Laman

Entri Populer

Tampilkan postingan dengan label hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hukum. Tampilkan semua postingan

Selasa, April 05, 2011

HADITS TENTANG HUKUM WANITA HAID,NIFAS,JUNUB MEMBACA ALQURAN

“Artinya : Dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam beliau bersabda, “Janganlah perempuan yang haid dan orang yang junub membaca sedikit pun juga dari (ayat) Al-Qur’ an.

” Dalam riwayat yang lain,
“Janganlah orang yang junub dan perempuan yang haid
membaca sedikit pun juga dari
(ayat) Al-Qur’ an”

DLA’ IF Dikeluarkan oleh Tirmidzi (no. 121). Ibnu Majah (no. 595
dan 596). Ad-Daruquthni (1/117)
dan Baihaqiy (1/89), dari jalan
Ismail bin Ayyaasy dari Musa bin
Uqbah dari Naafi, dari Ibnu Umar
(ia berkata seperti di atas)

Berkata Imam Bukhari, “Ismail (bin Ayyaasy) munkarul hadits
(apabila dia meriwayatkan
hadits) dari penduduk Hijaz dan
penduduk Iraq”

[1] Saya berkata : Hadits di atas
telah diriawayatkan oleh Ismail
bin Ayyaasy dari Musa bin Uqbah
seorang penduduk Iraq.
Dengan demikian riwayat Ismail bin
Ayyaasy dla’ if. Imam Az-Zaila’ i di kitabnya Nashbur Raayah (I/195)

menukil keterangan Imam Ibnu Adiy di kitabnya Al-Kaamil bahwa Ahmad
dan Bukhari dan lain-lain telah
melemahkan hadits ini dan Abu
Hatim menyatakan bahwa yang benar hadits ini mauquf kepada
Ibnu Umar (yakni yang benar
bukan sabda Nabi Shallallahu
‘ alaihi wa sallam akan tetapi hanya perkataan Ibnu Umar).

Berkata Al-Hafidzh Ibnu Hajar di
kitabnya Talkhisul Habir (1/138) :
Di dalam sanadnya ada Ismail bin
Ayyaasy, sedangkan riwayatnya
dari penduduk Hijaz dla’ if dan di antaranya (hadits) ini.

Berkata Ibnu Abi Hatim dari bapaknya (Abu Hatim), “Hadits Ismail bin Ayyaasy ini keliru, dan (yang benar) dia hanya perkataan Ibnu Umar”.

Dan telah berkata Abdullah bin Ahmad dari bapaknya (yaitu Imam Ahmad ia berkata), “(Hadits) ini batil, “Beliau mengingkari (riwayat) Ismail. Sekian dari Al-Hafidz Ibnu
Hajar.

Hadits yang lain dari jalan Ibnu
Umar “Artinya : Dari jalan Abdul Malik bin Maslamah (ia berkata) Telah menceritakan kepadaku
Mughirah bin Abdurrahman, dari
Musa bin Uqbah dan Naafi, dari
Ibnu Umar, ia berkata :

Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam, “Tidak boleh bagi orang junub membaca
sedikitpun juga dari (ayat) Al-
Qur’ an” DLA’ IF. Diriwayatkan oleh Ad- Daruquthni (1/117)

Al-Hafidz Ibnu Hajar telah
melemahkan riwayat di atas
disebabkan Abdul Malik bin
Maslamah seorang rawi yang
dla’ if (Talkhisul Habir 1/138)

Hadits yang lain dari jalan Ibnu
Umar. “Artinya : Dari seorang laki-laki, dari Abu Ma’ syar, dari Musa bin Uqbah, dari Naafi, dari Ibnu Umar,
dari Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam beliau bersabda,
“Perempuan yang haid dan orang yang junub, keduanya tidak
boleh membaca sedikitpun juga
dari (ayat) Al-Qur’ an ” DLA’ IF. Diriwayatkan oleh Ad- Daruquthni (1/117)

Saya berkata : Riwayat ini dla’ if karena : Pertama : Ada seorang
rawi yang mubham (tidak disebut
namanya yaitu dari seorang laki-
laki). Kedua : Abu Ma’ syar seorang rawi yang dla’ if.

Hadits yang lain dari jalan Jabir
bin Abdullah. “Artinya : Dari jalan Muhammad bin Fadl, dari bapaknya, dari Thawus, dari Jabir, ia berkata :
Telah bersabda Rasulullah
Shallallahu ‘ alaihi wa sallam, “Tidak boleh bagi perempuan yang haid dan nifas (dalam riwayat yang lain : Orang yang junub) membaca (ayat) Al-Qur’ an sedikitpun juga (dalam riwayat) yang lain : Sedikitpun juga dari (ayat) Al-Qur’ an)” MAUDLU, Diriwayatkan oleh Ad-
Daruquthni (2/87) dan Abu
Nua’ im di kitabnya Al-Hilyah (4/22).
Saya berkata : Sanad hadits ini
maudhu (palsu) karena
Muhammad bin Fadl bin Athiyah
bin Umar telah dikatakan oleh
para Imam ahli hadits sebagai
pendusta sebagaimana keterangan Al-Hafidz Ibnu Hajar di Taqrib-nya (2/200).
Dan di kitabnya Talkhisul Habir (1/138)
beliau mengatakan bahwa orang
ini matruk.

Ketika hadits-hadits diatas dari
semua jalannya dla’ if
bahkan hadits terakhir maudlu, maka
tidak bisa dijadikan sebagai dalil
larangan bagi perempuan haid
dan nifas dan orang yang junub
membaca Al-Qur’ an.
Bahkan telah datang sejumlah dalil yang membolehkannya.

Pertama : Apabila tidak ada satu
pun dalil yang sah (shahih dan
hasan) yang melarang
perempuan haid, nifas dan orang
yang junub membaca ayat-ayat
Al-Qur’ an, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum asal
tentang perintah dan keutamaan
membaca Al-Qur’ an secara mutlak termasuk perempuan
haid, nifas dan orang yang junub.

Kedua : Hadits Aisyah ketika dia
haid sewaktu menunaikan ibadah
haji.

“Artinya : Dari Aisyah, ia berkata : Kami keluar (menunaikan haji) bersama Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam (dan) kami tidak menyebut kecuali haji. Maka ketika kami sampai di (satu tempat bernama) Sarif aku haid. Lalu Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam masuk menemuiku dan aku sedang menangis, lalu beliau
bertanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?” Jawabku, “Aku ingin demi Allah kalau sekiranya aku tidak haji
pada tahun ini?” Jawabku,
“Ya” Beliau bersabda, “Sesungguhnya (haid) ini adalah sesuatu yang telah Allah tentukan untuk anak-anak perempuan Adam, oleh karena itu kerjakanlah apa-apa
yang dikerjakan oleh orang yang
sedang haji selain engkau tidak boleh thawaf di Ka’ bah sampai engkau suci (dari haid)”
Shahih riwayat Bukhari (no. 305)
dan Muslim (4/30)

Hadits yang mulia ini dijadikan
dalil oleh para Ulama di
antaranya amirul mu’ minin fil hadits Al-Imam Al-Bukhari di kitab
Shahih-nya bagian Kitabul Haid
bab 7 dan Imam Ibnu Baththaal,
Imam Ath-Thabari, Imam Ibnul
Mundzir dan lain-lain bahwa
perempuan haid, nifas dan orang yang junub boleh membaca Al-
Qur’ an dan tidak terlarang.

Berdasarkan perintah Nabi
Shallallahu ‘ alaihi wa sallam kepada Aisyah untuk
mengerjakan apa-apa yang
dikerjakan oleh orang yang
sedang menunaikan ibadah haji
selain thawaf dan tentunya juga
terlarang shalat.

Sedangkan yang selainnya boleh termasuk membaca Al-Qur’ an. Karena kalau membaca Al-Qur’ an terlarang bagi perempuan haid tentu Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam telah menjelaskannya kepada Aisyah. Sedangkan Aisyah saat itu
sangat membutuhkan penjelasan
dari Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam apa yang boleh dan
terlarang baginya.

Menurut ushul
“mengakhirkan keterangan dari waktu yang dibutuhkan tidak
boleh. Ketiga : Hadits Aisyah. “Artinya : Dari Aisyah, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam biasa berdzikir atas segala
keadaannya” [Hadits shahih riwayat Muslim (1/194 dan lain-
lain] Hadits yang mulia ini juga
dijadikan hujjah oleh Al-Imam Al-
Bukhari dan lain-lain imam
tentang bolehnya orang yang
junub dan perempuan haid atau
nifas membaca Al-Qur’ an.

Karena Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam berdzikir kepada Allah atas
segala keadaannya dan yang
termasuk berdzikir ialah
membaca Al-Qur’ an.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ ala.

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikra [2]

(Al-Qur’ an) ini, dan sesungguhnya Kami jugalah yang akan (tetap)
menjaganya” [Al-Hijr : 9]

“Dan Kami turunkan kepadamu Adz-Dzikra (Al-Qur’ an) supaya engkau jelaskan kepada manusia
apa yang diturunkan kepada
mereka dan agar supaya mereka
berfikir” [An-Nahl : 44]

Keempat : Surat Rasulullah
Shallallahu ‘ alaihi wa sallam kepada Heracleus yang di
dalamnya berisi ayat Al-Qur’ an sebagaimana diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim dan lain-lain.

Hadits yang mulia inipun dijadikan
dalil tentang bolehnya orang
yang junub membaca Al-Qur’ an.

Karena sudah barang tentu
orang-orang kafir tidak selamat
dari janabah, meskipun demikian
Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam menulis surat kepada mereka
yang didalamnya terdapat firman
Allah.

Kelima : Ibnu Abbas mengatakan
tidak mengapa bagi orang yang
junub membaca Al-Qur’ an (Shahih Bukhari Kitabul Haidh bab 7).

Jika engkau berkata : Bukankah
telah datang hadits bahwa Nabi
Shallallahu ‘ alaihi wa sallam tidak membaca Al-Qur’ an ketika janabah? Saya jawab : Hadits yang
dimaksud tidak sah dari hadits Ali
bin Abi Thalib dengan lafadz.

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam keluar dari tempat buang air (wc), lalu beliau makan daging bersama kami, dan tidak ada yang menghalangi beliau sesuatupun juga dari (membaca) Al-Qur’ an selain janabah: DLA’ IF. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 229), Tirmidzi (no
164), Nasa’ i (1/144), Ibnu Majah (no. 594), Ahmad (1/83, 84, 107
dan 124), Ath-Thayaalis di
Musnad-nya (no. 94), Ibnu
Khuzaimah di Shahih-nya (no.
208), Daruquthni (1/119), Hakim
(1/152 dan 4/107) dan Baihaqiy (1/88-89)

semuanya dari jalan
Amr bin Murrah dari Abdullah bin
Salimah dari Ali, marfu (Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wa salam berbeda seperti diatas)

Hadits ini telah dishahihkan oleh
Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu
Hibban, Hakim, Adz-Dzahabi, Ibnu
Sakan, Abdul Haq, Al-Baghawiy
dan Syaikhul Imam Ahmad
Muhammad Syakir di takhrij Tirmidzi dan takhrij musnad
Ahmad.

Dan hadits ini telah didlaifkan
oleh jama’ ah ahli hadits – dan inilah yang benar- Insya Allah di
antaranya oleh Syu’ bah, Syafi’ iy, Ahmad, Bukhari, Baihaqiy, Al-Mundziriy, An-
Nawawi, Al-Khathaabiy dan
Syaikhul Imam Al-Albani dan lain-
lain. Berkata Asy-Syafi’ iy, “Ahli hadits tidak mentsabitkan
(menguatkan)nya”.

Yakni, ahli hadits tidak menguatkan riwayat
Abdullah bin Salimah. Karena Amr
bin Murrah yang meriwayatkan
hadits ini Abdullah bin Salimah
sesudah Abdullah bin Salimah tua
dan berubah hafalannya.

Demikian telah diterangkan oleh
para Imam di atas. Oleh karena
itu hadits ini kalau kita mengikuti
kaidah-kaidah ilmu hadits, maka
tidak ragu lagi tentang dla’ ifnya dengan sebab di atas yaitu
Abdullah bin Salimah ketika
meriwayatkan hadits ini telah
tua dan berubah hafalannya.

Maka bagaimana mungkin hadits
ini sah (shahih atau hasan)!.
Selain itu hadits ini juga tidak
bisa dijadikan dalil larangan bagi
orang yang junub dan
perempuan yang haid atau nifas
membaca Al-Qur’ an, karena semata-mata Nabi Shallallahu
‘ alaihi wa sallam tidak membacanya dalam junub tidak
berarti beliau melarangnya
sampai datang larangan yang
tegas dari beliau.

Ini kalau kita takdirkan hadits di atas sah, apalagi hadits di atas dla’ if tentunya lebih tidak mungkin lagi
dijadikan sebagai hujjah atau
dalil!

HUKUM WANITA HAID MEMBACA AL QURAN

Dalam persoalan ini terdapat sebuah hadis Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

Tidak boleh membaca sesuatu apa jua daripada al-Qur’ an seorang yang dalam keadaan junub atau haid.[4]

Hadis ini memiliki beberapa jalan periwayatan namun setiap darinya adalah dha‘ if.
Berkata Imam al-Nawawi rahimahullah (676H):

[5] Adapun hadis Ibn Umar:

“Tidak boleh membaca sesuatu apa jua daripada al-Qur’ an seorang yang dalam keadaan junub atau haid” , maka ia diriwayatkan oleh al-Tirmizi, Ibn Majah, al-Baihaqi dan selainnya.
Ia adalah hadis yang dha‘ if,
didha‘ ifkan oleh al- Bukhari, al-Baihaqi dan selainnya.
Kedha‘ ifan yang terdapat padanya adalah jelas.

Namun sebahagian ahli fiqh tetap melarang seorang wanita yang sedang haid daripada membaca al-Qur’ an kerana diqiyaskan keadaan haid kepada keadaan junub.

[6] Namun hal ini dianggap tidak tepat kerana dua sebab:

1. Peranan qiyas ialah mengeluarkan hukum bagi perkara-perkara yang tidak wujud pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Apa- apa perkara baru yang wujud selepas itu, maka hukumnya disandarkan secara analogi kepada sesuatu yang sudah sedia dihukumkan pada zaman Rasulullah berdasarkan kesamaan
sebabnya (‘ illat).
Adapun haid, maka ia adalah sesuatu yang wujud secara lazim pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Apabila pada zaman itu Allah dan Rasul-Nya tidak menjatuhkan hukum melarang wanita yang haid daripada membaca al-Qur’ an, maka tidak perlu bagi orang-orang terkemudian membuat hukum yang baru.

2. Haid dan junub adalah dua keadaan yang jauh berbeda.
Junub adalah satu keadaan di mana seseorang itu memiliki pilihan untuk berada dalamnya atau tidak, dan seseorang itu boleh keluar daripada keadaan junub pada bila-bila masa melalui mandi wajib atau tayamum.

Berbeda halnya dengan haid ia bermula dan berakhir tanpa pilihan.

Sebagian lain melarang atas dasar memelihara kesucian dan keagungan al-Qur’ an.

Justeru mereka berpendapat tidak boleh membaca (mentilawahkan) al- Qur’ an kecuali beberapa perkataan atas dasar zikir dan memperoleh keberkatan.

[7] Pendapat ini juga dianggap kurang tepat kerana seseorang wanita, sama ada dalam keadaan haid atau tidak, tetap dianggap suci dan dihalalkan bagi mereka semua yang dihalalkan
melainkan wujudnya dalil yang sahih yang melarang sesuatu ibadah seperti solat, puasa, tawaf dan bersetubuh.
Adapun pensyari‘ atan mandi wajib selepas berakhirnya tempo haid,
ia adalah penyucian atas sesuatu yang sedia suci dan bukannya penyucian atas sesuatu yang sebelum itu bersifat najis.

Oleh itu tidaklah berkurang sedikitpun kesucian dan keagungan al-Qur’ an apabila ia dibaca oleh seseorang wanita yang sedang dalam keadaan haid.

Pernah sekali Abu Hurairah radhiallahu 'anh mengasingkan diri daripada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Beliau pulang ke rumah untuk mandi wajib dan kemudian kembali. Rasulullah bertanya kenapakah dilakukan sedemikian, lalu Abu Hurairah menerangkan bahwa tadi beliau sebenarnya dalam keadaan junub.
Mendengar itu Rasulullah bersabda:

Subhanallah! Wahai Abu Hurairah! Sesungguhnya orang mukmin tidaklah ia menjadi najis.

[8] Kata-kata Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di atas bersifat umum, menunjukkan bahawa seorang mukmin tidaklah ia sekali-kali akan berada dalam keadaan najis sekalipun dia dalam
keadaan junub.

Termasuk dalam keumuman hadis ini ialah wanita yang sedang haid.

Sebagai rumusan kepada kupasan ini, berikut dinukil kata- kata Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah (728H):

[9] Sesungguhnya para wanita mereka mengalami haid pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka seandainya membaca al-Qur’ an diharamkan ke atas mereka (ketika haid) seperti mana solat, pasti baginda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam akan menjelaskannya kepada umatnya.
Baginda akan mengajarnya kepada para Ummul Mukminun (para isteri baginda) dan akan dinukil daripada mereka oleh orang ramai.
Akan tetapi tidak ada satupun (riwayat) yang melarang yang dinukil daripada Nabi.
Oleh itu hal ini tidak boleh dianggap terlarang padahal telah diketahui bahawa baginda tidak melarangnya.

Justeru jika baginda tidak melarangnya padahal ramai wanita yang haid di zamannya, maka sesungguhnya ketahuilah bahwa
ia memangnya tidak haram.

Kesimpulan: Allah Subhanahu wa Ta‘ ala berfirman:

Alif-Lam-Mim. Kitab Al-Quran ini, tidak ada sebarang syak padanya; ia pula menjadi petunjuk bagi orang-orang yang (hendak) bertaqwa.
[al-Baqarah 2:1-2]

Setiap individu Muslim yang bertaqwa memerlukan al-Qur’ an sebagai kitab yang memberi petunjuk kepada mereka.
Petunjuk ini diperlukan pada setiap masa dan tempat, termasuk oleh para wanita ketika mereka didatangi haid.
Tidak mungkin untuk dikatakan bahawa ketika haid mereka tidak
memerlukan petunjuk dalam kehidupan sehari-harian mereka.
Atas keperluan inilah al-Qur’ an dan al-Sunnah yang sahih tidak melarang para wanita yang didatangi haid daripada memegang dan membaca al- Qur’ an seperti biasa.

Adapun pendapat yang mengatakan ianya haram, ia adalah pendapat yang lemah sekalipun masyhur. ----------------------------------
----------------------------------
-----------------------
[1] Sahih: Hadis daripada ‘ Amr bin Hazm radhiallahu 'anh, dikeluarkan oleh Ibn Hibban, al- Hakim, Baihaqi dan lain-lain melalui beberapa jalan yang setiap darinya memiliki kelemahan.
Namun setiap darinya saling menguat antara satu sama
lain sehingga dapat diangkat ke taraf sahih, atau setepatnya sahih lighairihi. Lihat semakan Badri Abdul al-Samad dalam al- Itihaf bi Takhrij Ahadith al-Isyraf ‘ ala Masail al-Ikhtilaf (Dar al- Buhts, Dubai 1999), jld. 1, ms. 77-82.

[2] Ayat yang sama ini juga digunakan oleh mereka yang berpendapat wajib berwudhu’ sebelum memegang al-Qur’ an, baik bagi lelaki atau wanita. Berdasarkan penjelasan yang sama di atas, dapat diketahui bahawa tidaklah tepat untuk menggunakan ayat ini sebagai dalil wajib berwudhu’ . Oleh itu yang benar adalah, boleh memegang dan membaca al- Qur’ an sekalipun tanpa berwudhu’ .

[3] Demikian juga keterangan beberapa sahabat dan tabi‘ in sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir al-Thabari dalam Jamii al-Bayan (Dar al-Fikr, Beirut
1999), riwayat no: 25955 – 25970. Lihat juga al-Mawardi - Al-Nukatu wa al-‘ Uyun (Dar al- Kutub al-Ilmiyah, Beirut), jld. 5, ms. 463-464.

[4] Dha‘ if: Hadis daripada ‘ Abd Allah ibn Umar radhiallahu 'anh, dikeluarkan oleh al-Tirmizi, Ibn Majah, al-Daruquthni dan lain- lain. Ia memiliki 3 jalan periwayatan yang semuanya dha‘ if. Shaikh al-Albani tidak menjadikannya penguat antara satu sama lain manakala Badri ‘ Abd al-Samad berpendapat ia saling menguat sehingga dapat diangkat ke taraf hasan (hasan lighairihi). Lihat Irwa al-Ghaleel fi Takhrij Ahadith Manar al-Sabil (Maktabah al-Islami, Beirut), hadis no: 192 dan al-Ittihaf bi Takhrij Ahadith al-Isyraf, jld 1, ms 83-84.

[5] Majmu’ Syarh al-Muhazzab (Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, Beirut 2001), jld. 2, ms. 123-125 (Kitab Taharah, Bab Apa yang mewajibkan mandi, Bab Hukum terhadap 3 perkara).

[6] Lihat Majmu Syarh al- Muhazzab jld. 2, ms. 267-268 (Kitab Haid, berkata al-Musannif: “Dan dilarang atasnya membaca Qur’ an… .”).

[7] Lihat al-Kasani – al-Bada‘ i al- Sona‘ i (Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut 1982), jld. 1, ms. 38 (Bab permasalahan adab-adab wudhu’) .

[8] Sahih: Ringkasan hadis yang dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim, lihat al-Lu’ Lu’ wa al- Marjan (Fu‘ ad Abdul Baqi; Dar al- Salam, Riyadh 1995) – hadis no: 210.

[9] Majmu al-Fatawa (Dar al- Wafa’ , Kaherah 2001), jld. 26, ms. 191. Lihat juga pembahasan Ibn Hazm dalam al-Muhalla (Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, Beirut), jld. 1, ms. 78-85 (Masalah no: 116: Membaca al-Qur’ an dan bersujud dan menyentuh mushaf).

HUKUM WANITA HAID MEMEGANG AL QURAN

Hukum wanita yang didatangi haid memegang al- Qur’ an. Umumnya terdapat dua pendapat, yang pertama mengatakan tidak boleh manakala yang kedua berkata boleh. Pendapat yang pertama merujuk kepada firman Allah:
Yang tidak disentuh melainkan oleh makhluk-makhluk yang diakui bersih suci.
[al-Waqiah 56:79]
Diikuti dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
Tidaklah menyentuh al-Qur’ an dan tidak juga mushaf melainkan orang yang suci.[1] Manakala bagi pendapat kedua, mereka berpegang kepada kaedah bahawa seseorang wanita yang sedang haid boleh melakukan semua perkara seperti biasa melainkan wujud dalil tepat (qathi) yang melarangnya. Dalam hal ini yang jelas dilarang adalah bersolat, berpuasa, melakukan tawaf dan bersetubuh. Adapun hukum memegang al-Qur’ an, tidak ada dalil tepat yang melarang seseorang yang sedang haid daripada memegangnya.
Ayat al-Qur’ an yang dijadikan rujukan oleh pendapat pertama adalah tidak tepat untuk dijadikan hujah kerana perkataan al-Mutatahharun sebenarnya merujuk kepada para malaikat sebagaimana yang boleh dilihat daripada keseluruhan ayat yang berkaitan:
Bahawa sesungguhnya itu ialah Al-Quran yang mulia, Yang tersimpan dalam Kitab yang cukup terpelihara, Yang tidak disentuh melainkan oleh makhluk-
makhluk yang diakui bersih suci; Al-Quran itu diturunkan dari Allah
Tuhan sekalian alam. [al-Waqiah 56:77-80][2] Berkata Ibnu Abbas radhiallahu 'anh, ayat “fii Kitabim-maknun” bererti di langit, yakni di al-Lauh al-Mahfuz manakala al- Mutatahharun adalah para malaikat yang suci.[3] Justeru keseluruhan ayat sebenarnya menerangkan tentang kitab al-Qur’ an yang sebelum ini tersimpan dalam al- Lauh al-Mahfuz, di sana ia tidak disentuh oleh sesiapa kecuali para malaikat sehinggalah ia diturunkan ke bumi kepada manusia.
Hadis yang dijadikan dalil melarang adalah juga tidak tepat
sandarannya kerana perkataan al-Taharun yang bererti suci adalah satu perkataan yang memiliki banyak erti (lafaz Mushtarak) dan mengikut kaedah Usul Fiqh: Sesuatu perkataan yang memiliki banyak erti tidak boleh dibataskan kepada satu maksud tertentu melainkan wujud petunjuk yang dapat mendokongi pembatasan tersebut.
Perkataan suci dalam hadis di atas boleh bererti suci daripada najis seperti tahi dan air kencing. Boleh juga bererti suci daripada hadas besar seperti haid dan junub, dan suci daripada hadas kecil yakni seseorang yang dalam keadaan wudhu’ . Ia juga boleh bererti suci dari sudut akidah sepertimana firman Allah terhadap orang-orang musyrik:
Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis. [al-Taubah 9:28]
Oleh itu perlu dicari maksud sebenar kepada perkataan suci dalam hadis di atas. Salah satu caranya ialah dengan mengkaji keseluruhan hadis di mana ia sebenarnya adalah sepucuk surat yang dihantar oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada seorang sahabat di Yaman. Pada saat itu Yaman adalah sebuah wilayah yang penduduknya masih terdiri daripada campuran orang bukan Islam dan Islam, justeru kemungkinan yang besar adalah surat tersebut bertujuan melarang al-Qur’ an daripada disentuh oleh orang bukan Islam.
Himpunan antara asal usul hadis dan rujukan al-Qur’ an kepada orang musyrik sebagai najis dapat mengarah kepada satu petunjuk yang tepat bahawa erti suci dalam hadis di atas sebenarnya merujuk kepada orang Islam. Justeru keseluruhan hadis sebenarnya melarang orang-orang bukan Islam daripada memegang kitab atau mushaf al-Qur’ an. Akhirnya jika dianalisa antara dua pendapat di atas, yang lebih tepat adalah pendapat kedua yang membolehkan seorang wanita yang sedang haid untuk memegang al-Qur’ an.