Laman

Entri Populer

Tampilkan postingan dengan label wanita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label wanita. Tampilkan semua postingan

Sabtu, Juni 25, 2011

HADITS TENTANG WANITA YANG MEMAKAI PARFUM

Dari Abu Musa Al Asy’ ary bahwanya ia berkata, Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wa sallam bersabda

“Seorang perempuan yang mengenakan wewangian lalu
melalui sekumpulan laki-laki agar
mereka mencium bau harum yang
dia pakai maka perempuan
tersebut adalah seorang
pelacur.” (HR. An Nasa’ i, Abu Daud, Tirmidzi dan Ahmad. Syaikh
Al Albani dalam Shohihul Jami’ no. 323 mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Dari Yahya bin Ja’ dah, “Di masa pemerintahan Umar bin Khatab
ada seorang perempuan yang
keluar rumah dengan memakai
wewangian. Di tengah jalan, Umar
mencium bau harum dari
perempuan tersebut maka Umar pun memukulinya dengan
tongkat. Setelah itu beliau
berkata,

“Kalian, para perempuan keluar rumah dengan memakai
wewangian sehingga para laki-
laki mencium bau harum kalian?!
Sesungguhnya hati laki-laki itu
ditentukan oleh bau yang dicium
oleh hidungnya. Keluarlah kalian dari rumah dengan tidak
memakai wewangian”. (HR. Abdurrazaq dalam al Mushannaf
no 8107)

Dari Ibrahim, Umar (bin Khatab)
memeriksa shaf shalat jamaah
perempuan lalu beliau mencium
bau harum dari kepala seorang
perempuan. Beliau lantas
berkata

“Seandainya aku tahu siapa di antara kalian yang memakai
wewangian niscaya aku akan
melakukan tindakan demikian dan
demikian.
Hendaklah kalian
memakai wewangian untuk
suaminya.
Jika keluar rumah hendaknya memakai kain jelek
yang biasa dipakai oleh budak
perempuan”. Ibrahim mengatakan,

“Aku mendapatkan kabar bahwa perempuan yang
memakai wewangian itu sampai
ngompol karena takut (dengan
Umar)”. (HR. Abdur Razaq no 8118)

smga bermanfaat..

Sabtu, Juni 18, 2011

WANITA TUTUPLAH AURAT MU

Jika seorang wanita muslimah
memakai hijab (jilbab), secara
tidak langsung ia berkata
kepada semua kaum laki-laki

“Tundukkanlah pandanganmu, aku bukan milikmu serta kamu
juga bukan milikku, tetapi saya
hanya milik orang yang dihalalkan
Allah bagiku.
Aku orang yang merdeka dan tidak terikat dengan siapa pun dan aku tidak tertarik kepada siapa pun,
karena saya jauh lebih tinggi dan
terhormat dibanding mereka
yang sengaja mengumbar
auratnya supaya dinikmati oleh
banyak orang.

” Wanita yang bertabarruj atau
pamer aurat dan menampakkan
keindahan tubuh di depan kaum
laki-laki lain, akan mengundang
perhatian laki-laki hidung belang
dan serigala berbulu domba. Secara tidak langsung ia berkata,
“Silahkan anda menikmati keindahan tubuhku dan kecantikan wajahku.
Adakah orang yang mau mendekatiku?
Adakah orang yang mau
memandangiku?
Adakah orang yang mau memberi senyuman kepadaku?
Atau manakah orang
yang berseloroh
“Aduhai betapa cantiknya?”
Mereka berebut menikmati
keindahan tubuhnya dan
kecantikan wajahnya, sehingga
membuat laki-laki terfitnah,
maka jadilah ia sasaran empuk
laki-laki penggoda dan suka mempermainkan wanita.

Manakah di antara dua wanita di
atas yang lebih merdeka?
Jelas, wanita yang berhijab secara
sempurna akan memaksa setiap
laki-laki yang melihat menundukkan pandangan dan bersikap hormat. Mereka juga menyimpulkan, bahwa dia adalah wanita merdeka, bebas dan sejati,

sebagaimana firman Allah
Subhannahu wa Ta’ ala ,

“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak
diganggu.” (Al-Ahzab :59).

Wanita yang menampakkan aurat
dan keindahan tubuh serta
paras kecantikannya, laksana
pengemis yang merengek-rengek
untuk dikasihani.

Hal itu jelas mengundang perhatian laki-laki yang hobi menggoda dan
mempermainkan kaum wanita,
sehingga mereka menjadi mangsa
laki-laki bejat dan rusak
tersebut.

Dia ibarat binatang
buruan yang datang sendiri ke perangkap sang pemburu.
Akhirnya, ia menjadi wanita yang
terhina, terbuang, tersisih dan
kehilangan harga diri serta
kesucian.

Dan dia telah
menjerumuskan dirinya dalam kehancuran dan malapetaka
hidup. ==================================
================

Syarat-Syarat Hijab (pakaian
islami bagi wanita):

Pertama;

Hendaknya menutup seluruh
tubuh dan tidak menampakkan
anggota tubuh sedikit pun, selain
yang dikecualikan

karena Allah berfirman,

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka dan
janganlah menampakkan
perhiasan mereka, kecuali yang
biasa nampak.” (An-Nuur: 31)

Dan juga firman Allah
Subhannahu wa Ta’ ala,

“Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri
orang mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih
mudah untuk dikenal, karena itu
mereka tidak diganggu. Dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi
Maha Penyanyang.” (Al Ahzab :59).

Ke dua;

Hendaknya hijab tidak menarik
perhatian pandangan laki-laki
bukan mahram.
Agar hijab tidak memancing pandangan kaum laki- laki, maka harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

Hendaknya hijab terbuat dari
kain yang tebal, tidak
menampakkan warna kulit tubuh
(transfaran).

Hendaknya hijab tersebut
longgar dan tidak menampakkan
bentuk anggota tubuh.
Hendaknya hijab tersebut tidak
berwarna-warni dan tidak
bermotif.

Hijab bukan merupakan pakaian
kebanggaan dan kesombongan
karena Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Salam
bersabda,

“Barangsiapa yang mengenakan pakaian kesombongan (kebanggaan) di dunia maka Allah akan
mengenakan pakaian kehinaan
nanti pada hari kiamat kemudian
dibakar dengan Neraka.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah, dan
hadits ini hasan).

Hendaknya hijab tersebut tidak
diberi parfum atau wewangian
berdasar-kan hadits dari Abu
Musa Al-Asy’ ary, dia berkata, Bahwa Rasulullah
bersabda,

“Siapa pun wanita yang mengenakan wewangian, lalu melewati segolongan orang agar mereka mencium baunya, maka ia adalah wanita pezina” (H.R Abu Daud, Nasa’ i dan Tirmidzi, dan hadits ini
Hasan)

Ke tiga;

Hendaknya pakaian atau
hijab yang dikenakan tidak
menyerupai pakaian laki-laki atau
pakaian kaum wanita kafir,
karena

Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Salam bersabda,

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia
termasuk bagian dari
mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Dan Rasulullah mengutuk seorang
laki-laki yang mengenakan
pakaian wanita dan mengutuk
seorang wanita yang mengenakan pakaian laki-laki.(H.R. Abu Dawud an-Nasa’ i dan Ibnu Majah, dan hadits ini sahih).
Catatan : Menutup wajah
menurut syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani di dalam
kitabnya Jilbab al-Mar’ ah al- Muslimah Fil Kitab Was Sunnah,
adalah sunnah, akan tetapi yang
memakainya mendapat
keutamaan.

Semoga tulisan ini memberi
manfaat bagi seluruh kaum muslimin, terutama para wanita
muslimah agar lebih mantap/
teguh dalam menjaga hijab
mereka.

dikutip dari tulisan : Ummu Ahmad
Rifqi

Senin, April 18, 2011

adab bicara wanita muslimah

Berhati-hatilah dari terlalu banyak berceloteh dan terlalu banyak berbicara, Allah Ta’ ala berfirman: ” ﻻ ﺮﻴﺧ ﻲﻓ ﺮﻴﺜﻛ ﻦﻣ ﻢﻫﺍﻮﺠﻧ ﻻﺇ ﻦﻣ ﺮﻣﺃ ﺔﻗﺪﺼﺑ ﻭﺃ ﻑﻭﺮﻌﻣ ﻭﺃ ﺡﻼﺻﺇ ﻦﻴﺑ ﺱﺎﻨﻟﺍ ” ) ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ : ﺔﻳﻵﺍ 114 ). Artinya: “Dan tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau
berbuat ma’ ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia “. (An nisa:114) Dan ketahuilah wahai saudariku,semoga Allah ta’ ala merahmatimu dan menunjukimu kepada jalan kebaikan, bahwa disana ada yang senantiasa mengamati dan mencatat perkataanmu. “ ﻦﻋ ﻦﻴﻤﻴﻟﺍ ﻦﻋﻭ ﻝﺎﻤﺸﻟﺍ ﺪﻴﻌﻗ . ﺎﻣ ﻆﻔﻠﻳ ﻦﻣ ٍﻝﻮﻗ ﻻﺇ ﻪﻳﺪﻟ ﺐﻴﻗﺭ ﺪﻴﺘﻋ ” ) ﻕ : ﺔﻳﻵﺍ 17 - 18 ) Artinya: “Seorang duduk disebelah kanan,dan yang lain duduk disebelah kiri.tiada satu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (Qaaf:17-18). Maka jadikanlah ucapanmu itu menjadi perkataan yang ringkas, jelas yang tidak bertele-tele yang dengannya akan memperpanjang pembicaraan. 1) Bacalah Al qur’ an karim dan bersemangatlah untuk menjadikan itu sebagai wirid keseharianmu, dan senantiasalah berusaha untuk menghafalkannya sesuai kesanggupanmu agar engkau bisa mendapatkan pahala yang besar dihari kiamat nanti. ﻦﻋ ﺪﺒﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻦﺑ ﻭﺮﻤﻋ ﻲﺿﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﺎﻤﻬﻨﻋ - ﻦﻋ ﻲﺒﻨﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺳﻭ ﻝﺎﻗ : ” ﻝﺎﻘﻳ ﺐﺣﺎﺼﻟ ﻥﺁﺮﻘﻟﺍ : ﺃﺮﻗﺍ ﻖﺗﺭﺍﻭ ﻞﺗﺭﻭ ﺎﻤﻛ ﺖﻨﻛ ﻞﺗﺮﺗ ﻲﻓ ﺎﻴﻧﺪﻟﺍ ﻥﺈﻓ ﻚﺘﻟﺰﻨﻣ ﺪﻨﻋ ﺮﺧﺁ ﺔﻳﺁ ﺎﻫﺅﺮﻘﺗ ﻮﺑﺃ ﻩﺍﻭﺭ ﻱﺬﻣﺮﺘﻟﺍﻭ ﺩﻭﺍﺩ Dari abdullah bin ‘ umar radiyallohu ‘ anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, beliau bersabda: “dikatakan pada orang yang senang membaca alqur’ an: bacalah dengan tartil sebagaimana engkau dulu sewaktu di dunia membacanya dengan tartil, karena sesungguhnya kedudukanmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca. (HR.abu daud dan attirmidzi) 2) Tidaklah terpuji jika engkau selalu menyampaikan setiap apa yang engkau dengarkan, karena kebiasaan ini akan menjatuhkan dirimu kedalam kedustaan. ﻦﻋ ﻲﺑﺃ ﺓﺮﻳﺮﻫ ﻲﺿﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻨﻋ ﻥﺃ ﻲﺒﻨﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻝﺎﻗ ﻢﻠﺳﻭ : ” ًﺎﺑﺬﻛ ﺀﺮﻤﻟﺎﺑ ﻰﻔﻛ ﻊﻤﺳ ﺎﻣ ﻞﻜﺑ ﺙﺪﺤﺘﻳ ﻥﺃ “ Dari Abu hurairah radiallahu ‘ anhu,sesungguhnya Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam bersabda: “Cukuplah seseorang itu dikatakan sebagai pendusta ketika dia menyampaikan setiap apa yang dia dengarkan.” (HR.Muslim dan Abu Dawud) 3) jauhilah dari sikap menyombongkan diri (berhias diri) dengan sesuatu yang tidak ada pada dirimu, dengan tujuan membanggakan diri dihadapan manusia. ﻦﻋ ﺔﺸﺋﺎﻋ – ﻲﺿﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﺎﻬﻨﻋ - ﻥﺃ ﺓﺃﺮﻣﺍ ﺖﻟﺎﻗ : ﺎﻳ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ ، ﻝﻮﻗﺃ ﻥﺇ ﻲﺟﻭﺯ ﻲﻧﺎﻄﻋﺃ ﺎﻣ ﻢﻟ ؟ﻲﻨﻄﻌﻳ ﻝﺎﻗ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺳﻭ : ” ﻊﺒﺸﺘﻤﻟﺍ ﺎﻤﺑ ﻢﻟ ﻂﻌﻳ ﺭﻭﺯ ﻲﺑﻮﺛ ﺲﺑﻼﻛ “. Dari aisyah radiyallohu ‘ anha, ada seorang wanita yang mengatakan:wahai Rasulullah, aku
mengatakan bahwa suamiku memberikan sesuatu kepadaku yang sebenarnya tidak diberikannya.berkata Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam,: orang yang merasa memiliki sesuatu yang ia tidak diberi, seperti orang yang memakai dua pakaian kedustaan.” (muttafaq alaihi) 4) Sesungguhnya dzikrullah memberikan pengaruh yang kuat didalam kehidupan ruh seorang muslim, kejiwaannya, jasmaninya dan kehidupan masyarakatnya. maka bersemangatlah wahai saudariku muslimah untuk senantiasa berdzikir kepada Allah ta’ ala, disetiap waktu dan keadaanmu. Allah ta’ ala memuji hamba-hambanya yang mukhlis dalam firman-Nya: ” ﻦﻳﺬﻟﺍ ﻥﻭﺮﻛﺬﻳ ﻪﻠﻟﺍ ًﺎﻣﺎﻴﻗ ًﺍﺩﻮﻌﻗﻭ ﻰﻠﻋﻭ ﻢﻬﺑﻮﻨﺟ … ” ) ﻥﺍﺮﻤﻋ ﻝﺁ : ﺔﻳﻵﺍ 191 ). Artinya: “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring…” (Ali imran:191). 5) Jika engkau hendak berbicara,maka jauhilah sifat merasa kagum dengan diri sendiri, sok fasih dan terlalu memaksakan diri dalam bertutur kata, sebab ini merupakan sifat yang sangat dibenci Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, dimana Beliau bersabda: ” ﻥﺇﻭ ﻢﻜﻀﻐﺑﺃ ّﻲﻟﺇ ﻢﻛﺪﻌﺑﺃﻭ ﻲﻨﻣ ًﺎﺴﻠﺠﻣ ﻡﻮﻳ ﺔﻣﺎﻴﻘﻟﺍ ﻥﻭﺭﺎﺛﺮﺜﻟﺍ ﻥﻮﻗﺪﺸﺘﻤﻟﺍﻭ ﻥﻮﻘﻬﻴﻔﺘﻤﻟﺍﻭ “. “sesungguhnya orang yang paling aku benci diantara kalian dan yang paling jauh majelisnya dariku pada hari kiamat : orang yang berlebihan dalam berbicara, sok fasih dengan ucapannya dan merasa ta’ ajjub terhadap ucapannya.” (HR.Tirmidzi,Ibnu Hibban dan yang lainnya dari hadits Abu Tsa’ labah Al-Khusyani radhiallahu anhu) 6) Jauhilah dari terlalu banyak tertawa,terlalu banyak berbicara
dan berceloteh.jadikanlah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, sebagai teladan bagimu, dimana beliau lebih banyak diam dan banyak berfikir beliau Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, menjauhkan diri dari terlalu banyak tertawa dan menyibukkan diri dengannya.bahkan jadikanlah setiap apa yang engkau ucapkan itu adalah perkataan yang mengandung kebaikan, dan jika tidak, maka diam itu lebih utama bagimu. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, bersabda: ” ﻦﻣ ﻡﻮﻴﻟﺍﻭ ﻪﻠﻟﺎﺑ ﻦﻣﺆﻳ ﻥﺎﻛ ﺮﺧﻵﺍ ﻞﻘﻴﻠﻓ ًﺍﺮﻴﺧ ﻭﺃ ﺖﻤﺼﻴﻟ “. ” Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,maka hendaknya dia berkata dengan perkataan yang baik,atau hendaknya dia diam.” (muttafaq alaihi dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu) 8 ) jangan kalian memotong pembicaraan seseorang yang sedang berbicara atau membantahnya, atau meremehkan ucapannya. Bahkan jadilah pendengar yang baik dan itu lebih beradab bagimu, dan ketika harus membantahnya, maka jadikanlah bantahanmu dengan cara yang paling baik sebagai syi’ ar kepribadianmu. 9) berhati-hatilah dari suka mengolok-olok terhadap cara berbicara orang lain, seperti orang yang terbata-bata dalam berbicara atau seseorang yang kesulitan berbicara . Alah Ta’ ala berfirman: ” ﺎﻳ ﺎﻬﻳﺃ ﻦﻳﺬﻟﺍ ﺍﻮﻨﻣﺁ ﻻ ﺮﺨﺴﻳ ﻡﻮﻗ ﻡﻮﻗ ﻦﻣ ﻥﺃ ﻰﺴﻋ ﺍﻮﻧﻮﻜﻳ ًﺍﺮﻴﺧ ﻢﻬﻨﻣ ﻻﻭ ﺀﺎﺴﻧ ﻦﻣ ًﺍﺮﻴﺧ ﻦﻜﻳ ﻥﺃ ﻰﺴﻋ ﺀﺎﺴﻧ ﻦﻬﻨﻣ ” ) ﺕﺍﺮﺠﺤﻟﺍ : ﺔﻳﻵﺍ 11 ). “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki- laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.” (QS.Al-Hujurat:11) 10) jika engkau mendengarkan bacaan Alqur’ an, maka berhentilah dari berbicara, apapun yang engkau bicarakan, karena itu merupakan adab terhadap kalamullah dan juga sesuai dengan perintah-Nya, didalam firman-Nya: : ” ﺍﺫﺇﻭ ﺀﻯﺮﻗ ﻥﺁﺮﻘﻟﺍ ﺍﻮﻌﻤﺘﺳﺎﻓ ﻪﻟ ﺍﻮﺘﺼﻧﺃﻭ ﻢﻜﻠﻌﻟ ﻥﻮﻤﺣﺮﺗ ” ) ﻑﺍﺮﻋﻷﺍ : ﺔﻳﻵﺍ 204 ). Artinya: “dan apabila dibacakan Alqur’ an,maka dengarkanlah dengan baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kalian diberi rahmat“. Qs.al a’ raf :204 11) bertakwalah kepada Allah wahai saudariku muslimah,bersihkanlah majelismu dari ghibah dan namimah (adu domba) sebagaimana yang Allah ‘ azza wajalla perintahkan kepadamu untuk menjauhinya. bersemangatlah engkau untuk menjadikan didalam majelismu itu adalah perkataan-perkataan yang baik,dalam rangka menasehati,dan petunjuk kepada kebaikan. perkataan itu adalah sebuah perkara yang besar, berapa banyak dari perkataan seseorang yang dapat menyebabkan kemarahan dari Allah ‘ azza wajalla dan menjatuhkan pelakunya kedalam jurang neraka. Didalam hadits Mu’ adz radhiallahu anhu tatkala Beliau bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam: apakah kami akan disiksa dengan apa yang kami ucapkan? Maka jawab Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: ” ﻚﺘﻠﻜﺛ ﻚﻣﺃ ﺎﻳ ﺫﺎﻌﻣ . ﻞﻫﻭ ّﺐﻜﻳ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﻲﻓ ﺭﺎﻨﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﻢﻬﻫﻮﺟﻭ ﻻﺇ ُﺪﺋﺎﺼﺣ ﻢﻬﺘﻨﺴﻟﺃ ” ) ﻱﺬﻣﺮﺘﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ ). “engkau telah keliru wahai Mu’ adz, tidaklah manusia dilemparkan ke Neraka diatas wajah-wajah mereka melainkan disebabkan oleh ucapan-ucapan mereka.” (HR.Tirmidzi,An-Nasaai dan Ibnu Majah) 12) berhati-hatilah -semoga Allah menjagamu- dari menghadiri majelis yang buruk dan berbaur dengan para pelakunya, dan bersegeralah-semoga Allah menjagamu- menuju majelis yang penuh dengan keutamaan, kebaikan dan keberuntungan. 13) jika engkau duduk sendiri dalam suatu majelis, atau bersama dengan sebagian saudarimu, maka senantiasalah untuk berdzikir mengingat Allah ‘ azza wajalla dalam setiap keadaanmu sehingga engkau kembali dalam keadaan mendapatkan kebaikan dan mendapatkan pahala. Allah ‘ azza wajalla berfirman: ” ﻦﻳﺬﻟﺍ ﻥﻭﺮﻛﺬﻳ ﻪﻠﻟﺍ ًﺎﻣﺎﻴﻗ ًﺍﺩﻮﻌﻗﻭ ﻰﻠﻋﻭ ﻢﻬﺑﻮﻨﺟ “ . ) ﻥﺍﺮﻤﻋ ﻝﺁ : ﺔﻳﻵﺍ 191 ) Artinya: “(yaitu) orang – orang yang mengingat Allah sambil berdiri,atau duduk,atau dalam keadaan berbaring” (QS..ali ‘ imran :191) 14) jika engkau hendak berdiri keluar dari majelis, maka ingatlah untuk selalu mengucapkan: ” ﻚﻧﺎﺤﺒﺳ ﻙﺪﻤﺤﺑﻭ ﻪﻠﻟﺍ ﺪﻬﺷﺃ ﻥﺃ ﻻ ﻪﻟﺇ ﻻﺇ ﺖﻧﺃ ، ﻚﻴﻟﺇ ﺏﻮﺗﺃﻭ ﻙﺮﻔﻐﺘﺳﺃ “. “Maha suci Engkau ya Allah dan bagimu segala pujian,aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak untuk disembah kecuali Engkau, aku memohon ampun kepada-Mu, dan aku bertaubat kepada-Mu“. Sehingga diampuni bagimu segala kesalahanmu di dalam majelis tersebut.

menyentuh wanita,batalkah wudhu ??

1. Menyentuh wanita Ahlul ilmi terbagi dalam dua pendapat dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ ala: َﺀﺂﺴِّﻨﻟﺍ ُﻢُﺘْﺴَﻣَﻻ ْﻭَﺃ “Atau kalian menyentuh wanita …” (An-Nisa: 43) Pertama: sebagian mereka menafsirkan “menyentuh” dengan jima’ (senggama), seperti pendapat Ibnu ‘ Abbas, ‘ Ali, ‘ Ubay bin Ka’ b, Mujahid, Thawus, Al- Hasan, ‘ Ubaid bin ‘ Umair, Sa’ id bin Jubair, Asy-Sya’ bi, Qatadah dan Muqatil bin Hayyan. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227) Kedua: ahlul ilmi yang lain berpendapat “menyentuh” di sini lebih luas/ umum daripada jima’ sehingga termasuk di dalamnya menyentuh dengan tangan, mencium, bersenggolan, dan semisalnya. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Mas’ ud dan Ibnu ‘ Umar dari kalangan shahabat. Abu ‘ Utsman An-Nahdi, Abu ‘ Ubaidah bin Abdillah bin Mas’ ud, ‘ Amir Asy- Sya’ bi, Tsabit ibnul Hajjaj, Ibrahim An-Nakha’ i dan Zaid bin Aslam. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227) Adapun pendapat pertama, bila seseorang menyentuh wanita dengan tangannya atau dengan seluruh tubuhnya selain jima’ maka tidaklah membatalkan wudhu. Sedangkan pendapat kedua menunjukkan sekedar menyentuh wanita, walaupun tidak sampai jima’ , membatalkan wudhu. Dari dua penafsiran di atas yang rajih adalah penafsiran yang pertama bahwa yang dimaksud dengan menyentuh dalam ayat di atas adalah jima’ sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam Al- Qur’ an sendiri1 dan juga dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa semata- mata bersentuhan dengan wanita (tanpa jima’) tidaklah membatalkan wudhu. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Yang dimaukan (oleh ayat Allah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam ini) adalah jima’ , sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘ Abbas radhiallahu ‘ anhuma dan selainnya dari kalangan Arab. Dan
diriwayatkan hal ini dari ‘ Ali radhiallahu ‘ anhu dan selainnya. Inilah yang shahih tentang makna
ayat ini. Sementara menyentuh wanita (bukan jima’) sama sekali tidak ada dalilnya dari Al-Qur’ an maupun As-Sunnah yang menunjukkan bahwa hal itu membatalkan wudhu. Adalah kaum muslimin senantiasa bersentuhan dengan istri-istri mereka namun tidak ada seorang muslim pun yang menukilkan dari Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan kepada seseorang untuk berwudhu karena menyentuh para wanita (istri).” Beliau juga berkata: “Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘ Umar dan Al-Hasan bahwa menyentuh di sini dengan tangan dan ini merupakan pendapat sekelompok
salaf. Adapun apabila menyentuh wanita tersebut dengan syahwat, tidaklah wajib berwudhu karenanya, namun apabila dia berwudhu, perkara tersebut baik dan disenangi (yang tujuannya) untuk memadamkan syahwat sebagaimana disenangi berwudhu dari marah untuk memadamkannya. Adapun menyentuh wanita tanpa syahwat maka aku sama sekali tidak mengetahui adanya pendapat dari salaf bahwa hal itu membatalkan wudhu.” (Majmu’ Al-Fatawa, 21/410) Asy-Syaikh Ibnu ‘ Utsaimin rahimahullah berkata: “Pendapat yang rajih adalah menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu
secara mutlak, sama saja baik dengan syahwat atau tidak dengan syahwat kecuali bila keluar sesuatu darinya (madzi atau mani). Bila yang keluar mani maka wajib baginya mandi sementara kalau yang keluar madzi maka wajib baginya mencuci dzakar-nya dan berwudhu.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail, 4/201, 202) Dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan bahwa bersentuhan dengan wanita (selain jima’) tidaklah membatalkan wudhu di antaranya: Aisyah radhiallahu ‘ anha berkata: ُﺖْﻨُﻛ ُﻡَﺎﻧَﺃ َﻦْﻴَﺑ ﻱَﺪَﻳ ِﻝْﻮُﺳَﺭ ِﻪﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ُﻪﻠﻟﺍ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﻢَّﻠَﺳَﻭ َﻱَﻼْﺟِﺭَﻭ ﻲِﻓ ِﻪِﺘَﻠْﺒِﻗ ، ﺍَﺫِﺈَﻓ َﺪَﺠَﺳ ﻲِﻧَﺰَﻤَﻏ ُﺖْﻀَﺒَﻘَﻓ َّﻲَﻠْﺟِﺭ ، ﺎَﻬُﺘْﻄَﺴَﺑ َﻡﺎَﻗ ﺍَﺫِﺈَﻓ “Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam dalam keadaan kedua kaki di arah kiblat beliau (ketika itu beliau sedang shalat, pen) maka bila beliau sujud, beliau menyentuhku (dengan ujung jarinya) hingga aku pun menekuk kedua kakiku. Bila beliau berdiri, aku kembali membentangkan kedua kakiku.” (HR. Al-Bukhari no. 382 dan Muslim no. 512) Aisyah radhiallahu ‘ anha juga mengabarkan: ُﺕْﺪَﻘَﻓ َﻝْﻮُﺳَﺭ ِﻪﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ُﻪﻠﻟﺍ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﻢَّﻠَﺳَﻭ ًﺔَﻠْﻴَﻟ َﻦِﻣ ِﺵﺍَﺮِﻔْﻟﺍ ُﻪُﺘْﺴَﻤَﺘْﻠَﻓ ْﺖَﻌَﻗَﻮَﻓ ﻱِﺪَﻳ ﻰَﻠَﻋ ِﻦْﻄَﺑ ِﻪْﻴَﻣَﺪَﻗ َﻮُﻫَﻭ ﻲِﻓ ِﺪِﺠْﺴَﻤْﻟﺍ ﺎَﻤُﻫَﻭ ِﻥﺎَﺘَﺑﻮُﺼْﻨَﻣ َﻮُﻫَﻭ ُﻝْﻮُﻘَﻳ : ْﻦِﻣ َﻙﺎَﺿِﺮِﺑ ُﺫْﻮُﻋَﺃ ﻲِّﻧِﺇ َّﻢُﻬّﻠﻟﺍ َﻚِﻄَﺨَﺳ َﻚِﺗﺎَﻓﺎَﻌُﻤِﺑَﻭ ْﻦِﻣ َﻚِﺘَﺑْﻮُﻘُﻋ ، ُﺫْﻮُﻋَﺃَﻭ َﻚِﺑ َﻚْﻨِﻣ َﻻ ﻲِﺼْﺣُﺃ ًﺀﺎَﻨَﺛ َﻚِﺴْﻔَﻧ ﻰَﻠَﻋ َﺖْﻴَﻨْﺛَﺃ ﺎَﻤَﻛ َﺖْﻧَﺃ َﻚْﻴَﻠَﻋ “Suatu malam, aku pernah kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam dari tempat tidurku. Maka aku pun meraba- raba mencari beliau hingga kedua
tanganku menyentuh bagian dalam kedua telapak kaki beliau yang sedang ditegakkan. Ketika itu beliau di tempat shalatnya (dalam keadaan sujud) dan sedang berdoa: Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu dan dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari- Mu, aku tidak dapat menghitung pujian atas-Mu, Engkau sebagaimana yang Engkau puji terhadap diri-Mu.” (HR. Muslim no. 486) 2. Muntah Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa muntah mengharuskan seseorang untuk berwudhu dengan dalil hadits Ma’ dan bin Abi Thalhah dari Abu Ad-Darda bahwasanya Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam pernah muntah, lalu beliau berbuka dan berwudhu. Kata Ma’ dan: “Aku berjumpa dengan Tsauban di masjid Damaskus, maka aku sebutkan hal itu padanya, Tsauban pun berkata: “Abu Ad-Darda benar, akulah yang menuangkan air wudhu beliau Shallallahu ‘ alaihi wa sallam.” (HR. At-Tirmidzi no. 87) Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Al-Baihaqi mengatakan bahwa hadits ini diperselisihkan (mukhtalaf) pada sanadnya. Kalaupun hadits ini shahih maka dibawa pemahamannya pada muntah yang sengaja.” Di tempat lain Al- Baihaqi berkata: “Isnad hadits ini mudhtharib (goncang), tidak bisa ditegakkan hujjah dengannya.” (Nailul Authar, 1/268). Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah di dalam ta’ liq beliau terhadap kitab Ar-Raudhatun Nadiyyah mengatakan: “Hadits- hadits yang diriwayatkan dalam masalah batalnya wudhu karena muntah adalah lemah semuanya, tidak dapat dijadikan hujjah.” (ta’ liq beliau dinukil dari Ta’ liqat Ar-Radhiyyah, 1/174)2 Ulama berselisih pendapat dalam masalah muntah ini: - Di antara mereka ada yang berpendapat muntah itu membatalkan wudhu seperti Abu Hanifah dan pengikut mazhab Abu Hanifah, dengan syarat muntah itu berasal dari dalam perut, memenuhi mulut dan keluar sekaligus. (Nailul Authar, 1/268) Al-Imam At-Tirmidzi t berkata: “Sebagian ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam dan selain mereka dari kalangan tabi’ in berpandangan untuk berwudhu disebabkan muntah dan mimisan. Demikian pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad dan Ishaq. Sementara sebagian ahlul ilmi yang lainnya berpendapat tidak ada keharusan berwudhu karena muntah dan mimisan, demikian pendapat Malik dan Asy-Syafi’ i. (Sunan At-Tirmidzi, 1/59) - Adapun ulama yang lain seperti 7 imam yang faqih dari Madinah, Asy-Syafi‘ i dan orang-orang yang mengikuti mazhab Asy- Syafi’ i, juga satu riwayat dari Al- Imam Ahmad menunjukkan bahwa keluar sesuatu dari tubuh selain qubul dan dubur tidaklah membatalkan wudhu, baik sedikit ataupun banyak, kecuali bila yang keluar dari tubuh itu kencing ataupun tahi. (Nailul Authar, 1/268, Asy-Syarhul Mumti’ , 1/234). Inilah pendapat yang rajih dan menenangkan bagi kami. Mereka berdalil sebagai berikut: 1. Hukum asal perkara ini tidaklah membatalkan wudhu. Sehingga barangsiapa yang menyatakan suatu perkara menyelisihi hukum asalnya maka hendaklah ia membawakan dalil. 2. Sucinya orang yang berwudhu dinyatakan dengan pasti oleh kandungan dalil syar‘ i, maka apa yang telah pasti tidaklah mungkin mengangkat kesuciannya (menyatakan hilang/ membatalkannya) kecuali dengan dalil syar‘ i. 3. Hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama telah dilemahkan oleh mayoritas ulama. 4. Apa yang ditunjukkan dalam hadits ini adalah semata-mata fi‘ il (perbuatan) sedangkan yang semata-mata fi‘ il tidaklah menunjukkan suatu yang wajib. (Asy-Syarhul Mumti‘ , 1/224-225) Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Tidaklah batal wudhu dengan keluarnya sesuatu dari selain dua jalan (qubul dan dubur) seperti pendarahan, darah yang keluar karena berbekam, muntah dan mimisan, sama saja baik keluarnya banyak ataupun sedikit.3 Demikian pendapat Ibnu ‘ Abbas, Ibnu ‘ Umar, Ibnu Abi Aufa, Jabir, Abu Hurairah, ‘ Aisyah, Ibnul Musayyab, Salim bin Abdillah bin ‘ Umar, Al-Qasim bin Muhammad, Thawus, ‘ Atha, Mak-hul, Rabi’ ah, Malik, Abu Tsaur dan Dawud. Al- Baghawi berkata: “Ini merupakan pendapat mayoritas shahabat dan tabi`in.” (Al-Majmu’ , 2/63) Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ atur Rasail Al-Kubra, beliau berpendapat hukumnya di sini adalah sunnah sebagaimana dinukilkan oleh Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah. Demikian juga beliau menyatakan sunnahnya berwudhu setelah muntah. (Tamamul Minnah, hal. 111, 112) Sementara hadits ‘ Aisyah radhiallahu ‘ anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam bersabda: ْﻦَﻣ َﻪَﺑﺎَﺻَﺃ ٌﺀْﻲَﻗ ْﻭَﺃ ٌﻑﺎَﻋُﺭ ْﻭَﺃ ْﻑِﺮَﺼْﻨَﻴْﻠَﻓ ٌﻱِﺬَﻣ ْﻭَﺃ ٌﺲَﻠَﻗ ، ْﺄَّﺿَﻮَﺘَﻴْﻠَﻓ … “Siapa yang ditimpa (mengeluarkan) muntah, mimisan, qalas4 atau madzi (di dalam shalatnya) hendaklah ia berpaling
dari shalatnya lalu berwudhu.” (HR. Ibnu Majah no. 1221) Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Hadits ini dinyatakan cacat oleh sebagian Ahlul Hadits karena setiap periwayatan Isma’ il ibnu ‘ Iyasy dari orang-orang Hijaz semuanya dinilai lemah. Sementara dalam hadits ini Isma’ il meriwayatkan dari Ibnu Juraij yang dia itu orang Hijaz. Juga karena para perawi yang meriwayatkan dari Ibnu Juraij – yang mereka itu adalah para tokoh penghapal– meriwayatkannya secara mursal (menyelisihi periwayatan Isma’ il yang meriwayatkannya secara ittishal (bersambung) – pen.), sebagaimana hal ini dikatakan oleh penulis kitab Muntaqal Akhbar. Terlebih lagi riwayat yang mursal ini dinyatakan shahih oleh Adz-Dzuhli, Ad- Daruquthni dalam kitab Al-’ Ilal, begitu pula Abu Hatim dan beliau mengatakan telah terjadi kesalahan dalam periwayatan Isma’ il. Ibnu Ma’ in berkata hadits ini dha’ if. (Nailul Authar, 1/269) Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa Al-Imam Ahmad dan selain beliau men- dha’ if-kan hadits ini (Bulughul Maram hal. 36) 3. Darah yang keluar dari tubuh Darah yang keluar dari tubuh seseorang, selain kemaluannya tidaklah membatalkan wudhu, sama saja apakah darah itu sedikit ataupun banyak. Demikian pendapat Ibnu ‘ Abbas, Ibnu Abi Aufa, Abu Hurairah, Jabir bin Zaid, Ibnul Musayyab, Mak-hul, Rabi’ ah, An-Nashir, Malik dan Asy-Syafi’ i. (Nailul Authar, 1/269-270). Dan ini pendapat yang rajih menurut penulis. Wallahu ta’ ala a’ lam bish- shawab. Dari kalangan ahlul ilmi ada yang membedakan antara darah sedikit dengan yang banyak. Bila keluarnya sedikit tidak membatalkan wudhu namun bila keluarnya banyak akan membatalkan wudhu. Hal ini seperti pendapat Abu Hanifah, Al-Imam Ahmad dan Ishaq. (Nailul Authar, 1/269) Adapun dalil bahwa darah tidak membatalkan wudhu adalah hadits tentang seorang shahabat Al-Anshari yang tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus mengalir karena luka akibat tikaman anak panah pada tubuhnya (HR. Al-Bukhari secara mu‘ allaq dan secara maushul oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Sunan Abi Dawud no. 193) Seandainya darah yang banyak itu membatalkan wudhu niscaya shahabat Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam itu dilarang untuk mengerjakan shalat dan akan disebutkan teguran dari Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam atas shalat yang ia kerjakan tersebut dan akan diterangkan kepadanya atau siapa yang bersamanya. Karena mengakhirkan penjelasan/ penerangan pada saat dibutuhkan penerangannya tidaklah diperbolehkan. Mereka para shahabat radhiallahu ‘ anhum sering terjun ke dalam medan pertempuran hingga badan dan pakaian mereka berlumuran darah. Namun tidak dinukilkan dari mereka bahwa mereka berwudhu karenanya dan tidak didengar dari mereka bahwa perkara ini membatalkan wudhu. (Sailul Jarar, 1/262, Tamamul Minnah, hal. 51-52) Wallahu ta‘ ala a‘ lam bish-shawab wal ilmu ‘ indallah. 1 Seperti dalam ayat: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi wanita- wanita mukminah kemudian kalian
menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh mereka, maka tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menjalani iddah.” (Al-Ahzab: 49) Ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa menyentuh yang dikaitkan dengan wanita maka yang dimaksudkan adalah jima’ . 2 Di antara imam ahlul hadits ada juga yang menguatkan hadits ini seperti Ibnu Mandah dan Asy- Syaikh Al-Albani di Tamamul Minnah, beliau mengatakan sanadnya shahih (hal. 111) 3 Adapun permasalahan yang disebutkan di sini juga merupakan perkara yang diperselisihkan ahlul ilmi sebagaimana disebutkan sendiri oleh Al-Imam An-Nawawi dalam Al-
Majmu‘ (2/63). 4 Qalas adalah muntah yang keluar dari tenggorokan, bukan dari perut. (Subulus Salam, 1/105)

4 NASEHAT UNTUK SAUDARI MUSLIMAH

Dunia telah menawarkan gemerlap perhiasannya. Di sana ada sisi-sisi kehidupan yang mengancam kehormatan kaum wanita. Tak layak kita lalai menelaah ancaman itu melalui untaian nasihat untuk mengingatkan setiap wanita muslimah yang menginginkan keselamatan. Saudariku muslimah, hendaknya engkau waspada akan bahaya hubungan yang haram dan segala yang berselubung “cinta” namun menyembunyikan sesuatu yang nista. Engkau pun hendaknya berhati-hati terhadap pergaulan bebas dengan para pemuda ataupun laki-laki tak bermoral yang ingin merampas kehormatanmu di balik kedok “cinta”. Duhai saudariku muslimah – semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya padamu – ada hal- hal yang semestinya engkau waspadai : Pertama, tabarruj1. Hati- hatilah, jangan sampai dirimu terjatuh dalam perangkapnya dan janganlah kecantikan yang Allah anugerahkan kepadamu membuatmu terpedaya. Sesungguhnya akhir dari sebuah kecantikan hanyalah bangkai yang menjijikkan dalam kegelapan kubur dan secarik kain kafan, beserta cacing-cacing
yang merasa iri padamu dan merampas kecantikan itu darimu. Ingatlah Saudariku, wanita yang bertabarruj berhak mendapatkan laknat, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘ alaihi wassalam2 : “Laknatilah mereka (wanita yang bertabarruj), karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang terlaknat”. Bahkan Beliau Shallallahu ‘ alaihi wassalam telah bersabda3: “Dan wanita-wanita yang berpakaian namun (pada hakekatnya) telanjang, mereka berlenggak-lenggok, kepala- kepala mereka seperti punuk- punuk unta yang miring, mereka tidak akan masuk ke dalam surga, bahkan mereka tidak akan dapat mencium harumnya surga, padahal wanginya dapat tercium dari jarak sekian- sekian”. Tidakkah engkau ketahui, duhai Saudariku, saat ini wanita telah menjadi barang dagangan yang murah. Buktinya adalah iklan- iklan televisi. Tidaklah engkau melihat iklan sepatu atau alat- alat olahraga, bahkan iklan kolam
renang, pasti di sana ditayangkan sosok wanita. Di manakah gerangan orang- orang yang menuntut kebebasan kaum wanita? Sesungguhnya mereka menuntut kebebasan wanita bukanlah karena simpati atau iba terhadap wanita, justru mereka menuntut kebebasan itu agar dapat menikmati wanita! Satu bukti bahwa wanita itu tidak berharga di sisi mereka adalah ucapan salah seorang dari
“serigala” tak bermoral. Ia menyatakan: ”Gelas (khamar) dan perempuan cantik lebih banyak menghancurkan umat Muhammad daripada seribu senjata. Maka tenggelamkanlah mereka dalam cinta syahwat”. Tahukah dirimu, bagaimana para wanita diperdagangkan oleh orang-orang yang menuntut kebebasannya? Seakan-akan mereka berkata: Janganlah kau tertipu dengan senyumanku Karena kata-kataku membuatmu tertawa, Namun sesungguhnya perbuatanku membuatmu menangis Kedua, telepon. Berapa banyak sudah pemudi yang direnggut kesuciannya dan ditimpa kehancuran dalam kehidupannya? Bahkan sebagian di antara mereka bunuh diri. Semua itu tidak lain disebabkan oleh telepon. Coba engkau simak kisah ini! Sungguh, di dalamnya tersimpan pelajaran berharga. Ada seorang gadis berkenalan dengan seorang pemuda melalui telepon, kemudian mereka menjalin hubungan akrab. Seiring berlalunya waktu tumbuhlah benih-benih asmara di antara mereka. Suatu hari “serigala” itu mengajaknya pergi. Tatkala ia berada di atas mobil, lelaki itu menghisap rokok. Ternyata asap rokok itu membiusnya. Setelah sadar ia temukan dirinya berada di depan pintu rumahnya dalam keadaan telah dilecehkan kehormatannya. Ia mendapati dirinya mengandung anak hasil zina. Akhirnya gadis itu
bunuh diri, karena ingin lari dari aib dan cela. Sungguh lelaki itu ibarat seekor serigala yang memangsa kambing betina. Setelah puas mengambil apa yang ia kehendaki, ia pergi dan meninggalkannya. Ketiga, khalwat.4 Semestinya engkau jauhi khalwat, karena khalwat adalah awal bencana yang akan menimpamu, sebagaimana ucapan Nabi Shallallahu ‘ alaihi wassalam5 : “Tidaklah seorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan seorang perempuan kecuali yang ketiganya adalah syaitan”. Apabila syaitan datang padamu, ia akan menjerumuskanmu dalam musibah. Berapa banyak gadis yang diperdaya oleh lelaki tak bermoral, hingga terjadilah perkara yang keji. Semuanya dikemas dengan label “cinta”. Ada seorang gadis pergi berdua bersama pasangannya, lalu lelaki itu merayunya dengan kata-kata
yang manis. Dikatakannya pada gadis itu, yang mereka lakukan itu adalah sesuatu yang indah dan menyenangkan. Akhirnya lelaki itu pun mengajaknya pergi ke tempat yang sunyi. Ketika sang gadis meminta untuk pulang, lelaki itu menolaknya, kemudian… Keempat, pergaulan yang jelek. Nabi Shallallahu ‘ alaihi wassalam bersabda6 : “Seseorang itu ada diatas agama temannya, maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat siapa yang ia jadikan teman” Wahai saudariku, ambillah pelajaran dari selainmu, sebelum engkau mengalami apa yang ia alami. Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah orang yang dapat memetik nasihat dari peristiwa yang menimpa orang lain, dan orang yang celaka adalah orang yang hanya bisa mendapat nasihat dari sesuatu yang menimpa dirinya sendiri. Akhirnya, segala puji hanyalah bagi Allah Rabb seluruh alam. (diterjemahkan dari kitabUkhti Al Muslimah Ihdzari Adz Dzi’ ab karya Salim Al ‘ Ajmi oleh Ummu ‘ Affan Nafisah bintu Abi Salim) Catatan Kaki: 1. Tabarruj adalah berhias di depan selain mahramnya 2. Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad nomor 7083 dengan tahqiq Ahmad Syakir. Beliau mengatakan :”Sanad hadits ini shahih”. 3. Diriwayatkan Imam Muslim nomor 2128. 4. Khalwat adalah berdua-duaan dengan selain mahram. 5. Shahih Sunan At-Tirmidzi karya
Syaikh Al Albani : 1187 dan dalam Silsilah Ash-Shahihah karya beliau juga nomor hadits 430. 6. Diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Dawud, lihatlah Silsilah Ash- Shahihah Imam Al-Albani nomor 927

Selasa, April 05, 2011

HADITS TENTANG HUKUM WANITA HAID,NIFAS,JUNUB MEMBACA ALQURAN

“Artinya : Dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam beliau bersabda, “Janganlah perempuan yang haid dan orang yang junub membaca sedikit pun juga dari (ayat) Al-Qur’ an.

” Dalam riwayat yang lain,
“Janganlah orang yang junub dan perempuan yang haid
membaca sedikit pun juga dari
(ayat) Al-Qur’ an”

DLA’ IF Dikeluarkan oleh Tirmidzi (no. 121). Ibnu Majah (no. 595
dan 596). Ad-Daruquthni (1/117)
dan Baihaqiy (1/89), dari jalan
Ismail bin Ayyaasy dari Musa bin
Uqbah dari Naafi, dari Ibnu Umar
(ia berkata seperti di atas)

Berkata Imam Bukhari, “Ismail (bin Ayyaasy) munkarul hadits
(apabila dia meriwayatkan
hadits) dari penduduk Hijaz dan
penduduk Iraq”

[1] Saya berkata : Hadits di atas
telah diriawayatkan oleh Ismail
bin Ayyaasy dari Musa bin Uqbah
seorang penduduk Iraq.
Dengan demikian riwayat Ismail bin
Ayyaasy dla’ if. Imam Az-Zaila’ i di kitabnya Nashbur Raayah (I/195)

menukil keterangan Imam Ibnu Adiy di kitabnya Al-Kaamil bahwa Ahmad
dan Bukhari dan lain-lain telah
melemahkan hadits ini dan Abu
Hatim menyatakan bahwa yang benar hadits ini mauquf kepada
Ibnu Umar (yakni yang benar
bukan sabda Nabi Shallallahu
‘ alaihi wa sallam akan tetapi hanya perkataan Ibnu Umar).

Berkata Al-Hafidzh Ibnu Hajar di
kitabnya Talkhisul Habir (1/138) :
Di dalam sanadnya ada Ismail bin
Ayyaasy, sedangkan riwayatnya
dari penduduk Hijaz dla’ if dan di antaranya (hadits) ini.

Berkata Ibnu Abi Hatim dari bapaknya (Abu Hatim), “Hadits Ismail bin Ayyaasy ini keliru, dan (yang benar) dia hanya perkataan Ibnu Umar”.

Dan telah berkata Abdullah bin Ahmad dari bapaknya (yaitu Imam Ahmad ia berkata), “(Hadits) ini batil, “Beliau mengingkari (riwayat) Ismail. Sekian dari Al-Hafidz Ibnu
Hajar.

Hadits yang lain dari jalan Ibnu
Umar “Artinya : Dari jalan Abdul Malik bin Maslamah (ia berkata) Telah menceritakan kepadaku
Mughirah bin Abdurrahman, dari
Musa bin Uqbah dan Naafi, dari
Ibnu Umar, ia berkata :

Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam, “Tidak boleh bagi orang junub membaca
sedikitpun juga dari (ayat) Al-
Qur’ an” DLA’ IF. Diriwayatkan oleh Ad- Daruquthni (1/117)

Al-Hafidz Ibnu Hajar telah
melemahkan riwayat di atas
disebabkan Abdul Malik bin
Maslamah seorang rawi yang
dla’ if (Talkhisul Habir 1/138)

Hadits yang lain dari jalan Ibnu
Umar. “Artinya : Dari seorang laki-laki, dari Abu Ma’ syar, dari Musa bin Uqbah, dari Naafi, dari Ibnu Umar,
dari Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam beliau bersabda,
“Perempuan yang haid dan orang yang junub, keduanya tidak
boleh membaca sedikitpun juga
dari (ayat) Al-Qur’ an ” DLA’ IF. Diriwayatkan oleh Ad- Daruquthni (1/117)

Saya berkata : Riwayat ini dla’ if karena : Pertama : Ada seorang
rawi yang mubham (tidak disebut
namanya yaitu dari seorang laki-
laki). Kedua : Abu Ma’ syar seorang rawi yang dla’ if.

Hadits yang lain dari jalan Jabir
bin Abdullah. “Artinya : Dari jalan Muhammad bin Fadl, dari bapaknya, dari Thawus, dari Jabir, ia berkata :
Telah bersabda Rasulullah
Shallallahu ‘ alaihi wa sallam, “Tidak boleh bagi perempuan yang haid dan nifas (dalam riwayat yang lain : Orang yang junub) membaca (ayat) Al-Qur’ an sedikitpun juga (dalam riwayat) yang lain : Sedikitpun juga dari (ayat) Al-Qur’ an)” MAUDLU, Diriwayatkan oleh Ad-
Daruquthni (2/87) dan Abu
Nua’ im di kitabnya Al-Hilyah (4/22).
Saya berkata : Sanad hadits ini
maudhu (palsu) karena
Muhammad bin Fadl bin Athiyah
bin Umar telah dikatakan oleh
para Imam ahli hadits sebagai
pendusta sebagaimana keterangan Al-Hafidz Ibnu Hajar di Taqrib-nya (2/200).
Dan di kitabnya Talkhisul Habir (1/138)
beliau mengatakan bahwa orang
ini matruk.

Ketika hadits-hadits diatas dari
semua jalannya dla’ if
bahkan hadits terakhir maudlu, maka
tidak bisa dijadikan sebagai dalil
larangan bagi perempuan haid
dan nifas dan orang yang junub
membaca Al-Qur’ an.
Bahkan telah datang sejumlah dalil yang membolehkannya.

Pertama : Apabila tidak ada satu
pun dalil yang sah (shahih dan
hasan) yang melarang
perempuan haid, nifas dan orang
yang junub membaca ayat-ayat
Al-Qur’ an, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum asal
tentang perintah dan keutamaan
membaca Al-Qur’ an secara mutlak termasuk perempuan
haid, nifas dan orang yang junub.

Kedua : Hadits Aisyah ketika dia
haid sewaktu menunaikan ibadah
haji.

“Artinya : Dari Aisyah, ia berkata : Kami keluar (menunaikan haji) bersama Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam (dan) kami tidak menyebut kecuali haji. Maka ketika kami sampai di (satu tempat bernama) Sarif aku haid. Lalu Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam masuk menemuiku dan aku sedang menangis, lalu beliau
bertanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?” Jawabku, “Aku ingin demi Allah kalau sekiranya aku tidak haji
pada tahun ini?” Jawabku,
“Ya” Beliau bersabda, “Sesungguhnya (haid) ini adalah sesuatu yang telah Allah tentukan untuk anak-anak perempuan Adam, oleh karena itu kerjakanlah apa-apa
yang dikerjakan oleh orang yang
sedang haji selain engkau tidak boleh thawaf di Ka’ bah sampai engkau suci (dari haid)”
Shahih riwayat Bukhari (no. 305)
dan Muslim (4/30)

Hadits yang mulia ini dijadikan
dalil oleh para Ulama di
antaranya amirul mu’ minin fil hadits Al-Imam Al-Bukhari di kitab
Shahih-nya bagian Kitabul Haid
bab 7 dan Imam Ibnu Baththaal,
Imam Ath-Thabari, Imam Ibnul
Mundzir dan lain-lain bahwa
perempuan haid, nifas dan orang yang junub boleh membaca Al-
Qur’ an dan tidak terlarang.

Berdasarkan perintah Nabi
Shallallahu ‘ alaihi wa sallam kepada Aisyah untuk
mengerjakan apa-apa yang
dikerjakan oleh orang yang
sedang menunaikan ibadah haji
selain thawaf dan tentunya juga
terlarang shalat.

Sedangkan yang selainnya boleh termasuk membaca Al-Qur’ an. Karena kalau membaca Al-Qur’ an terlarang bagi perempuan haid tentu Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam telah menjelaskannya kepada Aisyah. Sedangkan Aisyah saat itu
sangat membutuhkan penjelasan
dari Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam apa yang boleh dan
terlarang baginya.

Menurut ushul
“mengakhirkan keterangan dari waktu yang dibutuhkan tidak
boleh. Ketiga : Hadits Aisyah. “Artinya : Dari Aisyah, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam biasa berdzikir atas segala
keadaannya” [Hadits shahih riwayat Muslim (1/194 dan lain-
lain] Hadits yang mulia ini juga
dijadikan hujjah oleh Al-Imam Al-
Bukhari dan lain-lain imam
tentang bolehnya orang yang
junub dan perempuan haid atau
nifas membaca Al-Qur’ an.

Karena Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam berdzikir kepada Allah atas
segala keadaannya dan yang
termasuk berdzikir ialah
membaca Al-Qur’ an.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ ala.

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikra [2]

(Al-Qur’ an) ini, dan sesungguhnya Kami jugalah yang akan (tetap)
menjaganya” [Al-Hijr : 9]

“Dan Kami turunkan kepadamu Adz-Dzikra (Al-Qur’ an) supaya engkau jelaskan kepada manusia
apa yang diturunkan kepada
mereka dan agar supaya mereka
berfikir” [An-Nahl : 44]

Keempat : Surat Rasulullah
Shallallahu ‘ alaihi wa sallam kepada Heracleus yang di
dalamnya berisi ayat Al-Qur’ an sebagaimana diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim dan lain-lain.

Hadits yang mulia inipun dijadikan
dalil tentang bolehnya orang
yang junub membaca Al-Qur’ an.

Karena sudah barang tentu
orang-orang kafir tidak selamat
dari janabah, meskipun demikian
Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam menulis surat kepada mereka
yang didalamnya terdapat firman
Allah.

Kelima : Ibnu Abbas mengatakan
tidak mengapa bagi orang yang
junub membaca Al-Qur’ an (Shahih Bukhari Kitabul Haidh bab 7).

Jika engkau berkata : Bukankah
telah datang hadits bahwa Nabi
Shallallahu ‘ alaihi wa sallam tidak membaca Al-Qur’ an ketika janabah? Saya jawab : Hadits yang
dimaksud tidak sah dari hadits Ali
bin Abi Thalib dengan lafadz.

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam keluar dari tempat buang air (wc), lalu beliau makan daging bersama kami, dan tidak ada yang menghalangi beliau sesuatupun juga dari (membaca) Al-Qur’ an selain janabah: DLA’ IF. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 229), Tirmidzi (no
164), Nasa’ i (1/144), Ibnu Majah (no. 594), Ahmad (1/83, 84, 107
dan 124), Ath-Thayaalis di
Musnad-nya (no. 94), Ibnu
Khuzaimah di Shahih-nya (no.
208), Daruquthni (1/119), Hakim
(1/152 dan 4/107) dan Baihaqiy (1/88-89)

semuanya dari jalan
Amr bin Murrah dari Abdullah bin
Salimah dari Ali, marfu (Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wa salam berbeda seperti diatas)

Hadits ini telah dishahihkan oleh
Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu
Hibban, Hakim, Adz-Dzahabi, Ibnu
Sakan, Abdul Haq, Al-Baghawiy
dan Syaikhul Imam Ahmad
Muhammad Syakir di takhrij Tirmidzi dan takhrij musnad
Ahmad.

Dan hadits ini telah didlaifkan
oleh jama’ ah ahli hadits – dan inilah yang benar- Insya Allah di
antaranya oleh Syu’ bah, Syafi’ iy, Ahmad, Bukhari, Baihaqiy, Al-Mundziriy, An-
Nawawi, Al-Khathaabiy dan
Syaikhul Imam Al-Albani dan lain-
lain. Berkata Asy-Syafi’ iy, “Ahli hadits tidak mentsabitkan
(menguatkan)nya”.

Yakni, ahli hadits tidak menguatkan riwayat
Abdullah bin Salimah. Karena Amr
bin Murrah yang meriwayatkan
hadits ini Abdullah bin Salimah
sesudah Abdullah bin Salimah tua
dan berubah hafalannya.

Demikian telah diterangkan oleh
para Imam di atas. Oleh karena
itu hadits ini kalau kita mengikuti
kaidah-kaidah ilmu hadits, maka
tidak ragu lagi tentang dla’ ifnya dengan sebab di atas yaitu
Abdullah bin Salimah ketika
meriwayatkan hadits ini telah
tua dan berubah hafalannya.

Maka bagaimana mungkin hadits
ini sah (shahih atau hasan)!.
Selain itu hadits ini juga tidak
bisa dijadikan dalil larangan bagi
orang yang junub dan
perempuan yang haid atau nifas
membaca Al-Qur’ an, karena semata-mata Nabi Shallallahu
‘ alaihi wa sallam tidak membacanya dalam junub tidak
berarti beliau melarangnya
sampai datang larangan yang
tegas dari beliau.

Ini kalau kita takdirkan hadits di atas sah, apalagi hadits di atas dla’ if tentunya lebih tidak mungkin lagi
dijadikan sebagai hujjah atau
dalil!

HUKUM WANITA HAID MEMBACA AL QURAN

Dalam persoalan ini terdapat sebuah hadis Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

Tidak boleh membaca sesuatu apa jua daripada al-Qur’ an seorang yang dalam keadaan junub atau haid.[4]

Hadis ini memiliki beberapa jalan periwayatan namun setiap darinya adalah dha‘ if.
Berkata Imam al-Nawawi rahimahullah (676H):

[5] Adapun hadis Ibn Umar:

“Tidak boleh membaca sesuatu apa jua daripada al-Qur’ an seorang yang dalam keadaan junub atau haid” , maka ia diriwayatkan oleh al-Tirmizi, Ibn Majah, al-Baihaqi dan selainnya.
Ia adalah hadis yang dha‘ if,
didha‘ ifkan oleh al- Bukhari, al-Baihaqi dan selainnya.
Kedha‘ ifan yang terdapat padanya adalah jelas.

Namun sebahagian ahli fiqh tetap melarang seorang wanita yang sedang haid daripada membaca al-Qur’ an kerana diqiyaskan keadaan haid kepada keadaan junub.

[6] Namun hal ini dianggap tidak tepat kerana dua sebab:

1. Peranan qiyas ialah mengeluarkan hukum bagi perkara-perkara yang tidak wujud pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Apa- apa perkara baru yang wujud selepas itu, maka hukumnya disandarkan secara analogi kepada sesuatu yang sudah sedia dihukumkan pada zaman Rasulullah berdasarkan kesamaan
sebabnya (‘ illat).
Adapun haid, maka ia adalah sesuatu yang wujud secara lazim pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Apabila pada zaman itu Allah dan Rasul-Nya tidak menjatuhkan hukum melarang wanita yang haid daripada membaca al-Qur’ an, maka tidak perlu bagi orang-orang terkemudian membuat hukum yang baru.

2. Haid dan junub adalah dua keadaan yang jauh berbeda.
Junub adalah satu keadaan di mana seseorang itu memiliki pilihan untuk berada dalamnya atau tidak, dan seseorang itu boleh keluar daripada keadaan junub pada bila-bila masa melalui mandi wajib atau tayamum.

Berbeda halnya dengan haid ia bermula dan berakhir tanpa pilihan.

Sebagian lain melarang atas dasar memelihara kesucian dan keagungan al-Qur’ an.

Justeru mereka berpendapat tidak boleh membaca (mentilawahkan) al- Qur’ an kecuali beberapa perkataan atas dasar zikir dan memperoleh keberkatan.

[7] Pendapat ini juga dianggap kurang tepat kerana seseorang wanita, sama ada dalam keadaan haid atau tidak, tetap dianggap suci dan dihalalkan bagi mereka semua yang dihalalkan
melainkan wujudnya dalil yang sahih yang melarang sesuatu ibadah seperti solat, puasa, tawaf dan bersetubuh.
Adapun pensyari‘ atan mandi wajib selepas berakhirnya tempo haid,
ia adalah penyucian atas sesuatu yang sedia suci dan bukannya penyucian atas sesuatu yang sebelum itu bersifat najis.

Oleh itu tidaklah berkurang sedikitpun kesucian dan keagungan al-Qur’ an apabila ia dibaca oleh seseorang wanita yang sedang dalam keadaan haid.

Pernah sekali Abu Hurairah radhiallahu 'anh mengasingkan diri daripada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Beliau pulang ke rumah untuk mandi wajib dan kemudian kembali. Rasulullah bertanya kenapakah dilakukan sedemikian, lalu Abu Hurairah menerangkan bahwa tadi beliau sebenarnya dalam keadaan junub.
Mendengar itu Rasulullah bersabda:

Subhanallah! Wahai Abu Hurairah! Sesungguhnya orang mukmin tidaklah ia menjadi najis.

[8] Kata-kata Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di atas bersifat umum, menunjukkan bahawa seorang mukmin tidaklah ia sekali-kali akan berada dalam keadaan najis sekalipun dia dalam
keadaan junub.

Termasuk dalam keumuman hadis ini ialah wanita yang sedang haid.

Sebagai rumusan kepada kupasan ini, berikut dinukil kata- kata Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah (728H):

[9] Sesungguhnya para wanita mereka mengalami haid pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka seandainya membaca al-Qur’ an diharamkan ke atas mereka (ketika haid) seperti mana solat, pasti baginda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam akan menjelaskannya kepada umatnya.
Baginda akan mengajarnya kepada para Ummul Mukminun (para isteri baginda) dan akan dinukil daripada mereka oleh orang ramai.
Akan tetapi tidak ada satupun (riwayat) yang melarang yang dinukil daripada Nabi.
Oleh itu hal ini tidak boleh dianggap terlarang padahal telah diketahui bahawa baginda tidak melarangnya.

Justeru jika baginda tidak melarangnya padahal ramai wanita yang haid di zamannya, maka sesungguhnya ketahuilah bahwa
ia memangnya tidak haram.

Kesimpulan: Allah Subhanahu wa Ta‘ ala berfirman:

Alif-Lam-Mim. Kitab Al-Quran ini, tidak ada sebarang syak padanya; ia pula menjadi petunjuk bagi orang-orang yang (hendak) bertaqwa.
[al-Baqarah 2:1-2]

Setiap individu Muslim yang bertaqwa memerlukan al-Qur’ an sebagai kitab yang memberi petunjuk kepada mereka.
Petunjuk ini diperlukan pada setiap masa dan tempat, termasuk oleh para wanita ketika mereka didatangi haid.
Tidak mungkin untuk dikatakan bahawa ketika haid mereka tidak
memerlukan petunjuk dalam kehidupan sehari-harian mereka.
Atas keperluan inilah al-Qur’ an dan al-Sunnah yang sahih tidak melarang para wanita yang didatangi haid daripada memegang dan membaca al- Qur’ an seperti biasa.

Adapun pendapat yang mengatakan ianya haram, ia adalah pendapat yang lemah sekalipun masyhur. ----------------------------------
----------------------------------
-----------------------
[1] Sahih: Hadis daripada ‘ Amr bin Hazm radhiallahu 'anh, dikeluarkan oleh Ibn Hibban, al- Hakim, Baihaqi dan lain-lain melalui beberapa jalan yang setiap darinya memiliki kelemahan.
Namun setiap darinya saling menguat antara satu sama
lain sehingga dapat diangkat ke taraf sahih, atau setepatnya sahih lighairihi. Lihat semakan Badri Abdul al-Samad dalam al- Itihaf bi Takhrij Ahadith al-Isyraf ‘ ala Masail al-Ikhtilaf (Dar al- Buhts, Dubai 1999), jld. 1, ms. 77-82.

[2] Ayat yang sama ini juga digunakan oleh mereka yang berpendapat wajib berwudhu’ sebelum memegang al-Qur’ an, baik bagi lelaki atau wanita. Berdasarkan penjelasan yang sama di atas, dapat diketahui bahawa tidaklah tepat untuk menggunakan ayat ini sebagai dalil wajib berwudhu’ . Oleh itu yang benar adalah, boleh memegang dan membaca al- Qur’ an sekalipun tanpa berwudhu’ .

[3] Demikian juga keterangan beberapa sahabat dan tabi‘ in sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir al-Thabari dalam Jamii al-Bayan (Dar al-Fikr, Beirut
1999), riwayat no: 25955 – 25970. Lihat juga al-Mawardi - Al-Nukatu wa al-‘ Uyun (Dar al- Kutub al-Ilmiyah, Beirut), jld. 5, ms. 463-464.

[4] Dha‘ if: Hadis daripada ‘ Abd Allah ibn Umar radhiallahu 'anh, dikeluarkan oleh al-Tirmizi, Ibn Majah, al-Daruquthni dan lain- lain. Ia memiliki 3 jalan periwayatan yang semuanya dha‘ if. Shaikh al-Albani tidak menjadikannya penguat antara satu sama lain manakala Badri ‘ Abd al-Samad berpendapat ia saling menguat sehingga dapat diangkat ke taraf hasan (hasan lighairihi). Lihat Irwa al-Ghaleel fi Takhrij Ahadith Manar al-Sabil (Maktabah al-Islami, Beirut), hadis no: 192 dan al-Ittihaf bi Takhrij Ahadith al-Isyraf, jld 1, ms 83-84.

[5] Majmu’ Syarh al-Muhazzab (Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, Beirut 2001), jld. 2, ms. 123-125 (Kitab Taharah, Bab Apa yang mewajibkan mandi, Bab Hukum terhadap 3 perkara).

[6] Lihat Majmu Syarh al- Muhazzab jld. 2, ms. 267-268 (Kitab Haid, berkata al-Musannif: “Dan dilarang atasnya membaca Qur’ an… .”).

[7] Lihat al-Kasani – al-Bada‘ i al- Sona‘ i (Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut 1982), jld. 1, ms. 38 (Bab permasalahan adab-adab wudhu’) .

[8] Sahih: Ringkasan hadis yang dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim, lihat al-Lu’ Lu’ wa al- Marjan (Fu‘ ad Abdul Baqi; Dar al- Salam, Riyadh 1995) – hadis no: 210.

[9] Majmu al-Fatawa (Dar al- Wafa’ , Kaherah 2001), jld. 26, ms. 191. Lihat juga pembahasan Ibn Hazm dalam al-Muhalla (Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, Beirut), jld. 1, ms. 78-85 (Masalah no: 116: Membaca al-Qur’ an dan bersujud dan menyentuh mushaf).

HUKUM WANITA HAID MEMEGANG AL QURAN

Hukum wanita yang didatangi haid memegang al- Qur’ an. Umumnya terdapat dua pendapat, yang pertama mengatakan tidak boleh manakala yang kedua berkata boleh. Pendapat yang pertama merujuk kepada firman Allah:
Yang tidak disentuh melainkan oleh makhluk-makhluk yang diakui bersih suci.
[al-Waqiah 56:79]
Diikuti dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
Tidaklah menyentuh al-Qur’ an dan tidak juga mushaf melainkan orang yang suci.[1] Manakala bagi pendapat kedua, mereka berpegang kepada kaedah bahawa seseorang wanita yang sedang haid boleh melakukan semua perkara seperti biasa melainkan wujud dalil tepat (qathi) yang melarangnya. Dalam hal ini yang jelas dilarang adalah bersolat, berpuasa, melakukan tawaf dan bersetubuh. Adapun hukum memegang al-Qur’ an, tidak ada dalil tepat yang melarang seseorang yang sedang haid daripada memegangnya.
Ayat al-Qur’ an yang dijadikan rujukan oleh pendapat pertama adalah tidak tepat untuk dijadikan hujah kerana perkataan al-Mutatahharun sebenarnya merujuk kepada para malaikat sebagaimana yang boleh dilihat daripada keseluruhan ayat yang berkaitan:
Bahawa sesungguhnya itu ialah Al-Quran yang mulia, Yang tersimpan dalam Kitab yang cukup terpelihara, Yang tidak disentuh melainkan oleh makhluk-
makhluk yang diakui bersih suci; Al-Quran itu diturunkan dari Allah
Tuhan sekalian alam. [al-Waqiah 56:77-80][2] Berkata Ibnu Abbas radhiallahu 'anh, ayat “fii Kitabim-maknun” bererti di langit, yakni di al-Lauh al-Mahfuz manakala al- Mutatahharun adalah para malaikat yang suci.[3] Justeru keseluruhan ayat sebenarnya menerangkan tentang kitab al-Qur’ an yang sebelum ini tersimpan dalam al- Lauh al-Mahfuz, di sana ia tidak disentuh oleh sesiapa kecuali para malaikat sehinggalah ia diturunkan ke bumi kepada manusia.
Hadis yang dijadikan dalil melarang adalah juga tidak tepat
sandarannya kerana perkataan al-Taharun yang bererti suci adalah satu perkataan yang memiliki banyak erti (lafaz Mushtarak) dan mengikut kaedah Usul Fiqh: Sesuatu perkataan yang memiliki banyak erti tidak boleh dibataskan kepada satu maksud tertentu melainkan wujud petunjuk yang dapat mendokongi pembatasan tersebut.
Perkataan suci dalam hadis di atas boleh bererti suci daripada najis seperti tahi dan air kencing. Boleh juga bererti suci daripada hadas besar seperti haid dan junub, dan suci daripada hadas kecil yakni seseorang yang dalam keadaan wudhu’ . Ia juga boleh bererti suci dari sudut akidah sepertimana firman Allah terhadap orang-orang musyrik:
Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis. [al-Taubah 9:28]
Oleh itu perlu dicari maksud sebenar kepada perkataan suci dalam hadis di atas. Salah satu caranya ialah dengan mengkaji keseluruhan hadis di mana ia sebenarnya adalah sepucuk surat yang dihantar oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada seorang sahabat di Yaman. Pada saat itu Yaman adalah sebuah wilayah yang penduduknya masih terdiri daripada campuran orang bukan Islam dan Islam, justeru kemungkinan yang besar adalah surat tersebut bertujuan melarang al-Qur’ an daripada disentuh oleh orang bukan Islam.
Himpunan antara asal usul hadis dan rujukan al-Qur’ an kepada orang musyrik sebagai najis dapat mengarah kepada satu petunjuk yang tepat bahawa erti suci dalam hadis di atas sebenarnya merujuk kepada orang Islam. Justeru keseluruhan hadis sebenarnya melarang orang-orang bukan Islam daripada memegang kitab atau mushaf al-Qur’ an. Akhirnya jika dianalisa antara dua pendapat di atas, yang lebih tepat adalah pendapat kedua yang membolehkan seorang wanita yang sedang haid untuk memegang al-Qur’ an.

Sabtu, Januari 15, 2011

WANITA WANITA AHLI NERAKA DAN CIRI CIRINYA

Golongan Wanita Yang Di Siksa Dalam Neraka "Abdullah Bin Masud r.a. meriwayatkan bahawa Nabi s.a.w. bersabda : "Apabila seorang wanita mencucikan pakaian suaminya, maka Allah s.w.t. mencatat baginya seribu kebaikan, dan mengampuni dua ribu kesalahannya, bahkan segala sesuatu yang disinari sang
surya akan memintakan ampunan
baginya, dan Allah s.w.t. mengangkat seribu derajat untuknya." (H.R. ABU MANSUR DIDALAM KITAB MASNADIL FIRDAUS)
Ali r.a. meriwayatkan sebagai berikut : Saya bersama-sama Fathimah berkunjung kerumah Rasulullah, maka kami temui beliau sedang menangis. Kami bertanya kepada beliau: "Apakah yang menyebabkan engkau menangis wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Pada malam aku di Israkan ke langit, saya melihat orang-orang yang sedang mengalami penyiksaan, maka apabila aku teringat keadaan mereka, aku menangis."
Saya bertanya lagi, "Wahai Rasulullah apakah engkau lihat?" Beliau bersabda:
1. Wanita yang digantung dengan rambutnya dan otak kepalanya mendidih.
2. Wanita yang digantung dengan lidahnya serta tangan dicopot dari punggungnya, aspal mendidih
dari neraka dituang ke kerongkongnya.
3. Wanita yang digantung dengan buah dadanya dari balik punggungnya, sedang air getah kayu Zakum dituangkan ke kerongkongnya.
4. Wanita yang digantung, diikat kedua kaki dan tangannya kearah ubun-ubun kepalanya, serta dibelit dan dibawah kekuasaan ular dan kala jengking.
5. Wanita yang memakan badannya sendiri, serta dibawahnya tampak api yang berkobar-kobar dengan hebatnya.
6. Wanita yang memotong- motong badannya sendiri dengan gunting dari neraka.
7. Wanita yang bermuka hitam serta dia makan usus-ususnya sendiri.
8. Wanita yang tuli, buta dan bisu
didalam peti neraka, sedang darahnya mengalir dari lubang- lubang badannya (hidung, telinga,
mulut) dan badannya membusuk akibat penyakit kulit dan lepra.
9. Wanita yang berkepala seperti kepala babi dan berbadan himmar (keledai) yang mendapat berjuta macam siksaan.
10. Wanita yang berbentuk anjing, sedangkan beberapa ular dan kala jengking masuk melalui duburnya atau mulutnya dan keluar melalui duburnya, sedangkan malaikat sama-sama memukuli kepalanya dengan palu dari neraka.
Maka berdirilah Fatimah seraya berkata, "Wahai ayahku, biji mata kesayanganku, ceritakanlah kepadaku, apakah amal perbuatan wanita-wanita itu." Rasulullah s.a.w. bersabda : "Hai Fatimah, adapun tentang hal itu :
1. Wanita yang digantung dengan rambutnya kerana tidak menjaga
rambutnya (di jilbab) dikalangan laki-laki.
2. Wanita yang digantung dengan lidahnya, kerana dia menyakiti hati suaminya, dengan kata- katanya."
Kemudian Rasulullah S.A.W. bersabda : "Tidak seorang wanita
pun yang menyakiti hati suaminya melalui kata-kata, kecuali Allah s.w.t. akan membuat mulutnya kelak dihari kiamat selebar tujuh puluh dzira kemudian akan mengikatkannya dibelakang lehernya."
3. Adapun wanita yang digantung dengan buah dadanya, kerana dia menyusui anak orang lain tanpa seizin suaminya.
4. Adapun wanita yang diikat dengan kaki dan tanganya itu, kerana dia keluar rumah tanpa seizin suaminya, tidak mandi wajib dari haid dan dari nifas (keluar darah setelah melahirkan).
5. Adapun wanita yang memakan badannya sendiri, kerena dia bersolek untuk dilihat laki-laki lain serta suka membicarakan aib orang lain.
6. Adapun wanita yang memotong-motong badannya sendiri dengan gunting dari neraka, dia suka menonjolkan diri
(ingin terkenal) dikalangan orang banyak, dengan maksud supaya mereka (orang banyak) itu melihat perhiasannya, dan setiap orang yang melihatnya jatuh cinta padanya, karena melihat perhiasannya.
7. Adapun wanita yang diikat kedua kaki dan tangannya sampai keubun-ubunnya dan dibelit oleh ular dan kala jengking, kerana dia mampu untuk mengerjakan sholat dan puasa, sedangkan dia tidak mau berwudhu dan tidak sholat dan tidak mau mandi wajib.
8. Adapun wanita yang kepalanya
seperti kepala babi dan badannya seperti keledai (himmar), karena dia suka mengadu-domba serta berdusta.
9. Adapun wanita yang berbentuk seperti anjing, kerana dia ahli fitnah serta suka marah- marah pada suaminya.
Dalam sebuah hadis Rasulullah S.A.W. bersabda : empat jenis wanita yang berada di surga dan empat jenis wanita yang berada di neraka dan beliau menyebutnya di antara empat jenis perempuan yang berada di surga adalah :
1. Perempuan yang menjaga diri dari berbuat haram lagi berbakti kepada Allah dan suaminya.
2. Perempuan yang banyak keturunannya lagi penyabar serta menerima dengan senang hati dengan keadaan yang serba kekurangan (dalam kehidupan) bersama suaminya.
3. Perempuan yang bersifat pemalu, dan jika suaminya pergi maka ia menjaga dirinya dan harta suaminya, dan jika suaminya datang ia mengekang mulutnya dari perkataan yang tidak layak kepadanya.
4. Perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya dan ia mempunyai anak-anak yang masih kecil, lalu ia mengekang dirinya hanya untuk mengurusi anak-anaknya dan mendidik mereka serta memperlakukannya dengan baik kepada mereka dan tidak bersedia kawin karena khawatir anak-anaknya akan tersia-sia (terlantar).
Kemudian Rasulullah S.A.W. bersabda : Dan adapun empat jenis wanita yang berada di neraka adalah :
1. Perempuan yang jelek (jahat) mulutnya terhadap suaminya, jika suaminya pergi, maka ia tidak menjaga dirinya dan jika suaminnya datang ia memakinya (memarahinya).
2. Perempuan yang memaksa suaminya untuk memberi apa yang ia tidak mampu.
3. Perempuan yang tidak menutupi dirinya dari kaum lelaki dan keluar dari rumahnya dengan menampakkan perhiasannya dan memperlihatkan kecantikannya (untuk menarik perhatian kaum lelaki).
4. Perempuan yang tidak mempunyai tujuan hidup kecuali makan, minum dan tidur dan ia tidak senang berbakti kepada Allah, Rasul dan suaminya.
Oleh karena itu seorang perempuan yang bersifat dengan sifat-sifat (empat) ini, maka ia dilaknat termasuk ahli neraka kecuali jika ia bertaubat. Diceritakan dari isteri Khumaid As-sa-idiy bahwa ia datang kepada Rasulullah S.A.W. lalu berkata : "Hai Rasulullah sesungguhnya aku senang mengerjakan sholat bersamamu". Beliau berkata : "Aku mengerti bahwa engkau senang mengerjakan sholat bersamaku, akan tetapi sholatmu di tempat tidurmu itu lebih baik dari pada sholatmu dikamarmu dan sholatmu dikamarmu lebih baik dari solatmu dirumahmu dan sholatmu dirumahmu lebih baik daripada solatmu di mesjidku". (Bagi lelaki sangat dituntut sembahyang berjemaah di mesjid)
Rasulullah S.A.W. bersabda : "Sesungguhnya yang lebih disukai sholatnya perempuan oleh Allah ialah yang dilakukan pada tempat yang amat gelap dirumahnya".
Diceritakan dari Aisyah r.a. : "Pada suatu ketika Rasulullah S.A.W. duduk di masjid, tiba-tiba masuklah seorang perempuan dari suku Muzainah yang memakai pakaian yang terseret- seret ditanah untuk perhiasan pada dirinya di dalam masjid". Maka Rasulullah S.A.W. bersabda : "Wahai manusia laranglah isteri- isterimu dari memakai perhiasan dan memperindah gaya berjalan di dalam masjid. Kerana sesungguhnya kaum Bani Israil itu
tidak dilaknat hingga mereka memberi pakaian isteri-isteri mereka dengan pakaian perhiasan dan mereka berjalan dengan gaya sombong di dalam masjid".
Ibnu Abas r.a. meriwayatkan juga bahwa Rasulullah S.A.W. bersabda : "Apabila seorang wanita keluar rumahnya dengan mempesolek dirinya serta memakai bau-bauan (sedang suaminya redha akan berbuatan yang demikian itu), maka dibangunkan untuk suaminya pada setiap langkahnya sebuah rumah di neraka."
Sabda Rasulullah S.A.W. lagi yang bermaksud : "Jihad seorang wanita ialah taatkan suami dan menghiaskan diri untuknya."
Isteri tidak wajib taat perintah dan arahan suami, apabila perintah dan arahan itu bertentangan dengan hukum Allah S.W.T.
Imam Al-Ghazali menegaskan : "Seorang isteri wajib mentaati suami sepenuhnya dan memenuhi segala tuntutan suami dari dirinya sekiranya tuntutan itu tidak mengandungi maksiat."

Selasa, November 02, 2010

WANITA KELUAR RUMAH DENGAN PARFUN SEHINGGA MENGGODA LAKI-LAKI

Inilah kebiasaan yg menjadi fenomena umum dikalangan wanita, keluar rumah dengan menggunakan parfum yg wangi nya menjelajahi segala ruang.Hal yg menjadikan laki² lebih tergoda karena umpan wewangian yg menghampirinya .

Rasulullah saw bersabda :

"perempuan manapun yg menggunakan parfum kemudian melewati suatu kaum agar mencium wanginya maka dia seorang pezina (hr ahmad 4/418 ; shahihul jami 105 )

sebagian wanita melalaikan dan meremehkan masalah ini, perempuan yg telah terlanjur memakai parfum, jika hendak keluar rumah,ia di wajibkan mandi terlebh dahulu seperti mandi jinabat,bahkan meski tujuannya kemasjid.

Rasulullah bersabda :

"perempuan manapun yg memakai parfum kemudian keluar kemasjid agar wanginya tercium oranglain maka shalatnya tidak di terima sehingga ia mandi sebagaimana mandi jinabat (hr ahmad 2/4444)