Laman

Entri Populer

Tampilkan postingan dengan label muslimah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label muslimah. Tampilkan semua postingan

Sabtu, Juni 25, 2011

HADITS TENTANG WANITA YANG MEMAKAI PARFUM

Dari Abu Musa Al Asy’ ary bahwanya ia berkata, Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wa sallam bersabda

“Seorang perempuan yang mengenakan wewangian lalu
melalui sekumpulan laki-laki agar
mereka mencium bau harum yang
dia pakai maka perempuan
tersebut adalah seorang
pelacur.” (HR. An Nasa’ i, Abu Daud, Tirmidzi dan Ahmad. Syaikh
Al Albani dalam Shohihul Jami’ no. 323 mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Dari Yahya bin Ja’ dah, “Di masa pemerintahan Umar bin Khatab
ada seorang perempuan yang
keluar rumah dengan memakai
wewangian. Di tengah jalan, Umar
mencium bau harum dari
perempuan tersebut maka Umar pun memukulinya dengan
tongkat. Setelah itu beliau
berkata,

“Kalian, para perempuan keluar rumah dengan memakai
wewangian sehingga para laki-
laki mencium bau harum kalian?!
Sesungguhnya hati laki-laki itu
ditentukan oleh bau yang dicium
oleh hidungnya. Keluarlah kalian dari rumah dengan tidak
memakai wewangian”. (HR. Abdurrazaq dalam al Mushannaf
no 8107)

Dari Ibrahim, Umar (bin Khatab)
memeriksa shaf shalat jamaah
perempuan lalu beliau mencium
bau harum dari kepala seorang
perempuan. Beliau lantas
berkata

“Seandainya aku tahu siapa di antara kalian yang memakai
wewangian niscaya aku akan
melakukan tindakan demikian dan
demikian.
Hendaklah kalian
memakai wewangian untuk
suaminya.
Jika keluar rumah hendaknya memakai kain jelek
yang biasa dipakai oleh budak
perempuan”. Ibrahim mengatakan,

“Aku mendapatkan kabar bahwa perempuan yang
memakai wewangian itu sampai
ngompol karena takut (dengan
Umar)”. (HR. Abdur Razaq no 8118)

smga bermanfaat..

Selasa, April 19, 2011

Menuju keluarga sakinah

Merupakan satu anugerah dari Allah, ketika seorang wanita dipertemukan dengan pasangan hidupnya dalam satu jalinan kasih yang suci.

Hal ini sebagai satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Sang Khaliq.

  “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian pasangan hidup dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir“. (Ar-Rum: 21)

Apa lagi bila pendamping hidup
itu seorang yang shalih, yang akan memuliakan istrinya bila bersemi cinta di hatinya, namun kalau toh cinta itu tak kunjung datang maka ia tak akan menghinakan istrinya.

Merajut dan menjalin tali pernikahan agar selalu berjalan baik tidak bisa dikatakan mudah bak membalik kedua telapak tangan, karena dibutuhkan ilmu dan ketakwaan untuk menjalaninya.

Seorang suami butuh bekal ilmu agar ia tahu bagaimana menahkodai rumah tangganya.

Istripun demikian, ia harus tahu bagaimana menjadi seorang istri yang baik dan bagaimana kedudukan seorang suami dalam syariat ini.

Masing- masing punya hak dan kewajiban yang harus ditunaikan agar jalinan itu tidak goncang ataupun terputus.

Syariat menetapkan seorang suami memiliki hak yang sangat besar terhadap istrinya, sampai- sampai bila diperkenankan oleh Allah, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam akan memerintahkan seorang istri sujud kepada suaminya.

Abdullah ibnu Abi Aufa bertutur: Tatkala Mu’ adz datang ke negeri Yaman atau Syam, ia melihat orang-orang Nashrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka.

Maka ia memandang dan memastikan dalam hatinya bahwa Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam adalah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu.

Ketika ia kembali ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam, ia berkata:

“Ya Rasulullah, aku melihat orang-orang Nashrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka, maka aku memandang dan memastikan dalam hatiku bahwa engkaulah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu.”

Mendengar ucapan Mu’ adz ini, bersabdalah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam:

  “Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain (sesama makhluk) niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.
Dan tidaklah seorang istri dapat menunaikan seluruh hak Allah Azza wa Jalla terhadapnya hingga ia menunaikan seluruh hak suaminya terhadapnya.
Sampai-sampai jika suaminya meminta dirinya (mengajaknya bersenggama) sementara ia sedang berada di atas pelana (yang dipasang di atas unta) maka ia harus memberikannya (tidak boleh menolak).” (HR. Ahmad 4/381. Dihasankan Asy- Syaikh Albani dalam Ash-Shahihul Jami’ no. 5295 dan Irwa Al-Ghalil no. 1998)

Satu dari sekian hak suami terhadap istrinya adalah disyukuri akan kebaikan yang diperbuatnya dan tidak dilupakan keutamaannya. Namun disayangkan, di kalangan para istri banyak yang melupakan atau tidak tahu hak yang satu ini, hingga kita dapatkan mereka sering mengeluhkan suaminya, melupakan kebaikan yang telah diberikan dan tidak ingat akan keutamaannya.

Yang lebih disayangkan, ucapan dan penilaian miring terhadap suami ini kadang menjadi bahan obrolan di antara para wanita dan menjadi bahan keluhan sesama mereka.

Padahal perbuatan seperti ini menghadapkan si istri kepada kemurkaan Allah dan adzab yang pedih.

Perbuatan tidak tahu syukur ini merupakan satu sebab wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, sebagaimana diberitakan Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam seselesainya beliau dari Shalat Kusuf (Shalat Gerhana):

“Diperlihatkan neraka kepadaku. Ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita yang kufur .”
Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?”
Beliau menjawab: “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami).
Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka satu masa, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata:
Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu.” (HR. Al- Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907)
Al-Qadhi Ibnul ‘ Arabi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini disebutkan secara khusus dosa kufur/ingkar terhadap suami di antara sekian dosa lainnya karena Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam telah menyatakan:

Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain (sesama makluk) niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.

Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam menggandengkan hak suami terhadap istri dengan hak Allah, maka bila seorang istri mengkufuri/mengingkari hak suaminya, sementara hak suami terhadapnya telah mencapai puncak yang sedemikian besar, hal itu sebagai bukti istri tersebut meremehkan hak Allah.

Karena itulah diberikan istilah kufur terhadap perbuatannya akan tetapi kufurnya tidak sampai mengeluarkan dari agama.” (Fathul Bari, 1/106)

Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam juga mengisahkan:

“Aku berdiri di depan pintu surga, ternyata kebanyakan yang masuk ke dalamnya adalah orang-orang miskin, sementara orang kaya lagi terpandang masih tertahan (untuk dihisab) namun penghuni neraka telah diperintah untuk masuk ke dalam neraka , ternyata mayoritas yang masuk ke dalam neraka adalah kaum wanita.” (HR. Al- Bukhari no. 5196 dan Muslim no. 2736)

Pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam keluar menuju lapangan untuk melaksanakan shalat. Setelahnya beliau berkhutbah dan ketika melewati para wanita beliau bersabda:

“Wahai sekalian wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar (meminta ampun) karena sungguh diperlihatkan kepadaku mayoritas kalian adalah penghuni neraka.” Berkata salah seorang wanita yang cerdas: “Apa sebabnya kami menjadi mayoritas penghuni neraka, wahai Rasulullah?
” Beliau menjawab: “Kalian banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan suami.
Aku belum pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya namun dapat menundukkan lelaki yang memiliki akal yang sempurna daripada kalian.”
Wanita itu bertanya lagi: “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan kurang akal dan kurang agama?“.
“Adapun kurangnya akal wanita ditunjukkan dengan persaksian dua orang wanita sama dengan persaksian seorang lelaki.
Sementara kurangnya agama wanita ditunjukkan dengan ia tidak mengerjakan shalat dan meninggalkan puasa di bulan Ramadhan selama beberapa malam (yakni saat ditimpa haidh).” (HR. Al-Bukhari no. 304 dan Muslim no. 79)

Karena mayoritas kaum wanita adalah ahlun nar (penghuni neraka) maka mereka menjadi jumlah yang minoritas dari ahlul jannah. Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam nyatakan hal ini dalam sabdanya:

“Minoritas penghuni surga adalah kaum wanita.” (HR. Muslim no. 2738)

Bila demikian adanya tidak pantas bagi seorang wanita yang mencari keselamatan dari adzab untuk menyelisihi suaminya dengan mengkufuri kenikmatan dan kebaikan yang telah banyak ia curahkan ataupun banyak mengeluh hanya karena sebab sepele yang tak sebanding dengan apa yang telah ia persembahkan untuk anak dan istrinya.

Sepatutnya bila seorang istri melihat dari suaminya sesuatu yang tidak ia sukai atau tidak pantas dilakukan maka ia jangan mengkufuri dan melupakan seluruh kebaikannya.

Sungguh, bila seorang istri tidak mau bersyukur kepada suami, sementara suaminya adalah orang yang paling banyak dan paling sering berbuat kebaikan kepadanya, maka ia pun tidak akan pandai bersyukur kepada Allah ta`ala, Dzat yang terus mencurahkan kenikmatan dan menetapkan sebab-sebab tersampaikannya kenikmatan pada setiap hamba

. Abu Hurairah radhiyallahu ‘ anhu menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam:

ْ “Siapa yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia maka ia tidak akan bersyukur kepada Allah.” (HR. Abu Dawud no. 4177 dan At- Tirmidzi no. 2020, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil di atas syarat Muslim, dalam Ash- Shahihul Musnad, 2/338)

Al-Khaththabi berkata: “Hadits ini dapat dipahami dari dua sisi.

Pertama: orang yang tabiat dan kebiasaannya suka mengingkari kenikmatan yang diberikan kepadanya dan enggan untuk mensyukuri kebaikan mereka maka menjadi kebiasaannya pula mengkufuri nikmat Allah ta`ala dan tidak mau bersyukur kepada-Nya.

Sisi kedua: Allah tidak menerima rasa syukur seorang hamba atas kebaikan yang Dia curahkan apabila hamba tersebut tidak mau bersyukur (berterima kasih) terhadap kebaikan manusia dan mengingkari kebaikan mereka, karena berkaitannya dua perkara ini.” (‘ Aunul Ma’ bud, 13/114)

Adapun Al-Qadhi mengatakan tentang hadits ini: “(Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam menyatakan demikian) bisa jadi karena mensyukuri Allah ta`ala hanya bisa sempurna dengan patuh kepada-Nya dan melaksanakan perintah-Nya.

Sementara di antara perkara yang Dia perintahkan adalah berterima kasih kepada manusia yang menjadi perantara tersampaikannya nikmat-nikmat Allah kepadanya.

Maka orang yang tidak patuh kepada Allah dalam hal ini, ia tidak menunaikan kesyukuran atas kenikmatan- Nya.

Atau bisa pula maknanya, orang yang tidak berterima kasih kepada manusia yang telah memberikan dan menyampaikan kenikmatan kepadanya, padahal ia tahu sifat manusia itu sangat senang mendapatkan pujian, ia menyakiti si pemberi kebaikan dengan berpaling dan mengingkari apa yang telah diberikan, maka orang seperti ini akan lebih berani meremehkan sikap syukur kepada Allah, yang sebenarnya sama saja bagi-Nya antara kesyukuran dan kekufuran .” (Tuhfatul Ahwadzi, 6/74).

Sepantasnya bagi seorang istri yang mencari keselamatan dari adzab Allah untuk mencurahkan seluruh kemampuannya dalam menunaikan hak-hak suami, karena suaminya adalah jembatan untuk meraih kenikmatan surga atau malah sebaliknya membawa dirinya ke jurang neraka.

Al-Hushain bin Mihshan radliallahu anhu menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam karena satu keperluan dan setelah selesai dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam bertanya kepadanya:

َ “Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab: “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?” tanya Rasulullah lagi. Ia menjawab: “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah bersabda: “Lihatlah di mana keberadaanmu saat bergaul dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4/341 Berkata penulis Jami’ Ahkamin Nisa: hadits ini hasan, 3/430)

Saudariku, janganlah engkau sakiti suamimu dengan tidak mensyukuri apa yang telah diberikannya.

Ingatlah, suamimu hanya sementara waktu menemanimu di dunia, kemudian dia akan berpisah denganmu dan berkumpul dengan para bidadari surga yang murka kala engkau menyakitinya.

Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam menyatakan hal ini dalam sabdanya:

  “Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia kecuali berkata hurun `in (bidadari- bidadari surga) yang menjadi istri si suami di surga: “Jangan engkau menyakitinya qatalakillah , karena dia di sisimu hanyalah sebagai tamu dan sekedar singgah, hampir-hampir dia akan berpisah denganmu untuk bertemu dengan kami.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah no. 204. Berkata penulis Bahjatun Nazhirin: Sanad hadits ini shahih, 1/372) .

Wallahu ta`ala a`lam bishawwab.

Tanamkan dalam dirimu rasa malu ! wahai muslimah

Tak sedikit wanita di masa ini yang telah menanggalkan rasa malunya. Dari caranya berbusana, bergaul, dan gaya hidup ‘ modern’ lainnya, setidaknya memberikan gambaran fenomena dimaksud. Padahal, Islam telah menjadikan sifat malu ini sebagai sifat mulia, bahkan merupakan salah satu cabang keimanan. Sifat malu memang identik dengan wanita karena merekalah
yang dominan memilikinya. Namun sebenarnya sifat ini bukan hanya milik kaum hawa. Laki-laki pun disukai bila memiliki sifat malu. Bahkan sifat mulia ini termasuk salah satu cabang keimanan dan menjadi salah satu faktor kebahagiaan seorang insan. Karena dengan sifat ini, hanya kebaikanlah yang bakal diraupnya, sebagaimana beritanya tercatat dalam lembaran sunnah Rasul shallallahu ‘ alaihi wasallam: ٍﺮْﻴَﺨِﺑ َّﻻِﺇ ﻲﺗﺄﻳ َﻻ ُﺀﺎَﻴَﺤْﻟﺍ “Malu itu tidaklah datang kecuali dengan kebaikan.” Dalam satu riwayat: ُﻪُّﻠُﻛ ٌﺮْﻴَﺧ ُﺀﺎَﻴَﺤْﻟﺍ “Malu itu baik seluruhnya.” (Shahih, HR. Al- Bukhari dan Muslim) Saudariku muslimah… Adanya sifat malu pada diri seseorang akan mendorongnya kepada kebaikan dan mencegahnya dari kejelekan. Bila malu ini hilang dari diri seseorang, ia akan jatuh dalam perbuatan maksiat dan dosa, ketika sendirian maupun di hadapan kerabat dan tetangga. Karena itulah bersabda Rasul shallallahu ‘ alaihi wasallam: ِﻡَﻼَﻛ ْﻦِﻣ ُﺱﺎَّﻨﻟﺍ َﻙَﺭْﺩَﺃ ﺎﻤﻣ َّﻥِﺇ ﻰﻟﻭﻷﺍ ِﺓَّﻮُﺒُّﻨﻟﺍ : ِﺢَﺘْﺴَﺗ ْﻢَﻟ ﺍﺫﺇ َﺖْﺌِﺷ ﺎﻣ ْﻞَﻌْﻓﺎَﻓ “Termasuk yang diperoleh manusia dari ucapan kenabian yang pertama adalah: jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu.” (Shahih, HR. Al- Bukhari) Adalah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam sangat pemalu sehingga shahabat yang mulia Abu Sa’ id Al-Khudri radhiallahu ‘ anhu berkata: َﻥﺎَﻛ ُﻝْﻮُﺳَﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ُﻪﻠﻟﺍ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﻢَّﻠَﺳَﻭ ًﺀﺎَﻴَﺣ ُّﺪَﺷَﺃ ﻲِﻓ ِﺀﺍَﺭَﺬُﻌْﻟﺍ َﻦِﻣ ﺎَﻫِﺭْﺪِﺧ “Adalah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam sangat pemalu dibandingkan dengan gadis perawan yang berada dalam pingitannya.” (Shahih, HR. Al- Bukhari dan Muslim) Semoga Allah merahmati Abu Sa’ id Al-Khudri, di mana beliau membuat permisalan untuk kita dengan gadis perawan. Lalu apa gerangan yang akan beliau katakan bila melihat pada hari ini gadis perawan itu telah menanggalkan rasa malunya dan meninggalkan tempat pingitannya? Ia pergi keluar rumahnya dengan hanya ditemani sopir pribadi. Ia pergi ke pasar, berbincang-bincang akrab dengan para pedagang dan penjahit, dan sebagainya. Demikian kenyataan pahit yang ada. Sebagian kaum muslimin juga membiarkan putri-putri mereka bercampur baur dengan laki-laki di sekolah-sekolah dan di tempat kerja. Karena telah tercabut dari
mereka rasa malu dan sedikit ghirah (kecemburuan) yang tertinggal. Bila malu ini telah hilang dari diri seorang insan, ia akan melangkah dari satu kejelekan kepada yang lebih jelek lagi, dari satu kerendahan kepada yang lebih rendah lagi. Karena malu pada hakekatnya adalah menjauhkan diri dari hal-hal yang Allah ta`ala haramkan dan menjaga anggota tubuh agar tidak digunakan untuk bermaksiat kepada-Nya. Apakah pantas seseorang disifati malu sementara matanya digunakan untuk melihat perkara yang Allah haramkan? Apakah pantas dikatakan malu, bila lidah masih digunakan untuk ghibah, mengadu domba, dusta, mencerca, dan mengumpat? Apakah pantas digelari malu, bila nikmat berupa pendengaran digunakan untuk menikmati musik
dan nyanyian? Saudariku muslimah… wajib bagi kita untuk terus merasakan pengawasan Allah dan malu kepada-Nya di setiap waktu dan tempat. Kala dikau sendiri dalam kegelapan Sedang jiwa mengajakmu tuk berbuat nista Maka malulah dikau dari pandangan Al-Ilah Dan katakan pada jiwamu: Dzat yang menciptakan kegelapan ini senantiasa melihatku Seorang muslim yang jujur dalam keimanannya akan merasa malu kepada Allah jika melanggar kehormatan orang lain dan mengambil harta yang tidak halal baginya. Sementara orang yang telah dicabik tirai malu dari wajahnya, ia akan berani kepada Allah dan berani melanggar larangan-Nya. Saudariku muslimah… bila engkau telah mengetahui pentingnya sifat malu, maka berupayalah untuk menumbuhkannya di hati keluarga dan anak-anak. Karena ketika malu ini masih ada, maka akan terasa betapa besar dan jelek perbuatan yang mungkar, sementara kebaikan senantiasa mereka agungkan. Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam pernah melewati seseorang yang tengah mencela saudaranya karena sifat malunya, maka beliau bersabda: ِﻥﺎَﻤْﻳِﻹﺍ َﻦِﻣ َﺀﺎَﻴَﺤْﻟﺍ َّﻥِﺈَﻓ ُﻪْﻋَﺩ “Biarkan dia, karena malu itu termasuk keimanan.” (HR. Al- Jama`ah) Saudariku muslimah… perlu engkau ketahui bahwa Allah tidaklah malu dari kebenaran. Maka bukan termasuk sifat malu bila engkau diam ketika melihat kebatilan, engkau enggan menolong orang yang terzalimi, dan berat untuk mengingkari kemungkaran. Dan bukan pula termasuk sifat malu bila engkau tidak mau bertanya tentang perkara agama yang samar bagimu, karena Allah ta`ala berfirman: ﺍﻮﻟﺄﺴﻓ ْﻢُﺘْﻨُﻛ ْﻥِﺇ ِﺮْﻛِّﺬﻟﺍ َﻞْﻫَﺃ َﻥْﻮُﻤَﻠْﻌَﺗ َﻻ “Maka tanyakanlah kepada ahlu dzikr (orang yang memiliki ilmu), jika kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43) Ummu Sulaim radhiallahu ‘ anha pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam. Ia berkata ketika itu: “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran. Apakah wajib bagi wanita untuk mandi bila ia ihtilam (mimpi bersetubuh)?” Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam menjawab: ْﻢَﻌَﻧ , َﺀﺎَﻤْﻟﺍ ِﺕَﺃَﺭ ﺍﺫﺇ “Ya, jika ia melihat keluarnya air mani.” (Shahih, HR. Al-Bukhari) Apakah tidak sepantasnya Ummu Sulaim menjadi contoh bagi para wanita dalam bertanya tentang perkara agamanya? Terkadang pemahaman ini menjadi terbalik. Wanita malu untuk bertanya hal- hal yang berkaitan dengan agamanya, akan tetapi ia tidak malu untuk berdua-duaan dengan sopir dan berbincang- bincang dengan pedagang, ataupun memperlihatkan auratnya di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya. Ketahuilah wahai saudariku… tidak sepantasnya kita malu dari suatu
perkara yang bisa membawa kepada kebaikan. Anas bin Malik radhiallahu ‘ anhu menceritakan: “Datang seorang wanita menemui Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam guna menawarkan dirinya kepada beliau agar diperistri oleh
beliau. Wanita itu berkata: “Apakah engkau, wahai Rasulullah, punya keinginan terhadap diriku?” Seorang putri Anas, ketika mendengar kisah ini, berkomentar tentang wanita itu: “Alangkah sedikit rasa malunya!” Anas berkata: “Wanita itu lebih baik darimu, dia menawarkan diri kepada orang yang paling mulia dan paling baik (Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam) .” (Shahih, HR. Al-Bukhari secara makna) Semoga Allah senantiasa menganugerahkan kepada kita sifat malu yang membawa kita untuk selalu berbuat baik dan mencegah dari kejahatan dan kerendahan akhlak. Amin…! Wallahu ta`ala a`lam bish-shawab

Senin, April 18, 2011

Mengenal Tentang Tabarruj?

Allah Subhanahu wa Ta’ ala menyinggung kata ini dalam firman-Nya dalam Surat Al-Ahzab: 33

Wanita adalah makhluk yang kerap menjadi korban komoditi dan mode. Beragam kosmetik, parfum bermerek, hingga model pakaian yang lagi tren, dengan mudah menjajah tubuh mereka.

Malangnya, dengan segala yang dikenakan itu, mereka tampil di jalan-jalan, mal-mal, atau ruang publik lainnya.

Alhasil, bukan pesona yang mereka tebar tapi justru fitnah.

Pernah dengar kata tabarruj?
Apa sih maknanya?

Allah Subhanahu wa Ta’ ala menyinggung kata ini dalam firmanNya

“Janganlah kalian (wahai istri- istri Nabi) bertabarruj sebagaimana tabarruj orang- orang jahiliah yang awal.” (Al- Ahzab: 33)

ُDan perempuan-perempuan tua yang terhenti dari haid dan mengandung, yang tidak memiliki keinginan untuk menikah lagi, maka tidak ada dosa bagi mereka untuk menanggalkan pakaian luar1 mereka dengan tidak bermaksud tabarruj dengan perhiasan yang dikenakan … .” (An-Nur: 60)

Az-Zajjaj Abu Ishaq Ibrahim bin As-Sirri2 rahimahullahu berkata:

“Tabarruj adalah menampakkan perhiasan dan segala yang dapat mengundang syahwat laki-laki.” Adapun jahiliah yang awal, ada yang mengatakan masanya dari mulai Nabi Adam ‘ alaihissalam sampai zaman Nuh ‘ alaihissalam.

Ada yang mengatakan dari zaman Nuh ‘ alaihissalam sampai zaman Idris ‘ alaihissalam.
Ada pula yang berpendapat dari zaman ‘ Isa ‘ alaihissalam sampai zaman Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam.

Pendapat yang lebih mendekati adalah dari zaman Isa ‘ alaihissalam sampai zamannya Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam, karena merekalah orang- orang jahiliah yang dikenal.

Disebut jahiliah yang awal, karena mereka telah ada lebih dahulu sebelum umat Muhammad Shallallahu ‘ alaihi wa sallam. (Ma’ anil Qur`an wa I’ rabuha, 4/171)

Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu juga menyebutkan hal ini dalam tafsirnya. (Jami’ ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an, 10/294) Mujahid rahimahullahu berkata:

“Seorang wanita berjalan di hadapan orang-orang, itulah yang dinamakan tabarruj jahiliah.”

Qatadah rahimahullahu menambahkan bahwa wanita yang bertabarruj adalah wanita yang keluar rumah dengan berjalan lenggak-lenggok dan genit. (Tafsir Ath-Thabari, 10/294)

Al-Imam Majdudin Abus Sa’ adat Al-Mubarak bin Muhammad Al- Jazari atau yang lebih dikenal dengan Ibnul Atsir rahimahullahu menjelaskan makna tabarruj dari hadits

“Nabiyullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam membenci sepuluh perangai (perbuatan)… (kemudian disebutkan satu persatunya, di antaranya adalah:) tabarruj dengan perhiasan tidak pada tempatnya.” (HR. Abu Dawud no. 4222. Namun hadits ini mungkar3 kata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Dha’ if Sunan Abi Dawud)

Ibnul Atsir rahimahullahu berkata:

“Tabarruj adalah menampakkan perhiasan kepada laki-laki yang bukan mahram (ajnabi).

Perbuatan seperti ini jelas tercela. Adapun menampakkan perhiasan kepada suami, tidaklah tercela. Inilah makna dari lafaz hadits, ‘ (menampakkan perhiasan) tidak pada tempatnya’ .” (An-Nihayah fi Gharibil Hadits)

Dengan keterangan di atas insya Allah menjadi jelas bagi kita apa yang dimaukan dengan tabarruj.
Hukumnya pun tampak bagi kita, yakni seorang muslimah dilarang keluar rumah dengan tabarruj.

Namun sangat disesalkan kenyataan yang kita dapatkan di
sekitar kita.
Berseliwerannya wanita dengan dandanan aduhai, ditambah wangi yang semerbak di jalan-jalan dan pusat keramaian, sudah dianggap sesuatu yang lazim di negeri ini.

Bahkan kita akan dianggap aneh ketika mengingkarinya.

Tidak usahlah kita membicarakan para wanita yang berpakaian “telanjang” di jalan-jalan, karena keadaan mereka sudah sangat parah, membuat orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ ala dan hari akhir bergidik dan terus beristighfar.

Cukup yang kita tuju para muslimah yang masih punya kesadaran berislam walaupun mungkin setipis kulit ari, hingga mereka menutup rambut mereka dengan kerudung dan membalut tubuh mereka dengan pakaian sampai mata kaki dengan berbagai model.

Sangat disesalkan para muslimah yang berkerudung ini ikut berlomba-lomba memperindah penampilannya di depan umum dengan model ‘ busana muslimah’ terkini dan kerudung ‘ gaul’ yang penuh pernak-pernik, pendek, dan transparan. Sehingga, berbusana yang sejatinya bertujuan menutup aurat dan keindahan seorang muslimah di hadapan lelaki selain mahramnya, malah justru menonjolkan keindahan.

Belum lagi wajah dan bibir yang dipoles warna-warni. Tangan yang dihiasi gelang, jari-jemari yang diperindah dengan cincin-cincin, dan parfum yang dioleskan ke tubuh dan pakaian.

Semuanya dipersembahkan di hadapan umum, seolah si wanita berkata,

“Lihatlah aku, pandangilah aku…” .

Wallahul musta’ an… Semua ini jelas merupakan perbuatan tabarruj yang dilarang dalam Al-Qur`anul Karim. Namun betapa jauhnya manusia dari bimbingan Al-Qur`an!!!

Allah Subhanahu wa Ta’ ala melarang para wanita bertabarruj. Namun mereka justru bangga melakukannya, mungkin karena ketidaktahuan atau memang tidak mau tahu.

Bisa jadi ada yang menganggap bahwa larangan tabarruj ini hanya ditujukan kepada istri-istri
Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam karena mereka yang menjadi sasaran pembicaraan dalam ayat 33 dari surat Al-Ahzab di atas.

Jawabannya sederhana saja. Bila wanita-wanita shalihah, wanita- wanita yang diberitakan nantinya akan tetap mendampingi Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam di surga, para Ummahatul Mukminin yang suci itu dilarang ber-tabarruj sementara mereka jauh sekali dari perbuatan demikian, apatah lagi wanita-wanita selain mereka yang hatinya dipenuhi syahwat dunia.

Siapakah yang lebih suci, istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam ataukah mereka?

Bila istri-istri Rasul Shallallahu ‘ alaihi wa sallam yang merupakan cerminan shalihah bagi wanita-wanita yang bertakwa itu diperintah untuk menjaga diri, jangan sampai jatuh ke dalam fitnah4 dan membuat fitnah, apalagi wanita-wanita yang lain…

Kalau ada yang menganggap larangan tabarruj itu hukumnya khusus bagi istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam karena mereka adalah pendamping manusia pilihan, kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ ala,
sementara wanita-wanita selain mereka tidak memiliki keistimewaan demikian,
maka kita tanyakan: Dari sisi mana penetapan hukum khusus tersebut, sementara alasan dilarangnya tabarruj karena akan menimbulkan fitnah bagi laki-laki?

5 Laki-laki yang memang diciptakan
punya ketertarikan terhadap wanita, tentunya akan tergoda melihat si wanita keluar dengan keindahannya. Bila tidak ada iman yang menahannya dari kenistaan, niscaya ia akan berpikir macam-macam yang pada akhirnya akan menyeretnya dan menyeret si wanita pada kekejian.

Bila tabarruj dilarang karena alasan seperti ini, lalu apa manfaatnya hukum larangan tersebut hanya khusus bagi para istri Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam?

Apakah bisa diterima kalau dikatakan para istri Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam dilarang tabarruj karena mereka wanita mulia yang harus dijaga, tidak boleh menimbulkan fitnah, sementara wanita selain mereka tidak perlu dijaga dan kalaupun bertabarruj tidak akan membuat fitnah???

Di manakah orang- orang yang katanya berakal itu meletakkan pikirannya?
Wallahul musta’ an.
Al-Imam Abu Bakr Ahmad bin ‘ Ali Ar-Razi Al-Jashshash rahimahullahu menyatakan bahwa beberapa perkara yang disebutkan dalam ayat ini (Al- Ahzab: 33) dan ayat-ayat sebelumnya merupakan pengajaran adab dari Allah Subhanahu wa Ta’ ala terhadap istri-istri Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam sebagai penjagaan terhadap mereka dan seluruh wanitanya kaum mukminin juga dituju oleh ayat-ayat ini7. (Ahkamul Qur`an, 3/471)

Surat An-Nur ayat 60 juga menunjukkan bahwa larangan tabarruj tidak hanya khusus bagi
ummahatul mukminin, namun berlaku umum bagi seluruh mukminah.

Bila wanita yang sudah tua dan sudah mengalami menopause saja dilarang tabarruj sebagaimana dalam ayat:

“Dengan tidak bermaksud tabarruj dengan perhiasan yang dikenakan…” (An-Nur: 60)

tentunya larangan kepada wanita yang masih muda lebih utama lagi. Wanita yang keluar rumah dengan tabarruj hendaknya berhati-hati dengan ancaman yang dinyatakan

Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam dalam sabdanya berikut ini:

  “Ada dua golongan dari penduduk neraka yang keduanya
belum pernah aku lihat, pertama: satu kaum yang memiliki cemeti- cemeti seperti ekor sapi yang dengannya mereka memukul manusia. Kedua: para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka menyimpangkan lagi menyelewengkan orang dari kebenaran. Kepala-kepala mereka seperti punuk unta yang miring/condong. Mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium wanginya surga padahal wanginya surga sudah tercium dari jarak perjalanan sejauh ini dan itu.” (HR. Muslim no. 5547)

Kata Asy-Syaikh Ibnu ‘ Utsaimin rahimahullahu: “Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam mencirikan wanita ahlun nar itu dengan  maksudnya mereka mengenakan pakaian, akan tetapi mereka itu  “telanjang”, karena pakaian yang mereka kenakan tidaklah menutupi aurat mereka dengan semestinya.

Bisa jadi karena pakaian itu tipis, ketat, atau pendek. Mereka itu  menyimpang dari jalan yang benar. menyimpangkan orang lain dari kebenaran karena fitnah yang dimunculkan dari mereka. َ“rambut/kepala mereka seperti punuk unta yang miring”, karena rambut mereka ditinggikan hingga menyerupai punuk unta yang miring.” (Taujihat lil Mu`minat Haulat Tabarruj was Sufur, hal. 18)

Kedua golongan di atas belum ada di zaman Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam, namun sekarang telah kita dapatkan.

Hal ini termasuk mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam, di mana apa yang beliau kabarkan pasti terjadi. (Al- Minhaj, 14/336)

Yang perlu diingat, tidaklah satu dosa diancam dengan keras melainkan menunjukkan bahwa dosa tersebut termasuk dosa besar.

Sementara wanita yang keluar rumah dengan berpakaian namun hakikatnya telanjang, yang bertabarruj, berjalan berlenggak lenggok di hadapan kaum lelaki hingga menjatuhkan mereka ke dalam fitnah, dinyatakan tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium bau surga.

Nah, tersisalah pertanyaan: apakah dosa yang diancam seperti ini bisa dianggap remeh?

Maka berhati-hatilah!!!
catatan kaki:

1 Maksudnya pakaian luar yang kalau dibuka tidak menampakkan aurat.

2 Wafat tahun 311 H.

3 Hadits mungkar termasuk dalam hadits yang lemah.

4 Yang dimaksud dengan fitnah di sini adalah sesuatu yang membawa kepada ujian, bala, dan
adzab.

5 Terlebih lagi ada hadits yang berbunyi:
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnahnya wanita.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

6 Wafat tahun 370 H.

7 Yakni ayat ini tidak berlaku secara khusus bagi istri-istri Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam namun juga berlaku bagi wanita muslimah lainnya.
Walaupun konteks pembicaraannya memang ditujukan kepada istri- istri Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam, namun hukum yang disebutkan di dalam ayat berlaku umum.