Laman

Entri Populer

Kamis, Februari 03, 2011

Larangan Duduk, Menembok dan Mencat Kuburan

Tidur di atas kuburan Meninggikan kuburan lebih
dari satu jengkal Sebagian kaum muslimin
meninggikan kubur melebihi dari
hal yang dibolehkan agama. Hal
ini mungkin disebabkan karena
mereka belum memahami
tuntunan agama atau karena ada unsur lain seperti ingin
menunjukkan bahwa orang
tersebut seorang yang mulia. “Dari Abu Hayyaaj al-Asady, ia berkata: Berkata kepadaku Ali
bin Abi Tholib radhiyallahu ‘ anhu: Maukah engkau aku utus untuk
melakukan sesuatu yang aku
juga diutus oleh Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wasallam untuk melakukannya? Jangan engkau tinggalkan sebuah
patung melainkan engkau
hancurkan. Dan tidak pula
kuburan yang ditinggikan
kecuali engkau
datarkan.” [HR.Muslim] “Dari Tsumamah bin Syufai, ia berkata: Aku pernah bersama
Fudholah bin Ubaid di negeri
Romawi ‘ Barudis’ . Lalu meninggal salah seorang teman kami. Maka
Fudholah menyuruh untuk
mendatarkan kuburannya.
Kemudian ia berkata: Aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wasallam menyuruh untuk
mendatarkannya.” [HR.Muslim] Menembok dan mencat
kuburan Di antara kebiasan buruk
yang bisa membawa kepada
sikap pengkultusan kuburan
adalah menembok dan mencat kuburan bahkan
ada yang mengkramik
atau dilapisi Marmer. Di samping hal tersebut
diharamkan dalam agama,
termasuk pula membuang
harta kepada sesuatu yang
tidak ada manfaatnya. Dan
yang lebih ditakutkan adalah akan terfitnahnya orang
awam dengan kuburan
tersebut. Sehingga mereka
menganggap kuburan
tersebut memiliki berkah dan
sakti. Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam telah melarang
dengan tegas menembok dan
mencat kuburan dalam sabda
beliau (yang artinya): “Dari Jabir radhiyallahu ‘ anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wasallam melarang mencat kubur,
duduk diatasnya dan
membangun di
atasnya.” [HR.Muslim] Yang dimaksud dengan
membangun dalam hadits
tersebut adalah umum,
sekalipun hanya berbentuk
tembok saja. Apalagi
membuatkan rumah untuk kuburan dengan biaya
banyak sebagaimana telah
dilakukan sebagian orang-
orang yang jahil. Berkata Imam asy-Syafi’ i rahimahullah: “Aku melihat para ulama di Makkah
menyuruh menghancurkan
apa yang dibangun
tersebut.” Al-Manawy berkata: “Kebanyakan ulama Syafi’ iyyah berfatwa tentang wajibnya
menghancurkan segala
bangunan di Qorofah (tanah
pekuburan) sekali pun kubah
Imam kita sendiri Syafi’ i yang dibangun oleh sebagian
penguasa. Membangun rumah untuk
kuburan. Sebagian orang ada pula
yang mambangunkan rumah
untuk kuburan. Bahkan
kadang kala biayanya cukup
besar. Ini adalah salah satu
bentuk penyia-nyiaan dalam penggunaan harta. Mungkin
orang yang melakukan hal
tersebut berasumsi bahwa si
mayat mendapat naungan
dan nyaman dalam kuburnya.
Sesungguhnya tidak ada yang dapat memberikan
kenyamanan dalam kubur
kecuali amalan sendiri, walau
seindah apa pun kuburan
seseorang tersebut. “Ibnu Umar melihat sebuah tenda di atas kubur
Abdurrahman. Maka ia
berkata: “Bukalah tenda tersebut wahai Ghulam
(anak muda), maka
sesungguhnya yang
melindunginya hanyalah
amalannya.” Duduk dan makan di
kuburan. Bentuk lain yang merupakan
jalan membawa kepada
pengkultusan kuburan
adalah kebiasaan sebagian
orang mendatangi kuburan
pada momen-momen tertentu. Seperti mau masuk
bulan suci Ramadhan,
Lebaran atau masa setelah
panen. Mereka berbondong-
bondong ke kuburan dengan
membawa tikar dan makanan. Lalu sesampai di
kuburan membentangkan
tikar dan duduk bersama-
sama. Dilanjutkan dengan
rangkaian acara tahlilan dan
do’ a setelah itu ditutup acara makan bersama. Jika
hal tersebut kita timbang
dengan ajaran Islam yang
dibawa oleh Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wasallam, maka sungguh sangat
bertolak belakang sama
sekali. Jangankan untuk
tahlilan dan makan bersama,
duduk saja tidak
diperbolehkan. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wasallam berikut ini (yang artinya): “Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘ anhu berkata: Telah bersabda Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wasallam: "Sungguh salah seorang
kalian duduk di atas
bara api lalu membakar
baju sehingga tembus
ke kulitnya lebih baik
daripada ia duduk di atas kuburan.” [HR.Muslim] Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari [seorang ulama besar
dari Banjarmasin, yang
bermazhab Syafi'i] dalam
kitabnya Sabilal Muhtadin, beliau mengatakan : "Makruh memutihkan kuburan
dengan kafur. Haram
membikin sesuatu
bangunan di atas kuburan
seperti kubah atau
bangunan seperti rumah atau pagar di atas
kuburan . [Sabilal Muhtadin, Bab Jenazah hal. 736-737] Imam Syafi'i dalam kitabnya Al Umm, berkata : "Saya menyukai bahwa tidak
ditambahkan pada
kuburan tanah yang lain.
Dan tiada mengapa bahwa
ada pada kuburan itu
tanah yang lain, apabila ditambahkan padanya
tanah yang lain, maka ia
tinggi sekali. Saya
menyukai bahwa
ditinggikan kuburan atas
permukaan bumi sejengkal atau kira-kira sejengkal.
Saya menyukai bahwa
tidak dibangun kuburan
dan tidak dikapurkan.
Karena yang demikian itu
menyerupai hiasan dan kebanggaan. Dan tidaklah
kematian itu tempat
salah satu dari keduanya.
Saya tidak melihat
kuburan orang-orang
Muhajirin dan Anshar itu dikapurkan." [Kitab Al Umm, bab "Apa Yang Akan Ada
Sesudah Dikuburkan", hal. 216] Wallahu a'lam

Apakah 3 bulanan (Telonan) , 7 bulanan (Mitoni dan Tingkepan) masa kehamilan, Memberi lampu pada Ari-ari dari Ajaran Islam ?

Seorang mantan Pandita Hindu
ditanya; [Sebelum masuk Islam beliau
bernama Pandita Budi Winarno,
setelah masuk Islam bernama
Abdul Aziz] Pertanyaan : Apakah Telonan, Mitoni dan Tingkepan dari ajaran
Islam ? [Telonan : Upacara 3 bulan masa
kehamilan, Mitoni dan Tingkepan :
Upacara 7 Bulan masa kehamilan;
biasanya dengan mandi-mandi] Jawab : Telonan, Mitoni dan Tingkepan yang sering kita
jumpai di tengah-tengah
masyarkat adalah teradisi
masyarakat Hindu. Upacara ini dilakukan dalam rangka memohon
keselamatan anak yang ada di
dalam rahim (kandungan).
Upacara ini biasa disebut Garba Wedana [garba : perut, Wedana : sedang mengandung].
Selama bayi dalam kandungan
dibuatkan tumpeng selamatan
Telonan, Mitoni, Tingkepan
[terdapat dalam Kitab Upadesa
hal. 46] Intisari dari sesajinya adalah : 1. Pengambean, yaitu upacara pemanggilan atman (urip). 2. Sambutan, yaitu upacara penyambutan atau peneguhan
letak atman (urip) si jabang bayi. 3. Janganan, yaitu upacara suguhan terhadap "Empat Saudara" [sedulur papat] yang menyertai kelahiran sang
bayi, yaitu : darah, air, barah,
dan ari-ari. [orang Jawa
menyebut : kakang kawah adi
ari-ari] Hal ini dilakukan untuk panggilan
kepada semua kekuatan-
kekuatan alam yang tidak
kelihatan tapi mempunyai
hubungan langsung pada
kehidupan sang bayi dan juga pada panggilan kepada Empat Saudara yang bersama-sama ketika sang bayi dilahirkan,
untuk bersama-sama diupacarai,
diberi pensucian dan suguhan
agar sang bayi mendapat
keselamatan dan selalu dijaga
oleh unsur kekuatan alam. Sedangkan upacara terhadap
ari-ari, ialah setelah ari-ari
terlepas dari si bayi lalu
dibersihkan dengan air yang
kemudian dimasukkan ke dalam
tempurung kelapa selanjutnya dimasukkan ke dalam kendil atau
guci. Ke dalamnya dimasukkah
tulisan "AUM" agar sang Hyang Widhi melindungi. Selain itu dimasukkan juga berbagai benda
lain sebagai persembahan kepada
Hyang Widhi. Kendil kemudian
ditanam di pekarangan, di kanan
pintu apabila bayinya laki-laki, di
kiri pintu apabila bayinya perempuan. Kendil yang berisi ari-ari ditimbun
dengan baik, dan pada malam
harinya diberi lampu, selama tiga bulan. Apa yang diperbuat
kepada si bayi maka
diberlakukan juga kepada Empat
Saudara tersebut. Kalau si bayi
setelah dimandikan, maka airnya
juga disiramkan kepada kendil tersebut. (Kitab Upadesa, tentang ajaran-ajaran
Agama Hindu, oleh : Tjok Rai
Sudharta, MA. dan Drs. Ida
Bagus Oka Punia Atmaja,
cetakan kedua 2007) Dikutip dari buku : Santri
Bertanya Mantan Pendeta
(Hindu) Menjawab ___________________________
___________________________
___________ KETERANGAN TAMBAHAN ; *1. KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA (NU) KE-5
Di Pekalongan, pada tanggal
13 Rabiul Tsani 1349 H / 7
September 1930 M. Lihat halaman : 58. Air mandi kembang 7 rupa Pertanyaan : Bagaimana hukumnya melempar
kendi yang penuh air hingga
pecah pada waktu orang-orang
yang menghadiri UPACARA
PERINGATAN BULAN KE TUJUH dari
umur kandungan pulang dengan membaca shalawat bersama-
sama, dan dengan harapan
supaya mudah kelahiran anak
kelak. Apakah hal tersebut
hukumnya haram karena
termasuk membuang-buang uang (tabzir) ? Jawab : Ya, perbuatan tersebut
hukumnya H A R A M karena termasuk tabdzir. *2. KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA (NU) KE-7
Di Bandung, pada tanggal
13 Rabiul Tsani 1351 H / 9
Agustus 1932 M. Lihat halaman : 71. Ari-ari yang diberi lampu
Menanam ari-ari (masyimah/
tembuni) hukumnya sunnah.
Adapun menyalakan lilin (lampu)
dan menaburkan bunga-bunga di
atasnya itu hukumnya H A R A M, karena membuang-buang harta (tabzir) yang tidak ada
manfa'atnya. ______________________ *Dikutip dari buku : "Masalah Keagamaan" hasil
Muktamar/Munas Ulama NU
ke I s/d XXX (yang terdiri dari 430 masalah) oleh KH. A. Aziz
Masyhuri ketua Pimpinan Pusat
Rabithah Ma'ahid Islamiyah dan
Pengasuh Ponpes Al Aziziyyah
Denanyar Jombang, Kata
Pengantar Menteri Agama Maftuh Basuni. Wallahu 'alam.

Penjelasan Dari Nahdalatul Ulama (NU), Para Ulama Salafus salih, WaliSongo, 4 Mahzab Tentang Bid'ahnya Tahlilan

Penjelasan Dari Nahdalatul
Ulama (NU), Para Ulama
Salafus salih, WaliSongo, 4
Mahzab Tentang Bid'ahnya
Tahlilan

Segala puji bagi Allah, sholawat
serta salam kita haturkan
kepada Nabi Muhammad beserta
keluarga dan sahabat-
sahabatnya. Do’ a dan shodaqoh untuk sesama muslim yang telah
meninggal menjadi ladang amal
bagi kita yang masih di dunia ini
sekaligus tambahan amal bagi
yang telah berada di alam sana.
Sebagai agama yang mencerahkan dan mencerdaskan,
Islam membimbing kita menyikapi
sebuah kematian sesuai dengan
hakekatnya yaitu amal shalih,
tidak dengan hal-hal duniawi
yang tidak berhubungan sama sekali dengan alam sana seperti
kuburan yang megah, bekal
kubur yang berharga, tangisan
yang membahana, maupun pesta
besar-besaran. Bila diantara
saudara kita menghadapi musibah kematian, hendaklah
sanak saudara menjadi penghibur
dan penguat kesabaran,
sebagaimana Rasulullah
memerintahkan membuatkan
makanan bagi keluarga yang sedang terkena musibah
tersebut, dalam hadits:

“Kirimkanlah makanan oleh kalian kepada keluarga
Ja'far, karena mereka
sedang tertimpa masalah
yang menyesakkan”.(HR Abu Dawud (Sunan Aby Dawud,
3/195), al-Baihaqy (Sunan
al-Kubra, 4/61), al-
Daruquthny (Sunan al-
Daruquthny, 2/78), al-
Tirmidzi (Sunan al-Tirmidzi, 3/323), al- Hakim (al-
Mustadrak, 1/527), dan Ibn
Majah (Sunan Ibn Majah,
1/514)

Namun ironisnya kini, justru uang
jutaan rupiah dihabiskan tiap
malam untuk sebuah selamatan
kematian yang harus ditanggung
keluarga yang terkena musibah.
Padahal ketika Rasulullah ditanya shodaqoh terbaik yang akan
dikirimkan kepada sang ibu yang
telah meninggal, Beliau menjawab
‘ air’ . Bayangkan betapa banyak orang yang mengambil manfaat
dari sumur yang dibuat itu
(menyediakan air bagi
masyarakat indonesia yang
melimpah air saja sangat
berharga, apalagi di Arab yang beriklim gurun), awet dan
menjadi amal jariyah yang terus
mengalir. Rasulullah telah
mengisyaratkan amal jariyah kita
sebisa mungkin diprioritaskan
untuk hal-hal yang produktif, bukan konsumtif; memberi kail,
bukan memberi ikan; seandainya
seorang pengemis diberi uang
atau makanan, besok dia akan
mengemis lagi; namun jika diberi
kampak untuk mencari kayu, besok dia sudah bisa mandiri.
Juga amal jariyah yang
manfaatnya awet seperti menulis
mushaf, membangun masjid,
menanam pohon yang berbuah
(reboisasi; reklamasi lahan kritis), membuat sumur/mengalirkan air
(fasilitas umum, irigasi),
mengajarkan ilmu, yang memang
benar-benar sedang dibutuhkan
masyarakat. Bilamana tidak
mampu secara pribadi, toh bisa dilakukan secara patungan.
Seandainya dana umat Islam
yang demikian besar untuk
selamatan berupa makanan
(bahkan banyak makanan yang
akhirnya dibuang sia-sia; dimakan ayam; lainnya menjadi isyrof)
dialihkan untuk memberi
beasiswa kepada anak yatim
atau kurang mampu agar bisa
sekolah, membenahi madrasah/
sekolah islam agar kualitasnya sebaik sekolah faforit (yang
umumnya milik umat lain),atau
menciptakan lapangan kerja dan
memberi bekal ketrampilan bagi
pengangguran, niscaya akan
lebih bermanfaat. Namun shodaqoh tersebut bukan suatu
keharusan, apalagi bila memang
tidak mampu. Melakukannya
menjadi keutamaan, bila tidak
mau pun tidak boleh ada celaan. Sebagian ulama menyatakan
mengirimkan pahala tidak
selamanya harus dalam bentuk
materi, Imam Ahmad dan Ibnu
Taimiyah berpendapat bacaan al-
Qur’ an dapat sampai sebagaimana puasa, nadzar, haji,
dll; sedang Imam Syafi’ i dan Imam Nawawi menyatakan bacaan al-
Qur’ an untuk si mayit tidak sampai karena tidak ada dalil
yang memerintahkan hal
tersebut, tidak dicontohkan
Rasulullah dan para shahabat.
Berbeda dengan ibadah yang
wajib atau sunnah mu’ akad seperti shalat, zakat, qurban,
sholat jamaah, i’ tikaf 10 akhir ramadhan, yang mana ada celaan
bagi mereka yang
meninggalkannya dalam keadaan
mampu. Akan tetapi di
masyarakat kita selamatan
kematian/tahlilan telah dianggap melebihi kewajiban- kewajiban
agama. Orang yang
meninggalkannya dianggap lebih
tercela daripada orang yang
meninggalkan sholat, zakat, atau
kewajiban agama yang lain. Sehingga banyak yang akhirnya
memaksakan diri karena takut
akan sanksi sosial tersebut. Mulai
dari berhutang, menjual tanah,
ternak atau barang berharga
yang dimiliki, meskipun di antara keluarga terdapat anak yatim
atau orang lemah. Padahal di
dalam al-Qur’ an telah jelas terdapat arahan untuk
memberikan perlindungan harta
anak yatim; tidak memakan
harta anak yatim secara dzalim,
tetapi menjaga sampai ia dewasa

(QS an-Nisa’ : 2, 5, 10, QS al- An’ am: 152, QS al-Isra’ : 34) serta tidak membelanjakannya secara
boros (QS an- Nisa’ : 6) Dibalik selamatan kematian
tersebut sesungguhnya juga
terkandung tipuan yang
memperdayakan.
Seorang yang
tidak beribadah/menunaikan
kewajiban agama selama hidupnya, dengan besarnya
prosesi selamatan setelah
kematiannya akan menganggap
sudah cukup amalnya, bahkan
untuk menebus kesalahan-
kesalahannya. Juga seorang anak yang tidak taat
beribadahpun akan menganggap
dengan menyelenggarakan
selamatan, telah menunaikan
kewajibannya berbakti/
mendoakan orang tuanya.
Imam Syafi'i rahimahullah dalam
kitab al-Umm berkata: "...dan aku membenci al-
ma'tam, yaitu proses
berkumpul (di tempat
keluarga mayat) walaupun
tanpa tangisan, karena hal
tersebut hanya akan menimbulkan bertambahnya
kesedihan dan
membutuhkan biaya,
padahal beban kesedihan
masih melekat." (al-Umm
(Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1393) juz I, hal 279)

Namun ketika Islam datang ke
tanah Jawa ini, menghadapi
kuatnya adat istiadat yang telah
mengakar. Masuk Islam tapi
kehilangan selamatan-selamatan,
beratnya seperti masyarakat Romawi disuruh masuk Nasrani
tapi kehilangan perayaan
kelahiran anak Dewa Matahari 25
Desember. Dalam buku yang ditulis H
Machrus Ali, mengutip naskah
kuno tentang jawa yang
tersimpan di musium Leiden,

Sunan Ampel
memperingatkan Sunan
Kalijogo yang masih
melestarikan selamatan
tersebut:“Jangan ditiru perbuatan semacam itu
karena termasuk bid'ah”. Sunan Kalijogo menjawab:
“Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam
telah tertanam di hati
masyarakat yang akan
menghilangkan budaya
tahlilan itu”.
Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali
Songo yang ditulis H. Lawrens
Rasyidi dan diterbitkan Penerbit
Terbit Terang Surabaya juga
mengupas panjang lebar
mengenai masalah ini. Dimana Sunan Kalijaga, Sunan Bonang,
Sunan Kudus, Sunan Gunungjati
dan Sunan Muria (kaum abangan)
berbeda pandangan mengenai
adat istiadat dengan Sunan
Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat (kaum putihan). Sunan
Kalijaga mengusulkan agar adat
istiadat lama seperti selamatan,
bersaji, wayang dan gamelan
dimasuki rasa keislaman.
Sunan Ampel berpandangan lain: “Apakah tidak mengkhawatirkannya di
kemudian hari bahwa adat
istiadat dan upacara lama
itu nanti dianggap sebagai
ajaran yang berasal dari
agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan
menjadi bid’ ah?”
Sunan kudus menjawabnya bahwa
ia mempunyai keyakinan
bahwa di belakang hari
akan ada yang
menyempurnakannya. (hal
41, 64)

Dalam penyebaran agama
Islam di Pulau Jawa, para
Wali dibagi menjadi tiga
wilayah garapan Pembagian wilayah tersebut
berdasarkan obyek dakwah yang
dipengaruhi oleh agama yang
masyarakat anut pada saat itu,
yaitu Hindu dan Budha. Pertama: Wilayah Timur. Di wilayah bagian timur ini ditempati
oleh lima orang wali, karena
pengaruh hindu sangat dominan.
Disamping itu pusat kekuasaan
Hindu berada di wilayah Jawa
bagian timur ini (Jawa Timur sekarang) Wilayah ini ditempati
oleh lima wali, yaitu Syaikh
Maulana Ibrahim (Sunan Demak),
Raden Rahmat (Sunan Ampel),
Raden Paku (Sunan Giri), Makdum
Ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Kasim (Sunan Drajat) Kedua : Wilayah Tengah. Di wilayah Tengah ditempati oleh
tiga orang Wali. Pengaruh Hindu
tidak begitu dominan. Namun
budaya Hindu sudah kuat. Wali
yang ditugaskan di sini adalah :
Raden Syahid (Sunan Kali Jaga), Raden Prawoto (Sunan Muria),
Ja'far Shadiq (Sunan Kudus) Ketiga : Wilayah Barat. Di wilayah ini meliputi Jawa bagian
barat, ditempati oleh seorang
wali, yaitu Sunan Gunung Jati
alias Syarief Hidayatullah. Di
wilayah barat pengaruh Hindu-
Budha tidak dominan, karena di wilayah Tatar Sunda (Pasundan)
penduduknya telah menjadi
penganut agama asli sunda,
antara lain kepercayaan "Sunda Wiwitan" Dua Pendekatan dakwah para
wali.
1. Pendekatan Sosial Budaya
2. Pendekatan aqidah Salaf Sunan Ampel, Sunan Bonang,
Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati
dan terutama Sunan Giri
berusaha sekuat tenaga untuk
menyampaikan ajaran Islam
secara murni, baik tentang aqidah maupun ibadah. Dan
mereka menghindarkan diri dari
bentuk singkretisme ajaran Hindu
dan Budha.
Tetapi sebaliknya
Sunan Kudus, Sunan Muria dan
Sunan Kalijaga mencoba menerima sisa-sisa ajaran Hindu
dan Budha di dalam
menyampaikan ajaran Islam.
Sampai saat ini budaya itu masih
ada di masyarakat kita, seperti
sekatenan, ruwatan, shalawatan, tahlilan, upacara tujuh bulanan
dll. Pendekatan Sosial budaya
dipelopori oleh Sunan Kalijaga,
putra Tumenggung Wilwatika,
Adipati Majapahit Tuban.
Pendekatan sosial budaya yang
dilakukan oleh aliran Tuban memang cukup efektif, misalnya
Sunan Kalijaga menggunakan
wayang kulit untuk menarik
masyarakat jawa yang waktu itu
sangat menyenangi wayang kulit.
Sebagai contoh dakwah Sunan kalijaga kepada Prabu Brawijaya
V, Raja Majapahit terakhir yang
masih beragama Hindu,
dapat
dilihat di serat Darmogandul, yang antara lain bunyinya; Punika sadar sarengat,
tegese sarengat niki, yen
sare wadine njegat;
tarekat taren kang osteri;
hakikat unggil kapti, kedah
rujuk estri kakung, makripat ngentos wikan,
sarak sarat laki rabi,
ngaben aku kaidenna yayan
rina" (itulah yang namanya
sahadat syariat, artinya
syariat ini, bila tidur kemaluannya tegak;
sedangkan tarekat artinya
meminta kepada istrinya;
hakikat artinya menyatu
padu , semua itu harus
mendapat persetujuan suami istri; makrifat
artinya mengenal ; jadilah
sekarang hukum itu
merupakan syarat bagi
mereka yang ingin berumah
tangga, sehingga bersenggama itu dapat
dilaksanakan kapanpun
juga). Dengan cara dan sikap Sunan Kalijaga seperti tergambar
di muka, maka ia satu-satunya
Wali dari Sembilan Wali di Jawa
yang dianggap benar-benar wali
oleh golongan kejawen (Islam
Kejawen/abangan),
karena Sunan Kalijaga adalah satu-
satunya wali yang berasal
dari penduduk asli Jawa
(pribumi).
[Sumber : Abdul Qadir Jailani ,
Peran Ulama dan Santri
Dalam Perjuangan Politik
Islam di Indonesia, hal. 22-23,
Penerbit PT. Bina Ilmu dan
Muhammad Umar Jiau al Haq, M.Ag, Syahadatain Syarat

Utama Tegaknya Syariat
Islam, hal. 51-54, Kata
Pengantar Muhammad Arifin
Ilham (Pimpinan Majlis Adz
Zikra),
Penerbit Bina Biladi Press.] Nasehat Sunan Bonang Salah satu catatan menarik yang
terdapat dalam dokumen “Het Book van Mbonang”
[1] adalah peringatan dari sunan Mbonang
kepada umat untuk selalu
bersikap saling membantu dalam
suasana cinta kasih, dan
mencegah diri dari kesesatan
dan bid’ ah. Bunyinya sebagai berikut: “Ee..mitraningsun! Karana sira iki apapasihana sami-
saminira Islam lan mitranira
kang asih ing sira lan
anyegaha sira ing dalalah
lan bid’ ah“. Artinya: “Wahai saudaraku! Karena kalian semua adalah
sama-sama pemeluk Islam maka
hendaklah saling mengasihi
dengan saudaramu yang
mengasihimu. Kalian semua
hendaklah mencegah dari perbuatan sesat dan bid’ ah.[2]
[1] Dokumen ini adalah
sumber tentang walisongo
yang dipercayai sebagai
dokumen asli dan valid, yang
tersimpan di Museum Leiden,
Belanda. Dari dokumen ini telah dilakukan beberapa
kajian oleh beberapa peneliti.
Diantaranya thesis Dr. Bjo
Schrieke tahun 1816, dan
Thesis Dr. Jgh Gunning tahun
1881, Dr. Da Rinkers tahun 1910, dan Dr. Pj Zoetmulder
Sj, tahun 1935. [2] Dari info Abu Yahta Arif
Mustaqim,
pengedit buku
Mantan Kiai NU Menggugat
Tahlilan, Istighosahan dan
Ziarah Para Wali hlm. 12-13.
Muktamar NU ke-1 di
Surabaya tanggal 13
Rabiuts Tsani 1345 H/21
Oktober 1926 mencantumkan pendapat Ibnu Hajar al-Haitami
dan menyatakan bahwa
selamatan kematian adalah bid'ah yang hina namun tidak sampai diharamkan dan merujuk
juga kepada Kitab Ianatut
Thalibin. Namun Nahdliyin generasi
berikutnya menganggap
pentingnya tahlilan tersebut
sejajar (bahkan melebihi) rukun Islam/Ahli Sunnah wal Jama’ ah. Sekalipun seseorang telah
melakukan kewajiban-kewajiban
agama, namun tidak melakukan
tahlilan, akan dianggap tercela
sekali, bukan termasuk golongan
Ahli Sunnah wal Jama’ ah. Di zaman akhir yang ini dimana
keadaan pengikut sunnah seperti
orang 'aneh' asing di negeri
sendiri, begitu banyaknya orang
Islam yang meninggalkan
kewajiban agama tanpa rasa malu, seperti meninggalkan
Sholat Jum'at, puasa
Romadhon,dll. Sebaliknya
masyarakat begitu antusias
melaksanakan tahlilan ini, hanya
segelintir orang yang berani meninggalkannya. Bahkan non-
muslim pun akan merasa kikuk
bila tak melaksanakannya.
Padahal para ulama terdahulu
senantiasa mengingat dalil-dalil
yang menganggap buruk walimah (selamatan) dalam suasana
musibah tersebut.
Dari sahabat
Jarir bin Abdullah al-Bajali: "Kami
(para sahabat) menganggap
kegiatan berkumpul di rumah
keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh
mereka merupakan bagian dari
niyahah (meratapi mayit)".
(Musnad Ahmad bin Hambal
(Beirut: Dar al-Fikr, 1994) juz II,
hal 204 & Sunan Ibnu Majah (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 514)


MUKTAMAR I NAHDLATUL
ULAMA (NU) KEPUTUSAN
MASALAH DINIYYAH NO: 18 /
13 RABI’ UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926 DI
SURABAYA

islam agama yang sempurna

Kehidupan dan Kematian Adalah
Dua Keniscayaan Kamu Muhammadiyah Ya ? PERSIS
Ya ? Al Irsyad Ya ? Salafi Ya ?
Wahabi Ya ? Kalimat itulah yang
sering dilontarkan oleh mereka
yang anti pati kepada mereka
yang tidak melakukan Tahlilan [selamatan Kematian] apabila ada
sanak keluarganya yang
meninggal dunia. Maka katakanlah kepada mereka; ْدَهْشاَو اَّنَأِب َنوُمِلْسُم Saksikanlah bahwa sesungguhnya
kami adalah Muslimun (orang-
orang yang berserah diri). [QS. Ali
Imron :52] KEMATIAN dan KELAHIRAN adalah
dua keniscayaan. Satu
kegembiraan dan satunya
kesedihan. Dan tidak mungkin
Islam tidak mengatur prosesi-
prosesi yang bersangkutan dengan kedua hal tersebut, Islam
telah mengaturnya dengan
mencontoh Rasulullah orang yang
PALING MENGERTI cara bersosialisi/
bermasyarakat. Beliau memiliki
akhlakul karimah, hati yang penyayang, paling santun dan
lembut hatinya. Beliau paling
mengerti bagaimana cara
menghibur orang dan mendo'akan
orang yang KEMATIAN dan
musibah lainnya. Bagimana cara bergembira bersama orang yang
lagi senang, baik menyambut
KELAHIRAN dan lainnya. Pada kasus
kematian, Rasulullah tidak pernah
mencontohkan TAHLILAN [dlm arti :
Selamatan Kematian]. RASULULLAH ADALAH ORANG
YANG PALING MENGERTI CARA
BERSOSIALISI DAN
BERMASYARAKAT "Lau Kaana Khairan Lasabaquuna
ilahi" [seandainya Selamatan
kematian itu baik, niscaya
Rasulullah dan para sahabatnya
paling bersegera melakukannya,
sebab perkara apapun yang bernilai baik (hasanah) dalam
rangka taqarrub kepada Allah
tidak akan pernah mereka
lewatkan] Maka sungguh na'if bagi mereka
yang berdalih untuk melakukan
Selamatan kematian hanya
berdasarkan pendapat bukan
dalil. Seandainyapun ada dalilnya : MAKA ALANGKAH NAI'FNYA
RASULULLAH TIDAK MENGERTI
BAHWA KALAU TERNYATA ADA
"DALILNYA" UNTUK MELAKUKAN
TAHLILAN, PADAHAL AL QUR'AN
TURUN DI SISI MEREKA DAN RASULULLAH MEMBIMBING MEREKA
[PARA SAHABAT] SECARA LANGSUNG.
Padahal di jaman Rasulullah para
sahabat banyak yang mati
syahid, bahkan ketika Istri beliau
Siti Khadijah dan anak beliau Al Qasim dan Ibrahim meninggal,
tidak ada keterangan Rasulullah
mentahlili mereka [red: selamatan
kematian]. Ketahuilah, pendapat seorang
ulama bukanlah SEBUAH DALIL.
Pendapat ulama, mustahil dapat
mengalahkan IJMA' SAHABAT. Begitu Sempurnanya ajaran Islam,
Mengatur Masalah Kematian dan
Kelahiran Ketahuilah, Islam adalah ad Dien
yang sempurna, sehingga tidak
perlu lagi penambahan dan
pengurangan syari'atnya. Apa-
apa yang telah menjadi syari'at
agama sejak diturunkannya QS. Al Maidah : 3, maka ia tetap menjadi
syari'at sampai sekarang dan
nantinya tanpa ada perubahan.