Laman

Entri Populer

Tampilkan postingan dengan label al quran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label al quran. Tampilkan semua postingan

Jumat, Januari 13, 2012

MEMEGANG TEGUH ALQURAN DAN AS-SUNAH

Keterpurukan dan kondisi umat
Islam saat ini, bukan disebabkan
karena kehebatan dan kemajuan
umat lain.

Namun disebabkan oleh
kesalahan kita sendiri dalam
memilih cara hidup yang tidak sesuai dengan tuntunan Islam.

Sebagian pemuka agama ada
yang berperilaku seperti perilaku
pemuka agama Yahudi dan
Nasrani.
Mereka menyembunyikan yang
haq, karena alasan yang bersifat
pribadi.
Bahkan sebagian yang
lain menyembunyikannya karena
alasan rejeki.
Padahal Ar Razaq
itu hanya Allah swt.
Bagaimana dapat memperoleh rejeki yang barakah kalau jalannya dengan
menyembunyikan yang haq?

Sebagian yang lain suka
mencampur adukkan yang haq
dan yang batil.
Sehingga umat tidak bisa melihat dengan jelas mana yang halal dan mana yang haram.

Kebenaran yang seharusnya disampaikan dengan
jelas menjadi kabur, kelihatan
samar-samar.

Sedangkan sebagian besar
rakyat jelata malas mempelajari
kebenaran langsung dari sumbernya Al Qur’ an dan As Sunnah.

Sehingga apa yang mereka dapatkan kebatilan yang dipoles sehingga seolah-olah nampak benar.

Yang mereka jadikan rujukan hanya mitos, tradisi, dan pendapat para kyai, bukan Al Qur’ an dan As Sunnah.

Padahal siapa yang dapat
menjamin kebenaran dari
ketiganya?
Tidak ada sama
sekali.
Apalagi sebagian yang lain lebih
suka hiburan, foya-foya, dan
memuaskan hawa nafsu dari
pada menuntut ilmu.

Panggung-panggung hiburan yang
menampilkan para penyanyi ndhang ndhut selalu dipenuhi
oleh anak-anak muda, laki-laki
maupun perempuan yang
bercampur baur.

Sedang pengajian yang mengajarkan Al Qur’ an dan As Sunnah mereka abaikan begitu saja.

Mereka tidak suka dibimbing untuk
menjadi bangsa yang maju
terpimpin.
Mereka lebih suka
hidup bebas untuk memuaskan
hawa nafsu.

Maka tidak heran kalau yang
kita lihat bukan kemajuan tapi
kemerosotan,
bukan prestasi tapi dekadensi,
bukan kehidupan yang aman, tenteram, damai, dan sejahtera, tetapi kehidupan yang resah, gelisah, penuh
kebencian dan kedengkian.

Bagaimana kita dapat
memperbaiki-nya?
Sudahkah kita terlambat untuk berbuat?

Tidak ada kata terlambat untuk
bertaubat.

Selama hayat masih dikandung badan, sebelum nyawa sampai di tenggorokan, Allah
tetap akan menghargai
pertaubatan kita.

Sebagai orang awam sebaiknya segera kita berusaha untuk mempelajari Al Qur’ an dan As Sunnah, sehingga tidak mudah tertipu dan tersesat dalam beramal.

Rasulullah saw berwasiat dalam
sebuah hadist riwayat Ibnu Abdil
Barr :

“Aku telah meninggalkan kepadamu dua perkara yang
kamu tidak akan sesat selama
kamu berpegang teguh kepada
keduanya, yaitu Kitab Allah dan
Sunnah Nabi-Nya.”

Apa yang kita fahami dari Al Qur’ an dan As Sunnah segera kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Amalan inilah yang memungkinkan
terjadinya proses perubahan
karakter kita yang jelek manjadi
baik, malas menjadi rajin, kikir menjadi dermawan, isyrak
menjadi ikhlas.

Dalam hadist yang diriwayatkan
oleh Imam Hakim dari Hudzaifah

Rasulullah saw berpesan: Duru
ma’ a kitabillahi haitsu ma dara (Hendaklah kamu sekalian
beredar bersama kitab Allah
kemana saja dia beredar).

Rasulullah saw mengajak kita
semua untuk senantiasa
mengikuti Al Qur’ an.

Menjadikan Al Qur’ an sebagai imam kita dan pemberi arah gerak kita.
Dan menjadikannya sebagai rujukan
atas kebenaran, karena Al
Qur’ an tidak pernah tersentuh oleh kebatilan, baik dari depan
maupun dari belakangnya
(QS 41: 42).

Dan Al Qur’ an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang
diberkati, maka ikutilah dia dan
bertakwalah agar kamu diberi
rahmat (TQS 6: 155)

Ayat yang dikutip di atas
mengingatkan kepada kita semua
untuk mengikutinya,
mengikutiaturan, tata kehidupan dan nilai-nilai moral yang diajarkan Allah di dalamnya dan mengingatkan kita untuk bertakwa agar kita
mendapatkan kasih sayang-Nya.

Begitu pentingnya bertakwa
sehingga beliau saw juga
berpesan:

“Ittaqillaha haitsu ma kunta” (bertakwalah kepada Allah dimana saja kamu berada.)

Umat ini terpuruk dan hina
karena jauh dari cinta dan kasih
sayang-Nya.

Untuk itu hanya dengan kembali bertaat kepada- Nya dan mengikuti sunnah nabi- Nya kita akan mendapatkan
cinta dan kasih sayangnya (QS 3:
31).

Bahkan dengan jalan
berbuat taat kepada Allah dan
Rasul-Nya inilah kita akan
mendapatkan kemenangan yang besar (QS 4: 13).

Akan tetapi sebaliknya kalau kita durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya yang akan kita peroleh tiada lain
kecuali neraka dan siksa yang
menghinakan (QS 4: 14).

Sebagai tokoh masyarakat,
pemuka agama, atau orang yang
dituakan di lingkungannya,
hendaklah kita berusaha untuk
senantiasa meningkatkan
kualitas moral dan intelektual kita masing-masing.

Dengan senantiasa mengoreksi pikiran, ucapan, dan amalan kita dengan ayat-ayat Al Qur’ an dan As Sunnah.

Apa yang sesuai kita
syukuri dengan terus
meningkatkan diri dan apa yang
tidak sesuai segera kita
tinggalkan.

Dunia ini bergerak dengan cepat,
anak muda maju dengan pesat
didukung oleh berbagai fasilitas
baru seperti CD, komputer,
televisi, dan internet.

Sebagai
orang tua kalau kita tidak bergerak maju, merasa cukup
ilmu yang dimiliki, maka kita akan
tertinggal dari yang muda.

Bukan masanya lagi kita
memperdebatkan khilafiyyah.
Dengan semangat kembali kepada Al Qur’ an dan As Sunnah, mari kita saling menghormati.

Lana a’ maluna walakum a’malukum.

Mari kita saling bekerja-sama, kalau memang tidak bisa mari kita sama-sama bekerja

Minggu, Juni 26, 2011

pahami jangan hanya banyak menghafal seperti burung beo


Al A'raf : 179 Dan sesungguhnya Kami
jadikan untuk isi neraka
Jahannam kebanyakan dari jin
dan manusia, mereka
mempunyaihati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami dan mereka mempunyaimata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyaitelinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu bagaikan binatang ternak,
bahkan merekalebih sesat lagi. Mereka itulah orang-
orang yanglalai. Bismillaah, adakah yang tidak
tahu seperti apakah burung
beo itu? saya kira semuanya
hampir pernah tahu dan
bahkan melihat wujud dari
burung beo. Namun, alangkah lebih baiknya jikalau saya coba
memberikan pengulangan agar
kita memiliki kesamaan
persepsi. Merujuk kepada
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi III, kata "beo" dijelaskan sebagai berikut : beo /béo/ n burung berbulu
hitam berkilau yg dapat dilatih
menirukan bunyi (kata-kata,
nyanyian, dsb); Graculla
religiosa; mem·beo v berbuat seperti
burung beo dengan meniru
saja perkataan (ucapan) orang
lain (tanpa memahami
maksudnya); pem·beo n orang yang suka
membeo atau mengikuti
(menirukan) perkataan orang
lain Bagaimana? Sekarang kita,
Insya Allaah telah memiliki
pengetahuan yang sama
tentang burung beo. Lantas
apa yang sebenarnya ingin
dibahas berkaitan dengan ayat di muka tulisan ini? Sahabat pembaca sekalian,
banyak kini kita lihat bahwa
umat lebih mirip dan bersikap
layaknya burung beo. Mereka
banyak menghafal, baik ayat-
ayat Al-Qur'an, Hadist, dan berbagai fatwa para ulama.
Apakah itu salah? Tentu saja
tidak salah, malah banyak pula
sunnah yang menganjurkan
kita sebagai umat Muhammad
untuk menghafal, khususnya menghafal Al-Qur'an. Hanya
saja, apakah menghafal itu
lebih utama dibandingkan
dengan memahami? Haruskah
menghafal dulu barulah kita
memahami? Kalau saya bicara hafalan,
saya jadi ingat masa sekolah
dulu, waktu itu kebanyakan
dari kami berusaha menghafal
materi pelajaran, sebab
dengan begitu biasanya pas ujian bisa ingat. Dan, terus
terang hanya hafal demi
mencapai kepuasaan nilai
bagus, ngerti mah kagak,
istilahnya. Apakah kita mau
seperti itu? Bukankah kita ini makhluk yang berakal?
Janganlah kita ibarat burung
beo yang begitu fasih dalam
meniru dan mudah dalam
menghafal, namun begitu, ia
sendiri tidak paham apa sebenarnya yang tengah ia
ucapkan. Apakah itu yang
dimaksud denganulul albab? Sebenarnya, saya ingin
mengajak kita semua untuk
jangan takut ketinggalan
dalam hal menghafal apa saja
yang ada dalam agama kita ini;
Islam yang kita cintai sampai mati. Sebab, agama ini mudah,
tidak sulit, dan sempurna,
semua bisa menghafalnya,
namun belum tentu bisa
memahaminya. Maka, mulailah
belajar memahami, sebagaimana muallaf yang
mana mereka itu belajar
perlahan sambil memahami
agar hati mereka benar-benar
paham dan teguh. Begitulah
kita dalam belajar agama ini, dan alangkah indahnya jika
generasi muda Islam sejak di
PAUD misalnya, diberikan tidak
hanya "menghafal" tapi juga
diupayakan agar mereka
paham, setelah paham langsung dilaksanakan. Bagi
yang tidak paham namun hafal,
terlihat jelas kok, biasanya
hanya membeo tapi tidak
mengamalkannya! Jadi,
belajarlah dengan usaha agar kita paham, yang dengan
kepahaman tersebut kita
amalkan, dan dalam proses
pengamalan itu secara tidak
langsung kita sedang
menghafalnya kok. Janganlah kita yang memiliki
akal ini, sebagaimana bahasa
Al-Qur'an, bagai binatang
ternak, bahkan lebih sesat lagi.
Sebab kita lalai dalam
memahami dan mengamalkan apa yang kita pahami! Semoga
Allah menjauhkan kita dari hal
demikian-amiin. saudaraku seaqidah, kita
harus benar-benar
menggunakan anugerah yang
hanya diberikan kepada kita
saja, tidak terdapat pada flora
dan fauna, atau jin dan malaikat. Hanya kita yang
diberikan kelebihan tersebut.
Dan dalam hal ini, Ia Maha
Berkehendak, tapi kita pun
diberikan keleluasaan untuk
berkehendak. Sebagaimana sering kita dengar, hidup
adalah pilihan. Kalau boleh saya
tambahkan, hidup adalah
pilihan yang Allah telah
memberikan berbagai pilihan
dengan kejelasan "untung- rugi"-nya. Akan tetapi, di sini,
sebagaimana kita ketahui
dalam sebuah hadits, bahwa
agama ini adalah nasihat, dan
hanya mereka yang saling
menasehati sajalah yang beruntung [baca : QS. Al Ashr],
maka sudah kewajiban saya
untuk menasehati kepada diri
saya sendiri dan pembaca
sekalian, agar berhati-hati
dalam melangkah, takutlah wahai jiwa yang hanya
"membeo" alias tidak mau
memahami akan dikuncinya hati
kalian, sebagaimana Allah
berfirman : Al Hajj : 46 maka apakah mereka tidak
berjalan di muka bumi, lalu
mereka mempunyai hati yang
dengan itu mereka dapat
memahami atau mempunyai
telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?
Karena sesungguhnya
bukanlah mata itu yang buta,
tetapi yang buta, ialah hati
yang di dalam dada. Ar Ruum : 59 Demikianlah Allah mengunci mati
hati orang-orang yang tidak
(mau) memahami. Janganlah tergesa-gesa agar
kita bisa menguasai segala
tentang ilmu agama ini. Tapi
perlahan, dengan upaya
mempelajari, memikirkan, dan
memahami sampai benar-benar paham, lantai mengamalkannya.
Sebab bagaimana pun, kita
harus beramal dengan ilmu
(dalil) yang benar. Maka,
belajarlah untuk paham bukan
untuk sekadar hafal! Hanya orang berakal yang bisa
memahami dan mengambil
pelajaran dari apa yang ia
pahami [baca : QS. 3 :7], Maka
sudah semestinya, kita
menggunakan akal kita. Namun, ketika kita menemui sesuatu
yang kurang masuk akal dalam
Al-Qur'an, atau yang biasanya
kerap ditemui hal yang kurang
masuk akal ialah dalam hadits,
maka itu bukan karena tidak masuk akal, tapi kitanyalah
yang kurang akal jadinya
seakan tidak masuk akal!
Agama ini untuk seluruh
manusia dan mudah sekali
dipahami jika saya mereka mau menggunakan hati dan akalnya
secara seimbang, dan
mengharapkan keridhaan Allah
dan menjauhi motif selain dari-
Nya. Demikianlah, maka pilihanya
hanya dua, jadi muslim yang
hanya memboe atau muslim
yang sejati? yang tidak
membeo! Kalau pesan saya,
kepada diri sendiri dan semuanya, jangan hanya
membeo! Wa Allaahu A'lam, semoga Allaah
memberikan kemudahan
kepada kita untuk mengerti
akan agama-Nya ini....

Sabtu, April 16, 2011

Al Qur`an Turun Tidaklah Untuk Dipajang

Banyak sekarang kita dapati di rumah-rumah kaum muslimin, di masjid- masjid ataupun dimajelis- majelis ukiran-ukiran atau kaligrafi-kaligrafi yang bertuliskan ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam ataupun Asmaul Husna yang digantungkan padanya.

Pemandangan semacam ini bukanlah hal yang asing lagi ditengah-tengah kaum muslimin, wallahua`lam.

apa tujuan dilakukan hal tersebut?. Mungkin mereka menganggap yang demikian itu merupakan bentuk ibadah ataukah tujuannya untuk sebagai hiasan saja atau untuk menolak bahaya atau sebagai bentuk pengagungan mereka terhadap ayat-ayat Allah Subhanahu Wa Ta’ ala ataupun untuk mencari barakah dan yang lainya.

Maka berikut ini kita akan sampaikan penjelasan ulama dalam permasalahan ini.

Berkata Syaikh Ibnu `Utsaimin Rahimahullah Ta`ala ;

” Setelah memuji Allah Subhanahu Wa Ta’ ala … ( dalam khutbah ini ) saya akan memperingatkan dua perkara yang berkaitan dengan Al Qur`anul Karim ;
1) Sesungguhnya sebagian besar mereka biasa menggantungkan tulisan-tulisan yang berisikan Al Qur`an didinding tempat duduk mereka/pertemuan mereka, saya
tidak tahu mengapa mereka melakukan tersebut .
Apakah mereka melakukannya dalam rangka ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ ala?
Jika demikian maka ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ ala dengan perbuatan tersebut adalah bid`ah yang tidak pernah dilakukan para shahabat dan orang – orang yang mengikuti mereka dengan baik .

Ataukah mereka menggantungkan ayat – ayat tersebut dalam rangka
menolak kejelekan ?
Maka perbuatan ini bukanlah perantara untuk menolak kejelekan dari mereka karena menolak kejelekan adalah dengan
membaca Al Qur`an tersebut dengan lisannya sebagaimana
sabda Nabi Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam ;

“Barang siapa yang membaca ayat kursi pada malam hari maka senantiasa dia akan mendapatkan penjagaan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ ala dan syaithan tidak akan mendekatinya sampai pagi hari “. ( HR . Imam Bukhari dan An Nasai dari shahabat Abi Hurairah )

Jadi menggantungkan ayat kursi / yang lainnya dari ayat- ayat Allah tidak akan bermanfaat bagi mereka sedikitpun .
Ataukah mereka
melakukannya dengan tujuan
untuk mencari berkah dengan
Al Qur`an dengan cara seperti
itu ?
Maka cara semacam ini tidaklah disyari`atkan bahkan merupakan perkara baru yang diada – adakan , telah bersabda Nabi Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam

Artinya ; dan setiap bid`ah adalah kesesatan .

Sesungguhnya cara bertabaruk dengan Al Qur`an adalah dengan membacanya dengan sebenar- benarnya , melafadzkan dengan lisannya ,mengimani dalam hatinya dan mengamalkan dengan anggota tubuhnya,

sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ ala :

Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi”. (QS , Al Baqarah 121 )

Inilah jalannya orang-orang mukmin , membaca Kitabullah dan tidak menggantungkannya didinding dan didalam museum.

Ataukah mereka yang
menggantungkannya tersebut
mengnginkan untuk
mengingatkan manusia
terhadap Al Qur`an apabila
mengangkat kepala kearahnya ?

Akan tetapi apabila engkau lihat dalam kenyataannya maka tidaklah engkau dapatkan pengaruhnya karena mungkin dalam majelis-majelis itu tidak ada seorangpun yang mengangkat kepalanya membaca ayat tersebut atau untuk memikirkan apa yang terkandung
di dalamnya dari hokum-hukum dan rahasia-rahasia .

Ataukah mereka yang
menggantungkan ayat-ayat
yang mulia itu sekedar
menggantungkan saja (tanpa
maksud apa-apa ) atau untuk
tujuan keindahan pandangan ?

Sesungguhnya tidaklah pantas menjadikan Al Qur`an sebagai sesuatu yang sia-sia .

Tidak pantas pula hanya sebagai hiasan saja , Al Qur`an terlalu mulia dan terlalu agung kedudukannya antuk dijadikan semua itu .

Kemudian sesungguhnya menggantungkan Al Qur`an tersebut adalah perkara yang dilarang Aku tidak menyangka ada seorangpun yang tidak mengetahuinya
.Sesungguhnya majelis-majelis yang digantung didalamnya Al Qur`an terkadang merupakan majelis sia-sia yang diharamkan , karena terkadang didalamnya dilakukan ghibah ,kedustaan , caci-maki dan perbuatan haram yang lainnya .

Terkadang pula engkau dengar suara musik dan nyanyian yang haram dimajelis- majelis tersebut .Maka perbuatan-perbuatan ini jelas merupakan sikap mengolok-olok terhadap Kitab Allah Subhanahu Wa Ta’ ala karena digantungkan di atas kepala-kepala hadirin dalam keadaan mereka berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ ala dihadapan ayat-ayat Kitabullah .

Kita memohon ampun dari Allah Subhanahu Wa Ta’ ala terhadap hal yang demikian ini .
Karena itu Aku menyeru kepada segenap saudara kita yang mengantungkan ayat-ayat Al Qur`an untuk melepaskannya karena perbuatan seperti ini tidaklah pantas untuk dilakukan apapun tujuannya .

2) Adapun perkara yang kedua yang ingin saya peringatkan dan saya khususkan hal ini kepada para penulis yang biasa menulis ayat-ayat Al Qur`an yang mulia untuk orang lain di kertas- kertas atau yang lainnya .
Para penulis itu biasa menggunakan bentuk khat (tulisan) selain khat `Utsmani .
Mereka menjadikan tulisan-tulisan ini dalam bentuk seni lukis / ukir ( kaligrafi ), sampai-sampai saya mendengar sebagian dari mereka ingin menulis firman Allah Subhanahu Wa Ta’ ala

Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas
malam … ( QR.Az Zumar: 5 )

Maka dia menulis huruf wawu(ﻭ) seolah-olah seperti lingkaran sementara dia menginginkan menulis Al Qur`an sesuai dengan apa yang ditunjukan dari maknanya.

Hal ini jelas keharamannya tanpa keraguan .
Karena lafadz-lafadz Al Qur`anul Karim tidak pantas untuk dijadikan bentuk yang samar yang mana pada sisi ini ingin ditampakkan sisi kejeniusan penulisnya atau dibuat dengan bentuk yang akan memalingkan pandangan pada seninya ( bukan pada ayat-ayat Al Qur`an ) karena Al Qur`an bukanlah untuk dijadikan hiasan dan lukisan / ukiran.

Dan siapa yang padanya ada tulisan yang demikian maka hendaklah dia membakar atau menghapusnya agar supaya ayat-ayat Allah Subhanahu Wa Ta’ ala tidak dijadikan sebagai bahan permainan / olok-olokan .

Para `ulama Rahimahumullah telah
berselisih dalam tiga pendapat tentang boleh tidaknya menulis Al Qur`an dengan selain khat `Utsmani sekalipun untuk anak- anak .

Adapun menulis Al Qur`an dengan bentuk seni lukis / ukir kaligrafi ( sehingga sulit di baca atau dapat menyebabkan keliru dalam membacanya ) tidak ragu lagi keharamannya .

Maka wajib bagi kita, wahai saudara-saudara sekalian untuk menghormati kitabullah, mengagungkannya dan menjadikannya sesuai dengan tujuan diturunkannya yakni sebagai nasehat, obat penyembuh bagi penyakit dalam dada ,petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman .

Dengarkan hikmah diturunkannya Al Qur`an dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ ala ;

“ Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran “(QS. Shad 29 )

Tidaklah Al Qur`an turun untuk dipajang di dinding dan tidaklah turun untuk dijadikan lukisan / ukiran dalam penulisanya .
Ketahuilah, semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ ala merahmati kalian, bahwasannya sebaik-baik ucapan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam .

Sedangkan sejelek-jelek perkara adalah bid`ah, Ketahuilah setiap biid`ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya adalah neraka.

Selasa, April 05, 2011

JADIKAN AL QURAN DAN SUNNAH DI DEPAN MU !

Allah Subhanahu wa Ta’ ala berfirman dalam Al-Qur`an Al-
Karim, “Takutlah kalian kepada fitnah yang tidak hanya menimpa
orang-orang yang zhalim
diantara kalian secara
khusus.” [ Al-Anfal: 25 ] Ayat ini merupakan pokok
penjelasan dalam fitnah. Karena
itu Imam Al-Bukhary dalam Shahih -nya memulai Kitabul Fitan (kitab penjelasan tentang
fitnah-fitnah) dengan
penyebutan ayat ini. Firman Allah Ta’ ala, “Takutlah kalian kepada fitnah … ,” menunjukkan kewajiban seorang
muslim untuk berhati-hati
menghadapi fitnah dan
menjauhinya dan tentunya
seseorang tidak bisa menjauhi
fitnah itu kecuali dengan mengetahui dua perkara: 1. Apa-apa saja yang
dianggap fitnah di dalam
syariat Islam. 2. Pijakan, cara atau langkah
dalam meredam atau
menjauhi fitnah tersebut. Kemudian Ibnu Katsir
rahimahullah berkata dalam
menafsirkan ayat ini, “Ayat ini, walaupun merupakan
pembicaraan yang ditujukan
kepada para shahabat Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam, akan tetapi ayat ini
berlaku umum pada setiap muslim
karena Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam men-tahdzir
(memperingatkan) dari fitnah.” Kata fitnah dalam konteks ayat
datang dalam bentuk nakirah
(umum), sehingga mempunyai
makna yang umum, menyangkut
segala sesuatu yang merupakan
fitnah bagi manusia. Imam Al-Alusy, ketika
menafsirkan kata fitnah dalam
ayat ini, berkata, “Fitnah ditafsirkan (oleh para ulama
salaf) dengan beberapa perkara,
di antaranya Mudahanah dalam
amar ma’ ruf dan nahi mungkar, dan diantaranya perselisihan dan
perpecahan, dan diantaranya
meninggalkan pengingkaran
terhadap bid’ ah-bid’ ah yang muncul dan lain-lainnya.” Kemudian beliau berkata, “Setiap makna tergantung dari
konsekuensi keadaannya.” Dan dikatakan di dalam ayat,
“takutlah kalian … ,” menunjukkan bahwa fitnah itu buta dan tuli,
tidak pandang bulu, serta dapat
menimpa siapa saja. Berkata
Imam Asy-Syaukany dalam Tafsir -nya, “Yaitu takutlah kalian kepada fitnah yang
melampaui orang-orang yang
zhalim sehingga menimpa orang
shalih dan orang thalih ‘ tidak shalih’ dan timpahan fitnah itu tidak khusus bagi orang yang
langsung berbuat kezhaliman
tersebut di antara kalian.” Definisi Fitnah Fitnah dalam syariat Islam
mempunyai beberapa makna: Pertama, Bermakna syirik, seperti dalam firman Allah Ta’ ala, “Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah dan sampai
agama semuanya untuk
Allah.” [ Al-Baqarah: 193 ] Yaitu hingga tidak ada lagi
kesyirikan. Juga Allah berfirman, “Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.” [ Al-Baqarah: 217 ] Kedua, Bermakna siksaan dan adzab, seperti dalam firman Allah
Ta’ ala, “ (Dikatakan kepada mereka), ‘ Rasakanlah fitnahmu itu. Inilah
fitnah yang dahulu kamu minta
supaya disegerakan. ’ .” [ Adz- Dzariyat: 14 ] Dan Allah Jalla Jalaluhu berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan fitnah
kepada orang-orang yang mu k
min laki-laki dan perempuan
kemudian mereka tidak
bertaubat, maka bagi mereka
adzab Jahannam dan bagi mereka adzab (neraka) yang
membakar.” [ Al-Buruj: 10 ] Makna fitnah dalam dua ayat ini
adalah siksaan dan adzab. Ketiga , Bermakna ujian dan cobaan, seperti dalam firman
Allah Ta’ ala, “Dan kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan
sebagai fitnah (yang sebenar-
benarnya).” [ Al-Anbiya`: 35 ] Allah Jalla Wa ’ Ala menyatakan pula dalam firman-Nya, “Sesungguhnya harta-harta kalian dan anak-anak kalian itu
hanyalah merupakan
fitnah.” [ Al-Anfal: 28 ] Keempat , Bermakna musibah dan balasan, sebagaimana
tafsiran para ulama dalam surah
Al-Anfal ayat 25 di atas, “Takutlah kalian kepada fitnah yang tidak hanya menimpa
orang-orang yang zhalim
diantara kalian secara khusus.” (Lihat Mauqiful Mu’ min Minal Fitan Karya Syaikh ‘ Abdul ‘ Aziz bin Baz dan Mufradat Al- Qur`an karya Ar-Raghib Al- Ashbahany) Demikianlah def i nisi fitnah,
tetapi harus diketahui oleh
setiap muslim bahwa fitnah yang
ditimpakan oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ ala itu mempunyai hikmah di belakangnya. Allah ‘ Azza wa Jalla berfirman, “ Alif Lam Mim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka
dibiarkan (saja) mengatakan,
‘ Kami telah beriman,’ sedang mereka tidak diuji lagi? Dan
sesungguhnya Kami telah menguji
orang-orang yang sebelum
mereka, maka sesungguhnya
Allah mengetahui orang-orang
yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang
yang dusta.” [ Al-‘ Ankabut: 1-3 ] Berikut ini kami akan
menyebutkan beberapa kaidah-
kaidah pokok yang harus
dipegang oleh setiap muslim
dalam menghadapi fitnah. Kaidah Pertama, Pada setiap perselisihan merujuk pada Al-
Qur`an dan Sunnah sesuai
dengan pemahaman para ulama
salaf. Allah Subhanahu Wa Ta’ ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara
kalian. Kemudian jika kalian
berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.” [ An- Nisa`: 59 ] Dan Allah Jalla Tsana`uhu
berfirman, “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan
janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya.
Amat sedikitlah kamu mengambil
pelajaran (darinya).” [ Al-A’ raf: 3 ] Kemudian di dalam hadits Abu
Hurairah, Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda, ﺍﻮﻠﻀﺗ ﻦﻟ ﻦﻴﺌﻴﺷ ﻢﻜﻴﻓ ﺖﻛﺮﺗ ﻲﺘﻨﺳﻭ ﻪﻠﻟﺍ ﺏﺎﺘﻛ ﺎﻤﻫﺪﻌﺑ “Saya tinggalkan pada kalian dua perkara, yang kalian tidak akan
sesat di belakang keduanya,
(yaitu) kitab Allah dan
Sunnahku.” (HR. Malik dan Al- Hakim dan dihasankan oleh
Syaikh Al-Albany dalam Al- Misykah ) Kemudian Allah Ta’ ala menyatakan, “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu
hakim dalam perkara yang
mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan
dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan
sepenuhnya”. [ An-Nisa`: 65 ] Ingatlah bahwa menentang Allah
dan Rasul-Nya adalah sebab
kehinaan. Allah Subhanahu wa
Ta’ ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-
Nya, mereka termasuk orang-
orang yang sangat hina.” [ Al- Mujadilah: 20 ] Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam juga mengingatkan
dalam hadits Ibnu ‘ Umar, ﻢﺗﺬﺧﺃﻭ ﺔﻨﻴﻌﻟﺎﺑ ﻢﺘﻌﻳﺎﺒﺗ ﺍﺫﺇ ﻉﺭﺰﻟﺎﺑ ﻢﺘﻴﺿﺭﻭ ﺮﻘﺒﻟﺍ ﺏﺎﻧﺫﺃ ﻪﻠﻟﺍ ﻂﻠﺳ ﺩﺎﻬﺠﻟﺍ ﻢﺘﻛﺮﺗﻭ ﻰﺘﺣ ﻪﻋﺰﻨﻳ ﻻ ﻻﺫ ﻢﻜﻴﻠﻋ ﻢﻜﻨﻳﺩ ﻰﻟﺇ ﺍﻮﻌﺟﺮﺗ “Apabila kalian telah berjual beli dengan cara `inah ‘ menjual barang dengan cara kredit
kepada seseorang kemudian ia
kembali membelinya dari orang
itu dengan harga kontan lebih
murah dari harga kredit tadi-
pent’ dan kalian telah ridha dengan perkebunan dan kalian
telah mengambil ekor-ekor (sibuk
beternak?) sapi dan kalian
meninggalkan jihad, maka Allah
akan menimpakan kepada kalian
suatu kehinaan yang tidak akan diangkat sampai kalian kembali
kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawuddan lain-lainnya dan
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany
dalam Ash-Shahihah no. 11) Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam juga mengingatkan
dalam hadits beliau, ﻰﻠﻋ ﺭﺎﻐﺼﻟﺍﻭ ﻝﺬﻟﺍ ﻞﻌﺟﻭ ﻱﺮﻣﺃ ﻒﻟﺎﺧ ﻦﻣ “Dan telah dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi orang yang
menyelisihi perintahku.” (Hadits hasan dari seluruh jalan-jalannya.
Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany
dalam Al-Irwa` no. 1269) Ketahuilah bahwa menyelisihi
Allah dan Rasul-Nya adalah sebab
turunnya musibah dan siksaan
dan sebab kehancuran dan
kesesatan. Allah Al-Wahid Al-
Qahhar menegaskan dalam firman-Nya, “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul
takut akan ditimpa cobaan atau
ditimpa azab yang pedih.” [ An- Nur: 63 ] Juga dalam hadits Abu Hurairah
riwayat Bukhary-Muslim,
Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam menyatakan, ﺎﻣﻭ ﻩﻮﺒﻨﺘﺟﺎﻓ ﻪﻨﻋ ﻢﻜﺘﻴﻬﻧ ﺎﻣ ﺎﻣ ﻪﻨﻣ ﺍﻮﻠﻌﻓﺎﻓ ﻪﺑ ﻢﻜﺗﺮﻣﺃ ﻦﻳﺬﻟﺍ ﻚﻠﻫﺃ ﺎﻤﻧﺈﻓ ﻢﺘﻌﻄﺘﺳﺍ ﻢﻬﻠﺋﺎﺴﻣ ﺓﺮﺜﻛ ﻢﻜﻠﺒﻗ ﻦﻣ ﻢﻬﺋﺎﻴﺒﻧﺃ ﻰﻠﻋ ﻢﻬﻓﻼﺘﺧﺍﻭ “Apapun yang saya melarang kalian darinya maka jauhilah hal
tersebut dan apapun yang saya
perintahkan kepada kalian maka
laksanakanlah semampu kalian.
Sesungguhnya yang
menghancurkan orang-orang sebelum kalian hanyalah
banyaknya pertanyaan mereka
dan penyelisihan mereka
terhadap para Nabinya.” Kemudian Abu Bakr Ash-Shiddiq
radhiyallahu ‘ anhu berkata, ﻝﻮﺳﺭ ﻥﺎﻛ ﺎﺌﻴﺷ ﺎﻛﺭﺎﺗ ﺖﺴﻟ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻲﻧﺇ ﻪﺑ ﺖﻠﻤﻋ ﻻﺇ ﻪﺑ ﻞﻤﻌﻳ ﻦﻣ ﺎﺌﻴﺷ ﺖﻛﺮﺗ ﻥﺇ ﻰﺸﺧﺃ ﻎﻳﺯﺃ ﻥﺃ ﻩﺮﻣﺃ “Tidaklah saya meninggalkan sesuatu apapun yang Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wa ‘ alihi wa sallam mengerjakannya kecuali
saya kerjakan karena saya
takut kalau saya meninggalkan
sesuatu dari perintah beliau saya
akan menyimpang.” (HSR. Bukhary-Muslim) Memahami Al-Qur`an dan As-
Sunnah harus dengan
pemahaman para ulama Salaf.
Allah Jalla Fi ‘ Ulahu berfirman, “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, Kami
biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam,
dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali”. [ An-Nisa`: 115 ] Juga dalam hadits yang
mutawatir, Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda, ﻦﻳﺬﻟﺍ ﻢﺛ ﻲﻧﺮﻗ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﺮﻴﺧ ﻢﻬﻧﻮﻠﻳ ﻦﻳﺬﻟﺍ ﻢﺛ ﻢﻬﻧﻮﻠﻳ “Sebaik-baik manusia adalah
zamanku, kemudian zaman setelahnya kemudian zaman setelahnya.” Beliau menyatakan pula, ﻯﺪﺣﺇ ﻰﻠﻋ ﺩﻮﻬﻴﻟﺍ ﺖﻗﺮﺘﻓﺍ ﺖﻗﺮﺘﻓﺍﻭ ﺔﻗﺮﻓ ﻦﻴﻌﺒﺳﻭ ﻦﻴﻌﺒﺳﻭ ﻦﻴﺘﻨﺛ ﻰﻠﻋ ﻯﺭﺎﺼﻨﻟﺍ ﻕﺮﺘﻔﺘﺳ ﻲﺘﻣﺃ ﻥﺇﻭ ﺔﻗﺮﻓ ﺎﻬﻠﻛ ﺔﻗﺮﻓ ﻦﻴﻌﺒﺳﻭ ﺙﻼﺛ ﻰﻠﻋ ﻲﻫﻭ ﺓﺪﺣﺍﻭ ﻻﺇ ﺭﺎﻨﻟﺍ ﻲﻓ ﺔﻋﺎﻤﺠﻟﺍ “Telah terpecah orang– orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu
firqah ‘ golongan ’ dan telah terpecah orang-orang Nashara
menjadi tujuh puluh dua firqah
dan sesungguhnya umatku akan
terpecah menjadi tujuh puluh
tiga firqah. Semuanya dalam
neraka kecuali satu dan ia adalah Al-Jama’ ah.” (Hadits shahih, dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albany dalam Zhilalul Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash- Shahih Al-Musnad Mimma
Laisa Fi Ash-Shahihain - rahimahumallahu-) Karena itulah, Imam Ahmad
rahimahullah berkata, “Pokok sunnah di sisi kami adalah
berpegang teguh di atas apa
yang para shahabat berada di
atasnya dan mengikuti mereka.” Lihat Syarh Ushul I’ tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ ah 1/176. Allahu Akbar …! Betapa kuatnya pijakan seorang muslim bila ia
berpegang teguh dengan Al
Qur`an dan Sunnah sesuai
dengan pemahaman para ulama
salaf. Ini merupakan senjata yang
paling ampuh dan tameng yang paling kuat dalam menghadapi
dan menangkis setiap fitnah
yang datang. Sejarah telah
membuktikan bagaimana orang-
orang yang berpegang teguh
kepada Al Qur`an dan Sunnah selamat dari fitnah dan mereka
tetap kokoh di atas jalan yang
lurus. Lihatlah kisah Abu Bakar Ash-
Shiddiq radhiyallahu ‘ anhu , ketika Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wa alihi wa sallam mengirim Usamah bin Zaid untuk memimpin
700 orang dalam menggempur
kerajaan Rum. Ketika pasukan
tersebut tiba di suatu tempat
yang bernama Dzu Khasyab,
Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam meninggal. Maka
mulailah orang-orang Arab di
sekitar Madinah murtad dari
agama sehingga para shahabat
mengkhawatirkan keadaan kota
Madinah. Lalu para shahabat berkata kepada Abu Bakar,
“Wahai Abu Bakar, kembalikan pasukan yang dikirim ke
kerajaan Rum itu, apakah
mereka diarahkan ke Rum
sedang orang-orang Arab di
sekitar Madinah telah murtad?” Maka Abu Bakar radhiyallahu
‘ anhu berkata, “Demi yang tidak ada sesembahan yang berhak
selain-Nya, andaikata anjing-
anjing telah berlari di kaki-kaki
para istri Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wa alihi wa sallam , saya tidak akan menarik suatu
pasukan pun yang dikirim oleh
Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dan saya tidak
akan melepaskan bendera yang
diikat oleh Rasulullah.” Lihat bagaimana gigihnya Abu
Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu
‘ anhu berpegang dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dalam kondisi yang
sangat genting seperti ini dan
betapa kuatnya keyakinan beliau
akan kemenangan orang yang
menjalankan perintah-Nya. Maka yang terjadi setelah itu,
setiap kali pasukan Usamah bin
Zaid melewati suatu suku yang
murtad, suku yang murtad itu
berkata, “Andaikata mereka itu tidak mempunyai kekuatan,
tentu tidak akan keluar pasukan
sekuat ini dari mereka. Tetapi
kita tunggu sampai mereka
bertempur melawan kerajaan
Rum.” Lalu bertempurlah pasukan Usamah bin Zaid menghadapi
kerajaan Rum dan pasukan
Usamah berhasil mengalahkan
dan membunuh mereka. Kemudian
kembalilah pasukan Usamah
dengan selamat dan orang-orang yang akan murtad itu tadi tetap
di atas Islam. (Baca kisah ini dalam Madarik An-Nazhar hal. 51-52 cet. kedua) Maka lihatlah, wahai orang-orang
yang menghendaki keselamatan!
Peganglah kaidah pertama ini
dengan baik, niscaya engkau
akan selamat dari fitnah di dunia
dan di akhirat. Kaidah Kedua, merujuk kepada para ulama. Allah Al-Hakim Al-‘ Alim mengisahkan tentang Qarun
dalam firman-Nya, “Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya.
Berkatalah orang-orang yang
menghendaki kehidupan dunia,
‘ Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang
telah diberikan kepada Qarun;
sesungguhnya ia benar-benar
mempunyai keberuntungan yang
besar.’ Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu, ‘ Celakalah kalian, pahala Allah adalah lebih
baik bagi orang-orang yang
beriman dan beramal shalih, dan
tidak diperoleh pahala itu kecuali
oleh orang-orang yang sabar.’ Maka Kami benamkanlah Qarun
beserta rumahnya ke dalam
bumi. Maka tidak ada baginya
suatu golongan pun yang
menolongnya terhadap adzab
Allah. dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat)
membela (dirinya).” [ Al- Qashash: 79-81 ] Karena itulah Imam Hasan Al-
Bashry berkata, “Sesungguhnya bila fitnah itu datang, diketahui
oleh setiap ‘ alim (ulama), dan apabila telah terjadi (lewat),
maka baru diketahui oleh orang-
orang yang jahil.” Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda pula
dalam hadits ‘ Ubadah bin Shamit riwayat Imam Ahmad dan lain-
lain, ﻞﺠﻳ ﻢﻟ ﻦﻣ ﻲﺘﻣﺃ ﻦﻣ ﺲﻴﻟ ﻑﺮﻌﻳﻭ ﺎﻧﺮﻴﻐﺻ ﻢﺣﺮﻳﻭ ﺎﻧﺮﻴﺒﻛ ﻪﻘﺣ ﺎﻨﻤﻟﺎﻌﻟ “Bukan dari ummatku siapa yang tidak menghormati orang yang
besar dari kami dan tidak
merahmati orang yang kecil dari
kami dan tidak mengetahui hak
orang yang alim dari
kami.” (Dihasankan oleh Syaikh Al Albany dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir ) Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam juga bersabda
dalam hadits Ibnu ‘ Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Al Hakim,
Ibnu Hibban dan lain-lain, ﻢﻛﺮﺑﺎﻛﺃ ﻊﻣ ﺔﻛﺮﺒﻟﺍ “Berkah itu bersama orang- orang besarnya
kalian.” (Dishahihkan oleh Syaikh Al Albany dalam Silsilah Ahadits Ash Shahihah no. 1778) Fitnah akan bermunculan apabila
para ulama sudah tidak lagi
dijadikan sebagai rujukan,
sebagaimana dalam hadits Abu
Hurairah riwayat Ibnu Majah dan
lain-lainnya, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda, ﺕﺍﻮﻨﺳ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﻲﺗﺄﻴﺳ ﺏﺫﺎﻜﻟﺍ ﺎﻬﻴﻓ ﻕﺪﺼﻳ ﺕﺎﻋﺍﺪﺧ ﻦﻤﺗﺆﻳﻭ ﻕﺩﺎﺼﻟﺍ ﺎﻬﻴﻓ ﺏﺬﻜﻳﻭ ﺎﻬﻴﻓ ﻥﻮﺨﻳﻭ ﻦﺋﺎﺨﻟﺍ ﺎﻬﻴﻓ ﺎﻬﻴﻓ ﻖﻄﻨﻳﻭ ﻦﻴﻣﺄﻟﺍ ﺔﻀﺒﻳﻭﺮﻟﺍ ﺎﻣﻭ ﻞﻴﻗ ﺔﻀﺒﻳﻭﺮﻟﺍ ﻲﻓ ﻢﻠﻜﺘﻳ ﻪﻓﺎﺘﻟﺍ ﻞﺟﺮﻟﺍ ﻝﺎﻗ ﺔﻣﺎﻌﻟﺍ ﺮﻣﺃ “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang menipu, akan
dipercaya/dibenarkan padanya
orang yang berdusta dan
dianggap berdusta orang yang
jujur, orang yang berkhianat
dianggap amanah dan orang yang amanah dianggap
berkhianat dan akan berbicara
Ar-Ruwaibidhah. Ditanyakan, ‘ Siapakah Ar-Ruwaibidhah itu? ’ Beliau berkata, ‘ Orang yang bodoh berbicara dalam perkara
umum.” (Dishahihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahih Al- Musnad Mimma Laisa Fi Ash-
Shahihain ) Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam juga bersabda
dalam hadits ‘ Abdullah bin ‘ Amr bin ‘ Ash riwayat Bukhary-Muslim, ﻢﻠﻌﻟﺍ ﺾﺒﻘﻳ ﻻ ﻪﻠﻟﺍ ﻥﺇ ﺩﺎﺒﻌﻟﺍ ﻦﻣ ﻪﻋﺰﺘﻨﻳ ﺎﻋﺍﺰﺘﻧﺍ ﺾﺒﻘﺑ ﻢﻠﻌﻟﺍ ﺾﺒﻘﻳ ﻦﻜﻟﻭ ﻖﺒﻳ ﻢﻟ ﺍﺫﺇ ﻰﺘﺣ ﺀﺎﻤﻠﻌﻟﺍ ﺎﺳﻭﺅﺭ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﺬﺨﺗﺍ ﺎﻤﻟﺎﻋ ﺮﻴﻐﺑ ﺍﻮﺘﻓﺄﻓ ﺍﻮﻠﺌﺴﻓ ﻻﺎﻬﺟ ﺍﻮﻠﺿﺃﻭ ﺍﻮﻠﻀﻓ ﻢﻠﻋ “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan
mencabutnya dari para hamba
akan tetapi Allah mencabutnya
dengan mencabut (mewafatkan)
para ulama sampai bila tidak
tersisa lagi seorang alim maka manusia pun mengambil para
pemimpin yang bodoh maka
mereka pun ditanya lalu mereka
memberi fatwa tanpa ilmu maka
sesatlah mereka lagi
menyesatkan.”

HUKUM WANITA HAID MEMBACA AL QURAN

Dalam persoalan ini terdapat sebuah hadis Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

Tidak boleh membaca sesuatu apa jua daripada al-Qur’ an seorang yang dalam keadaan junub atau haid.[4]

Hadis ini memiliki beberapa jalan periwayatan namun setiap darinya adalah dha‘ if.
Berkata Imam al-Nawawi rahimahullah (676H):

[5] Adapun hadis Ibn Umar:

“Tidak boleh membaca sesuatu apa jua daripada al-Qur’ an seorang yang dalam keadaan junub atau haid” , maka ia diriwayatkan oleh al-Tirmizi, Ibn Majah, al-Baihaqi dan selainnya.
Ia adalah hadis yang dha‘ if,
didha‘ ifkan oleh al- Bukhari, al-Baihaqi dan selainnya.
Kedha‘ ifan yang terdapat padanya adalah jelas.

Namun sebahagian ahli fiqh tetap melarang seorang wanita yang sedang haid daripada membaca al-Qur’ an kerana diqiyaskan keadaan haid kepada keadaan junub.

[6] Namun hal ini dianggap tidak tepat kerana dua sebab:

1. Peranan qiyas ialah mengeluarkan hukum bagi perkara-perkara yang tidak wujud pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Apa- apa perkara baru yang wujud selepas itu, maka hukumnya disandarkan secara analogi kepada sesuatu yang sudah sedia dihukumkan pada zaman Rasulullah berdasarkan kesamaan
sebabnya (‘ illat).
Adapun haid, maka ia adalah sesuatu yang wujud secara lazim pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Apabila pada zaman itu Allah dan Rasul-Nya tidak menjatuhkan hukum melarang wanita yang haid daripada membaca al-Qur’ an, maka tidak perlu bagi orang-orang terkemudian membuat hukum yang baru.

2. Haid dan junub adalah dua keadaan yang jauh berbeda.
Junub adalah satu keadaan di mana seseorang itu memiliki pilihan untuk berada dalamnya atau tidak, dan seseorang itu boleh keluar daripada keadaan junub pada bila-bila masa melalui mandi wajib atau tayamum.

Berbeda halnya dengan haid ia bermula dan berakhir tanpa pilihan.

Sebagian lain melarang atas dasar memelihara kesucian dan keagungan al-Qur’ an.

Justeru mereka berpendapat tidak boleh membaca (mentilawahkan) al- Qur’ an kecuali beberapa perkataan atas dasar zikir dan memperoleh keberkatan.

[7] Pendapat ini juga dianggap kurang tepat kerana seseorang wanita, sama ada dalam keadaan haid atau tidak, tetap dianggap suci dan dihalalkan bagi mereka semua yang dihalalkan
melainkan wujudnya dalil yang sahih yang melarang sesuatu ibadah seperti solat, puasa, tawaf dan bersetubuh.
Adapun pensyari‘ atan mandi wajib selepas berakhirnya tempo haid,
ia adalah penyucian atas sesuatu yang sedia suci dan bukannya penyucian atas sesuatu yang sebelum itu bersifat najis.

Oleh itu tidaklah berkurang sedikitpun kesucian dan keagungan al-Qur’ an apabila ia dibaca oleh seseorang wanita yang sedang dalam keadaan haid.

Pernah sekali Abu Hurairah radhiallahu 'anh mengasingkan diri daripada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Beliau pulang ke rumah untuk mandi wajib dan kemudian kembali. Rasulullah bertanya kenapakah dilakukan sedemikian, lalu Abu Hurairah menerangkan bahwa tadi beliau sebenarnya dalam keadaan junub.
Mendengar itu Rasulullah bersabda:

Subhanallah! Wahai Abu Hurairah! Sesungguhnya orang mukmin tidaklah ia menjadi najis.

[8] Kata-kata Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di atas bersifat umum, menunjukkan bahawa seorang mukmin tidaklah ia sekali-kali akan berada dalam keadaan najis sekalipun dia dalam
keadaan junub.

Termasuk dalam keumuman hadis ini ialah wanita yang sedang haid.

Sebagai rumusan kepada kupasan ini, berikut dinukil kata- kata Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah (728H):

[9] Sesungguhnya para wanita mereka mengalami haid pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka seandainya membaca al-Qur’ an diharamkan ke atas mereka (ketika haid) seperti mana solat, pasti baginda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam akan menjelaskannya kepada umatnya.
Baginda akan mengajarnya kepada para Ummul Mukminun (para isteri baginda) dan akan dinukil daripada mereka oleh orang ramai.
Akan tetapi tidak ada satupun (riwayat) yang melarang yang dinukil daripada Nabi.
Oleh itu hal ini tidak boleh dianggap terlarang padahal telah diketahui bahawa baginda tidak melarangnya.

Justeru jika baginda tidak melarangnya padahal ramai wanita yang haid di zamannya, maka sesungguhnya ketahuilah bahwa
ia memangnya tidak haram.

Kesimpulan: Allah Subhanahu wa Ta‘ ala berfirman:

Alif-Lam-Mim. Kitab Al-Quran ini, tidak ada sebarang syak padanya; ia pula menjadi petunjuk bagi orang-orang yang (hendak) bertaqwa.
[al-Baqarah 2:1-2]

Setiap individu Muslim yang bertaqwa memerlukan al-Qur’ an sebagai kitab yang memberi petunjuk kepada mereka.
Petunjuk ini diperlukan pada setiap masa dan tempat, termasuk oleh para wanita ketika mereka didatangi haid.
Tidak mungkin untuk dikatakan bahawa ketika haid mereka tidak
memerlukan petunjuk dalam kehidupan sehari-harian mereka.
Atas keperluan inilah al-Qur’ an dan al-Sunnah yang sahih tidak melarang para wanita yang didatangi haid daripada memegang dan membaca al- Qur’ an seperti biasa.

Adapun pendapat yang mengatakan ianya haram, ia adalah pendapat yang lemah sekalipun masyhur. ----------------------------------
----------------------------------
-----------------------
[1] Sahih: Hadis daripada ‘ Amr bin Hazm radhiallahu 'anh, dikeluarkan oleh Ibn Hibban, al- Hakim, Baihaqi dan lain-lain melalui beberapa jalan yang setiap darinya memiliki kelemahan.
Namun setiap darinya saling menguat antara satu sama
lain sehingga dapat diangkat ke taraf sahih, atau setepatnya sahih lighairihi. Lihat semakan Badri Abdul al-Samad dalam al- Itihaf bi Takhrij Ahadith al-Isyraf ‘ ala Masail al-Ikhtilaf (Dar al- Buhts, Dubai 1999), jld. 1, ms. 77-82.

[2] Ayat yang sama ini juga digunakan oleh mereka yang berpendapat wajib berwudhu’ sebelum memegang al-Qur’ an, baik bagi lelaki atau wanita. Berdasarkan penjelasan yang sama di atas, dapat diketahui bahawa tidaklah tepat untuk menggunakan ayat ini sebagai dalil wajib berwudhu’ . Oleh itu yang benar adalah, boleh memegang dan membaca al- Qur’ an sekalipun tanpa berwudhu’ .

[3] Demikian juga keterangan beberapa sahabat dan tabi‘ in sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir al-Thabari dalam Jamii al-Bayan (Dar al-Fikr, Beirut
1999), riwayat no: 25955 – 25970. Lihat juga al-Mawardi - Al-Nukatu wa al-‘ Uyun (Dar al- Kutub al-Ilmiyah, Beirut), jld. 5, ms. 463-464.

[4] Dha‘ if: Hadis daripada ‘ Abd Allah ibn Umar radhiallahu 'anh, dikeluarkan oleh al-Tirmizi, Ibn Majah, al-Daruquthni dan lain- lain. Ia memiliki 3 jalan periwayatan yang semuanya dha‘ if. Shaikh al-Albani tidak menjadikannya penguat antara satu sama lain manakala Badri ‘ Abd al-Samad berpendapat ia saling menguat sehingga dapat diangkat ke taraf hasan (hasan lighairihi). Lihat Irwa al-Ghaleel fi Takhrij Ahadith Manar al-Sabil (Maktabah al-Islami, Beirut), hadis no: 192 dan al-Ittihaf bi Takhrij Ahadith al-Isyraf, jld 1, ms 83-84.

[5] Majmu’ Syarh al-Muhazzab (Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, Beirut 2001), jld. 2, ms. 123-125 (Kitab Taharah, Bab Apa yang mewajibkan mandi, Bab Hukum terhadap 3 perkara).

[6] Lihat Majmu Syarh al- Muhazzab jld. 2, ms. 267-268 (Kitab Haid, berkata al-Musannif: “Dan dilarang atasnya membaca Qur’ an… .”).

[7] Lihat al-Kasani – al-Bada‘ i al- Sona‘ i (Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut 1982), jld. 1, ms. 38 (Bab permasalahan adab-adab wudhu’) .

[8] Sahih: Ringkasan hadis yang dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim, lihat al-Lu’ Lu’ wa al- Marjan (Fu‘ ad Abdul Baqi; Dar al- Salam, Riyadh 1995) – hadis no: 210.

[9] Majmu al-Fatawa (Dar al- Wafa’ , Kaherah 2001), jld. 26, ms. 191. Lihat juga pembahasan Ibn Hazm dalam al-Muhalla (Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, Beirut), jld. 1, ms. 78-85 (Masalah no: 116: Membaca al-Qur’ an dan bersujud dan menyentuh mushaf).