Laman

Entri Populer

Tampilkan postingan dengan label yasinan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label yasinan. Tampilkan semua postingan

Minggu, April 17, 2011

yasinan dan history nya

Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’ an, dzikir-dzikir, dan disertai do’ a-do’ a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan
kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”. Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan “lebih dari sekedarnya” cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah
kenyataannya. Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: “wajib”) untuk dikerjakan dan sebaliknya, bid’ ah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan. Para pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar berpikir lebih jernih dan dewasa bahwa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al Qur’ an dan As Sunnah. Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Qur’ an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar- benar beriman kepada Allah subhanahu wata’ ala dan Rasul- Nya. Bukankah Allah subhanahu wata’ ala telah berfirman (artinya): “Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’ an) dan Ar Rasul (As Sunnah) , jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’ : 59) Historis Upacara Tahlilan Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam, di masa para sahabatnya dan para Tabi’ in maupun Tabi’ ut tabi’ in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’ i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan? Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan
(baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’ akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan do’ a-do’ a ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur’ an, maupun dzikir-dzikir dan do’ a-do’ a ala Islam menurut mereka. Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain. Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam Acara tahlilan – paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu: Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat Al Qur’ an, dzikir- dzikir dan disertai dengan do’ a- do’ a tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit. Kedua: Penyajian hidangan makanan. Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam. Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’ an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah. 1. Bacaan Al Qur’ an, dzikir- dzikir, dan do’ a-do’ a yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit. Memang benar Allah subhanahu wata’ ala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Qur’ an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur’ an, dzikir-dzikir, dan do’ a-do’ a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarkan. Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata’ ala dan Rasul- Nya. Allah subhanahu wata’ ala berfirman (artinya): “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3) Juga Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam bersabda: ﺎﻣ َﻲِﻘَﺑ ٌﺀْﻲَﺷ ُﺏِّﺮَﻘُﻳ َﻦِﻣ ِﺔَّﻨَﺠْﻟﺍ ُﺪِﻋﺎَﺒُﻳَﻭ َﻦِﻣ ِﺭﺎَّﻨﻟﺍ َّﻻِﺇ ْﺪَﻗ َﻦِّﻴُﺑ ْﻢُﻜَﻟ “Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.” (H.R Ath Thabrani) Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang
agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam. Suatu ketika Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka,
saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi) Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ ala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ ala menyatakan dalam Al Qur’ an (artinya): “Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2) Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam. Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam. Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -
seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wata’ ala (artinya): “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling
merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104) Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘ Aisyah radhiAllahu ‘ anha, Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam bersabda: ْﻦَﻣ ًﻼَﻤَﻋ َﻞِﻤَﻋ ﺎﻧﺮﻣﺃ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﺲْﻴَﻟ ٌّﺩَﺭ َﻮُﻬَﻓ “Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim) Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi: ُﻞْﺻَﻷﺎَﻓ ُﻥَﻼْﻄُﺒﻟﺍ ِﺕﺍَﺩﺎَﺒِﻌْﻟﺍ ﻲﻓ ِﺮْﻣَﻷﺍ ﻰﻠﻋ ٌﻞْﻴِﻟَﺩ َﻡْﻮُﻘَﻳ ﻰﺘﺣ “Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.” Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata’ ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata’ ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’ I: َﻉَﺮَﺷ ْﺪَﻘَﻓ َﻦَﺴْﺤَﺘْﺳﺍ ِﻦَﻣ “Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah – pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’ at) sendiri”. Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’ i tentang hukum bacaan Al Qur’ an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’ an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata’ ala (artinya): “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329). 2. Penyajian hidangan makanan. Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiAllahu ‘ anhum. Jarir bin Abdillah radhiAllahu ‘ anhu– salah seorang sahabat Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya) Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’ i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’ i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’ i. Al Imam Asy Syafi’ i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘ Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit – pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211) Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’ i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’ i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid’ ah – pent). Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi’ i? Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam dalam hadistnya: ﺍﻮﻌﻨﺻﺍ ِﻝﻵ َﺮَﻔْﻌَﺟ ْﺪَﻘَﻓ ﺎﻣﺎﻌﻃ ْﻢُﻬُﻠِﻐْﺸُﻳ ٌﺮْﻣَﺃ ْﻢُﻫﺎَﺗَﺃ “Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’ far, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya) Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu ‘ a’ lam

Kamis, Februari 03, 2011

Penjelasan Dari Nahdalatul Ulama (NU), Para Ulama Salafus salih, WaliSongo, 4 Mahzab Tentang Bid'ahnya Tahlilan

Penjelasan Dari Nahdalatul
Ulama (NU), Para Ulama
Salafus salih, WaliSongo, 4
Mahzab Tentang Bid'ahnya
Tahlilan

Segala puji bagi Allah, sholawat
serta salam kita haturkan
kepada Nabi Muhammad beserta
keluarga dan sahabat-
sahabatnya. Do’ a dan shodaqoh untuk sesama muslim yang telah
meninggal menjadi ladang amal
bagi kita yang masih di dunia ini
sekaligus tambahan amal bagi
yang telah berada di alam sana.
Sebagai agama yang mencerahkan dan mencerdaskan,
Islam membimbing kita menyikapi
sebuah kematian sesuai dengan
hakekatnya yaitu amal shalih,
tidak dengan hal-hal duniawi
yang tidak berhubungan sama sekali dengan alam sana seperti
kuburan yang megah, bekal
kubur yang berharga, tangisan
yang membahana, maupun pesta
besar-besaran. Bila diantara
saudara kita menghadapi musibah kematian, hendaklah
sanak saudara menjadi penghibur
dan penguat kesabaran,
sebagaimana Rasulullah
memerintahkan membuatkan
makanan bagi keluarga yang sedang terkena musibah
tersebut, dalam hadits:

“Kirimkanlah makanan oleh kalian kepada keluarga
Ja'far, karena mereka
sedang tertimpa masalah
yang menyesakkan”.(HR Abu Dawud (Sunan Aby Dawud,
3/195), al-Baihaqy (Sunan
al-Kubra, 4/61), al-
Daruquthny (Sunan al-
Daruquthny, 2/78), al-
Tirmidzi (Sunan al-Tirmidzi, 3/323), al- Hakim (al-
Mustadrak, 1/527), dan Ibn
Majah (Sunan Ibn Majah,
1/514)

Namun ironisnya kini, justru uang
jutaan rupiah dihabiskan tiap
malam untuk sebuah selamatan
kematian yang harus ditanggung
keluarga yang terkena musibah.
Padahal ketika Rasulullah ditanya shodaqoh terbaik yang akan
dikirimkan kepada sang ibu yang
telah meninggal, Beliau menjawab
‘ air’ . Bayangkan betapa banyak orang yang mengambil manfaat
dari sumur yang dibuat itu
(menyediakan air bagi
masyarakat indonesia yang
melimpah air saja sangat
berharga, apalagi di Arab yang beriklim gurun), awet dan
menjadi amal jariyah yang terus
mengalir. Rasulullah telah
mengisyaratkan amal jariyah kita
sebisa mungkin diprioritaskan
untuk hal-hal yang produktif, bukan konsumtif; memberi kail,
bukan memberi ikan; seandainya
seorang pengemis diberi uang
atau makanan, besok dia akan
mengemis lagi; namun jika diberi
kampak untuk mencari kayu, besok dia sudah bisa mandiri.
Juga amal jariyah yang
manfaatnya awet seperti menulis
mushaf, membangun masjid,
menanam pohon yang berbuah
(reboisasi; reklamasi lahan kritis), membuat sumur/mengalirkan air
(fasilitas umum, irigasi),
mengajarkan ilmu, yang memang
benar-benar sedang dibutuhkan
masyarakat. Bilamana tidak
mampu secara pribadi, toh bisa dilakukan secara patungan.
Seandainya dana umat Islam
yang demikian besar untuk
selamatan berupa makanan
(bahkan banyak makanan yang
akhirnya dibuang sia-sia; dimakan ayam; lainnya menjadi isyrof)
dialihkan untuk memberi
beasiswa kepada anak yatim
atau kurang mampu agar bisa
sekolah, membenahi madrasah/
sekolah islam agar kualitasnya sebaik sekolah faforit (yang
umumnya milik umat lain),atau
menciptakan lapangan kerja dan
memberi bekal ketrampilan bagi
pengangguran, niscaya akan
lebih bermanfaat. Namun shodaqoh tersebut bukan suatu
keharusan, apalagi bila memang
tidak mampu. Melakukannya
menjadi keutamaan, bila tidak
mau pun tidak boleh ada celaan. Sebagian ulama menyatakan
mengirimkan pahala tidak
selamanya harus dalam bentuk
materi, Imam Ahmad dan Ibnu
Taimiyah berpendapat bacaan al-
Qur’ an dapat sampai sebagaimana puasa, nadzar, haji,
dll; sedang Imam Syafi’ i dan Imam Nawawi menyatakan bacaan al-
Qur’ an untuk si mayit tidak sampai karena tidak ada dalil
yang memerintahkan hal
tersebut, tidak dicontohkan
Rasulullah dan para shahabat.
Berbeda dengan ibadah yang
wajib atau sunnah mu’ akad seperti shalat, zakat, qurban,
sholat jamaah, i’ tikaf 10 akhir ramadhan, yang mana ada celaan
bagi mereka yang
meninggalkannya dalam keadaan
mampu. Akan tetapi di
masyarakat kita selamatan
kematian/tahlilan telah dianggap melebihi kewajiban- kewajiban
agama. Orang yang
meninggalkannya dianggap lebih
tercela daripada orang yang
meninggalkan sholat, zakat, atau
kewajiban agama yang lain. Sehingga banyak yang akhirnya
memaksakan diri karena takut
akan sanksi sosial tersebut. Mulai
dari berhutang, menjual tanah,
ternak atau barang berharga
yang dimiliki, meskipun di antara keluarga terdapat anak yatim
atau orang lemah. Padahal di
dalam al-Qur’ an telah jelas terdapat arahan untuk
memberikan perlindungan harta
anak yatim; tidak memakan
harta anak yatim secara dzalim,
tetapi menjaga sampai ia dewasa

(QS an-Nisa’ : 2, 5, 10, QS al- An’ am: 152, QS al-Isra’ : 34) serta tidak membelanjakannya secara
boros (QS an- Nisa’ : 6) Dibalik selamatan kematian
tersebut sesungguhnya juga
terkandung tipuan yang
memperdayakan.
Seorang yang
tidak beribadah/menunaikan
kewajiban agama selama hidupnya, dengan besarnya
prosesi selamatan setelah
kematiannya akan menganggap
sudah cukup amalnya, bahkan
untuk menebus kesalahan-
kesalahannya. Juga seorang anak yang tidak taat
beribadahpun akan menganggap
dengan menyelenggarakan
selamatan, telah menunaikan
kewajibannya berbakti/
mendoakan orang tuanya.
Imam Syafi'i rahimahullah dalam
kitab al-Umm berkata: "...dan aku membenci al-
ma'tam, yaitu proses
berkumpul (di tempat
keluarga mayat) walaupun
tanpa tangisan, karena hal
tersebut hanya akan menimbulkan bertambahnya
kesedihan dan
membutuhkan biaya,
padahal beban kesedihan
masih melekat." (al-Umm
(Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1393) juz I, hal 279)

Namun ketika Islam datang ke
tanah Jawa ini, menghadapi
kuatnya adat istiadat yang telah
mengakar. Masuk Islam tapi
kehilangan selamatan-selamatan,
beratnya seperti masyarakat Romawi disuruh masuk Nasrani
tapi kehilangan perayaan
kelahiran anak Dewa Matahari 25
Desember. Dalam buku yang ditulis H
Machrus Ali, mengutip naskah
kuno tentang jawa yang
tersimpan di musium Leiden,

Sunan Ampel
memperingatkan Sunan
Kalijogo yang masih
melestarikan selamatan
tersebut:“Jangan ditiru perbuatan semacam itu
karena termasuk bid'ah”. Sunan Kalijogo menjawab:
“Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam
telah tertanam di hati
masyarakat yang akan
menghilangkan budaya
tahlilan itu”.
Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali
Songo yang ditulis H. Lawrens
Rasyidi dan diterbitkan Penerbit
Terbit Terang Surabaya juga
mengupas panjang lebar
mengenai masalah ini. Dimana Sunan Kalijaga, Sunan Bonang,
Sunan Kudus, Sunan Gunungjati
dan Sunan Muria (kaum abangan)
berbeda pandangan mengenai
adat istiadat dengan Sunan
Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat (kaum putihan). Sunan
Kalijaga mengusulkan agar adat
istiadat lama seperti selamatan,
bersaji, wayang dan gamelan
dimasuki rasa keislaman.
Sunan Ampel berpandangan lain: “Apakah tidak mengkhawatirkannya di
kemudian hari bahwa adat
istiadat dan upacara lama
itu nanti dianggap sebagai
ajaran yang berasal dari
agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan
menjadi bid’ ah?”
Sunan kudus menjawabnya bahwa
ia mempunyai keyakinan
bahwa di belakang hari
akan ada yang
menyempurnakannya. (hal
41, 64)

Dalam penyebaran agama
Islam di Pulau Jawa, para
Wali dibagi menjadi tiga
wilayah garapan Pembagian wilayah tersebut
berdasarkan obyek dakwah yang
dipengaruhi oleh agama yang
masyarakat anut pada saat itu,
yaitu Hindu dan Budha. Pertama: Wilayah Timur. Di wilayah bagian timur ini ditempati
oleh lima orang wali, karena
pengaruh hindu sangat dominan.
Disamping itu pusat kekuasaan
Hindu berada di wilayah Jawa
bagian timur ini (Jawa Timur sekarang) Wilayah ini ditempati
oleh lima wali, yaitu Syaikh
Maulana Ibrahim (Sunan Demak),
Raden Rahmat (Sunan Ampel),
Raden Paku (Sunan Giri), Makdum
Ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Kasim (Sunan Drajat) Kedua : Wilayah Tengah. Di wilayah Tengah ditempati oleh
tiga orang Wali. Pengaruh Hindu
tidak begitu dominan. Namun
budaya Hindu sudah kuat. Wali
yang ditugaskan di sini adalah :
Raden Syahid (Sunan Kali Jaga), Raden Prawoto (Sunan Muria),
Ja'far Shadiq (Sunan Kudus) Ketiga : Wilayah Barat. Di wilayah ini meliputi Jawa bagian
barat, ditempati oleh seorang
wali, yaitu Sunan Gunung Jati
alias Syarief Hidayatullah. Di
wilayah barat pengaruh Hindu-
Budha tidak dominan, karena di wilayah Tatar Sunda (Pasundan)
penduduknya telah menjadi
penganut agama asli sunda,
antara lain kepercayaan "Sunda Wiwitan" Dua Pendekatan dakwah para
wali.
1. Pendekatan Sosial Budaya
2. Pendekatan aqidah Salaf Sunan Ampel, Sunan Bonang,
Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati
dan terutama Sunan Giri
berusaha sekuat tenaga untuk
menyampaikan ajaran Islam
secara murni, baik tentang aqidah maupun ibadah. Dan
mereka menghindarkan diri dari
bentuk singkretisme ajaran Hindu
dan Budha.
Tetapi sebaliknya
Sunan Kudus, Sunan Muria dan
Sunan Kalijaga mencoba menerima sisa-sisa ajaran Hindu
dan Budha di dalam
menyampaikan ajaran Islam.
Sampai saat ini budaya itu masih
ada di masyarakat kita, seperti
sekatenan, ruwatan, shalawatan, tahlilan, upacara tujuh bulanan
dll. Pendekatan Sosial budaya
dipelopori oleh Sunan Kalijaga,
putra Tumenggung Wilwatika,
Adipati Majapahit Tuban.
Pendekatan sosial budaya yang
dilakukan oleh aliran Tuban memang cukup efektif, misalnya
Sunan Kalijaga menggunakan
wayang kulit untuk menarik
masyarakat jawa yang waktu itu
sangat menyenangi wayang kulit.
Sebagai contoh dakwah Sunan kalijaga kepada Prabu Brawijaya
V, Raja Majapahit terakhir yang
masih beragama Hindu,
dapat
dilihat di serat Darmogandul, yang antara lain bunyinya; Punika sadar sarengat,
tegese sarengat niki, yen
sare wadine njegat;
tarekat taren kang osteri;
hakikat unggil kapti, kedah
rujuk estri kakung, makripat ngentos wikan,
sarak sarat laki rabi,
ngaben aku kaidenna yayan
rina" (itulah yang namanya
sahadat syariat, artinya
syariat ini, bila tidur kemaluannya tegak;
sedangkan tarekat artinya
meminta kepada istrinya;
hakikat artinya menyatu
padu , semua itu harus
mendapat persetujuan suami istri; makrifat
artinya mengenal ; jadilah
sekarang hukum itu
merupakan syarat bagi
mereka yang ingin berumah
tangga, sehingga bersenggama itu dapat
dilaksanakan kapanpun
juga). Dengan cara dan sikap Sunan Kalijaga seperti tergambar
di muka, maka ia satu-satunya
Wali dari Sembilan Wali di Jawa
yang dianggap benar-benar wali
oleh golongan kejawen (Islam
Kejawen/abangan),
karena Sunan Kalijaga adalah satu-
satunya wali yang berasal
dari penduduk asli Jawa
(pribumi).
[Sumber : Abdul Qadir Jailani ,
Peran Ulama dan Santri
Dalam Perjuangan Politik
Islam di Indonesia, hal. 22-23,
Penerbit PT. Bina Ilmu dan
Muhammad Umar Jiau al Haq, M.Ag, Syahadatain Syarat

Utama Tegaknya Syariat
Islam, hal. 51-54, Kata
Pengantar Muhammad Arifin
Ilham (Pimpinan Majlis Adz
Zikra),
Penerbit Bina Biladi Press.] Nasehat Sunan Bonang Salah satu catatan menarik yang
terdapat dalam dokumen “Het Book van Mbonang”
[1] adalah peringatan dari sunan Mbonang
kepada umat untuk selalu
bersikap saling membantu dalam
suasana cinta kasih, dan
mencegah diri dari kesesatan
dan bid’ ah. Bunyinya sebagai berikut: “Ee..mitraningsun! Karana sira iki apapasihana sami-
saminira Islam lan mitranira
kang asih ing sira lan
anyegaha sira ing dalalah
lan bid’ ah“. Artinya: “Wahai saudaraku! Karena kalian semua adalah
sama-sama pemeluk Islam maka
hendaklah saling mengasihi
dengan saudaramu yang
mengasihimu. Kalian semua
hendaklah mencegah dari perbuatan sesat dan bid’ ah.[2]
[1] Dokumen ini adalah
sumber tentang walisongo
yang dipercayai sebagai
dokumen asli dan valid, yang
tersimpan di Museum Leiden,
Belanda. Dari dokumen ini telah dilakukan beberapa
kajian oleh beberapa peneliti.
Diantaranya thesis Dr. Bjo
Schrieke tahun 1816, dan
Thesis Dr. Jgh Gunning tahun
1881, Dr. Da Rinkers tahun 1910, dan Dr. Pj Zoetmulder
Sj, tahun 1935. [2] Dari info Abu Yahta Arif
Mustaqim,
pengedit buku
Mantan Kiai NU Menggugat
Tahlilan, Istighosahan dan
Ziarah Para Wali hlm. 12-13.
Muktamar NU ke-1 di
Surabaya tanggal 13
Rabiuts Tsani 1345 H/21
Oktober 1926 mencantumkan pendapat Ibnu Hajar al-Haitami
dan menyatakan bahwa
selamatan kematian adalah bid'ah yang hina namun tidak sampai diharamkan dan merujuk
juga kepada Kitab Ianatut
Thalibin. Namun Nahdliyin generasi
berikutnya menganggap
pentingnya tahlilan tersebut
sejajar (bahkan melebihi) rukun Islam/Ahli Sunnah wal Jama’ ah. Sekalipun seseorang telah
melakukan kewajiban-kewajiban
agama, namun tidak melakukan
tahlilan, akan dianggap tercela
sekali, bukan termasuk golongan
Ahli Sunnah wal Jama’ ah. Di zaman akhir yang ini dimana
keadaan pengikut sunnah seperti
orang 'aneh' asing di negeri
sendiri, begitu banyaknya orang
Islam yang meninggalkan
kewajiban agama tanpa rasa malu, seperti meninggalkan
Sholat Jum'at, puasa
Romadhon,dll. Sebaliknya
masyarakat begitu antusias
melaksanakan tahlilan ini, hanya
segelintir orang yang berani meninggalkannya. Bahkan non-
muslim pun akan merasa kikuk
bila tak melaksanakannya.
Padahal para ulama terdahulu
senantiasa mengingat dalil-dalil
yang menganggap buruk walimah (selamatan) dalam suasana
musibah tersebut.
Dari sahabat
Jarir bin Abdullah al-Bajali: "Kami
(para sahabat) menganggap
kegiatan berkumpul di rumah
keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh
mereka merupakan bagian dari
niyahah (meratapi mayit)".
(Musnad Ahmad bin Hambal
(Beirut: Dar al-Fikr, 1994) juz II,
hal 204 & Sunan Ibnu Majah (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 514)


MUKTAMAR I NAHDLATUL
ULAMA (NU) KEPUTUSAN
MASALAH DINIYYAH NO: 18 /
13 RABI’ UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926 DI
SURABAYA

islam agama yang sempurna

Kehidupan dan Kematian Adalah
Dua Keniscayaan Kamu Muhammadiyah Ya ? PERSIS
Ya ? Al Irsyad Ya ? Salafi Ya ?
Wahabi Ya ? Kalimat itulah yang
sering dilontarkan oleh mereka
yang anti pati kepada mereka
yang tidak melakukan Tahlilan [selamatan Kematian] apabila ada
sanak keluarganya yang
meninggal dunia. Maka katakanlah kepada mereka; ْدَهْشاَو اَّنَأِب َنوُمِلْسُم Saksikanlah bahwa sesungguhnya
kami adalah Muslimun (orang-
orang yang berserah diri). [QS. Ali
Imron :52] KEMATIAN dan KELAHIRAN adalah
dua keniscayaan. Satu
kegembiraan dan satunya
kesedihan. Dan tidak mungkin
Islam tidak mengatur prosesi-
prosesi yang bersangkutan dengan kedua hal tersebut, Islam
telah mengaturnya dengan
mencontoh Rasulullah orang yang
PALING MENGERTI cara bersosialisi/
bermasyarakat. Beliau memiliki
akhlakul karimah, hati yang penyayang, paling santun dan
lembut hatinya. Beliau paling
mengerti bagaimana cara
menghibur orang dan mendo'akan
orang yang KEMATIAN dan
musibah lainnya. Bagimana cara bergembira bersama orang yang
lagi senang, baik menyambut
KELAHIRAN dan lainnya. Pada kasus
kematian, Rasulullah tidak pernah
mencontohkan TAHLILAN [dlm arti :
Selamatan Kematian]. RASULULLAH ADALAH ORANG
YANG PALING MENGERTI CARA
BERSOSIALISI DAN
BERMASYARAKAT "Lau Kaana Khairan Lasabaquuna
ilahi" [seandainya Selamatan
kematian itu baik, niscaya
Rasulullah dan para sahabatnya
paling bersegera melakukannya,
sebab perkara apapun yang bernilai baik (hasanah) dalam
rangka taqarrub kepada Allah
tidak akan pernah mereka
lewatkan] Maka sungguh na'if bagi mereka
yang berdalih untuk melakukan
Selamatan kematian hanya
berdasarkan pendapat bukan
dalil. Seandainyapun ada dalilnya : MAKA ALANGKAH NAI'FNYA
RASULULLAH TIDAK MENGERTI
BAHWA KALAU TERNYATA ADA
"DALILNYA" UNTUK MELAKUKAN
TAHLILAN, PADAHAL AL QUR'AN
TURUN DI SISI MEREKA DAN RASULULLAH MEMBIMBING MEREKA
[PARA SAHABAT] SECARA LANGSUNG.
Padahal di jaman Rasulullah para
sahabat banyak yang mati
syahid, bahkan ketika Istri beliau
Siti Khadijah dan anak beliau Al Qasim dan Ibrahim meninggal,
tidak ada keterangan Rasulullah
mentahlili mereka [red: selamatan
kematian]. Ketahuilah, pendapat seorang
ulama bukanlah SEBUAH DALIL.
Pendapat ulama, mustahil dapat
mengalahkan IJMA' SAHABAT. Begitu Sempurnanya ajaran Islam,
Mengatur Masalah Kematian dan
Kelahiran Ketahuilah, Islam adalah ad Dien
yang sempurna, sehingga tidak
perlu lagi penambahan dan
pengurangan syari'atnya. Apa-
apa yang telah menjadi syari'at
agama sejak diturunkannya QS. Al Maidah : 3, maka ia tetap menjadi
syari'at sampai sekarang dan
nantinya tanpa ada perubahan.

Sabtu, Januari 15, 2011

FATWA IMAM SYA'FII TENTANG YASINAN

Majlis kenduri arwah lebih dikenali dengan berkumpul beramai-ramai dengan hidangan jamuan (makanan) di rumah si Mati. 

Kebiasaannya diadakan sama ada pada hari kematian, dihari kedua, ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, setahun dan lebih dari itu bagi mereka yang fanatik kepada kepercayaan ini atau kepada si Mati. 

Malangnya mereka yang mengerjakan perbuatan ini tidak menyadari bahawa terdapat banyak fatwa-fatwa dari Imam Syafie rahimahullah dan para ulama besar dari kalangan yang bermazhab Syafie telah mengharamkan dan membid’ahkan perbuatan atau amalan yang menjadi tajuk perbincangan dalam tulisan ini

Di dalam kitab ( ناعا ة طلا نیبلا ) juz 2. hlm. 146,

tercatat pengharaman Imam Syafie rahimahullah tentang perkara yang disebutkan di atas sebagaimana ketegasan beliau dalam fatwanya:


ُهَرْكَیَو ُذاَخِّتا ِماَعَّطلا ىِف ِمْوَیْلا ِلَّوَالْا ثِلاَّثلاَو َدْعَبَو ِعْوُبْسُالْا ُلْقَنَو ِماَعَّطلا ىَلِا ِرْوُبُقْلا

“Dan dilarang (ditegah/makruh) menyediakan makanan pada hari pertama kematian, hari ketiga dan seterusnnya sesudah seminggu. Dilarang juga membawa
makanan ke kuburan”. 

Imam Syafie dan jumhur ulama- ulama besar ( مئا ة ملعلا ءا شلا عفا ةی ) yang berpegang kepada mazhab Syafie, dengan berlandaskan kepada hadis-hadis sahih, mereka memfatwakan bahawa yang sewajarnya menyediakan makanan untuk keluarga si Mati adalah jiran, kerabat si Mati atau orang yang datang menziarahi mayat, bukan keluarga (ahli si Mati)
sebagaimana fatwa Imam Syafie:


ُّبِحُاَو ِناَرْیِجِل ِتِّیَمْلا ْيِذْوَا ِھِتَباَرَق ْنَا اْوُلَمْعَی ِلْھَال ِتِّیَمْلا ْىِف ِمْوَی ُتْوُمَی ِھِتَلْیَلَو اًماَعَط
اَم ْمُھُعِبْشُی َّنِاَو َكِلَذ ٌةَّنُس .

“Aku suka kalau jiran si Mati atau saudara mara si Mati menyediakan makanan untuk keluarga si Mati pada hari kematian dan malamnya sehingga mengenyangkan mereka. Sesungguhnya itulah amalan yang sunnah”. 

Fatwa Imam Syafie di atas ini adalah berdasarkan hadis sahih:


“Abdullah bin Ja’far berkata: Ketika tersebar tentang berita terbunuhnya Ja’far, 
Nabi sallallahu ‘alaihi wa-sallam bersabda: Hendaklah kamu menyediakan makanan untuk keluarga Ja’far, mereka telah ditimpa keadaan yang menyebukkan (kesusahan)”.

[1] Menurut fatwa Imam Syafie, adalah haram mengadakan kenduri arwah dengan menikmati hidangan di rumah si Mati, terutama jika si Mati termasuk keluarga yang miskin, menanggung beban hutang, meninggalkan anak-anak yatim yang masih kecil dan waris si
Mati mempunyai tanggungan perbelanjaan yang besar dan ramai. Tentunya tidak dipertikaikan bahawa makan harta anak-anak yatim hukumnya haram. Telah dinyatakan
juga di dalam kitab ( ةناعا نیبلاطلا ) jld. 2. hlm. 146:

“Imam Syafie berkata lagi: Dibenci bertetamu dengan persiapan makanan yang disediakan oleh ahli si Mati kerana ia adalah sesuatu yang keji dan ia adalah bid’ah”. Seterusnya di dalam kitab ( ناعا ة طلا نیبلا ) juz. 2. hlm. 146 – 147,


Imam Syafie rahimahullah berfatwa lagi:


َنِمِو ِعَدِبْلا ِةَرَكْنُمْلا ِهْوُرْكَمْلا ُھُلْعَف اَم ُلَعْفَی ُساَّنلا َنِم ِةَشْحَوْلا ِعْمَجْلاَو َنْیِعِبْرَالْاَو َب ْل َك ُّل َكِلَذ ٌماَرَح

1 H/R Asy-Syafie (I/317), Abu Dawud, Tirmizi, Ibnu Majah dan Ahmad I/205. Dihasankan oleh at- Turmizi dan di sahihkan oleh al- Hakim.

“Dan antara bid’ah yang mungkar ialah kebiasaan orang yang melahirkan rasa kesedihannya sambil berkumpul beramai-ramai melalui upacara (kenduri arwah) dihari keempat puluh (empat pulu harinya) pada hal semuanya ini adalah haram”. 
Ini bermakna mengadakan kenduri arwah (termasuk tahlilan dan yasinan beramairamai) dihari pertama kematian, dihari ketiga, dihari ketujuh, dihari keempat puluh, dihari keseratus, setelah setahun kematian dan dihari-hari seterusnya sebagaimana yang diamalkan oleh masyarakat Islam sekarang adalah perbuatan haram dan bid’ah menurut fatwa Imam Syafie.

 Oleh itu, mereka yang mendakwa bermazhab Syafie sewajarnya menghentikan perbuatan yang haram dan bid’ah ini sebagai mematuhi wasiat imam yang agung ini.


Seterusnya terdapat dalam kitab
yang sama
( ةناعا طلا نیبلا ) juz 2. hlm. 145-146,

 Mufti yang bermazhab Syafie al- Allamah Ahmad Zaini bin Dahlan rahimahullah menukil fatwa Imam Syafie yang menghukum bid’ah dan mengharamkan kenduri arwah:
َالَو َّكَش َّنَا َعْنَم ِساَّنلا ْنِم ِهِذَھ ِةَعْدِبْلا َكْنُمْلا ِةَر ْیِف ِھ َیْحِا ٌءا ُّسلِل ةَّن َتاَمِاَو ٌة َعْدِبْلِل ِة َفَو
ٌحْت ٍرْیِثَكِل ْنِم ِباَوْبَا ِرْیَخْلا ٌقْلَغَو ٍرْیِثَكِل ْنِم ْبَا ِباَو َّشلا ِّر ، َف َّنِا َّنلا َسا ُفَّلَكَتَی نْو ًفُّلَكَت ا ْیِثَك اًر ْيِّدَؤُی ىَلِا ْنَا َنْوُكَی َكِلَذ ُعْنُّصلا اًمَّرَحُم .

“Dan tidak boleh diragukan lagi bahawa melarang (mencegah) manusia dari perbuatan bid’ah yang mungkar demi untuk menghidupkan sunnah dan mematikan (menghapuskan) bid’ah, membuka banyak pintu- pintu kebaikan dan menutup pintu pintu keburukan dan (kalau dibiarkan bid’ah berterusan) orang-orang (awam) akan
terdedah (kepada kejahatan) sehingga memaksa diri mereka melakukan perkara yang haram”. 

Kenduri arwah atau lebih dikenali dewasa ini sebagai majlis tahlilan, selamatan atau yasinan, ia dilakukan juga di perkuburan terutama dihari khaul

Amalan ini termasuk perbuatan yang amat dibenci, ditegah, diharamkan dan dibid’ahkan oleh Imam Syafie rahimahullah sebagaimana yang telah ditegaskan oleh beliau:
 

“Apa yang diamalkan oleh manusia dengan berkumpul dirumah keluarga si mati dan menyediakan makanan adalah termasuk perbuatan bid’ah yang mungkar”.


[2] Di dalam kitab fikh ( شاح ةی یلقلا يبو ) juz. 1 hlm. 353 atau di kitab ( – یلق ىبو – یمع ةر شاح ناتی ) juz. 1 hlm. 414 
dapat dinukil ketegasan Imam ar-
Ramli rahimahullah yang mana beliau berkata:

2 Lihat: ةناعا نیبلاطلا juz 2 hlm. 145.

 َلاَق اَنُخْیَش ىِلْمَّرلا : َنِمَو ِعَدِبْلا ِةَرَكْنُمْلا ِهْوُرْكَمْلا اَھُلْعِف اَمَك ىِف ِةَضْوَّرلا اَم ُھُلَعْفَی
ُساَّنلا اَّمِم ىَّمَسُی َةَراَفِكْلا ْنِمَو ِعْنُص ِماَعَط ِعاَمَتْجِالل ِھْیَلَع َلْبَق ِتْوَمْلا ِعَبْوَا ُهَد ِمَو ن لا ِحْبَّذ َلَع
ى ِرْوُبُقْلا ، ْلَب ُّلُك َكِلَذ ٌماَرَح ْنِا َناَك ِم ْن َم ٍلا ُجْحَم ٍرْو َلَو ْو ِم َن َكرَّتلا ِة ، ْوَا ِم ْن َم ِلا ِّیَم ٍت ِھْیَلَع ٌنْیَد َبَّتَرَتَو ِھْیَلَع ٌرَرَض ْوَا ُوْحَن َكِلَذ .

“Telah berkata Syeikh kita ar- Ramli: Antara perbuatan bid’ah yang mungkar jika dikerjakan ialah sebagaimana yang dijelaskan di dalam kitab “Ar- Raudah” iaitu mengerjakan amalan yang disebut “kaffarah” secara menghidangkan makanan agar dapat berkumpul di rumah si Mati sama sebelum atau sesudah kematian, termasuklah (bid’ah yang mungkar) penyembelihan untuk si Mati, malah yang demikian itu semuanya haram terutama jika sekiranya dari harta yang masih dipersengketakan walau sudah ditinggalkan oleh si Mati atau harta yang masih dalam hutang (belum dilunas) atau seumpamanya”. 

Di dalam kitab ( ھقفلا ىلع بھاذملا ةعبرالا ) jld.1 hlm. 539, ada dijelaskan bahawa: 


“Termasuk bid’ah yang dibenci ialah apa yang menjadi amalan orang sekarang, iaitu menyembelih beberapa sembelihan ketika si Mati telah keluar dari rumah (telah dikebumikan). Ada yang melakukan sehingga kekuburan atau menyediakan makanan kepada sesiapa yang datang berkumpul untuk takziyah”. Kenduri arwah pada hakikatnya lebih merupakan tradisi dan kepercayaan untuk mengirim pahala bacaan fatihah atau menghadiahkan pahala melalui pembacaan al-Quran terutamanya surah yasin, zikir dan berdoa beramai-ramai yang ditujukan kepada arwah si
Mati.

 Mungkin persoalan ini dianggap isu yang remeh, perkara furu’, masalah cabang atau
ranting oleh sebahagian masyarakat awam dan dilebih- lebihkan oleh kalangan mubtadi’مبتد) “

pembuat atau aktivis bid’ah” sehingga amalan ini tidak mahu dipersoalkam oleh pengamalnya tentang haram dan tegahannya dari Imam Syafie rahimahullah dan para ulama yang bermazhab Syafie.


Pada hakikatnya, amalan mengirim atau menghadiahkan pahala bacaan seperti yang dinyatakan di atas adalah persoalan besar yang melibatkan akidah dan ibadah. 

Wajib diketahui oleh setiap orang yang beriman bahawa masalah akidah dan ibadah tidak boleh dilakukan secara suka-suka (tanpa ada hujjah atau dalil dari Kitab Allah dan Sunnah RasulNya),
tidak boleh berpandukan pada anggapan yang disangka baik lantaran ramainya
masyarakat yang melakukannya, kerana Allah Subhanahu wa- Ta’ala telah memberi amaran yang tegas kepada mereka yang suka bertaqlid (meniru) perbuatan orang ramai yang tidak
ada dalil atau suruhannya dari syara

 sebagaimana firmanNya:

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan (majoriti) orang- orang yang di muka bumi ini, nescaya mereka akan menyesatkan diri kamu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanya mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”. (QS. Al-An’am, 6:116)


Begitu juga sesuatu amalan yang disangkakan ibadah sama ada yang dianggap wajib atau sunnah, maka ia tidak boleh ditentukan oleh akal atau hawa nafsu, antara amalan tersebut
ialah amalan kenduri arwah (tahlilan atau yasinan) maka lantaran ramainya orang yang mengamalkan dan adanya unsur- unsur agama dalam amalan tersebut seperti bacaan al- Quran, zikir, doa dan sebagainya, maka kerananya dengan mudah diangkat dan dikategorikan sebagai ibadah. 

Sedangkan kita hanya dihalalkan mengikut dan mengamalkan apa yang benar- benar telah disyariatkan oleh al- Quran dan as-Sunnah jika ia dianggap sebagai ibadah 

sebagaimana firman Allah Azza wa-Jalla: َ

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat
(peraturan yang wajib ditaati)
dalam urusan (agamamu) itu,
maka ikutilah syariat itu dan
janganlah kamu ikuti hawa nafsu
orang-orang yang tidak mengetahui (orang jahil).
Sesungguhnya mereka sekali-kali
tidak akan dapat menolak diri
kamu sedikitpun dari siksaan
Allah”. (QS. Al-Jatsiyah, 45:18-19) 


Setiap amalan yang dianggap
ibadah jika hanya berpandukan
kepada andaian mengikut
perkiraan akal fikiran, perasaan,
keinginan hawa nafsu atau
ramainya orang yang melakukan tanpa dirujuk terlebih dahulu
kepada al-Quran, as-Sunnah dan
athar yang sahih untuk dinilai
sama ada haram atau halal,
sunnah atau bid’ah, maka perbuatan tersebutadalah suatu
kesalahan (haram dan bid’ah) menurut syara sebagaimana
yang dijelaskan oleh ayat di atas
dan difatwakan oleh Imam Syafie
rahimahullah. 

Memandangkan
polemik dan persoalan kenduri
arwah kerapkali ditimbulkan dan ditanyakan kepada penulis, maka
ia perlu ditangani dan
diselesaikan secara syarii
(menurut hukum dari al-Quran
dan as-Sunnah) serta fatwa
para ulama Ahli Sunnah wal- Jamaah dari kalangan Salaf as-
Soleh yang muktabar.


Dalam membincangkan isu ini pula,
maka penulis tumpukan kepada
kalangan para ulama dari mazhab Syafie kerana ramai mereka yang bermazhab Syafie menyangka bahawa amalan
kenduri arwah, tahlilan, yasinan
atau amalan mengirim pahala
adalah diajarkan oleh Imam
Syafie dan para ulama yang berpegang dengan mazhab
Syafie.

Insya-Allah, mudah-mudahan
tulisan ini bukan sahaja dapat
menjawab pertanyaan bagi
mereka yang bertanya, malah akan sampai kepada mereka
yang mempersoalkan isu ini,
termasuklah mereka yang masih
tersalah anggap tentang hukum
sebenar kenduri arwah (tahlilan
atau yasinan) menurut Ahli Sunnah wal-Jamaah.

YASINAN BUKANLAH SUNNAH

Bid’ah lainnya yang biasa dilakukan sebagian umat Islam adalah membaca bersama-sama surat Yasin setiap malam Jumat. Lalu mereka berkeyakinan mengirimkan pahalanya kepada arwah orang tua atau saudara yang sudah wafat. Sebenarnya, tidak ada masalah apa pun jika seseorang hendak membaca surat Yasin, bahkan itu adalah hal yang baik, sebab itu merupakan salah satu surat Al Quranul Karim. Namun, masalah mulai ada ketika membaca surat Yasin dikhususkan pada malam Jumat saja, tidak pada malam lainnya, dan tidak pula surat yang lainnya, lalu dibarengi dengan keyakinan atau fadhilah tertentu. Maka ini semua membutuhkan dalil khusus yang shahih untuk melaksanakannya. Jika, tidak ada maka tidak boleh melaksanakannya apalagi merutinkannya. Sebab, hal tersebut telah menjadi hal baru dalam agama. Ketetapan ini sesuai dengan kaidah yang ditetapkan para ulama:

لصألاف يف تادابعلا نالطبلا ىتح موقي ليلد ىلع رمألا
“Hukum asal dalam ibadah adalah batil, sampai adanya dalil yang menunjukkan
perintahnya.” (Imam Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in, 1/344. Maktabah Al Kulliyat Al Azhariyah)


Jadi, selama belum ada dalil yang mencontohkan atau memerintahkan, maka ibadah tersebut batil dan mengada- ngada. Kaidah ini berasal dari hadits berikut: نم ثدحأ يف

انرمأ اذه ام سيل هيف وهف در

“Barangsiapa yang membuat hal baru dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka itu tertolak.” (HR. Bukhari No. 2550. Muslim No. 1718)


Dalam hal yasinan setiap malam Jumat ini pun, kita tidak akan menemukan keterangannya dalam Al Quran dan As Sunnah tentang keutamaannya dibaca secara khusus pada malam Jumat. Kedudukan Hadits-Hadits Tentang Yasin
Hadits Pertama,

Dari Al Hasan Al Bashri Radhiallahu ‘Anhu: ْنَع يِبَأ َةَرْيَرُه ، َلاَق : َلاَق ُلوُسَر ِهَّللا ىَّلَص ُهَّللا ِهْيَلَع َمَّلَسَو : " ْنَم َأَرَق سي يِف ٍمْوَي ْوَأ ٍةَلْيَل َءاَغِتْبا ِهْجَو ِهَّللا َرِفُغ ُهَل"

Dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barang siapa yang membaca surat Yasin malam hari atau siang, dengan mengharapkan keridhaan Allah, maka dia akan diampuni.” (HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, 19/62/145) Hadits ini dha’if. Sebab, Al Hasan tidak mendengar langsung hadits itu dari Abu Hurairah.(Ibid)
Sementara dalam sanadnya terdapat Aghlab bin Tamim. Berkata Imam Al Haitsami tentang dia: “Dha’if.” (Imam Al Haitsami, Majma’ az Zawaw’id, 7/97. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah) Sementara Imam Bukhari berkata
tentang Aghlab bin Tamim: “Munkarul hadits (haditsnya munkar).” Imam Yahya bin Ma’in mengatakan: “Tidak ada apa- apanya.” Ibnu ‘Adi berkata: “Pada umumnya hadits-hadits darinya tidak terjaga.” Berkata Maslamah bin Qasim: “Munkarul hadits.” (Imam Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, 1/ 194). Maka jelaslah kedhaifan hadits tersebut.

Hadits Kedua. Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata: لاق لوسر هللا ىلص هللا هيلع ملسو نم ماد ىلع ةءارق سي لك ةليل مث تام تام اديهش . Dari Anas bin Malik, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barang siapa yang merutinkan membaca Yasin setiap malam, lalu dia mati, maka dia mati syahid.” Hadits ini palsu. Berkata Imam Al Haitsami tentang hadits ini: هاور يناربطلا يف ريغصلا هيفو ديعس نب ىسوم يدزالا وهو باذك Diriwayatkan oleh Ath Thabarani dalam Ash Shaghir, di dalam sanadnya terdapat Sa’id bin Musa Al Azdi, seorang pendusta. (Majma’ Az Zawaid, Ibid) Sementara Imam Ibnu Hibban menuduh Sa’id bi Musa sebagai pemalsu hadits. (Imam Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, 1/435) Maka, jelaslah kepalsuan hadits ini.

Hadits Ketiga. Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda: نم راز ربق هيدلاو لك ةعمج ، أرقف امهدنع وأ هدنع * ) سي ( * رفغ هل ددعب لك ةيآ وأ فرح “Barangsiapa yang menziarihi kubur dua orang tuanya setiap Jum’at, lalu dibacakan Yasin pada sisinya, maka akan diampunkan baginya setiap ayat atau huruf.” Hadits ini palsu. Ibnu ‘Adi berkata: “Hadits ini batil dan tidak ada asalnya sanad ini.” Ad Daruquthni mengatakan: “Hadits ini palsu, oleh karena itu Ibnul Jauzi memasukkan hadits ini kedalam kitabnya Al Maudhu’at (hadits- hadits palsu).” (Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Silsilah Adh Dha’ifah, 1/127/ 50)

Hadits Keempat. Dari Anas bin
Malik Radhiallahu ‘Anhu: َلاَق ُّيِبَّنلا ىَّلَص ُهَّللا ِهْيَلَع َمَّلَسَو َّنِإ ِّلُكِل ٍءْيَش اًبْلَق ُبْلَقَو ِنآْرُقْلا سي ْنَمَو َأَرَق سي َبَتَك ُهَّللا ُهَل اَهِتَءاَرِقِب َةَءاَرِق ِنآْرُقْلا َرْشَع ٍتاَّرَم Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya segala sesuatu memiliki hati, dan hatinya Al Quran adalah Yasin, dan barangsiapa yang membaca Yasin, maka Allah tetapkan baginya seperti membaca Al Quran sepuluh kali.” (HR. At Tirmidzi N0. 3048)
Hadits ini juga palsu. Kata Imam At Tirmidzi dalam sanadnya terdapat Harun Abu Muhammad seorang Syaikh yang majhul (tidak dikenal). (Ibid)
Syaikh Al Albany mengatakan hadits ini palsu, lantaran Harun Abu Muhammad. Selain itu dalam sanadnya terdapat Muqatil bin Sulaiman. Ibnu Abi Hatim bertanya
kepada ayahnya (Imam Abu Hatim
Ar Razi) tentang hadits ini dia menjawab: “Muqatil ini adalah Muqatil bin Sulaiman, aku pernah melihat hadits ini pada awal kitabnya yang telah dipalsukannya. Muqatil ini haditsnya batil dan tidak ada dasarnya.” Waki’ berkata: Muqatil adalah pendusta.” (Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, As Silsilah Adh Dha’ifah, 1/246/ 169)


Inilah sebagian tentang hadits- hadits keutamaan surat Yasin, semuanya masih dalam perbincangan, antara dhaif (lemah), munkar, bahkan palsu. Wallahu A’lam Ada hadits lain tentang keutamaan surat Yasin, yang agak lebih baik dibanding di atas, ini pun juga dhaif sebenarnya. Dari Ma’qil bin Yasar Radhiallahu ‘Anhu: لاق يبنلا ىلص هللا هيلع ملسو اوءرقا سي ىلع مكاتوم اذهو ظفل نبا ءالعلا . Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Bacakanlah Yasin terhadap orang yang menghadapi sakaratul maut.” Ini lafaz dari Ibnu al ‘Ala. (HR. Abu Daud No. 3121)

Para ulama berbeda pendapat dalam menilai hadits ini, tetapi umumnya mendhaifkan. Menurut Syaikh Al Albany hadits ini dha’if. (Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 3121).
Imam Ash Shan’ani menjelaskan, bahwa Imam Ibnul Al Qaththan menyatakan adanya cacat pada hadits ini yakni idhthirab (goncang), dan mauquf (hanya sampai sahabat nabi), dan terdapat rawi (periwayat) yang majhul (tidak dikenal) yakni Abu Utsman dan ayahnya. Sementara, Imam Ibnul ‘Arabi mengutip dari Imam Ad Daruquthni, yang mengatakan bahwa hadits ini sanadnya mudhtharib (goncang), majhulul matni (redaksinya tidak dikenal), dan tidak ada yang shahih satu pun hadits dalam bab ini (tentang Yasin). (Subulus Salam, 3/63. Mawqi’ Al Islam. At Talkhish Al Habir No. 734. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah) Sementara, Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Bulughul Maram mengatakan, Imam Ibnu Hibban menshahihkan hadits ini. (Imam Ibnu Hajar, Bulughul Maram, Kitabul Janaiz, no. 437. Cet.1, Darul Kutub Al Islamiyah).
Telah masyhur dikalangan muhadditsin (ahli hadits), bahwa Imam Ibnu Hibban adalah ulama yang mutasahil (terlalu memudahkan) dalam menshahihkan hadits. Oleh karena itu, penshahihan yang dilakukan kerap ditinjau ulang oleh ulama setelahnya.
Imam Ahmad dalam Musnad-nya, mengatakan, telah berkata kepada kami Abul Mughirah, telah
berkata kepada kami Shafwan, katanya: “Dahulu para masyayikh (guru) mengatakan jika dibacakan surat Yasin di sisi mayit, maka itu akan meringankannya.” Pengarang Musnad Al Firdaus telah menyandarkan riwayat ini dari Abu Darda’ dan Abu Dzar, mereka mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidaklah seorang mayit meninggal lalu dibacakan surat Yasin di sisinya, melainkan Allah Ta’ala akan memudahkannya.” Lalu, Imam Ash Shan’ani mengatakan, bahwa dua riwayat inilah yang menguatkan penshahihan yang dilakukan Imam
Ibnu Hibban, yang maknanya adalah menjelang kematian (bukan dibaca sesudah wafat, pen), dan dua riwayat ini lebih jelas dibanding riwayat yang dijadikan dalil olehnya. (Ibid)
Tertulis dalam kitab Raudhatul Muhadditsin, disebutkan bahwa Imam An Nawawi dalam Al Adzkar menyatakan hadits ini dhaif, lantaran ada dua orang yang majhul (tidak dikenal), hanya saja
–katanya- Imam Abu Daud tidak mendhaifkannya. Tetapi Imam An Nawawi berhujjah dengan hadits ini dalam kitabnya yang lain. (Imam An Nawawi, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/5)
Ibnu ‘Alan dalam Syarh Al Adzkar menerangkan bahwa Imam Ibnu Hajar juga menjadikan riwayat dari Shafwan sebagai penguat hadits ini, dan menurutnya riwayat Shafwan tersebut adalah mauquf dan sanadnya hasan. Bahkan, Al Hafizh Ibnu Hajar menghukumi riwayat tersebut adalah marfu’ (sampai kepada Rasulullah) dengan alasan para masyayikh (guru) tersebut yakni para sahabat dan tabi’in senior, tidak mungkin berkata menurut pendapat mereka sendiri. Sementara Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, dengan sanad shahih, dari jalan Abu Sya’tsa’ Jabir bin Zaid, salah seorang tabi’in terpercaya, bahwa dianjurkan dibacakan di sisi mayit surah Ar Ra’du. (Raudhatul Muhadditsin, No. 4691. Markaz Nur Al Islam. Imam An Nawawi, Al Adzkar, 1 /144. Darul Fikr)
Jadi, pada dasarnya hadits di atas adalah dhaif, namun menurut pihak yang menshahihkan, terdepat beberapa riwayat lain yang menjadi penguat (syawahid) menjadi shahih. Demikianlah pembahasan pro-kontra atas keshahihan hadits ini.