tersebut, maka
janji itu tidak lagi menjadi
keharusan. Dalil Pendapat Ini: Bahwa nash-nash syari’at dalam
masalah ini saling bertabrakan.
Dan apa yang disebutkan di atas
adalah cara penggabungan
(sinkronisasi) paling baik. Pendapat Syaikh asy-
Syanqithi Pengarang tafsir “Adhwaa’ al-
Bayaan” di dalam tafsirnya
mengatakan, “Para ulama
berbeda pendapat mengenai
keharusan menepati janji;
sebagian mereka mengatakan, harus memenuhinya secara
mutlak. Sebagian lagi
mengatakan, tidak harus secara
mutlak. Sedangkan sebagian
yang lain, bila dengan berjanji itu
membuat orang yang diberi janji berada dalam kesulitan (bahaya),
maka harus memenuhinya tetapi
bila tidak demikian, maka menjadi
tidak harus lagi. Abu Hanifah dan para
sahabatnya, imam al-Awza’i dan
asy-Syafi’i serta seluruh ulama
fiqih mengatakan, sesungguhnya
tidak ada keharusan apa pun
terhadap janji sebab ia hanya merupakan jasa yang tidak
berada dalam pegangan, sama
seperti masalah ‘Ariyah** yang
bersifat dadakan. Pendapat yang jelas bagiku,
bahwa mengingkari janji tidak
boleh sebab ia merupakan salah
satu tanda kemunafikan akan
tetapi bila penjanji menolak
untuk memenuhi janjinya, maka tidak dapat dituntut hukuman
apa pun terhadapnya dan tidak
harus dipaksa pula. Tetapi ia
mesti diperintahkan untuk
memenuhinya, tidak dipaksa.” Pendapat Ulama
Kontemporer Di antara ulama kontemporer
yang menyatakan keharusan
memenuhi janji adalah Syaikh
Abdurrahman bin Nashir as-
Sa’di, Abdurrahman bin Qasim,
Mushthafa az-Zarqa’, Yusuf al- Qaradhawi dan ulama lainnya. Keputusan Mujamma’ Fiqih Islam Mujamma’ Fiqih Islam di Jeddah
dalam keputusan bernomor 2,
pada daurah ke-5 yang diadakan
di Kuwait periode 1-6 Jumadal
Ula 1409 H memutuskan sebagai
berikut: “Menepati janji menjadi suatu
keharusan bagi penjanji secara
keagamaan kecuali bila ada
‘udzur. Ia harus memenuhinya
dari sisi penunaian bila terkait
dengan sebab dan orang yang diberi janji menghadapi kesulitan
akibat janji tersebut. Pengaruh
komitmen terhadap kondisi ini
dapat dilakukan, baik dengan
cara melaksanakan janji tersebut
atau mengganti kerugian yang timbul secara langsung akibat
tidak dipenuhinya janji tersebut
tanpa ‘udzur.” CATATAN:
* Aqad (perjanjian) mencakup:
janji prasetia hamba kepada Allah
SSWT dan perjanjian yang dibuat
oleh manusia dalam perjanjian
sesamanya ** Ulama fiqih mendefinisikannya,
‘Tindakan pemilik barang yang
membolehkan penggunaan
barang miliknya kepada orang
lain tanpa kompensasi apa
pun.’ [Sayyid Sabiq, Fiqh as- Sunnah-red] (SUMBER: Tawdhiih al-Ahkaam Min
Buluugh al-Maraam karya Syaikh
‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-
Bassam, Jld.VI, hal.311-314)