Laman

Entri Populer

Tampilkan postingan dengan label hadits. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hadits. Tampilkan semua postingan

Sabtu, Juni 25, 2011

adakah dalil tentang Solat hajat ?

“Barang siapa
yang
mempunyai
hajat
kepada
Allah atau
kepada
salah
seorang
dari
bani adam/manusia, maka hendaklah ia berwudhu serta membaguskan wudhunya, kemudian sholat hajat
dua rakaat. Setelah itu hendaknya ia menyanjung kepada Allah dan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam. Kemudian ia mengucapkan doa (hajat) : Laa ilaa illallahul halimul kariim, subhaanallahi robbil ‘ arsyil azhiim, alhamdulillaahi robbil ‘ aalamiin, as-aluka muujibaati rohmatik, … dst..dst” Hadits ini SANGAT DHA’ IF Dikeluarkan oleh Imam At Tirmidzi (1/477), Ibnu Majah (no. 1384) & Al Hakim (1/320), semuanya dari jalan Faa-id bin Abdurrahman dari Abdullah bin Abi Aufa, secara marfu’ . Imam Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits ini, ia berkata,”Hadits ini gharib/asing, di isnadnya ada pembicaraan, karena Faa-id bin Abdurrahman itu telah di lemahkan di dalam haditsnya. Sanad hadits ini sangat dha’ if (Dha’ ifun jiddan), Faa-id bin Abdurrahman Abdul Waruqaa’ telah di lemahkan oleh sejumlah ulama hadits : 1.Berkata Imam Ahmad bin Hambal : “Matrukul Hadits” 2.Kata Imam Ibnu Ma’ in : “Dha’ if, bukan orang yang tsiqoh”. 3.Berkata Imam Abud Daud : “Bukan apa-apa (istilah untuk rawi lemah/dha’ if)” 4.Berkata Imam an Nasaa-i : “Bukan orang/rawi yang tsiqoh, matrukul hadits”. 5.Berkata Ibnu Hibban : “Tidak boleh berhujjah dengannya” 6.Berkata Imam Bukhari : “Munkarul Hadits” Faedah : Maksud perkataan (jarh) Imam Bukhari diatas telah beliau jelaskan sendiri dengan perkataannya yang masyhur, “Setiap rawi yang telah aku katakan (jarh) sebagai munkarul hadits, maka tidak halal meriwayatkan hadits darinya”. (Al Mizaan AdzDzahabi :1/6).
7.Berkata Imam Abu Hatim : “Hadits-haditsnya dari jalan Ibnu Abi Aufa batil-batil”. 8.Berkata Imam al Hakim : “Ia telah meriwayatkan dari Ibnu Abi Aufa hadits-hadits maudhu’ (palsu)”. Adapun mengapa hadits ini di takhrij dan dikatakan sebagai hadits yang sangat lemah adalah : Pertama, Faa-id bin Abdurrahman telah di lemahkan oleh ulama-ulama dan imam-imam ahli hadits, teristimewa jarh oleh Imam Bukhari yang menunjukkan sangat lemahnya Faa-id. Kedua, Riwayat-riwayatnya dari jalan Ibnu Abi Aufa adalah bathil, bahkan menurut Imam al Hakim adalah Maudhu’ (palsu). Sedangkan hadits ini Faa-id riwayatkan dari jalannya (Ibnu Abi Aufa). Dari dua alasan inilah, maka dapat di simpulkan bahwa hadits ini adalah “Sangat Lemah”. Wallahu a’ lam. Hadits ini adalah salah satu hadits sholat sunnat hajat yang sangat masyhur sekali di kalangan kaum muslimin. Dan termasuk salah satu dari “hadits-hadits dha’ if” yang terdapat dalam kitab “Pedoman Shalat” (hal :503) yang ditulis oleh Al Ustadz Hasbi Ash Shiddiqi.
Selain itu, ada lagi satu hadits yang di jadikan dasar oleh Syaikh
Sayyid Sabiq dalam kitabnya “Fiqih Sunnah” untuk menyunnatkan sholat hajat, hadits tersebut adalah : ‘ Dari Abi Darda’ , ia berkata. “Wahai manusia! Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang berwudhu lalu ia sempurnakan, niscaya Allah akan memberikan apa saja yang ia minta cepat atau lambat”” . Hadits ini di keluarkan oleh Imam Ahmad (6/442-443) dengan sanad yang dha’ if. Di sanadnya ada seorang rawi yang majhul yaitu Maimun Abi Muhammad sebagaimana telah di jelaskan oleh al Albani dalam kitabnya “Tamamul Minnah (hal 260), yang mengambil keterangan dari para imam seperti ibnu Ma’ in, Ibnu ‘ Aidy, Adz Dzahabi dan lain-lain, mereka semua mengatakan bahwa Maimun adalah Majhul atau tidak dikenal. Adapun pernyataan Sayyid Sabiq bahwa sanad hadits diatas adalah shahih adalah merupakan “tasaahul” beliau di dalam kitabnya tersebut.

Selasa, April 19, 2011

adakah bid'ah hasanah ?

Banyak alasan yang dipakai orang-orang untuk ‘ melegalkan’ perbuatan bid’ ah.

Salah satunya, tidak semua bid’ ah itu jelek.
Menurut mereka, bid’ ah ada pula yang baik (hasanah).
Mereka pun memiliki dalil untuk mendukung pendapatnya tersebut.

Bagaimana kita menyikapinya ?

Di antara sebab-sebab tersebarnya bid’ ah di negeri kaum muslimin adalah adanya keyakinan pada kebanyakan kaum muslimin bahwa di dalam kebid’ ahan ini ada yang boleh diterima yang dinamakan bid’ ah hasanah.

Pandangan ini berangkat dari pemahaman bahwa bid’ ah itu ada dua: hasanah (baik) dan sayyiah (jelek).

Berikut ini kami paparkan apa yang diterangkan oleh Asy- Syaikh As-Suhaibani dalam kitab Al-Luma’ :

Bantahan terhadap Syubhat Pendapat yang Menyatakan Adanya Bid’ ah Hasanah Syubhat pertama: Pemahaman mereka yang salah terhadap hadits:

“Barangsiapa membuat satu sunnah (cara atau jalan) yang baik di dalam Islam maka dia mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun. Dan barangsiapa yang membuat satu sunnah yang buruk di dalam Islam, dia mendapat dosanya dan dosa orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” (Shahih, HR. Muslim no. 1017).

Bantahannya Pertama:

Sesungguhnya makna dari (barangsiapa yang membuat satu sunnah) adalah menetapkan suatu amalan yang sifatnya tanfidz (pelaksanaan), bukan amalan tasyri’ (penetapan hukum).

Maka yang dimaksud dalam hadits ini adalah amalan yang ada tuntunannya dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam .

Makna ini ditunjukkan pula oleh sebab keluarnya hadits tersebut, yaitu sedekah yang disyariatkan.

Kedua: Rasul yang mengatakan:

“Barangsiapa yang membuat satu sunnah (cara atau jalan) yang baik di dalam Islam.” Adalah juga yang mengatakan: “Semua bid’ ah itu adalah sesat.” Dan tidak mungkin muncul dari Ash-Shadiqul Mashduq (Rasul yang benar dan dibenarkan) ?
suatu perkataan yang mendustakan ucapannya yang lain.
Tidak mungkin pula perkataan beliau ?
saling bertentangan.
Dengan alasan ini, maka tidak boleh kita mengambil satu hadits dan mempertentangkannya dengan hadits yang lain.
Karena sesungguhnya ini adalah seperti perbuatan orang yang beriman kepada sebagian Al-Kitab tetapi kafir kepada sebagian yang lain.

Ketiga:
Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘ alaihi wassalam mengatakan (barangsiapa membuat sunnah) bukan mengatakan (barangsiapa yang membuat bid’ ah). Juga mengatakan (dalam Islam).
Sedangkan bid’ ah bukan dari ajaran Islam.

Beliau juga mengatakan (yang baik). Dan perbuatan bid’ ah itu bukanlah sesuatu yang hasanah (baik).
Tidak ada persamaan antara As Sunnah dan bid’ ah, karena sunnah itu adalah jalan yang diikuti, sedangkan bid’ ah adalah perkara baru yang diada-adakan di dalam agama.

Keempat: Tidak satupun kita dapatkan keterangan yang dinukil dari salafus shalih menyatakan bahwa mereka menafsirkan Sunnah Hasanah itu sebagai bid’ ah yang dibuat-buat sendiri oleh manusia.

Syubhat kedua:
Pemahaman mereka yang salah terhadap perkataan ‘ Umar bin Al- Khaththab :

“Sebaik-baik bid’ ah adalah ini (tarawih berjamaah)”.

Jawaban atas syubhat ini:

1. Anggaplah kita terima dalalah (pendalilan) ucapan beliau seperti yang mereka maukan – bahwa bid’ ah itu ada yang baik, namun sesungguhnya, kita kaum muslimin mempunyai satu pedoman;
kita tidak boleh mempertentangkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam dengan pendapat siapapun juga (selain beliau).

Tidak dibenarkan kita membenturkan sabda beliau dengan ucapan Abu Bakar, meskipun dia adalah orang terbaik di umat ini sesudah Nabi Muhammad Shallallahu ‘ alaihi wassalam atau dengan perkataan ‘ Umar bin Al- Khaththab ataupun yang lainnya.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ ala :

“(Kami mengutus mereka) sebagai rasul-rasul pemberi berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya para Rasul itu.” (An- Nisa`: 165)

Sehingga tidak tersisa lagi bagi manusia satu alasan pun untuk membantah Allah dengan telah diutusnya para rasul ini.

Merekalah yang telah menjelaskan urusan agama mereka serta apa yang diridhai oleh Allah.
Merekalah hujjah Allah terhadap kita manusia, bukan selain mereka.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)

Asy-Syaikh ‘ Abdurrahman As- Sa’ di (secara ringkas) mengatakan:

“Ayat ini mengajarkan kepada kita bagaimana beradab terhadap Allah dan Rasul-Nya, hendaknya kita berjalan (berbuat dan beramal) mengikuti perintah Allah dan Sunnah Rasul-Nya, jangan mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam segenap urusan.

Dan inilah tanda-tanda kebahagiaan dunia dan akhirat.” Ibnu ‘ Abbas mengatakan:

“Hampir-hampir kalian ditimpa hujan batu dari langit. Aku katakan: Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam bersabda demikian… demikian, (tapi) kalian mengatakan: Kata Abu Bakr dan ‘ Umar begini… begini… .” ‘ Umar bin ‘ Abdul ‘ Aziz mengatakan: “Tidak ada (hak) berpendapat bagi siapapun dengan (adanya) sunnah yang telah ditetapkan Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam .

” Al-Imam Asy-Syafi’ i mengatakan:

“Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam , tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena pendapat (pemikiran) seseorang.”

Al-Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan:

“Barangsiapa yang menolak hadits Nabi, berarti dia (sedang) berada di tepi jurang kehancuran.”

2. Bahwa ‘ Umar mengatakan kalimat ini tatkala beliau mengumpulkan kaum muslimin untuk shalat tarawih berjamaah. Padahal shalat tarawih berjamaah ini bukanlah suatu bid’ ah.

Bahkan perbuatan tersebut termasuk sunnah dengan dalil yang diriwayatkan oleh ‘ Aisyah,

bahwa Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam pada suatu malam shalat di masjid, kemudian orang-orang mengikuti beliau. Kemudian keesokan harinya jumlah mereka semakin banyak. Setelah itu malam berikutnya (ketiga atau keempat) mereka berkumpul (menunggu Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam ).
Namun beliau tidak keluar.
Pada pagi harinya, beliau bersabda: “Saya telah melihat apa yang kalian lakukan.
Dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar (shalat bersama kalian) kecuali kekhawatiran (kalau- kalau) nanti (shalat ini) diwajibkan atas kalian.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 1129)

Secara tegas beliau menyatakan di sini alasan mengapa beliau meninggalkan shalat tarawih berjamaah.

Maka tatkala ‘ Umar melihat alasan ini (kekhawatiran Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam ) sudah tidak ada lagi, beliau menghidupkan kembali shalat tarawih berjamaah ini.

Dengan demikian, jelaslah bahwa tindakan khalifah ‘ Umar ini mempunyai landasan yang kuat yaitu perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam sendiri.

Jadi jelas bahwa bid’ ah yang dimaksudkan oleh ‘ Umar bin Al- Khaththab adalah bid’ ah dalam pengertian secara bahasa, bukan
menurut istilah syariat.

Dan jelas pula tidak mungkin ‘ Umar berani melanggar atau menentang sabda Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam yang telah menyatakan bahwa: “Semua bid’ ah itu sesat.”

Syubhat ketiga: Pemahaman yang salah tentang atsar dari Ibnu Mas’ ud
“Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka dia adalah baik di sisi Allah.” (Dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad, 1/379)

Bantahan:
- Atsar ini tidak shahih jika di- rafa’ -kan (disandarkan) kepada Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam , tetapi ini adalah ucapan Ibnu Mas’ ud semata.

Dan diriwayatkan dari Anas tetapi sanadnya gugur, yang shahih adalah mauquf (hanya sampai) kepada Ibnu Mas’ ud .

- pada kata menunjukkan kepada sesuatu yang sudah diketahui.

Dan tentunya yang dimaksud dengan kata Al- Muslimun di sini adalah para shahabat.

Dan tidak ada satupun riwayat yang dinukil dari mereka yang menyatakan adanya bid’ ah yang hasanah. -

Kalaulah dianggap bahwa ini menunjukkan keumuman (maksudnya seluruh kaum muslimin), maka artinya adalah ijma’ . Dan ijma’ adalah hujjah.

Maka sanggupkah mereka menunjukkan adanya satu perbuatan bid’ ah yang disepakati berdasarkan ijma’ kaum muslimin bahwa perbuatan itu adalah bid’ ah hasanah?

Tentunya ini adalah perkara yang mustahil.

- Bagaimana mereka berani berdalil dengan ucapan beliau seperti ini, padahal beliau sendiri adalah orang yang paling keras kebenciannya terhadap bid’ ah, di mana beliau pernah mengatakan:

“Ikutilah! Dan jangan berbuat bid’ ah. Sungguh kalian telah dicukupkan. Dan sesungguhnya setiap bid’ ah itu adalah sesat. ”(Shahih, HR. Ad-Darimi 1/69).

Secara ringkas, semua keterangan di atas yang menunjukkan betapa buruknya bid’ ah.
Kami simpulkan dalam beberapa hal berikut ini,  yang kami nukil dari sebagian tulisan Asy-Syaikh Salim Al-Hilali:

Cukuplah semua akibat buruk yang dialami pelaku bid’ ah itu sebagai kejelekan di dunia dan akhirat, yakni:

1. Amalan mereka tertolak, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam :

“Barangsiapa yang membuat- buat sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami yang bukan berasal daripadanya, maka semua itu tertolak.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘ Aisyah)

2. Terhalangnya taubat mereka selama masih terus melakukan kebid’ ahan itu. Rasulullah bersabda:

“Allah menghalangi taubat setiap pelaku bid’ ah sampai dia meninggalkan bid’ ahnya.” (HR. Ibnu Abi Ashim dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam As Shahihah no. 1620 dan As Sunnah Ibnu Abi Ashim hal. 21)

3. Pelaku bid’ ah akan mendapat laknat karena Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam bersabda:

“Barangsiapa yang berbuat bid’ ah, atau melindungi kebid’ ahan, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘ Ali bin Abi Thalib)

. Akhirnya, wahai kaum muslimin, hendaklah kita menjauhi semua kebid’ ahan ini setelah mengetahui betapa besar bahayanya bid’ ah.

Selain kita menjauhi bid’ ah itu sendiri, juga kita diperintah untuk menjauhi para pelakunya apalagi juru-juru dakwah yang mengajak kepada pemikiran-pemikiran bid’ ah ini.

Seandainya ada yang mengatakan:

Bukankah mereka orang yang baik dan apa yang mereka sampaikan itu adalah baik juga?

Hendaklah kita ingat firman Allah Subhanahu wa Ta’ ala :

“Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri.” (Al-Anfal: 23)

Perlu pula kita ketahui bahwa bid’ ah itu lebih berbahaya dari kemaksiatan.
Seseorang yang bermaksiat dia akan merasa takut dan melakukannya dengan sembunyi-sembunyi atau melarikan diri setelah berbuat.

Sedangkan pelaku bid’ ah semakin tenggelam dalam kebid’ ahannya dia akan semakin merasa yakin bahwa dia di atas kebenaran.

Satu lagi, bid’ ah itu adalah posnya (pengantar kepada) kekufuran.

Wallahu a’ lam. Semoga Allah tetap membimbing kita mendapatkan hidayah dan taufik-Nya serta menyelamatkan diri dan keluarga kita dari bid’ ah ini.

Sumber Bacaan:
1 Al-Qaulul Mufid
(2), Asy-Syaikh Ibnu ‘ Utsaimin,
2 Al-Qaulul Mufid, Asy-Syaukani,
3 Al-I’ tisham
(1), Asy-Syathibi,
4 Al-Luma’ , As-Sahibani,
5 Al-Bid’ ah wa Atsaruhas Sayyi‘ , Salim Al- Hilali,
6 Al-Bid’ ah wa Atsaruha, ‘ Ali Al-Faqihi,
7 Riyadhul Jannah, Asy-Syaikh Muqbil,
8 Taisir Al- Karimir Rahman, As-Sa’

Selasa, April 05, 2011

HADITS TENTANG HUKUM WANITA HAID,NIFAS,JUNUB MEMBACA ALQURAN

“Artinya : Dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam beliau bersabda, “Janganlah perempuan yang haid dan orang yang junub membaca sedikit pun juga dari (ayat) Al-Qur’ an.

” Dalam riwayat yang lain,
“Janganlah orang yang junub dan perempuan yang haid
membaca sedikit pun juga dari
(ayat) Al-Qur’ an”

DLA’ IF Dikeluarkan oleh Tirmidzi (no. 121). Ibnu Majah (no. 595
dan 596). Ad-Daruquthni (1/117)
dan Baihaqiy (1/89), dari jalan
Ismail bin Ayyaasy dari Musa bin
Uqbah dari Naafi, dari Ibnu Umar
(ia berkata seperti di atas)

Berkata Imam Bukhari, “Ismail (bin Ayyaasy) munkarul hadits
(apabila dia meriwayatkan
hadits) dari penduduk Hijaz dan
penduduk Iraq”

[1] Saya berkata : Hadits di atas
telah diriawayatkan oleh Ismail
bin Ayyaasy dari Musa bin Uqbah
seorang penduduk Iraq.
Dengan demikian riwayat Ismail bin
Ayyaasy dla’ if. Imam Az-Zaila’ i di kitabnya Nashbur Raayah (I/195)

menukil keterangan Imam Ibnu Adiy di kitabnya Al-Kaamil bahwa Ahmad
dan Bukhari dan lain-lain telah
melemahkan hadits ini dan Abu
Hatim menyatakan bahwa yang benar hadits ini mauquf kepada
Ibnu Umar (yakni yang benar
bukan sabda Nabi Shallallahu
‘ alaihi wa sallam akan tetapi hanya perkataan Ibnu Umar).

Berkata Al-Hafidzh Ibnu Hajar di
kitabnya Talkhisul Habir (1/138) :
Di dalam sanadnya ada Ismail bin
Ayyaasy, sedangkan riwayatnya
dari penduduk Hijaz dla’ if dan di antaranya (hadits) ini.

Berkata Ibnu Abi Hatim dari bapaknya (Abu Hatim), “Hadits Ismail bin Ayyaasy ini keliru, dan (yang benar) dia hanya perkataan Ibnu Umar”.

Dan telah berkata Abdullah bin Ahmad dari bapaknya (yaitu Imam Ahmad ia berkata), “(Hadits) ini batil, “Beliau mengingkari (riwayat) Ismail. Sekian dari Al-Hafidz Ibnu
Hajar.

Hadits yang lain dari jalan Ibnu
Umar “Artinya : Dari jalan Abdul Malik bin Maslamah (ia berkata) Telah menceritakan kepadaku
Mughirah bin Abdurrahman, dari
Musa bin Uqbah dan Naafi, dari
Ibnu Umar, ia berkata :

Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam, “Tidak boleh bagi orang junub membaca
sedikitpun juga dari (ayat) Al-
Qur’ an” DLA’ IF. Diriwayatkan oleh Ad- Daruquthni (1/117)

Al-Hafidz Ibnu Hajar telah
melemahkan riwayat di atas
disebabkan Abdul Malik bin
Maslamah seorang rawi yang
dla’ if (Talkhisul Habir 1/138)

Hadits yang lain dari jalan Ibnu
Umar. “Artinya : Dari seorang laki-laki, dari Abu Ma’ syar, dari Musa bin Uqbah, dari Naafi, dari Ibnu Umar,
dari Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam beliau bersabda,
“Perempuan yang haid dan orang yang junub, keduanya tidak
boleh membaca sedikitpun juga
dari (ayat) Al-Qur’ an ” DLA’ IF. Diriwayatkan oleh Ad- Daruquthni (1/117)

Saya berkata : Riwayat ini dla’ if karena : Pertama : Ada seorang
rawi yang mubham (tidak disebut
namanya yaitu dari seorang laki-
laki). Kedua : Abu Ma’ syar seorang rawi yang dla’ if.

Hadits yang lain dari jalan Jabir
bin Abdullah. “Artinya : Dari jalan Muhammad bin Fadl, dari bapaknya, dari Thawus, dari Jabir, ia berkata :
Telah bersabda Rasulullah
Shallallahu ‘ alaihi wa sallam, “Tidak boleh bagi perempuan yang haid dan nifas (dalam riwayat yang lain : Orang yang junub) membaca (ayat) Al-Qur’ an sedikitpun juga (dalam riwayat) yang lain : Sedikitpun juga dari (ayat) Al-Qur’ an)” MAUDLU, Diriwayatkan oleh Ad-
Daruquthni (2/87) dan Abu
Nua’ im di kitabnya Al-Hilyah (4/22).
Saya berkata : Sanad hadits ini
maudhu (palsu) karena
Muhammad bin Fadl bin Athiyah
bin Umar telah dikatakan oleh
para Imam ahli hadits sebagai
pendusta sebagaimana keterangan Al-Hafidz Ibnu Hajar di Taqrib-nya (2/200).
Dan di kitabnya Talkhisul Habir (1/138)
beliau mengatakan bahwa orang
ini matruk.

Ketika hadits-hadits diatas dari
semua jalannya dla’ if
bahkan hadits terakhir maudlu, maka
tidak bisa dijadikan sebagai dalil
larangan bagi perempuan haid
dan nifas dan orang yang junub
membaca Al-Qur’ an.
Bahkan telah datang sejumlah dalil yang membolehkannya.

Pertama : Apabila tidak ada satu
pun dalil yang sah (shahih dan
hasan) yang melarang
perempuan haid, nifas dan orang
yang junub membaca ayat-ayat
Al-Qur’ an, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum asal
tentang perintah dan keutamaan
membaca Al-Qur’ an secara mutlak termasuk perempuan
haid, nifas dan orang yang junub.

Kedua : Hadits Aisyah ketika dia
haid sewaktu menunaikan ibadah
haji.

“Artinya : Dari Aisyah, ia berkata : Kami keluar (menunaikan haji) bersama Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam (dan) kami tidak menyebut kecuali haji. Maka ketika kami sampai di (satu tempat bernama) Sarif aku haid. Lalu Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam masuk menemuiku dan aku sedang menangis, lalu beliau
bertanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?” Jawabku, “Aku ingin demi Allah kalau sekiranya aku tidak haji
pada tahun ini?” Jawabku,
“Ya” Beliau bersabda, “Sesungguhnya (haid) ini adalah sesuatu yang telah Allah tentukan untuk anak-anak perempuan Adam, oleh karena itu kerjakanlah apa-apa
yang dikerjakan oleh orang yang
sedang haji selain engkau tidak boleh thawaf di Ka’ bah sampai engkau suci (dari haid)”
Shahih riwayat Bukhari (no. 305)
dan Muslim (4/30)

Hadits yang mulia ini dijadikan
dalil oleh para Ulama di
antaranya amirul mu’ minin fil hadits Al-Imam Al-Bukhari di kitab
Shahih-nya bagian Kitabul Haid
bab 7 dan Imam Ibnu Baththaal,
Imam Ath-Thabari, Imam Ibnul
Mundzir dan lain-lain bahwa
perempuan haid, nifas dan orang yang junub boleh membaca Al-
Qur’ an dan tidak terlarang.

Berdasarkan perintah Nabi
Shallallahu ‘ alaihi wa sallam kepada Aisyah untuk
mengerjakan apa-apa yang
dikerjakan oleh orang yang
sedang menunaikan ibadah haji
selain thawaf dan tentunya juga
terlarang shalat.

Sedangkan yang selainnya boleh termasuk membaca Al-Qur’ an. Karena kalau membaca Al-Qur’ an terlarang bagi perempuan haid tentu Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam telah menjelaskannya kepada Aisyah. Sedangkan Aisyah saat itu
sangat membutuhkan penjelasan
dari Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam apa yang boleh dan
terlarang baginya.

Menurut ushul
“mengakhirkan keterangan dari waktu yang dibutuhkan tidak
boleh. Ketiga : Hadits Aisyah. “Artinya : Dari Aisyah, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam biasa berdzikir atas segala
keadaannya” [Hadits shahih riwayat Muslim (1/194 dan lain-
lain] Hadits yang mulia ini juga
dijadikan hujjah oleh Al-Imam Al-
Bukhari dan lain-lain imam
tentang bolehnya orang yang
junub dan perempuan haid atau
nifas membaca Al-Qur’ an.

Karena Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam berdzikir kepada Allah atas
segala keadaannya dan yang
termasuk berdzikir ialah
membaca Al-Qur’ an.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ ala.

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikra [2]

(Al-Qur’ an) ini, dan sesungguhnya Kami jugalah yang akan (tetap)
menjaganya” [Al-Hijr : 9]

“Dan Kami turunkan kepadamu Adz-Dzikra (Al-Qur’ an) supaya engkau jelaskan kepada manusia
apa yang diturunkan kepada
mereka dan agar supaya mereka
berfikir” [An-Nahl : 44]

Keempat : Surat Rasulullah
Shallallahu ‘ alaihi wa sallam kepada Heracleus yang di
dalamnya berisi ayat Al-Qur’ an sebagaimana diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim dan lain-lain.

Hadits yang mulia inipun dijadikan
dalil tentang bolehnya orang
yang junub membaca Al-Qur’ an.

Karena sudah barang tentu
orang-orang kafir tidak selamat
dari janabah, meskipun demikian
Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam menulis surat kepada mereka
yang didalamnya terdapat firman
Allah.

Kelima : Ibnu Abbas mengatakan
tidak mengapa bagi orang yang
junub membaca Al-Qur’ an (Shahih Bukhari Kitabul Haidh bab 7).

Jika engkau berkata : Bukankah
telah datang hadits bahwa Nabi
Shallallahu ‘ alaihi wa sallam tidak membaca Al-Qur’ an ketika janabah? Saya jawab : Hadits yang
dimaksud tidak sah dari hadits Ali
bin Abi Thalib dengan lafadz.

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam keluar dari tempat buang air (wc), lalu beliau makan daging bersama kami, dan tidak ada yang menghalangi beliau sesuatupun juga dari (membaca) Al-Qur’ an selain janabah: DLA’ IF. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 229), Tirmidzi (no
164), Nasa’ i (1/144), Ibnu Majah (no. 594), Ahmad (1/83, 84, 107
dan 124), Ath-Thayaalis di
Musnad-nya (no. 94), Ibnu
Khuzaimah di Shahih-nya (no.
208), Daruquthni (1/119), Hakim
(1/152 dan 4/107) dan Baihaqiy (1/88-89)

semuanya dari jalan
Amr bin Murrah dari Abdullah bin
Salimah dari Ali, marfu (Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wa salam berbeda seperti diatas)

Hadits ini telah dishahihkan oleh
Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu
Hibban, Hakim, Adz-Dzahabi, Ibnu
Sakan, Abdul Haq, Al-Baghawiy
dan Syaikhul Imam Ahmad
Muhammad Syakir di takhrij Tirmidzi dan takhrij musnad
Ahmad.

Dan hadits ini telah didlaifkan
oleh jama’ ah ahli hadits – dan inilah yang benar- Insya Allah di
antaranya oleh Syu’ bah, Syafi’ iy, Ahmad, Bukhari, Baihaqiy, Al-Mundziriy, An-
Nawawi, Al-Khathaabiy dan
Syaikhul Imam Al-Albani dan lain-
lain. Berkata Asy-Syafi’ iy, “Ahli hadits tidak mentsabitkan
(menguatkan)nya”.

Yakni, ahli hadits tidak menguatkan riwayat
Abdullah bin Salimah. Karena Amr
bin Murrah yang meriwayatkan
hadits ini Abdullah bin Salimah
sesudah Abdullah bin Salimah tua
dan berubah hafalannya.

Demikian telah diterangkan oleh
para Imam di atas. Oleh karena
itu hadits ini kalau kita mengikuti
kaidah-kaidah ilmu hadits, maka
tidak ragu lagi tentang dla’ ifnya dengan sebab di atas yaitu
Abdullah bin Salimah ketika
meriwayatkan hadits ini telah
tua dan berubah hafalannya.

Maka bagaimana mungkin hadits
ini sah (shahih atau hasan)!.
Selain itu hadits ini juga tidak
bisa dijadikan dalil larangan bagi
orang yang junub dan
perempuan yang haid atau nifas
membaca Al-Qur’ an, karena semata-mata Nabi Shallallahu
‘ alaihi wa sallam tidak membacanya dalam junub tidak
berarti beliau melarangnya
sampai datang larangan yang
tegas dari beliau.

Ini kalau kita takdirkan hadits di atas sah, apalagi hadits di atas dla’ if tentunya lebih tidak mungkin lagi
dijadikan sebagai hujjah atau
dalil!

Sabtu, Januari 15, 2011

CIRI LELAKI DAN WANITA AHLI NERAKA

Benarkah Lelaki Selamat
Dari Azab Neraka..? Kalau dilihat secara renungan
makrifat, terdapat satu hadis
Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam yang menceritakan
pengalaman baginda bertemu
Allah SWT di Sidratul Muntaha
malam Israk Mikraj, di mana Allah
SWT telah memperlihatkan
kepadanya keadaan wanita yang kebanyakan mereka dihumban
dalam api neraka lantaran
beberapa kesalahan semasa
berada di dunia. Namun ia bukan bermakna bahawa orang lelaki terselamat
daripada panas api neraka dan
dimasukkan dalam syurga Allah
yang penuh dengan pelbagai
nikmat yang luar biasa, yang
terkadang tidak tergambar oleh akal fikiran manusia semasa
hidup di dunia. Justeru, apabila kita lihat
beberapa istilah dalam al-Quran,
menggambarkan kepada kita
bahawa orang lelaki juga tidak kurang menjadi
penghuni neraka. Ini berdasarkan keterangan al-
Quran seperti istilah ‘Ashabun Nar’ (ahli neraka), al- Kafirun, al-Fasiqun, al-
Munafiqun, az-Zolimun dan juga istilah yang disebut oleh
baginda Rasulullah Sallallahu
‘Alaihi Wasallam seperti golongan ‘dayus’, peminum arak dan anak-anak derhaka. Apa yang menarik perhatian
dalam isu yang ingin dibangkitkan
di sini ialah golongan dayus
seperti yang ditegaskan dalam
sebuah hadis baginda. Ramai
daripada kalangan umat Islam hari ini tidak menyedari bahawa
mereka boleh termasuk golongan
yang dayus dan tempat golongan
ini di akhirat tidak lain adalah
neraka. Siapa Golongan Dayus..? Mengapa neraka bagi golongan
dayus? Golongan dayus ini sama
ada seorang ayah yang
membiarkan anak-anak gadis
mereka keluar rumah tanpa
mengenakan pakaian yang menutup aurat dengan sempurna
begitu juga seorang suami yang
membiarkan isterinya
mendedahkan aurat seperti
tidak memakai tudung kepala
hingga di bawah perhiasan mereka. Termasuklah membiarkan
pembantu rumah di kalangan
wanita asing yang dibiarkan
tidak menutup aurat, maka
suami tadi tidak berhak masuk
syurga kerana membiarkan isteri dan pembantu rumahnya tidak
menutup aurat seperti yang
ditegaskan oleh al-Quran. Peristiwa wanita ke neraka
pada malam Mikraj Sayidina Ali Karamallahuwajhah
berkata: “Saya dengan Fatimah pergi menghadap Rasulullah
Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Kami dapati beliau sedang
menangis, lalu kami bertanya
kepadanya, apakah yang
menyebabkan ayahanda
menangis, ya Rasulullah?” Baginda Sallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab: “Pada malam aku diisrak hingga ke langit, di sana aku
melihat perempuan dalam
keadaan amat dahsyat.
Dengan sebab itu aku
menangis mengenangkan
azab yang diterima mereka.” Saidina Ali Karamallahuwajhah
bertanya: “Apakah yang ayahanda lihat di sana?” Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab: “Aku lihat ada perempuan digantung rambutnya, otak
kepalanya menggelegak. Aku
lihat perempuan digantung
lidahnya, tangannya diikat
ke belakang dan timah cair
dicurah ke dalam halkumnya (tekak).
“Aku lihat perempuan yang digantung kedua-dua
kakinya terikat, tangannya
diikat ke ubun-ubunnya,
didatangkan ular dan kala.
Aku lihat perempuan yang
memakan dagingnya sendiri, di bawahnya dinyalakan api
neraka. Aku lihat perempuan
mukanya hitam dan
memakan tali perutnya
sendiri. “Aku lihat perempuan yang telinga pekak dan
matanya buta, diisikan ke
dalam peti yang diperbuat
daripada api neraka,
otaknya keluar daripada
lubang hidung, badan bau busuk kerana penyakit
kusta dan sopak. “Aku lihat perempuan yang kepalanya seperti babi,
badannya seperti himar
dengan pelbagai
kesengsaraan dihadapinya.
Aku lihat perempuan yang
rupanya seperti anjing, kala dan ular masuk ke
kemaluannya, mulut dan
pelepasnya (punggung).
Malaikat memukulnya dengan
corong api neraka.” Fatimah pun bertanya kepada
ayahandanya: “Ayahanda yang dikasihi, beritakanlah kepada
anakanda, apakah kesalahan
yang dilakukan oleh
perempuan itu?” Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab: “Fatimah, adapun perempuan tergantung rambutnya itu
adalah perempuan yang
tidak menutup rambut
daripada bukan muhrimnya.
Perempuan tergantung
lidahnya ialah perempuan yang menggunakan lidahnya
untuk memaki dan menyakiti
hati suaminya. “Perempuan yang digantung susunya adalah perempuan
yang menyusukan anak
orang lain tanpa izin
suaminya. Perempuan kedua-
dua kakinya tergantung itu
ialah perempuan yang keluar dari rumahnya tanpa izin
suaminya. “Perempuan tidak mahu mandi daripada suci haid dan
nifas ialah perempuan yang
memakan badannya sendiri,
juga kerana ia berhias untuk
lelaki bukan suaminya dan
suka mengumpat orang. “Perempuan yang memotong badannya sendiri dengan
gunting api neraka kerana ia
memperkenalkan dirinya
kepada orang asing,
bersolek dan berhias supaya
kecantikannya dilihat lelaki lain. “Perempuan diikat kedua kakinya dan tangannya ke
atas ubun-ubunnya,
disuakan ular dan kala
kepadanya kerana ia boleh
sembahyang tetapi tidak
mengerjakannya dan tidak mandi janabah. “Perempuan kepalanya seperti babi dan badannya
seperti himar ialah ahli
pengumpat dan pendusta.
Perempuan rupanya seperti
anjing ialah perempuan yang
suka membuat fitnah dan membenci suaminya. Seterusnya Rasulullah Sallallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda yang bermaksud: “Perempuan menyakit hati suami dengan lidahnya pada
hari kiamat nanti Allah
jadikan lidahnya sepanjang
70 hasta kemudian diikat di
belakang tengkoknya.” Abu Bakar as-Sidiq mengatakan,
aku dengar Rasulullah Sallallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda yang bermaksud: “Perempuan menggunakan lidah untuk menyakiti hati
suaminya ia akan dilaknat
dan kemurkaan Allah.” Usamah bin Zaid menceritakan,
bahawa Rasulullah Sallallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda yang bermaksud: “Aku berdiri di atas syurga, kebanyakan yang masuk ke
dalamnya adalah golongan
miskin dan orang kaya
tertahan di luar pintu
syurga kerana dihisab. Selain
daripada itu ahli neraka diperintahkan masuk ke
dalam neraka, dan aku
berdiri di atas pintu neraka,
aku lihat kebanyakan yang
masuk ke dalam neraka
adalah perempuan.” Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda yang
bermaksud: “Aku lihat api neraka, tidak pernah aku melihatnya
seperti hari ini, kerana ada
pemandangan yang dahsyat
di dalamnya aku saksikan
kebanyakan ahli neraka
adalah perempuan.” Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam ditanya, “Mengapa ya Rasulullah?” Baginda Sallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab: “Perempuan mengkufurkan suaminya dan mengkufurkan
ihsannya, Jika engkau
membuat baik kepadanya
seberapa banyak pun dia
belum berpuas hati dan
cukup.” (Hadis riwayat Bukhari)
Namun ia bukan bermakna
bahawa orang lelaki terselamat
daripada panas api neraka dan
dimasukkan dalam syurga Allah
yang penuh dengan pelbagai
nikmat yang luar biasa, yang terkadang tidak tergambar oleh
akal fikiran manusia semasa
hidup di dunia. Justeru, apabila kita lihat
beberapa istilah dalam al-Quran,
menggambarkan kepada kita
bahawa orang lelaki juga tidak
kurang menjadi penghuni neraka.
Ini berdasarkan keterangan al- Quran seperti istilah ‘Ashabun Nar’ (ahli neraka), al-Kafirun, al- Fasiqun, al-Munafiqun, az-Zolimun
dan juga istilah yang disebut
oleh baginda Rasulullah s.a.w.
seperti golongan ‘dayus’, peminum arak dan anak-anak
derhaka. Apa yang menarik perhatian
dalam isu yang ingin dibangkitkan
di sini ialah golongan dayus
seperti yang ditegaskan dalam
sebuah hadis baginda. Ramai
daripada kalangan umat Islam hari ini tidak menyedari bahawa
mereka boleh termasuk golongan
yang dayus dan tempat
golongan ini di akhirat tidak lain
adalah neraka. Mengapa neraka bagi golongan
dayus? Golongan dayus ini sama
ada seorang ayah yang
membiarkan anak-anak gadis
mereka keluar rumah tanpa
mengenakan pakaian yang menutup aurat dengan
sempurna begitu juga seorang
suami yang membiarkan isterinya
mendedahkan aurat seperti
tidak memakai tudung kepala
hingga di bawah perhiasan mereka. Termasuklah membiarkan
pembantu rumah di kalangan
wanita asing yang dibiarkan
tidak menutup aurat, maka
suami tadi tidak berhak masuk
syurga kerana membiarkan isteri dan pembantu rumahnya tidak
menutup aurat seperti yang
ditegaskan oleh al-Quran.

WANITA WANITA AHLI NERAKA DAN CIRI CIRINYA

Golongan Wanita Yang Di Siksa Dalam Neraka "Abdullah Bin Masud r.a. meriwayatkan bahawa Nabi s.a.w. bersabda : "Apabila seorang wanita mencucikan pakaian suaminya, maka Allah s.w.t. mencatat baginya seribu kebaikan, dan mengampuni dua ribu kesalahannya, bahkan segala sesuatu yang disinari sang
surya akan memintakan ampunan
baginya, dan Allah s.w.t. mengangkat seribu derajat untuknya." (H.R. ABU MANSUR DIDALAM KITAB MASNADIL FIRDAUS)
Ali r.a. meriwayatkan sebagai berikut : Saya bersama-sama Fathimah berkunjung kerumah Rasulullah, maka kami temui beliau sedang menangis. Kami bertanya kepada beliau: "Apakah yang menyebabkan engkau menangis wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Pada malam aku di Israkan ke langit, saya melihat orang-orang yang sedang mengalami penyiksaan, maka apabila aku teringat keadaan mereka, aku menangis."
Saya bertanya lagi, "Wahai Rasulullah apakah engkau lihat?" Beliau bersabda:
1. Wanita yang digantung dengan rambutnya dan otak kepalanya mendidih.
2. Wanita yang digantung dengan lidahnya serta tangan dicopot dari punggungnya, aspal mendidih
dari neraka dituang ke kerongkongnya.
3. Wanita yang digantung dengan buah dadanya dari balik punggungnya, sedang air getah kayu Zakum dituangkan ke kerongkongnya.
4. Wanita yang digantung, diikat kedua kaki dan tangannya kearah ubun-ubun kepalanya, serta dibelit dan dibawah kekuasaan ular dan kala jengking.
5. Wanita yang memakan badannya sendiri, serta dibawahnya tampak api yang berkobar-kobar dengan hebatnya.
6. Wanita yang memotong- motong badannya sendiri dengan gunting dari neraka.
7. Wanita yang bermuka hitam serta dia makan usus-ususnya sendiri.
8. Wanita yang tuli, buta dan bisu
didalam peti neraka, sedang darahnya mengalir dari lubang- lubang badannya (hidung, telinga,
mulut) dan badannya membusuk akibat penyakit kulit dan lepra.
9. Wanita yang berkepala seperti kepala babi dan berbadan himmar (keledai) yang mendapat berjuta macam siksaan.
10. Wanita yang berbentuk anjing, sedangkan beberapa ular dan kala jengking masuk melalui duburnya atau mulutnya dan keluar melalui duburnya, sedangkan malaikat sama-sama memukuli kepalanya dengan palu dari neraka.
Maka berdirilah Fatimah seraya berkata, "Wahai ayahku, biji mata kesayanganku, ceritakanlah kepadaku, apakah amal perbuatan wanita-wanita itu." Rasulullah s.a.w. bersabda : "Hai Fatimah, adapun tentang hal itu :
1. Wanita yang digantung dengan rambutnya kerana tidak menjaga
rambutnya (di jilbab) dikalangan laki-laki.
2. Wanita yang digantung dengan lidahnya, kerana dia menyakiti hati suaminya, dengan kata- katanya."
Kemudian Rasulullah S.A.W. bersabda : "Tidak seorang wanita
pun yang menyakiti hati suaminya melalui kata-kata, kecuali Allah s.w.t. akan membuat mulutnya kelak dihari kiamat selebar tujuh puluh dzira kemudian akan mengikatkannya dibelakang lehernya."
3. Adapun wanita yang digantung dengan buah dadanya, kerana dia menyusui anak orang lain tanpa seizin suaminya.
4. Adapun wanita yang diikat dengan kaki dan tanganya itu, kerana dia keluar rumah tanpa seizin suaminya, tidak mandi wajib dari haid dan dari nifas (keluar darah setelah melahirkan).
5. Adapun wanita yang memakan badannya sendiri, kerena dia bersolek untuk dilihat laki-laki lain serta suka membicarakan aib orang lain.
6. Adapun wanita yang memotong-motong badannya sendiri dengan gunting dari neraka, dia suka menonjolkan diri
(ingin terkenal) dikalangan orang banyak, dengan maksud supaya mereka (orang banyak) itu melihat perhiasannya, dan setiap orang yang melihatnya jatuh cinta padanya, karena melihat perhiasannya.
7. Adapun wanita yang diikat kedua kaki dan tangannya sampai keubun-ubunnya dan dibelit oleh ular dan kala jengking, kerana dia mampu untuk mengerjakan sholat dan puasa, sedangkan dia tidak mau berwudhu dan tidak sholat dan tidak mau mandi wajib.
8. Adapun wanita yang kepalanya
seperti kepala babi dan badannya seperti keledai (himmar), karena dia suka mengadu-domba serta berdusta.
9. Adapun wanita yang berbentuk seperti anjing, kerana dia ahli fitnah serta suka marah- marah pada suaminya.
Dalam sebuah hadis Rasulullah S.A.W. bersabda : empat jenis wanita yang berada di surga dan empat jenis wanita yang berada di neraka dan beliau menyebutnya di antara empat jenis perempuan yang berada di surga adalah :
1. Perempuan yang menjaga diri dari berbuat haram lagi berbakti kepada Allah dan suaminya.
2. Perempuan yang banyak keturunannya lagi penyabar serta menerima dengan senang hati dengan keadaan yang serba kekurangan (dalam kehidupan) bersama suaminya.
3. Perempuan yang bersifat pemalu, dan jika suaminya pergi maka ia menjaga dirinya dan harta suaminya, dan jika suaminya datang ia mengekang mulutnya dari perkataan yang tidak layak kepadanya.
4. Perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya dan ia mempunyai anak-anak yang masih kecil, lalu ia mengekang dirinya hanya untuk mengurusi anak-anaknya dan mendidik mereka serta memperlakukannya dengan baik kepada mereka dan tidak bersedia kawin karena khawatir anak-anaknya akan tersia-sia (terlantar).
Kemudian Rasulullah S.A.W. bersabda : Dan adapun empat jenis wanita yang berada di neraka adalah :
1. Perempuan yang jelek (jahat) mulutnya terhadap suaminya, jika suaminya pergi, maka ia tidak menjaga dirinya dan jika suaminnya datang ia memakinya (memarahinya).
2. Perempuan yang memaksa suaminya untuk memberi apa yang ia tidak mampu.
3. Perempuan yang tidak menutupi dirinya dari kaum lelaki dan keluar dari rumahnya dengan menampakkan perhiasannya dan memperlihatkan kecantikannya (untuk menarik perhatian kaum lelaki).
4. Perempuan yang tidak mempunyai tujuan hidup kecuali makan, minum dan tidur dan ia tidak senang berbakti kepada Allah, Rasul dan suaminya.
Oleh karena itu seorang perempuan yang bersifat dengan sifat-sifat (empat) ini, maka ia dilaknat termasuk ahli neraka kecuali jika ia bertaubat. Diceritakan dari isteri Khumaid As-sa-idiy bahwa ia datang kepada Rasulullah S.A.W. lalu berkata : "Hai Rasulullah sesungguhnya aku senang mengerjakan sholat bersamamu". Beliau berkata : "Aku mengerti bahwa engkau senang mengerjakan sholat bersamaku, akan tetapi sholatmu di tempat tidurmu itu lebih baik dari pada sholatmu dikamarmu dan sholatmu dikamarmu lebih baik dari solatmu dirumahmu dan sholatmu dirumahmu lebih baik daripada solatmu di mesjidku". (Bagi lelaki sangat dituntut sembahyang berjemaah di mesjid)
Rasulullah S.A.W. bersabda : "Sesungguhnya yang lebih disukai sholatnya perempuan oleh Allah ialah yang dilakukan pada tempat yang amat gelap dirumahnya".
Diceritakan dari Aisyah r.a. : "Pada suatu ketika Rasulullah S.A.W. duduk di masjid, tiba-tiba masuklah seorang perempuan dari suku Muzainah yang memakai pakaian yang terseret- seret ditanah untuk perhiasan pada dirinya di dalam masjid". Maka Rasulullah S.A.W. bersabda : "Wahai manusia laranglah isteri- isterimu dari memakai perhiasan dan memperindah gaya berjalan di dalam masjid. Kerana sesungguhnya kaum Bani Israil itu
tidak dilaknat hingga mereka memberi pakaian isteri-isteri mereka dengan pakaian perhiasan dan mereka berjalan dengan gaya sombong di dalam masjid".
Ibnu Abas r.a. meriwayatkan juga bahwa Rasulullah S.A.W. bersabda : "Apabila seorang wanita keluar rumahnya dengan mempesolek dirinya serta memakai bau-bauan (sedang suaminya redha akan berbuatan yang demikian itu), maka dibangunkan untuk suaminya pada setiap langkahnya sebuah rumah di neraka."
Sabda Rasulullah S.A.W. lagi yang bermaksud : "Jihad seorang wanita ialah taatkan suami dan menghiaskan diri untuknya."
Isteri tidak wajib taat perintah dan arahan suami, apabila perintah dan arahan itu bertentangan dengan hukum Allah S.W.T.
Imam Al-Ghazali menegaskan : "Seorang isteri wajib mentaati suami sepenuhnya dan memenuhi segala tuntutan suami dari dirinya sekiranya tuntutan itu tidak mengandungi maksiat."