Laman

Entri Populer

Selasa, April 19, 2011

Menuju keluarga sakinah

Merupakan satu anugerah dari Allah, ketika seorang wanita dipertemukan dengan pasangan hidupnya dalam satu jalinan kasih yang suci.

Hal ini sebagai satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Sang Khaliq.

  “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian pasangan hidup dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir“. (Ar-Rum: 21)

Apa lagi bila pendamping hidup
itu seorang yang shalih, yang akan memuliakan istrinya bila bersemi cinta di hatinya, namun kalau toh cinta itu tak kunjung datang maka ia tak akan menghinakan istrinya.

Merajut dan menjalin tali pernikahan agar selalu berjalan baik tidak bisa dikatakan mudah bak membalik kedua telapak tangan, karena dibutuhkan ilmu dan ketakwaan untuk menjalaninya.

Seorang suami butuh bekal ilmu agar ia tahu bagaimana menahkodai rumah tangganya.

Istripun demikian, ia harus tahu bagaimana menjadi seorang istri yang baik dan bagaimana kedudukan seorang suami dalam syariat ini.

Masing- masing punya hak dan kewajiban yang harus ditunaikan agar jalinan itu tidak goncang ataupun terputus.

Syariat menetapkan seorang suami memiliki hak yang sangat besar terhadap istrinya, sampai- sampai bila diperkenankan oleh Allah, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam akan memerintahkan seorang istri sujud kepada suaminya.

Abdullah ibnu Abi Aufa bertutur: Tatkala Mu’ adz datang ke negeri Yaman atau Syam, ia melihat orang-orang Nashrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka.

Maka ia memandang dan memastikan dalam hatinya bahwa Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam adalah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu.

Ketika ia kembali ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam, ia berkata:

“Ya Rasulullah, aku melihat orang-orang Nashrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka, maka aku memandang dan memastikan dalam hatiku bahwa engkaulah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu.”

Mendengar ucapan Mu’ adz ini, bersabdalah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam:

  “Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain (sesama makhluk) niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.
Dan tidaklah seorang istri dapat menunaikan seluruh hak Allah Azza wa Jalla terhadapnya hingga ia menunaikan seluruh hak suaminya terhadapnya.
Sampai-sampai jika suaminya meminta dirinya (mengajaknya bersenggama) sementara ia sedang berada di atas pelana (yang dipasang di atas unta) maka ia harus memberikannya (tidak boleh menolak).” (HR. Ahmad 4/381. Dihasankan Asy- Syaikh Albani dalam Ash-Shahihul Jami’ no. 5295 dan Irwa Al-Ghalil no. 1998)

Satu dari sekian hak suami terhadap istrinya adalah disyukuri akan kebaikan yang diperbuatnya dan tidak dilupakan keutamaannya. Namun disayangkan, di kalangan para istri banyak yang melupakan atau tidak tahu hak yang satu ini, hingga kita dapatkan mereka sering mengeluhkan suaminya, melupakan kebaikan yang telah diberikan dan tidak ingat akan keutamaannya.

Yang lebih disayangkan, ucapan dan penilaian miring terhadap suami ini kadang menjadi bahan obrolan di antara para wanita dan menjadi bahan keluhan sesama mereka.

Padahal perbuatan seperti ini menghadapkan si istri kepada kemurkaan Allah dan adzab yang pedih.

Perbuatan tidak tahu syukur ini merupakan satu sebab wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, sebagaimana diberitakan Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam seselesainya beliau dari Shalat Kusuf (Shalat Gerhana):

“Diperlihatkan neraka kepadaku. Ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita yang kufur .”
Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?”
Beliau menjawab: “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami).
Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka satu masa, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata:
Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu.” (HR. Al- Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907)
Al-Qadhi Ibnul ‘ Arabi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini disebutkan secara khusus dosa kufur/ingkar terhadap suami di antara sekian dosa lainnya karena Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam telah menyatakan:

Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain (sesama makluk) niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.

Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam menggandengkan hak suami terhadap istri dengan hak Allah, maka bila seorang istri mengkufuri/mengingkari hak suaminya, sementara hak suami terhadapnya telah mencapai puncak yang sedemikian besar, hal itu sebagai bukti istri tersebut meremehkan hak Allah.

Karena itulah diberikan istilah kufur terhadap perbuatannya akan tetapi kufurnya tidak sampai mengeluarkan dari agama.” (Fathul Bari, 1/106)

Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam juga mengisahkan:

“Aku berdiri di depan pintu surga, ternyata kebanyakan yang masuk ke dalamnya adalah orang-orang miskin, sementara orang kaya lagi terpandang masih tertahan (untuk dihisab) namun penghuni neraka telah diperintah untuk masuk ke dalam neraka , ternyata mayoritas yang masuk ke dalam neraka adalah kaum wanita.” (HR. Al- Bukhari no. 5196 dan Muslim no. 2736)

Pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam keluar menuju lapangan untuk melaksanakan shalat. Setelahnya beliau berkhutbah dan ketika melewati para wanita beliau bersabda:

“Wahai sekalian wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar (meminta ampun) karena sungguh diperlihatkan kepadaku mayoritas kalian adalah penghuni neraka.” Berkata salah seorang wanita yang cerdas: “Apa sebabnya kami menjadi mayoritas penghuni neraka, wahai Rasulullah?
” Beliau menjawab: “Kalian banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan suami.
Aku belum pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya namun dapat menundukkan lelaki yang memiliki akal yang sempurna daripada kalian.”
Wanita itu bertanya lagi: “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan kurang akal dan kurang agama?“.
“Adapun kurangnya akal wanita ditunjukkan dengan persaksian dua orang wanita sama dengan persaksian seorang lelaki.
Sementara kurangnya agama wanita ditunjukkan dengan ia tidak mengerjakan shalat dan meninggalkan puasa di bulan Ramadhan selama beberapa malam (yakni saat ditimpa haidh).” (HR. Al-Bukhari no. 304 dan Muslim no. 79)

Karena mayoritas kaum wanita adalah ahlun nar (penghuni neraka) maka mereka menjadi jumlah yang minoritas dari ahlul jannah. Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam nyatakan hal ini dalam sabdanya:

“Minoritas penghuni surga adalah kaum wanita.” (HR. Muslim no. 2738)

Bila demikian adanya tidak pantas bagi seorang wanita yang mencari keselamatan dari adzab untuk menyelisihi suaminya dengan mengkufuri kenikmatan dan kebaikan yang telah banyak ia curahkan ataupun banyak mengeluh hanya karena sebab sepele yang tak sebanding dengan apa yang telah ia persembahkan untuk anak dan istrinya.

Sepatutnya bila seorang istri melihat dari suaminya sesuatu yang tidak ia sukai atau tidak pantas dilakukan maka ia jangan mengkufuri dan melupakan seluruh kebaikannya.

Sungguh, bila seorang istri tidak mau bersyukur kepada suami, sementara suaminya adalah orang yang paling banyak dan paling sering berbuat kebaikan kepadanya, maka ia pun tidak akan pandai bersyukur kepada Allah ta`ala, Dzat yang terus mencurahkan kenikmatan dan menetapkan sebab-sebab tersampaikannya kenikmatan pada setiap hamba

. Abu Hurairah radhiyallahu ‘ anhu menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam:

ْ “Siapa yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia maka ia tidak akan bersyukur kepada Allah.” (HR. Abu Dawud no. 4177 dan At- Tirmidzi no. 2020, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil di atas syarat Muslim, dalam Ash- Shahihul Musnad, 2/338)

Al-Khaththabi berkata: “Hadits ini dapat dipahami dari dua sisi.

Pertama: orang yang tabiat dan kebiasaannya suka mengingkari kenikmatan yang diberikan kepadanya dan enggan untuk mensyukuri kebaikan mereka maka menjadi kebiasaannya pula mengkufuri nikmat Allah ta`ala dan tidak mau bersyukur kepada-Nya.

Sisi kedua: Allah tidak menerima rasa syukur seorang hamba atas kebaikan yang Dia curahkan apabila hamba tersebut tidak mau bersyukur (berterima kasih) terhadap kebaikan manusia dan mengingkari kebaikan mereka, karena berkaitannya dua perkara ini.” (‘ Aunul Ma’ bud, 13/114)

Adapun Al-Qadhi mengatakan tentang hadits ini: “(Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam menyatakan demikian) bisa jadi karena mensyukuri Allah ta`ala hanya bisa sempurna dengan patuh kepada-Nya dan melaksanakan perintah-Nya.

Sementara di antara perkara yang Dia perintahkan adalah berterima kasih kepada manusia yang menjadi perantara tersampaikannya nikmat-nikmat Allah kepadanya.

Maka orang yang tidak patuh kepada Allah dalam hal ini, ia tidak menunaikan kesyukuran atas kenikmatan- Nya.

Atau bisa pula maknanya, orang yang tidak berterima kasih kepada manusia yang telah memberikan dan menyampaikan kenikmatan kepadanya, padahal ia tahu sifat manusia itu sangat senang mendapatkan pujian, ia menyakiti si pemberi kebaikan dengan berpaling dan mengingkari apa yang telah diberikan, maka orang seperti ini akan lebih berani meremehkan sikap syukur kepada Allah, yang sebenarnya sama saja bagi-Nya antara kesyukuran dan kekufuran .” (Tuhfatul Ahwadzi, 6/74).

Sepantasnya bagi seorang istri yang mencari keselamatan dari adzab Allah untuk mencurahkan seluruh kemampuannya dalam menunaikan hak-hak suami, karena suaminya adalah jembatan untuk meraih kenikmatan surga atau malah sebaliknya membawa dirinya ke jurang neraka.

Al-Hushain bin Mihshan radliallahu anhu menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam karena satu keperluan dan setelah selesai dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam bertanya kepadanya:

َ “Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab: “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?” tanya Rasulullah lagi. Ia menjawab: “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah bersabda: “Lihatlah di mana keberadaanmu saat bergaul dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4/341 Berkata penulis Jami’ Ahkamin Nisa: hadits ini hasan, 3/430)

Saudariku, janganlah engkau sakiti suamimu dengan tidak mensyukuri apa yang telah diberikannya.

Ingatlah, suamimu hanya sementara waktu menemanimu di dunia, kemudian dia akan berpisah denganmu dan berkumpul dengan para bidadari surga yang murka kala engkau menyakitinya.

Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam menyatakan hal ini dalam sabdanya:

  “Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia kecuali berkata hurun `in (bidadari- bidadari surga) yang menjadi istri si suami di surga: “Jangan engkau menyakitinya qatalakillah , karena dia di sisimu hanyalah sebagai tamu dan sekedar singgah, hampir-hampir dia akan berpisah denganmu untuk bertemu dengan kami.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah no. 204. Berkata penulis Bahjatun Nazhirin: Sanad hadits ini shahih, 1/372) .

Wallahu ta`ala a`lam bishawwab.

Tanamkan dalam dirimu rasa malu ! wahai muslimah

Tak sedikit wanita di masa ini yang telah menanggalkan rasa malunya. Dari caranya berbusana, bergaul, dan gaya hidup ‘ modern’ lainnya, setidaknya memberikan gambaran fenomena dimaksud. Padahal, Islam telah menjadikan sifat malu ini sebagai sifat mulia, bahkan merupakan salah satu cabang keimanan. Sifat malu memang identik dengan wanita karena merekalah
yang dominan memilikinya. Namun sebenarnya sifat ini bukan hanya milik kaum hawa. Laki-laki pun disukai bila memiliki sifat malu. Bahkan sifat mulia ini termasuk salah satu cabang keimanan dan menjadi salah satu faktor kebahagiaan seorang insan. Karena dengan sifat ini, hanya kebaikanlah yang bakal diraupnya, sebagaimana beritanya tercatat dalam lembaran sunnah Rasul shallallahu ‘ alaihi wasallam: ٍﺮْﻴَﺨِﺑ َّﻻِﺇ ﻲﺗﺄﻳ َﻻ ُﺀﺎَﻴَﺤْﻟﺍ “Malu itu tidaklah datang kecuali dengan kebaikan.” Dalam satu riwayat: ُﻪُّﻠُﻛ ٌﺮْﻴَﺧ ُﺀﺎَﻴَﺤْﻟﺍ “Malu itu baik seluruhnya.” (Shahih, HR. Al- Bukhari dan Muslim) Saudariku muslimah… Adanya sifat malu pada diri seseorang akan mendorongnya kepada kebaikan dan mencegahnya dari kejelekan. Bila malu ini hilang dari diri seseorang, ia akan jatuh dalam perbuatan maksiat dan dosa, ketika sendirian maupun di hadapan kerabat dan tetangga. Karena itulah bersabda Rasul shallallahu ‘ alaihi wasallam: ِﻡَﻼَﻛ ْﻦِﻣ ُﺱﺎَّﻨﻟﺍ َﻙَﺭْﺩَﺃ ﺎﻤﻣ َّﻥِﺇ ﻰﻟﻭﻷﺍ ِﺓَّﻮُﺒُّﻨﻟﺍ : ِﺢَﺘْﺴَﺗ ْﻢَﻟ ﺍﺫﺇ َﺖْﺌِﺷ ﺎﻣ ْﻞَﻌْﻓﺎَﻓ “Termasuk yang diperoleh manusia dari ucapan kenabian yang pertama adalah: jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu.” (Shahih, HR. Al- Bukhari) Adalah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam sangat pemalu sehingga shahabat yang mulia Abu Sa’ id Al-Khudri radhiallahu ‘ anhu berkata: َﻥﺎَﻛ ُﻝْﻮُﺳَﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ُﻪﻠﻟﺍ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﻢَّﻠَﺳَﻭ ًﺀﺎَﻴَﺣ ُّﺪَﺷَﺃ ﻲِﻓ ِﺀﺍَﺭَﺬُﻌْﻟﺍ َﻦِﻣ ﺎَﻫِﺭْﺪِﺧ “Adalah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam sangat pemalu dibandingkan dengan gadis perawan yang berada dalam pingitannya.” (Shahih, HR. Al- Bukhari dan Muslim) Semoga Allah merahmati Abu Sa’ id Al-Khudri, di mana beliau membuat permisalan untuk kita dengan gadis perawan. Lalu apa gerangan yang akan beliau katakan bila melihat pada hari ini gadis perawan itu telah menanggalkan rasa malunya dan meninggalkan tempat pingitannya? Ia pergi keluar rumahnya dengan hanya ditemani sopir pribadi. Ia pergi ke pasar, berbincang-bincang akrab dengan para pedagang dan penjahit, dan sebagainya. Demikian kenyataan pahit yang ada. Sebagian kaum muslimin juga membiarkan putri-putri mereka bercampur baur dengan laki-laki di sekolah-sekolah dan di tempat kerja. Karena telah tercabut dari
mereka rasa malu dan sedikit ghirah (kecemburuan) yang tertinggal. Bila malu ini telah hilang dari diri seorang insan, ia akan melangkah dari satu kejelekan kepada yang lebih jelek lagi, dari satu kerendahan kepada yang lebih rendah lagi. Karena malu pada hakekatnya adalah menjauhkan diri dari hal-hal yang Allah ta`ala haramkan dan menjaga anggota tubuh agar tidak digunakan untuk bermaksiat kepada-Nya. Apakah pantas seseorang disifati malu sementara matanya digunakan untuk melihat perkara yang Allah haramkan? Apakah pantas dikatakan malu, bila lidah masih digunakan untuk ghibah, mengadu domba, dusta, mencerca, dan mengumpat? Apakah pantas digelari malu, bila nikmat berupa pendengaran digunakan untuk menikmati musik
dan nyanyian? Saudariku muslimah… wajib bagi kita untuk terus merasakan pengawasan Allah dan malu kepada-Nya di setiap waktu dan tempat. Kala dikau sendiri dalam kegelapan Sedang jiwa mengajakmu tuk berbuat nista Maka malulah dikau dari pandangan Al-Ilah Dan katakan pada jiwamu: Dzat yang menciptakan kegelapan ini senantiasa melihatku Seorang muslim yang jujur dalam keimanannya akan merasa malu kepada Allah jika melanggar kehormatan orang lain dan mengambil harta yang tidak halal baginya. Sementara orang yang telah dicabik tirai malu dari wajahnya, ia akan berani kepada Allah dan berani melanggar larangan-Nya. Saudariku muslimah… bila engkau telah mengetahui pentingnya sifat malu, maka berupayalah untuk menumbuhkannya di hati keluarga dan anak-anak. Karena ketika malu ini masih ada, maka akan terasa betapa besar dan jelek perbuatan yang mungkar, sementara kebaikan senantiasa mereka agungkan. Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam pernah melewati seseorang yang tengah mencela saudaranya karena sifat malunya, maka beliau bersabda: ِﻥﺎَﻤْﻳِﻹﺍ َﻦِﻣ َﺀﺎَﻴَﺤْﻟﺍ َّﻥِﺈَﻓ ُﻪْﻋَﺩ “Biarkan dia, karena malu itu termasuk keimanan.” (HR. Al- Jama`ah) Saudariku muslimah… perlu engkau ketahui bahwa Allah tidaklah malu dari kebenaran. Maka bukan termasuk sifat malu bila engkau diam ketika melihat kebatilan, engkau enggan menolong orang yang terzalimi, dan berat untuk mengingkari kemungkaran. Dan bukan pula termasuk sifat malu bila engkau tidak mau bertanya tentang perkara agama yang samar bagimu, karena Allah ta`ala berfirman: ﺍﻮﻟﺄﺴﻓ ْﻢُﺘْﻨُﻛ ْﻥِﺇ ِﺮْﻛِّﺬﻟﺍ َﻞْﻫَﺃ َﻥْﻮُﻤَﻠْﻌَﺗ َﻻ “Maka tanyakanlah kepada ahlu dzikr (orang yang memiliki ilmu), jika kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43) Ummu Sulaim radhiallahu ‘ anha pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam. Ia berkata ketika itu: “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran. Apakah wajib bagi wanita untuk mandi bila ia ihtilam (mimpi bersetubuh)?” Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam menjawab: ْﻢَﻌَﻧ , َﺀﺎَﻤْﻟﺍ ِﺕَﺃَﺭ ﺍﺫﺇ “Ya, jika ia melihat keluarnya air mani.” (Shahih, HR. Al-Bukhari) Apakah tidak sepantasnya Ummu Sulaim menjadi contoh bagi para wanita dalam bertanya tentang perkara agamanya? Terkadang pemahaman ini menjadi terbalik. Wanita malu untuk bertanya hal- hal yang berkaitan dengan agamanya, akan tetapi ia tidak malu untuk berdua-duaan dengan sopir dan berbincang- bincang dengan pedagang, ataupun memperlihatkan auratnya di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya. Ketahuilah wahai saudariku… tidak sepantasnya kita malu dari suatu
perkara yang bisa membawa kepada kebaikan. Anas bin Malik radhiallahu ‘ anhu menceritakan: “Datang seorang wanita menemui Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam guna menawarkan dirinya kepada beliau agar diperistri oleh
beliau. Wanita itu berkata: “Apakah engkau, wahai Rasulullah, punya keinginan terhadap diriku?” Seorang putri Anas, ketika mendengar kisah ini, berkomentar tentang wanita itu: “Alangkah sedikit rasa malunya!” Anas berkata: “Wanita itu lebih baik darimu, dia menawarkan diri kepada orang yang paling mulia dan paling baik (Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam) .” (Shahih, HR. Al-Bukhari secara makna) Semoga Allah senantiasa menganugerahkan kepada kita sifat malu yang membawa kita untuk selalu berbuat baik dan mencegah dari kejahatan dan kerendahan akhlak. Amin…! Wallahu ta`ala a`lam bish-shawab

adakah bid'ah hasanah ?

Banyak alasan yang dipakai orang-orang untuk ‘ melegalkan’ perbuatan bid’ ah.

Salah satunya, tidak semua bid’ ah itu jelek.
Menurut mereka, bid’ ah ada pula yang baik (hasanah).
Mereka pun memiliki dalil untuk mendukung pendapatnya tersebut.

Bagaimana kita menyikapinya ?

Di antara sebab-sebab tersebarnya bid’ ah di negeri kaum muslimin adalah adanya keyakinan pada kebanyakan kaum muslimin bahwa di dalam kebid’ ahan ini ada yang boleh diterima yang dinamakan bid’ ah hasanah.

Pandangan ini berangkat dari pemahaman bahwa bid’ ah itu ada dua: hasanah (baik) dan sayyiah (jelek).

Berikut ini kami paparkan apa yang diterangkan oleh Asy- Syaikh As-Suhaibani dalam kitab Al-Luma’ :

Bantahan terhadap Syubhat Pendapat yang Menyatakan Adanya Bid’ ah Hasanah Syubhat pertama: Pemahaman mereka yang salah terhadap hadits:

“Barangsiapa membuat satu sunnah (cara atau jalan) yang baik di dalam Islam maka dia mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun. Dan barangsiapa yang membuat satu sunnah yang buruk di dalam Islam, dia mendapat dosanya dan dosa orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” (Shahih, HR. Muslim no. 1017).

Bantahannya Pertama:

Sesungguhnya makna dari (barangsiapa yang membuat satu sunnah) adalah menetapkan suatu amalan yang sifatnya tanfidz (pelaksanaan), bukan amalan tasyri’ (penetapan hukum).

Maka yang dimaksud dalam hadits ini adalah amalan yang ada tuntunannya dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam .

Makna ini ditunjukkan pula oleh sebab keluarnya hadits tersebut, yaitu sedekah yang disyariatkan.

Kedua: Rasul yang mengatakan:

“Barangsiapa yang membuat satu sunnah (cara atau jalan) yang baik di dalam Islam.” Adalah juga yang mengatakan: “Semua bid’ ah itu adalah sesat.” Dan tidak mungkin muncul dari Ash-Shadiqul Mashduq (Rasul yang benar dan dibenarkan) ?
suatu perkataan yang mendustakan ucapannya yang lain.
Tidak mungkin pula perkataan beliau ?
saling bertentangan.
Dengan alasan ini, maka tidak boleh kita mengambil satu hadits dan mempertentangkannya dengan hadits yang lain.
Karena sesungguhnya ini adalah seperti perbuatan orang yang beriman kepada sebagian Al-Kitab tetapi kafir kepada sebagian yang lain.

Ketiga:
Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘ alaihi wassalam mengatakan (barangsiapa membuat sunnah) bukan mengatakan (barangsiapa yang membuat bid’ ah). Juga mengatakan (dalam Islam).
Sedangkan bid’ ah bukan dari ajaran Islam.

Beliau juga mengatakan (yang baik). Dan perbuatan bid’ ah itu bukanlah sesuatu yang hasanah (baik).
Tidak ada persamaan antara As Sunnah dan bid’ ah, karena sunnah itu adalah jalan yang diikuti, sedangkan bid’ ah adalah perkara baru yang diada-adakan di dalam agama.

Keempat: Tidak satupun kita dapatkan keterangan yang dinukil dari salafus shalih menyatakan bahwa mereka menafsirkan Sunnah Hasanah itu sebagai bid’ ah yang dibuat-buat sendiri oleh manusia.

Syubhat kedua:
Pemahaman mereka yang salah terhadap perkataan ‘ Umar bin Al- Khaththab :

“Sebaik-baik bid’ ah adalah ini (tarawih berjamaah)”.

Jawaban atas syubhat ini:

1. Anggaplah kita terima dalalah (pendalilan) ucapan beliau seperti yang mereka maukan – bahwa bid’ ah itu ada yang baik, namun sesungguhnya, kita kaum muslimin mempunyai satu pedoman;
kita tidak boleh mempertentangkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam dengan pendapat siapapun juga (selain beliau).

Tidak dibenarkan kita membenturkan sabda beliau dengan ucapan Abu Bakar, meskipun dia adalah orang terbaik di umat ini sesudah Nabi Muhammad Shallallahu ‘ alaihi wassalam atau dengan perkataan ‘ Umar bin Al- Khaththab ataupun yang lainnya.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ ala :

“(Kami mengutus mereka) sebagai rasul-rasul pemberi berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya para Rasul itu.” (An- Nisa`: 165)

Sehingga tidak tersisa lagi bagi manusia satu alasan pun untuk membantah Allah dengan telah diutusnya para rasul ini.

Merekalah yang telah menjelaskan urusan agama mereka serta apa yang diridhai oleh Allah.
Merekalah hujjah Allah terhadap kita manusia, bukan selain mereka.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)

Asy-Syaikh ‘ Abdurrahman As- Sa’ di (secara ringkas) mengatakan:

“Ayat ini mengajarkan kepada kita bagaimana beradab terhadap Allah dan Rasul-Nya, hendaknya kita berjalan (berbuat dan beramal) mengikuti perintah Allah dan Sunnah Rasul-Nya, jangan mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam segenap urusan.

Dan inilah tanda-tanda kebahagiaan dunia dan akhirat.” Ibnu ‘ Abbas mengatakan:

“Hampir-hampir kalian ditimpa hujan batu dari langit. Aku katakan: Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam bersabda demikian… demikian, (tapi) kalian mengatakan: Kata Abu Bakr dan ‘ Umar begini… begini… .” ‘ Umar bin ‘ Abdul ‘ Aziz mengatakan: “Tidak ada (hak) berpendapat bagi siapapun dengan (adanya) sunnah yang telah ditetapkan Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam .

” Al-Imam Asy-Syafi’ i mengatakan:

“Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam , tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena pendapat (pemikiran) seseorang.”

Al-Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan:

“Barangsiapa yang menolak hadits Nabi, berarti dia (sedang) berada di tepi jurang kehancuran.”

2. Bahwa ‘ Umar mengatakan kalimat ini tatkala beliau mengumpulkan kaum muslimin untuk shalat tarawih berjamaah. Padahal shalat tarawih berjamaah ini bukanlah suatu bid’ ah.

Bahkan perbuatan tersebut termasuk sunnah dengan dalil yang diriwayatkan oleh ‘ Aisyah,

bahwa Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam pada suatu malam shalat di masjid, kemudian orang-orang mengikuti beliau. Kemudian keesokan harinya jumlah mereka semakin banyak. Setelah itu malam berikutnya (ketiga atau keempat) mereka berkumpul (menunggu Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam ).
Namun beliau tidak keluar.
Pada pagi harinya, beliau bersabda: “Saya telah melihat apa yang kalian lakukan.
Dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar (shalat bersama kalian) kecuali kekhawatiran (kalau- kalau) nanti (shalat ini) diwajibkan atas kalian.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 1129)

Secara tegas beliau menyatakan di sini alasan mengapa beliau meninggalkan shalat tarawih berjamaah.

Maka tatkala ‘ Umar melihat alasan ini (kekhawatiran Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam ) sudah tidak ada lagi, beliau menghidupkan kembali shalat tarawih berjamaah ini.

Dengan demikian, jelaslah bahwa tindakan khalifah ‘ Umar ini mempunyai landasan yang kuat yaitu perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam sendiri.

Jadi jelas bahwa bid’ ah yang dimaksudkan oleh ‘ Umar bin Al- Khaththab adalah bid’ ah dalam pengertian secara bahasa, bukan
menurut istilah syariat.

Dan jelas pula tidak mungkin ‘ Umar berani melanggar atau menentang sabda Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam yang telah menyatakan bahwa: “Semua bid’ ah itu sesat.”

Syubhat ketiga: Pemahaman yang salah tentang atsar dari Ibnu Mas’ ud
“Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka dia adalah baik di sisi Allah.” (Dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad, 1/379)

Bantahan:
- Atsar ini tidak shahih jika di- rafa’ -kan (disandarkan) kepada Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam , tetapi ini adalah ucapan Ibnu Mas’ ud semata.

Dan diriwayatkan dari Anas tetapi sanadnya gugur, yang shahih adalah mauquf (hanya sampai) kepada Ibnu Mas’ ud .

- pada kata menunjukkan kepada sesuatu yang sudah diketahui.

Dan tentunya yang dimaksud dengan kata Al- Muslimun di sini adalah para shahabat.

Dan tidak ada satupun riwayat yang dinukil dari mereka yang menyatakan adanya bid’ ah yang hasanah. -

Kalaulah dianggap bahwa ini menunjukkan keumuman (maksudnya seluruh kaum muslimin), maka artinya adalah ijma’ . Dan ijma’ adalah hujjah.

Maka sanggupkah mereka menunjukkan adanya satu perbuatan bid’ ah yang disepakati berdasarkan ijma’ kaum muslimin bahwa perbuatan itu adalah bid’ ah hasanah?

Tentunya ini adalah perkara yang mustahil.

- Bagaimana mereka berani berdalil dengan ucapan beliau seperti ini, padahal beliau sendiri adalah orang yang paling keras kebenciannya terhadap bid’ ah, di mana beliau pernah mengatakan:

“Ikutilah! Dan jangan berbuat bid’ ah. Sungguh kalian telah dicukupkan. Dan sesungguhnya setiap bid’ ah itu adalah sesat. ”(Shahih, HR. Ad-Darimi 1/69).

Secara ringkas, semua keterangan di atas yang menunjukkan betapa buruknya bid’ ah.
Kami simpulkan dalam beberapa hal berikut ini,  yang kami nukil dari sebagian tulisan Asy-Syaikh Salim Al-Hilali:

Cukuplah semua akibat buruk yang dialami pelaku bid’ ah itu sebagai kejelekan di dunia dan akhirat, yakni:

1. Amalan mereka tertolak, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam :

“Barangsiapa yang membuat- buat sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami yang bukan berasal daripadanya, maka semua itu tertolak.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘ Aisyah)

2. Terhalangnya taubat mereka selama masih terus melakukan kebid’ ahan itu. Rasulullah bersabda:

“Allah menghalangi taubat setiap pelaku bid’ ah sampai dia meninggalkan bid’ ahnya.” (HR. Ibnu Abi Ashim dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam As Shahihah no. 1620 dan As Sunnah Ibnu Abi Ashim hal. 21)

3. Pelaku bid’ ah akan mendapat laknat karena Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam bersabda:

“Barangsiapa yang berbuat bid’ ah, atau melindungi kebid’ ahan, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘ Ali bin Abi Thalib)

. Akhirnya, wahai kaum muslimin, hendaklah kita menjauhi semua kebid’ ahan ini setelah mengetahui betapa besar bahayanya bid’ ah.

Selain kita menjauhi bid’ ah itu sendiri, juga kita diperintah untuk menjauhi para pelakunya apalagi juru-juru dakwah yang mengajak kepada pemikiran-pemikiran bid’ ah ini.

Seandainya ada yang mengatakan:

Bukankah mereka orang yang baik dan apa yang mereka sampaikan itu adalah baik juga?

Hendaklah kita ingat firman Allah Subhanahu wa Ta’ ala :

“Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri.” (Al-Anfal: 23)

Perlu pula kita ketahui bahwa bid’ ah itu lebih berbahaya dari kemaksiatan.
Seseorang yang bermaksiat dia akan merasa takut dan melakukannya dengan sembunyi-sembunyi atau melarikan diri setelah berbuat.

Sedangkan pelaku bid’ ah semakin tenggelam dalam kebid’ ahannya dia akan semakin merasa yakin bahwa dia di atas kebenaran.

Satu lagi, bid’ ah itu adalah posnya (pengantar kepada) kekufuran.

Wallahu a’ lam. Semoga Allah tetap membimbing kita mendapatkan hidayah dan taufik-Nya serta menyelamatkan diri dan keluarga kita dari bid’ ah ini.

Sumber Bacaan:
1 Al-Qaulul Mufid
(2), Asy-Syaikh Ibnu ‘ Utsaimin,
2 Al-Qaulul Mufid, Asy-Syaukani,
3 Al-I’ tisham
(1), Asy-Syathibi,
4 Al-Luma’ , As-Sahibani,
5 Al-Bid’ ah wa Atsaruhas Sayyi‘ , Salim Al- Hilali,
6 Al-Bid’ ah wa Atsaruha, ‘ Ali Al-Faqihi,
7 Riyadhul Jannah, Asy-Syaikh Muqbil,
8 Taisir Al- Karimir Rahman, As-Sa’

Senin, April 18, 2011

Mengenal Tentang Tabarruj?

Allah Subhanahu wa Ta’ ala menyinggung kata ini dalam firman-Nya dalam Surat Al-Ahzab: 33

Wanita adalah makhluk yang kerap menjadi korban komoditi dan mode. Beragam kosmetik, parfum bermerek, hingga model pakaian yang lagi tren, dengan mudah menjajah tubuh mereka.

Malangnya, dengan segala yang dikenakan itu, mereka tampil di jalan-jalan, mal-mal, atau ruang publik lainnya.

Alhasil, bukan pesona yang mereka tebar tapi justru fitnah.

Pernah dengar kata tabarruj?
Apa sih maknanya?

Allah Subhanahu wa Ta’ ala menyinggung kata ini dalam firmanNya

“Janganlah kalian (wahai istri- istri Nabi) bertabarruj sebagaimana tabarruj orang- orang jahiliah yang awal.” (Al- Ahzab: 33)

ُDan perempuan-perempuan tua yang terhenti dari haid dan mengandung, yang tidak memiliki keinginan untuk menikah lagi, maka tidak ada dosa bagi mereka untuk menanggalkan pakaian luar1 mereka dengan tidak bermaksud tabarruj dengan perhiasan yang dikenakan … .” (An-Nur: 60)

Az-Zajjaj Abu Ishaq Ibrahim bin As-Sirri2 rahimahullahu berkata:

“Tabarruj adalah menampakkan perhiasan dan segala yang dapat mengundang syahwat laki-laki.” Adapun jahiliah yang awal, ada yang mengatakan masanya dari mulai Nabi Adam ‘ alaihissalam sampai zaman Nuh ‘ alaihissalam.

Ada yang mengatakan dari zaman Nuh ‘ alaihissalam sampai zaman Idris ‘ alaihissalam.
Ada pula yang berpendapat dari zaman ‘ Isa ‘ alaihissalam sampai zaman Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam.

Pendapat yang lebih mendekati adalah dari zaman Isa ‘ alaihissalam sampai zamannya Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam, karena merekalah orang- orang jahiliah yang dikenal.

Disebut jahiliah yang awal, karena mereka telah ada lebih dahulu sebelum umat Muhammad Shallallahu ‘ alaihi wa sallam. (Ma’ anil Qur`an wa I’ rabuha, 4/171)

Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu juga menyebutkan hal ini dalam tafsirnya. (Jami’ ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an, 10/294) Mujahid rahimahullahu berkata:

“Seorang wanita berjalan di hadapan orang-orang, itulah yang dinamakan tabarruj jahiliah.”

Qatadah rahimahullahu menambahkan bahwa wanita yang bertabarruj adalah wanita yang keluar rumah dengan berjalan lenggak-lenggok dan genit. (Tafsir Ath-Thabari, 10/294)

Al-Imam Majdudin Abus Sa’ adat Al-Mubarak bin Muhammad Al- Jazari atau yang lebih dikenal dengan Ibnul Atsir rahimahullahu menjelaskan makna tabarruj dari hadits

“Nabiyullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam membenci sepuluh perangai (perbuatan)… (kemudian disebutkan satu persatunya, di antaranya adalah:) tabarruj dengan perhiasan tidak pada tempatnya.” (HR. Abu Dawud no. 4222. Namun hadits ini mungkar3 kata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Dha’ if Sunan Abi Dawud)

Ibnul Atsir rahimahullahu berkata:

“Tabarruj adalah menampakkan perhiasan kepada laki-laki yang bukan mahram (ajnabi).

Perbuatan seperti ini jelas tercela. Adapun menampakkan perhiasan kepada suami, tidaklah tercela. Inilah makna dari lafaz hadits, ‘ (menampakkan perhiasan) tidak pada tempatnya’ .” (An-Nihayah fi Gharibil Hadits)

Dengan keterangan di atas insya Allah menjadi jelas bagi kita apa yang dimaukan dengan tabarruj.
Hukumnya pun tampak bagi kita, yakni seorang muslimah dilarang keluar rumah dengan tabarruj.

Namun sangat disesalkan kenyataan yang kita dapatkan di
sekitar kita.
Berseliwerannya wanita dengan dandanan aduhai, ditambah wangi yang semerbak di jalan-jalan dan pusat keramaian, sudah dianggap sesuatu yang lazim di negeri ini.

Bahkan kita akan dianggap aneh ketika mengingkarinya.

Tidak usahlah kita membicarakan para wanita yang berpakaian “telanjang” di jalan-jalan, karena keadaan mereka sudah sangat parah, membuat orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ ala dan hari akhir bergidik dan terus beristighfar.

Cukup yang kita tuju para muslimah yang masih punya kesadaran berislam walaupun mungkin setipis kulit ari, hingga mereka menutup rambut mereka dengan kerudung dan membalut tubuh mereka dengan pakaian sampai mata kaki dengan berbagai model.

Sangat disesalkan para muslimah yang berkerudung ini ikut berlomba-lomba memperindah penampilannya di depan umum dengan model ‘ busana muslimah’ terkini dan kerudung ‘ gaul’ yang penuh pernak-pernik, pendek, dan transparan. Sehingga, berbusana yang sejatinya bertujuan menutup aurat dan keindahan seorang muslimah di hadapan lelaki selain mahramnya, malah justru menonjolkan keindahan.

Belum lagi wajah dan bibir yang dipoles warna-warni. Tangan yang dihiasi gelang, jari-jemari yang diperindah dengan cincin-cincin, dan parfum yang dioleskan ke tubuh dan pakaian.

Semuanya dipersembahkan di hadapan umum, seolah si wanita berkata,

“Lihatlah aku, pandangilah aku…” .

Wallahul musta’ an… Semua ini jelas merupakan perbuatan tabarruj yang dilarang dalam Al-Qur`anul Karim. Namun betapa jauhnya manusia dari bimbingan Al-Qur`an!!!

Allah Subhanahu wa Ta’ ala melarang para wanita bertabarruj. Namun mereka justru bangga melakukannya, mungkin karena ketidaktahuan atau memang tidak mau tahu.

Bisa jadi ada yang menganggap bahwa larangan tabarruj ini hanya ditujukan kepada istri-istri
Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam karena mereka yang menjadi sasaran pembicaraan dalam ayat 33 dari surat Al-Ahzab di atas.

Jawabannya sederhana saja. Bila wanita-wanita shalihah, wanita- wanita yang diberitakan nantinya akan tetap mendampingi Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam di surga, para Ummahatul Mukminin yang suci itu dilarang ber-tabarruj sementara mereka jauh sekali dari perbuatan demikian, apatah lagi wanita-wanita selain mereka yang hatinya dipenuhi syahwat dunia.

Siapakah yang lebih suci, istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam ataukah mereka?

Bila istri-istri Rasul Shallallahu ‘ alaihi wa sallam yang merupakan cerminan shalihah bagi wanita-wanita yang bertakwa itu diperintah untuk menjaga diri, jangan sampai jatuh ke dalam fitnah4 dan membuat fitnah, apalagi wanita-wanita yang lain…

Kalau ada yang menganggap larangan tabarruj itu hukumnya khusus bagi istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam karena mereka adalah pendamping manusia pilihan, kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ ala,
sementara wanita-wanita selain mereka tidak memiliki keistimewaan demikian,
maka kita tanyakan: Dari sisi mana penetapan hukum khusus tersebut, sementara alasan dilarangnya tabarruj karena akan menimbulkan fitnah bagi laki-laki?

5 Laki-laki yang memang diciptakan
punya ketertarikan terhadap wanita, tentunya akan tergoda melihat si wanita keluar dengan keindahannya. Bila tidak ada iman yang menahannya dari kenistaan, niscaya ia akan berpikir macam-macam yang pada akhirnya akan menyeretnya dan menyeret si wanita pada kekejian.

Bila tabarruj dilarang karena alasan seperti ini, lalu apa manfaatnya hukum larangan tersebut hanya khusus bagi para istri Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam?

Apakah bisa diterima kalau dikatakan para istri Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam dilarang tabarruj karena mereka wanita mulia yang harus dijaga, tidak boleh menimbulkan fitnah, sementara wanita selain mereka tidak perlu dijaga dan kalaupun bertabarruj tidak akan membuat fitnah???

Di manakah orang- orang yang katanya berakal itu meletakkan pikirannya?
Wallahul musta’ an.
Al-Imam Abu Bakr Ahmad bin ‘ Ali Ar-Razi Al-Jashshash rahimahullahu menyatakan bahwa beberapa perkara yang disebutkan dalam ayat ini (Al- Ahzab: 33) dan ayat-ayat sebelumnya merupakan pengajaran adab dari Allah Subhanahu wa Ta’ ala terhadap istri-istri Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam sebagai penjagaan terhadap mereka dan seluruh wanitanya kaum mukminin juga dituju oleh ayat-ayat ini7. (Ahkamul Qur`an, 3/471)

Surat An-Nur ayat 60 juga menunjukkan bahwa larangan tabarruj tidak hanya khusus bagi
ummahatul mukminin, namun berlaku umum bagi seluruh mukminah.

Bila wanita yang sudah tua dan sudah mengalami menopause saja dilarang tabarruj sebagaimana dalam ayat:

“Dengan tidak bermaksud tabarruj dengan perhiasan yang dikenakan…” (An-Nur: 60)

tentunya larangan kepada wanita yang masih muda lebih utama lagi. Wanita yang keluar rumah dengan tabarruj hendaknya berhati-hati dengan ancaman yang dinyatakan

Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam dalam sabdanya berikut ini:

  “Ada dua golongan dari penduduk neraka yang keduanya
belum pernah aku lihat, pertama: satu kaum yang memiliki cemeti- cemeti seperti ekor sapi yang dengannya mereka memukul manusia. Kedua: para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka menyimpangkan lagi menyelewengkan orang dari kebenaran. Kepala-kepala mereka seperti punuk unta yang miring/condong. Mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium wanginya surga padahal wanginya surga sudah tercium dari jarak perjalanan sejauh ini dan itu.” (HR. Muslim no. 5547)

Kata Asy-Syaikh Ibnu ‘ Utsaimin rahimahullahu: “Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam mencirikan wanita ahlun nar itu dengan  maksudnya mereka mengenakan pakaian, akan tetapi mereka itu  “telanjang”, karena pakaian yang mereka kenakan tidaklah menutupi aurat mereka dengan semestinya.

Bisa jadi karena pakaian itu tipis, ketat, atau pendek. Mereka itu  menyimpang dari jalan yang benar. menyimpangkan orang lain dari kebenaran karena fitnah yang dimunculkan dari mereka. َ“rambut/kepala mereka seperti punuk unta yang miring”, karena rambut mereka ditinggikan hingga menyerupai punuk unta yang miring.” (Taujihat lil Mu`minat Haulat Tabarruj was Sufur, hal. 18)

Kedua golongan di atas belum ada di zaman Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam, namun sekarang telah kita dapatkan.

Hal ini termasuk mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam, di mana apa yang beliau kabarkan pasti terjadi. (Al- Minhaj, 14/336)

Yang perlu diingat, tidaklah satu dosa diancam dengan keras melainkan menunjukkan bahwa dosa tersebut termasuk dosa besar.

Sementara wanita yang keluar rumah dengan berpakaian namun hakikatnya telanjang, yang bertabarruj, berjalan berlenggak lenggok di hadapan kaum lelaki hingga menjatuhkan mereka ke dalam fitnah, dinyatakan tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium bau surga.

Nah, tersisalah pertanyaan: apakah dosa yang diancam seperti ini bisa dianggap remeh?

Maka berhati-hatilah!!!
catatan kaki:

1 Maksudnya pakaian luar yang kalau dibuka tidak menampakkan aurat.

2 Wafat tahun 311 H.

3 Hadits mungkar termasuk dalam hadits yang lemah.

4 Yang dimaksud dengan fitnah di sini adalah sesuatu yang membawa kepada ujian, bala, dan
adzab.

5 Terlebih lagi ada hadits yang berbunyi:
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnahnya wanita.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

6 Wafat tahun 370 H.

7 Yakni ayat ini tidak berlaku secara khusus bagi istri-istri Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam namun juga berlaku bagi wanita muslimah lainnya.
Walaupun konteks pembicaraannya memang ditujukan kepada istri- istri Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam, namun hukum yang disebutkan di dalam ayat berlaku umum.

adab bicara wanita muslimah

Berhati-hatilah dari terlalu banyak berceloteh dan terlalu banyak berbicara, Allah Ta’ ala berfirman: ” ﻻ ﺮﻴﺧ ﻲﻓ ﺮﻴﺜﻛ ﻦﻣ ﻢﻫﺍﻮﺠﻧ ﻻﺇ ﻦﻣ ﺮﻣﺃ ﺔﻗﺪﺼﺑ ﻭﺃ ﻑﻭﺮﻌﻣ ﻭﺃ ﺡﻼﺻﺇ ﻦﻴﺑ ﺱﺎﻨﻟﺍ ” ) ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ : ﺔﻳﻵﺍ 114 ). Artinya: “Dan tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau
berbuat ma’ ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia “. (An nisa:114) Dan ketahuilah wahai saudariku,semoga Allah ta’ ala merahmatimu dan menunjukimu kepada jalan kebaikan, bahwa disana ada yang senantiasa mengamati dan mencatat perkataanmu. “ ﻦﻋ ﻦﻴﻤﻴﻟﺍ ﻦﻋﻭ ﻝﺎﻤﺸﻟﺍ ﺪﻴﻌﻗ . ﺎﻣ ﻆﻔﻠﻳ ﻦﻣ ٍﻝﻮﻗ ﻻﺇ ﻪﻳﺪﻟ ﺐﻴﻗﺭ ﺪﻴﺘﻋ ” ) ﻕ : ﺔﻳﻵﺍ 17 - 18 ) Artinya: “Seorang duduk disebelah kanan,dan yang lain duduk disebelah kiri.tiada satu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (Qaaf:17-18). Maka jadikanlah ucapanmu itu menjadi perkataan yang ringkas, jelas yang tidak bertele-tele yang dengannya akan memperpanjang pembicaraan. 1) Bacalah Al qur’ an karim dan bersemangatlah untuk menjadikan itu sebagai wirid keseharianmu, dan senantiasalah berusaha untuk menghafalkannya sesuai kesanggupanmu agar engkau bisa mendapatkan pahala yang besar dihari kiamat nanti. ﻦﻋ ﺪﺒﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻦﺑ ﻭﺮﻤﻋ ﻲﺿﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﺎﻤﻬﻨﻋ - ﻦﻋ ﻲﺒﻨﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺳﻭ ﻝﺎﻗ : ” ﻝﺎﻘﻳ ﺐﺣﺎﺼﻟ ﻥﺁﺮﻘﻟﺍ : ﺃﺮﻗﺍ ﻖﺗﺭﺍﻭ ﻞﺗﺭﻭ ﺎﻤﻛ ﺖﻨﻛ ﻞﺗﺮﺗ ﻲﻓ ﺎﻴﻧﺪﻟﺍ ﻥﺈﻓ ﻚﺘﻟﺰﻨﻣ ﺪﻨﻋ ﺮﺧﺁ ﺔﻳﺁ ﺎﻫﺅﺮﻘﺗ ﻮﺑﺃ ﻩﺍﻭﺭ ﻱﺬﻣﺮﺘﻟﺍﻭ ﺩﻭﺍﺩ Dari abdullah bin ‘ umar radiyallohu ‘ anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, beliau bersabda: “dikatakan pada orang yang senang membaca alqur’ an: bacalah dengan tartil sebagaimana engkau dulu sewaktu di dunia membacanya dengan tartil, karena sesungguhnya kedudukanmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca. (HR.abu daud dan attirmidzi) 2) Tidaklah terpuji jika engkau selalu menyampaikan setiap apa yang engkau dengarkan, karena kebiasaan ini akan menjatuhkan dirimu kedalam kedustaan. ﻦﻋ ﻲﺑﺃ ﺓﺮﻳﺮﻫ ﻲﺿﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻨﻋ ﻥﺃ ﻲﺒﻨﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻝﺎﻗ ﻢﻠﺳﻭ : ” ًﺎﺑﺬﻛ ﺀﺮﻤﻟﺎﺑ ﻰﻔﻛ ﻊﻤﺳ ﺎﻣ ﻞﻜﺑ ﺙﺪﺤﺘﻳ ﻥﺃ “ Dari Abu hurairah radiallahu ‘ anhu,sesungguhnya Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam bersabda: “Cukuplah seseorang itu dikatakan sebagai pendusta ketika dia menyampaikan setiap apa yang dia dengarkan.” (HR.Muslim dan Abu Dawud) 3) jauhilah dari sikap menyombongkan diri (berhias diri) dengan sesuatu yang tidak ada pada dirimu, dengan tujuan membanggakan diri dihadapan manusia. ﻦﻋ ﺔﺸﺋﺎﻋ – ﻲﺿﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﺎﻬﻨﻋ - ﻥﺃ ﺓﺃﺮﻣﺍ ﺖﻟﺎﻗ : ﺎﻳ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ ، ﻝﻮﻗﺃ ﻥﺇ ﻲﺟﻭﺯ ﻲﻧﺎﻄﻋﺃ ﺎﻣ ﻢﻟ ؟ﻲﻨﻄﻌﻳ ﻝﺎﻗ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺳﻭ : ” ﻊﺒﺸﺘﻤﻟﺍ ﺎﻤﺑ ﻢﻟ ﻂﻌﻳ ﺭﻭﺯ ﻲﺑﻮﺛ ﺲﺑﻼﻛ “. Dari aisyah radiyallohu ‘ anha, ada seorang wanita yang mengatakan:wahai Rasulullah, aku
mengatakan bahwa suamiku memberikan sesuatu kepadaku yang sebenarnya tidak diberikannya.berkata Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam,: orang yang merasa memiliki sesuatu yang ia tidak diberi, seperti orang yang memakai dua pakaian kedustaan.” (muttafaq alaihi) 4) Sesungguhnya dzikrullah memberikan pengaruh yang kuat didalam kehidupan ruh seorang muslim, kejiwaannya, jasmaninya dan kehidupan masyarakatnya. maka bersemangatlah wahai saudariku muslimah untuk senantiasa berdzikir kepada Allah ta’ ala, disetiap waktu dan keadaanmu. Allah ta’ ala memuji hamba-hambanya yang mukhlis dalam firman-Nya: ” ﻦﻳﺬﻟﺍ ﻥﻭﺮﻛﺬﻳ ﻪﻠﻟﺍ ًﺎﻣﺎﻴﻗ ًﺍﺩﻮﻌﻗﻭ ﻰﻠﻋﻭ ﻢﻬﺑﻮﻨﺟ … ” ) ﻥﺍﺮﻤﻋ ﻝﺁ : ﺔﻳﻵﺍ 191 ). Artinya: “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring…” (Ali imran:191). 5) Jika engkau hendak berbicara,maka jauhilah sifat merasa kagum dengan diri sendiri, sok fasih dan terlalu memaksakan diri dalam bertutur kata, sebab ini merupakan sifat yang sangat dibenci Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, dimana Beliau bersabda: ” ﻥﺇﻭ ﻢﻜﻀﻐﺑﺃ ّﻲﻟﺇ ﻢﻛﺪﻌﺑﺃﻭ ﻲﻨﻣ ًﺎﺴﻠﺠﻣ ﻡﻮﻳ ﺔﻣﺎﻴﻘﻟﺍ ﻥﻭﺭﺎﺛﺮﺜﻟﺍ ﻥﻮﻗﺪﺸﺘﻤﻟﺍﻭ ﻥﻮﻘﻬﻴﻔﺘﻤﻟﺍﻭ “. “sesungguhnya orang yang paling aku benci diantara kalian dan yang paling jauh majelisnya dariku pada hari kiamat : orang yang berlebihan dalam berbicara, sok fasih dengan ucapannya dan merasa ta’ ajjub terhadap ucapannya.” (HR.Tirmidzi,Ibnu Hibban dan yang lainnya dari hadits Abu Tsa’ labah Al-Khusyani radhiallahu anhu) 6) Jauhilah dari terlalu banyak tertawa,terlalu banyak berbicara
dan berceloteh.jadikanlah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, sebagai teladan bagimu, dimana beliau lebih banyak diam dan banyak berfikir beliau Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, menjauhkan diri dari terlalu banyak tertawa dan menyibukkan diri dengannya.bahkan jadikanlah setiap apa yang engkau ucapkan itu adalah perkataan yang mengandung kebaikan, dan jika tidak, maka diam itu lebih utama bagimu. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, bersabda: ” ﻦﻣ ﻡﻮﻴﻟﺍﻭ ﻪﻠﻟﺎﺑ ﻦﻣﺆﻳ ﻥﺎﻛ ﺮﺧﻵﺍ ﻞﻘﻴﻠﻓ ًﺍﺮﻴﺧ ﻭﺃ ﺖﻤﺼﻴﻟ “. ” Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,maka hendaknya dia berkata dengan perkataan yang baik,atau hendaknya dia diam.” (muttafaq alaihi dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu) 8 ) jangan kalian memotong pembicaraan seseorang yang sedang berbicara atau membantahnya, atau meremehkan ucapannya. Bahkan jadilah pendengar yang baik dan itu lebih beradab bagimu, dan ketika harus membantahnya, maka jadikanlah bantahanmu dengan cara yang paling baik sebagai syi’ ar kepribadianmu. 9) berhati-hatilah dari suka mengolok-olok terhadap cara berbicara orang lain, seperti orang yang terbata-bata dalam berbicara atau seseorang yang kesulitan berbicara . Alah Ta’ ala berfirman: ” ﺎﻳ ﺎﻬﻳﺃ ﻦﻳﺬﻟﺍ ﺍﻮﻨﻣﺁ ﻻ ﺮﺨﺴﻳ ﻡﻮﻗ ﻡﻮﻗ ﻦﻣ ﻥﺃ ﻰﺴﻋ ﺍﻮﻧﻮﻜﻳ ًﺍﺮﻴﺧ ﻢﻬﻨﻣ ﻻﻭ ﺀﺎﺴﻧ ﻦﻣ ًﺍﺮﻴﺧ ﻦﻜﻳ ﻥﺃ ﻰﺴﻋ ﺀﺎﺴﻧ ﻦﻬﻨﻣ ” ) ﺕﺍﺮﺠﺤﻟﺍ : ﺔﻳﻵﺍ 11 ). “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki- laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.” (QS.Al-Hujurat:11) 10) jika engkau mendengarkan bacaan Alqur’ an, maka berhentilah dari berbicara, apapun yang engkau bicarakan, karena itu merupakan adab terhadap kalamullah dan juga sesuai dengan perintah-Nya, didalam firman-Nya: : ” ﺍﺫﺇﻭ ﺀﻯﺮﻗ ﻥﺁﺮﻘﻟﺍ ﺍﻮﻌﻤﺘﺳﺎﻓ ﻪﻟ ﺍﻮﺘﺼﻧﺃﻭ ﻢﻜﻠﻌﻟ ﻥﻮﻤﺣﺮﺗ ” ) ﻑﺍﺮﻋﻷﺍ : ﺔﻳﻵﺍ 204 ). Artinya: “dan apabila dibacakan Alqur’ an,maka dengarkanlah dengan baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kalian diberi rahmat“. Qs.al a’ raf :204 11) bertakwalah kepada Allah wahai saudariku muslimah,bersihkanlah majelismu dari ghibah dan namimah (adu domba) sebagaimana yang Allah ‘ azza wajalla perintahkan kepadamu untuk menjauhinya. bersemangatlah engkau untuk menjadikan didalam majelismu itu adalah perkataan-perkataan yang baik,dalam rangka menasehati,dan petunjuk kepada kebaikan. perkataan itu adalah sebuah perkara yang besar, berapa banyak dari perkataan seseorang yang dapat menyebabkan kemarahan dari Allah ‘ azza wajalla dan menjatuhkan pelakunya kedalam jurang neraka. Didalam hadits Mu’ adz radhiallahu anhu tatkala Beliau bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam: apakah kami akan disiksa dengan apa yang kami ucapkan? Maka jawab Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: ” ﻚﺘﻠﻜﺛ ﻚﻣﺃ ﺎﻳ ﺫﺎﻌﻣ . ﻞﻫﻭ ّﺐﻜﻳ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﻲﻓ ﺭﺎﻨﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﻢﻬﻫﻮﺟﻭ ﻻﺇ ُﺪﺋﺎﺼﺣ ﻢﻬﺘﻨﺴﻟﺃ ” ) ﻱﺬﻣﺮﺘﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ ). “engkau telah keliru wahai Mu’ adz, tidaklah manusia dilemparkan ke Neraka diatas wajah-wajah mereka melainkan disebabkan oleh ucapan-ucapan mereka.” (HR.Tirmidzi,An-Nasaai dan Ibnu Majah) 12) berhati-hatilah -semoga Allah menjagamu- dari menghadiri majelis yang buruk dan berbaur dengan para pelakunya, dan bersegeralah-semoga Allah menjagamu- menuju majelis yang penuh dengan keutamaan, kebaikan dan keberuntungan. 13) jika engkau duduk sendiri dalam suatu majelis, atau bersama dengan sebagian saudarimu, maka senantiasalah untuk berdzikir mengingat Allah ‘ azza wajalla dalam setiap keadaanmu sehingga engkau kembali dalam keadaan mendapatkan kebaikan dan mendapatkan pahala. Allah ‘ azza wajalla berfirman: ” ﻦﻳﺬﻟﺍ ﻥﻭﺮﻛﺬﻳ ﻪﻠﻟﺍ ًﺎﻣﺎﻴﻗ ًﺍﺩﻮﻌﻗﻭ ﻰﻠﻋﻭ ﻢﻬﺑﻮﻨﺟ “ . ) ﻥﺍﺮﻤﻋ ﻝﺁ : ﺔﻳﻵﺍ 191 ) Artinya: “(yaitu) orang – orang yang mengingat Allah sambil berdiri,atau duduk,atau dalam keadaan berbaring” (QS..ali ‘ imran :191) 14) jika engkau hendak berdiri keluar dari majelis, maka ingatlah untuk selalu mengucapkan: ” ﻚﻧﺎﺤﺒﺳ ﻙﺪﻤﺤﺑﻭ ﻪﻠﻟﺍ ﺪﻬﺷﺃ ﻥﺃ ﻻ ﻪﻟﺇ ﻻﺇ ﺖﻧﺃ ، ﻚﻴﻟﺇ ﺏﻮﺗﺃﻭ ﻙﺮﻔﻐﺘﺳﺃ “. “Maha suci Engkau ya Allah dan bagimu segala pujian,aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak untuk disembah kecuali Engkau, aku memohon ampun kepada-Mu, dan aku bertaubat kepada-Mu“. Sehingga diampuni bagimu segala kesalahanmu di dalam majelis tersebut.

menyentuh wanita,batalkah wudhu ??

1. Menyentuh wanita Ahlul ilmi terbagi dalam dua pendapat dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ ala: َﺀﺂﺴِّﻨﻟﺍ ُﻢُﺘْﺴَﻣَﻻ ْﻭَﺃ “Atau kalian menyentuh wanita …” (An-Nisa: 43) Pertama: sebagian mereka menafsirkan “menyentuh” dengan jima’ (senggama), seperti pendapat Ibnu ‘ Abbas, ‘ Ali, ‘ Ubay bin Ka’ b, Mujahid, Thawus, Al- Hasan, ‘ Ubaid bin ‘ Umair, Sa’ id bin Jubair, Asy-Sya’ bi, Qatadah dan Muqatil bin Hayyan. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227) Kedua: ahlul ilmi yang lain berpendapat “menyentuh” di sini lebih luas/ umum daripada jima’ sehingga termasuk di dalamnya menyentuh dengan tangan, mencium, bersenggolan, dan semisalnya. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Mas’ ud dan Ibnu ‘ Umar dari kalangan shahabat. Abu ‘ Utsman An-Nahdi, Abu ‘ Ubaidah bin Abdillah bin Mas’ ud, ‘ Amir Asy- Sya’ bi, Tsabit ibnul Hajjaj, Ibrahim An-Nakha’ i dan Zaid bin Aslam. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227) Adapun pendapat pertama, bila seseorang menyentuh wanita dengan tangannya atau dengan seluruh tubuhnya selain jima’ maka tidaklah membatalkan wudhu. Sedangkan pendapat kedua menunjukkan sekedar menyentuh wanita, walaupun tidak sampai jima’ , membatalkan wudhu. Dari dua penafsiran di atas yang rajih adalah penafsiran yang pertama bahwa yang dimaksud dengan menyentuh dalam ayat di atas adalah jima’ sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam Al- Qur’ an sendiri1 dan juga dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa semata- mata bersentuhan dengan wanita (tanpa jima’) tidaklah membatalkan wudhu. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Yang dimaukan (oleh ayat Allah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam ini) adalah jima’ , sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘ Abbas radhiallahu ‘ anhuma dan selainnya dari kalangan Arab. Dan
diriwayatkan hal ini dari ‘ Ali radhiallahu ‘ anhu dan selainnya. Inilah yang shahih tentang makna
ayat ini. Sementara menyentuh wanita (bukan jima’) sama sekali tidak ada dalilnya dari Al-Qur’ an maupun As-Sunnah yang menunjukkan bahwa hal itu membatalkan wudhu. Adalah kaum muslimin senantiasa bersentuhan dengan istri-istri mereka namun tidak ada seorang muslim pun yang menukilkan dari Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan kepada seseorang untuk berwudhu karena menyentuh para wanita (istri).” Beliau juga berkata: “Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘ Umar dan Al-Hasan bahwa menyentuh di sini dengan tangan dan ini merupakan pendapat sekelompok
salaf. Adapun apabila menyentuh wanita tersebut dengan syahwat, tidaklah wajib berwudhu karenanya, namun apabila dia berwudhu, perkara tersebut baik dan disenangi (yang tujuannya) untuk memadamkan syahwat sebagaimana disenangi berwudhu dari marah untuk memadamkannya. Adapun menyentuh wanita tanpa syahwat maka aku sama sekali tidak mengetahui adanya pendapat dari salaf bahwa hal itu membatalkan wudhu.” (Majmu’ Al-Fatawa, 21/410) Asy-Syaikh Ibnu ‘ Utsaimin rahimahullah berkata: “Pendapat yang rajih adalah menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu
secara mutlak, sama saja baik dengan syahwat atau tidak dengan syahwat kecuali bila keluar sesuatu darinya (madzi atau mani). Bila yang keluar mani maka wajib baginya mandi sementara kalau yang keluar madzi maka wajib baginya mencuci dzakar-nya dan berwudhu.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail, 4/201, 202) Dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan bahwa bersentuhan dengan wanita (selain jima’) tidaklah membatalkan wudhu di antaranya: Aisyah radhiallahu ‘ anha berkata: ُﺖْﻨُﻛ ُﻡَﺎﻧَﺃ َﻦْﻴَﺑ ﻱَﺪَﻳ ِﻝْﻮُﺳَﺭ ِﻪﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ُﻪﻠﻟﺍ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﻢَّﻠَﺳَﻭ َﻱَﻼْﺟِﺭَﻭ ﻲِﻓ ِﻪِﺘَﻠْﺒِﻗ ، ﺍَﺫِﺈَﻓ َﺪَﺠَﺳ ﻲِﻧَﺰَﻤَﻏ ُﺖْﻀَﺒَﻘَﻓ َّﻲَﻠْﺟِﺭ ، ﺎَﻬُﺘْﻄَﺴَﺑ َﻡﺎَﻗ ﺍَﺫِﺈَﻓ “Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam dalam keadaan kedua kaki di arah kiblat beliau (ketika itu beliau sedang shalat, pen) maka bila beliau sujud, beliau menyentuhku (dengan ujung jarinya) hingga aku pun menekuk kedua kakiku. Bila beliau berdiri, aku kembali membentangkan kedua kakiku.” (HR. Al-Bukhari no. 382 dan Muslim no. 512) Aisyah radhiallahu ‘ anha juga mengabarkan: ُﺕْﺪَﻘَﻓ َﻝْﻮُﺳَﺭ ِﻪﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ُﻪﻠﻟﺍ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﻢَّﻠَﺳَﻭ ًﺔَﻠْﻴَﻟ َﻦِﻣ ِﺵﺍَﺮِﻔْﻟﺍ ُﻪُﺘْﺴَﻤَﺘْﻠَﻓ ْﺖَﻌَﻗَﻮَﻓ ﻱِﺪَﻳ ﻰَﻠَﻋ ِﻦْﻄَﺑ ِﻪْﻴَﻣَﺪَﻗ َﻮُﻫَﻭ ﻲِﻓ ِﺪِﺠْﺴَﻤْﻟﺍ ﺎَﻤُﻫَﻭ ِﻥﺎَﺘَﺑﻮُﺼْﻨَﻣ َﻮُﻫَﻭ ُﻝْﻮُﻘَﻳ : ْﻦِﻣ َﻙﺎَﺿِﺮِﺑ ُﺫْﻮُﻋَﺃ ﻲِّﻧِﺇ َّﻢُﻬّﻠﻟﺍ َﻚِﻄَﺨَﺳ َﻚِﺗﺎَﻓﺎَﻌُﻤِﺑَﻭ ْﻦِﻣ َﻚِﺘَﺑْﻮُﻘُﻋ ، ُﺫْﻮُﻋَﺃَﻭ َﻚِﺑ َﻚْﻨِﻣ َﻻ ﻲِﺼْﺣُﺃ ًﺀﺎَﻨَﺛ َﻚِﺴْﻔَﻧ ﻰَﻠَﻋ َﺖْﻴَﻨْﺛَﺃ ﺎَﻤَﻛ َﺖْﻧَﺃ َﻚْﻴَﻠَﻋ “Suatu malam, aku pernah kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam dari tempat tidurku. Maka aku pun meraba- raba mencari beliau hingga kedua
tanganku menyentuh bagian dalam kedua telapak kaki beliau yang sedang ditegakkan. Ketika itu beliau di tempat shalatnya (dalam keadaan sujud) dan sedang berdoa: Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu dan dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari- Mu, aku tidak dapat menghitung pujian atas-Mu, Engkau sebagaimana yang Engkau puji terhadap diri-Mu.” (HR. Muslim no. 486) 2. Muntah Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa muntah mengharuskan seseorang untuk berwudhu dengan dalil hadits Ma’ dan bin Abi Thalhah dari Abu Ad-Darda bahwasanya Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam pernah muntah, lalu beliau berbuka dan berwudhu. Kata Ma’ dan: “Aku berjumpa dengan Tsauban di masjid Damaskus, maka aku sebutkan hal itu padanya, Tsauban pun berkata: “Abu Ad-Darda benar, akulah yang menuangkan air wudhu beliau Shallallahu ‘ alaihi wa sallam.” (HR. At-Tirmidzi no. 87) Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Al-Baihaqi mengatakan bahwa hadits ini diperselisihkan (mukhtalaf) pada sanadnya. Kalaupun hadits ini shahih maka dibawa pemahamannya pada muntah yang sengaja.” Di tempat lain Al- Baihaqi berkata: “Isnad hadits ini mudhtharib (goncang), tidak bisa ditegakkan hujjah dengannya.” (Nailul Authar, 1/268). Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah di dalam ta’ liq beliau terhadap kitab Ar-Raudhatun Nadiyyah mengatakan: “Hadits- hadits yang diriwayatkan dalam masalah batalnya wudhu karena muntah adalah lemah semuanya, tidak dapat dijadikan hujjah.” (ta’ liq beliau dinukil dari Ta’ liqat Ar-Radhiyyah, 1/174)2 Ulama berselisih pendapat dalam masalah muntah ini: - Di antara mereka ada yang berpendapat muntah itu membatalkan wudhu seperti Abu Hanifah dan pengikut mazhab Abu Hanifah, dengan syarat muntah itu berasal dari dalam perut, memenuhi mulut dan keluar sekaligus. (Nailul Authar, 1/268) Al-Imam At-Tirmidzi t berkata: “Sebagian ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam dan selain mereka dari kalangan tabi’ in berpandangan untuk berwudhu disebabkan muntah dan mimisan. Demikian pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad dan Ishaq. Sementara sebagian ahlul ilmi yang lainnya berpendapat tidak ada keharusan berwudhu karena muntah dan mimisan, demikian pendapat Malik dan Asy-Syafi’ i. (Sunan At-Tirmidzi, 1/59) - Adapun ulama yang lain seperti 7 imam yang faqih dari Madinah, Asy-Syafi‘ i dan orang-orang yang mengikuti mazhab Asy- Syafi’ i, juga satu riwayat dari Al- Imam Ahmad menunjukkan bahwa keluar sesuatu dari tubuh selain qubul dan dubur tidaklah membatalkan wudhu, baik sedikit ataupun banyak, kecuali bila yang keluar dari tubuh itu kencing ataupun tahi. (Nailul Authar, 1/268, Asy-Syarhul Mumti’ , 1/234). Inilah pendapat yang rajih dan menenangkan bagi kami. Mereka berdalil sebagai berikut: 1. Hukum asal perkara ini tidaklah membatalkan wudhu. Sehingga barangsiapa yang menyatakan suatu perkara menyelisihi hukum asalnya maka hendaklah ia membawakan dalil. 2. Sucinya orang yang berwudhu dinyatakan dengan pasti oleh kandungan dalil syar‘ i, maka apa yang telah pasti tidaklah mungkin mengangkat kesuciannya (menyatakan hilang/ membatalkannya) kecuali dengan dalil syar‘ i. 3. Hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama telah dilemahkan oleh mayoritas ulama. 4. Apa yang ditunjukkan dalam hadits ini adalah semata-mata fi‘ il (perbuatan) sedangkan yang semata-mata fi‘ il tidaklah menunjukkan suatu yang wajib. (Asy-Syarhul Mumti‘ , 1/224-225) Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Tidaklah batal wudhu dengan keluarnya sesuatu dari selain dua jalan (qubul dan dubur) seperti pendarahan, darah yang keluar karena berbekam, muntah dan mimisan, sama saja baik keluarnya banyak ataupun sedikit.3 Demikian pendapat Ibnu ‘ Abbas, Ibnu ‘ Umar, Ibnu Abi Aufa, Jabir, Abu Hurairah, ‘ Aisyah, Ibnul Musayyab, Salim bin Abdillah bin ‘ Umar, Al-Qasim bin Muhammad, Thawus, ‘ Atha, Mak-hul, Rabi’ ah, Malik, Abu Tsaur dan Dawud. Al- Baghawi berkata: “Ini merupakan pendapat mayoritas shahabat dan tabi`in.” (Al-Majmu’ , 2/63) Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ atur Rasail Al-Kubra, beliau berpendapat hukumnya di sini adalah sunnah sebagaimana dinukilkan oleh Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah. Demikian juga beliau menyatakan sunnahnya berwudhu setelah muntah. (Tamamul Minnah, hal. 111, 112) Sementara hadits ‘ Aisyah radhiallahu ‘ anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam bersabda: ْﻦَﻣ َﻪَﺑﺎَﺻَﺃ ٌﺀْﻲَﻗ ْﻭَﺃ ٌﻑﺎَﻋُﺭ ْﻭَﺃ ْﻑِﺮَﺼْﻨَﻴْﻠَﻓ ٌﻱِﺬَﻣ ْﻭَﺃ ٌﺲَﻠَﻗ ، ْﺄَّﺿَﻮَﺘَﻴْﻠَﻓ … “Siapa yang ditimpa (mengeluarkan) muntah, mimisan, qalas4 atau madzi (di dalam shalatnya) hendaklah ia berpaling
dari shalatnya lalu berwudhu.” (HR. Ibnu Majah no. 1221) Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Hadits ini dinyatakan cacat oleh sebagian Ahlul Hadits karena setiap periwayatan Isma’ il ibnu ‘ Iyasy dari orang-orang Hijaz semuanya dinilai lemah. Sementara dalam hadits ini Isma’ il meriwayatkan dari Ibnu Juraij yang dia itu orang Hijaz. Juga karena para perawi yang meriwayatkan dari Ibnu Juraij – yang mereka itu adalah para tokoh penghapal– meriwayatkannya secara mursal (menyelisihi periwayatan Isma’ il yang meriwayatkannya secara ittishal (bersambung) – pen.), sebagaimana hal ini dikatakan oleh penulis kitab Muntaqal Akhbar. Terlebih lagi riwayat yang mursal ini dinyatakan shahih oleh Adz-Dzuhli, Ad- Daruquthni dalam kitab Al-’ Ilal, begitu pula Abu Hatim dan beliau mengatakan telah terjadi kesalahan dalam periwayatan Isma’ il. Ibnu Ma’ in berkata hadits ini dha’ if. (Nailul Authar, 1/269) Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa Al-Imam Ahmad dan selain beliau men- dha’ if-kan hadits ini (Bulughul Maram hal. 36) 3. Darah yang keluar dari tubuh Darah yang keluar dari tubuh seseorang, selain kemaluannya tidaklah membatalkan wudhu, sama saja apakah darah itu sedikit ataupun banyak. Demikian pendapat Ibnu ‘ Abbas, Ibnu Abi Aufa, Abu Hurairah, Jabir bin Zaid, Ibnul Musayyab, Mak-hul, Rabi’ ah, An-Nashir, Malik dan Asy-Syafi’ i. (Nailul Authar, 1/269-270). Dan ini pendapat yang rajih menurut penulis. Wallahu ta’ ala a’ lam bish- shawab. Dari kalangan ahlul ilmi ada yang membedakan antara darah sedikit dengan yang banyak. Bila keluarnya sedikit tidak membatalkan wudhu namun bila keluarnya banyak akan membatalkan wudhu. Hal ini seperti pendapat Abu Hanifah, Al-Imam Ahmad dan Ishaq. (Nailul Authar, 1/269) Adapun dalil bahwa darah tidak membatalkan wudhu adalah hadits tentang seorang shahabat Al-Anshari yang tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus mengalir karena luka akibat tikaman anak panah pada tubuhnya (HR. Al-Bukhari secara mu‘ allaq dan secara maushul oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Sunan Abi Dawud no. 193) Seandainya darah yang banyak itu membatalkan wudhu niscaya shahabat Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam itu dilarang untuk mengerjakan shalat dan akan disebutkan teguran dari Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam atas shalat yang ia kerjakan tersebut dan akan diterangkan kepadanya atau siapa yang bersamanya. Karena mengakhirkan penjelasan/ penerangan pada saat dibutuhkan penerangannya tidaklah diperbolehkan. Mereka para shahabat radhiallahu ‘ anhum sering terjun ke dalam medan pertempuran hingga badan dan pakaian mereka berlumuran darah. Namun tidak dinukilkan dari mereka bahwa mereka berwudhu karenanya dan tidak didengar dari mereka bahwa perkara ini membatalkan wudhu. (Sailul Jarar, 1/262, Tamamul Minnah, hal. 51-52) Wallahu ta‘ ala a‘ lam bish-shawab wal ilmu ‘ indallah. 1 Seperti dalam ayat: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi wanita- wanita mukminah kemudian kalian
menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh mereka, maka tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menjalani iddah.” (Al-Ahzab: 49) Ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa menyentuh yang dikaitkan dengan wanita maka yang dimaksudkan adalah jima’ . 2 Di antara imam ahlul hadits ada juga yang menguatkan hadits ini seperti Ibnu Mandah dan Asy- Syaikh Al-Albani di Tamamul Minnah, beliau mengatakan sanadnya shahih (hal. 111) 3 Adapun permasalahan yang disebutkan di sini juga merupakan perkara yang diperselisihkan ahlul ilmi sebagaimana disebutkan sendiri oleh Al-Imam An-Nawawi dalam Al-
Majmu‘ (2/63). 4 Qalas adalah muntah yang keluar dari tenggorokan, bukan dari perut. (Subulus Salam, 1/105)

4 NASEHAT UNTUK SAUDARI MUSLIMAH

Dunia telah menawarkan gemerlap perhiasannya. Di sana ada sisi-sisi kehidupan yang mengancam kehormatan kaum wanita. Tak layak kita lalai menelaah ancaman itu melalui untaian nasihat untuk mengingatkan setiap wanita muslimah yang menginginkan keselamatan. Saudariku muslimah, hendaknya engkau waspada akan bahaya hubungan yang haram dan segala yang berselubung “cinta” namun menyembunyikan sesuatu yang nista. Engkau pun hendaknya berhati-hati terhadap pergaulan bebas dengan para pemuda ataupun laki-laki tak bermoral yang ingin merampas kehormatanmu di balik kedok “cinta”. Duhai saudariku muslimah – semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya padamu – ada hal- hal yang semestinya engkau waspadai : Pertama, tabarruj1. Hati- hatilah, jangan sampai dirimu terjatuh dalam perangkapnya dan janganlah kecantikan yang Allah anugerahkan kepadamu membuatmu terpedaya. Sesungguhnya akhir dari sebuah kecantikan hanyalah bangkai yang menjijikkan dalam kegelapan kubur dan secarik kain kafan, beserta cacing-cacing
yang merasa iri padamu dan merampas kecantikan itu darimu. Ingatlah Saudariku, wanita yang bertabarruj berhak mendapatkan laknat, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘ alaihi wassalam2 : “Laknatilah mereka (wanita yang bertabarruj), karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang terlaknat”. Bahkan Beliau Shallallahu ‘ alaihi wassalam telah bersabda3: “Dan wanita-wanita yang berpakaian namun (pada hakekatnya) telanjang, mereka berlenggak-lenggok, kepala- kepala mereka seperti punuk- punuk unta yang miring, mereka tidak akan masuk ke dalam surga, bahkan mereka tidak akan dapat mencium harumnya surga, padahal wanginya dapat tercium dari jarak sekian- sekian”. Tidakkah engkau ketahui, duhai Saudariku, saat ini wanita telah menjadi barang dagangan yang murah. Buktinya adalah iklan- iklan televisi. Tidaklah engkau melihat iklan sepatu atau alat- alat olahraga, bahkan iklan kolam
renang, pasti di sana ditayangkan sosok wanita. Di manakah gerangan orang- orang yang menuntut kebebasan kaum wanita? Sesungguhnya mereka menuntut kebebasan wanita bukanlah karena simpati atau iba terhadap wanita, justru mereka menuntut kebebasan itu agar dapat menikmati wanita! Satu bukti bahwa wanita itu tidak berharga di sisi mereka adalah ucapan salah seorang dari
“serigala” tak bermoral. Ia menyatakan: ”Gelas (khamar) dan perempuan cantik lebih banyak menghancurkan umat Muhammad daripada seribu senjata. Maka tenggelamkanlah mereka dalam cinta syahwat”. Tahukah dirimu, bagaimana para wanita diperdagangkan oleh orang-orang yang menuntut kebebasannya? Seakan-akan mereka berkata: Janganlah kau tertipu dengan senyumanku Karena kata-kataku membuatmu tertawa, Namun sesungguhnya perbuatanku membuatmu menangis Kedua, telepon. Berapa banyak sudah pemudi yang direnggut kesuciannya dan ditimpa kehancuran dalam kehidupannya? Bahkan sebagian di antara mereka bunuh diri. Semua itu tidak lain disebabkan oleh telepon. Coba engkau simak kisah ini! Sungguh, di dalamnya tersimpan pelajaran berharga. Ada seorang gadis berkenalan dengan seorang pemuda melalui telepon, kemudian mereka menjalin hubungan akrab. Seiring berlalunya waktu tumbuhlah benih-benih asmara di antara mereka. Suatu hari “serigala” itu mengajaknya pergi. Tatkala ia berada di atas mobil, lelaki itu menghisap rokok. Ternyata asap rokok itu membiusnya. Setelah sadar ia temukan dirinya berada di depan pintu rumahnya dalam keadaan telah dilecehkan kehormatannya. Ia mendapati dirinya mengandung anak hasil zina. Akhirnya gadis itu
bunuh diri, karena ingin lari dari aib dan cela. Sungguh lelaki itu ibarat seekor serigala yang memangsa kambing betina. Setelah puas mengambil apa yang ia kehendaki, ia pergi dan meninggalkannya. Ketiga, khalwat.4 Semestinya engkau jauhi khalwat, karena khalwat adalah awal bencana yang akan menimpamu, sebagaimana ucapan Nabi Shallallahu ‘ alaihi wassalam5 : “Tidaklah seorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan seorang perempuan kecuali yang ketiganya adalah syaitan”. Apabila syaitan datang padamu, ia akan menjerumuskanmu dalam musibah. Berapa banyak gadis yang diperdaya oleh lelaki tak bermoral, hingga terjadilah perkara yang keji. Semuanya dikemas dengan label “cinta”. Ada seorang gadis pergi berdua bersama pasangannya, lalu lelaki itu merayunya dengan kata-kata
yang manis. Dikatakannya pada gadis itu, yang mereka lakukan itu adalah sesuatu yang indah dan menyenangkan. Akhirnya lelaki itu pun mengajaknya pergi ke tempat yang sunyi. Ketika sang gadis meminta untuk pulang, lelaki itu menolaknya, kemudian… Keempat, pergaulan yang jelek. Nabi Shallallahu ‘ alaihi wassalam bersabda6 : “Seseorang itu ada diatas agama temannya, maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat siapa yang ia jadikan teman” Wahai saudariku, ambillah pelajaran dari selainmu, sebelum engkau mengalami apa yang ia alami. Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah orang yang dapat memetik nasihat dari peristiwa yang menimpa orang lain, dan orang yang celaka adalah orang yang hanya bisa mendapat nasihat dari sesuatu yang menimpa dirinya sendiri. Akhirnya, segala puji hanyalah bagi Allah Rabb seluruh alam. (diterjemahkan dari kitabUkhti Al Muslimah Ihdzari Adz Dzi’ ab karya Salim Al ‘ Ajmi oleh Ummu ‘ Affan Nafisah bintu Abi Salim) Catatan Kaki: 1. Tabarruj adalah berhias di depan selain mahramnya 2. Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad nomor 7083 dengan tahqiq Ahmad Syakir. Beliau mengatakan :”Sanad hadits ini shahih”. 3. Diriwayatkan Imam Muslim nomor 2128. 4. Khalwat adalah berdua-duaan dengan selain mahram. 5. Shahih Sunan At-Tirmidzi karya
Syaikh Al Albani : 1187 dan dalam Silsilah Ash-Shahihah karya beliau juga nomor hadits 430. 6. Diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Dawud, lihatlah Silsilah Ash- Shahihah Imam Al-Albani nomor 927

Minggu, April 17, 2011

yasinan dan history nya

Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’ an, dzikir-dzikir, dan disertai do’ a-do’ a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan
kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”. Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan “lebih dari sekedarnya” cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah
kenyataannya. Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: “wajib”) untuk dikerjakan dan sebaliknya, bid’ ah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan. Para pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar berpikir lebih jernih dan dewasa bahwa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al Qur’ an dan As Sunnah. Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Qur’ an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar- benar beriman kepada Allah subhanahu wata’ ala dan Rasul- Nya. Bukankah Allah subhanahu wata’ ala telah berfirman (artinya): “Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’ an) dan Ar Rasul (As Sunnah) , jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’ : 59) Historis Upacara Tahlilan Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam, di masa para sahabatnya dan para Tabi’ in maupun Tabi’ ut tabi’ in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’ i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan? Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan
(baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’ akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan do’ a-do’ a ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur’ an, maupun dzikir-dzikir dan do’ a-do’ a ala Islam menurut mereka. Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain. Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam Acara tahlilan – paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu: Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat Al Qur’ an, dzikir- dzikir dan disertai dengan do’ a- do’ a tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit. Kedua: Penyajian hidangan makanan. Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam. Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’ an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah. 1. Bacaan Al Qur’ an, dzikir- dzikir, dan do’ a-do’ a yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit. Memang benar Allah subhanahu wata’ ala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Qur’ an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur’ an, dzikir-dzikir, dan do’ a-do’ a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarkan. Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata’ ala dan Rasul- Nya. Allah subhanahu wata’ ala berfirman (artinya): “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3) Juga Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam bersabda: ﺎﻣ َﻲِﻘَﺑ ٌﺀْﻲَﺷ ُﺏِّﺮَﻘُﻳ َﻦِﻣ ِﺔَّﻨَﺠْﻟﺍ ُﺪِﻋﺎَﺒُﻳَﻭ َﻦِﻣ ِﺭﺎَّﻨﻟﺍ َّﻻِﺇ ْﺪَﻗ َﻦِّﻴُﺑ ْﻢُﻜَﻟ “Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.” (H.R Ath Thabrani) Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang
agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam. Suatu ketika Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka,
saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi) Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ ala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ ala menyatakan dalam Al Qur’ an (artinya): “Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2) Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam. Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam. Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -
seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wata’ ala (artinya): “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling
merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104) Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘ Aisyah radhiAllahu ‘ anha, Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam bersabda: ْﻦَﻣ ًﻼَﻤَﻋ َﻞِﻤَﻋ ﺎﻧﺮﻣﺃ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﺲْﻴَﻟ ٌّﺩَﺭ َﻮُﻬَﻓ “Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim) Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi: ُﻞْﺻَﻷﺎَﻓ ُﻥَﻼْﻄُﺒﻟﺍ ِﺕﺍَﺩﺎَﺒِﻌْﻟﺍ ﻲﻓ ِﺮْﻣَﻷﺍ ﻰﻠﻋ ٌﻞْﻴِﻟَﺩ َﻡْﻮُﻘَﻳ ﻰﺘﺣ “Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.” Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata’ ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata’ ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’ I: َﻉَﺮَﺷ ْﺪَﻘَﻓ َﻦَﺴْﺤَﺘْﺳﺍ ِﻦَﻣ “Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah – pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’ at) sendiri”. Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’ i tentang hukum bacaan Al Qur’ an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’ an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata’ ala (artinya): “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329). 2. Penyajian hidangan makanan. Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiAllahu ‘ anhum. Jarir bin Abdillah radhiAllahu ‘ anhu– salah seorang sahabat Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya) Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’ i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’ i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’ i. Al Imam Asy Syafi’ i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘ Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit – pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211) Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’ i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’ i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid’ ah – pent). Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi’ i? Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam dalam hadistnya: ﺍﻮﻌﻨﺻﺍ ِﻝﻵ َﺮَﻔْﻌَﺟ ْﺪَﻘَﻓ ﺎﻣﺎﻌﻃ ْﻢُﻬُﻠِﻐْﺸُﻳ ٌﺮْﻣَﺃ ْﻢُﻫﺎَﺗَﺃ “Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’ far, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya) Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu ‘ a’ lam

Sabtu, April 16, 2011

Al Qur`an Turun Tidaklah Untuk Dipajang

Banyak sekarang kita dapati di rumah-rumah kaum muslimin, di masjid- masjid ataupun dimajelis- majelis ukiran-ukiran atau kaligrafi-kaligrafi yang bertuliskan ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam ataupun Asmaul Husna yang digantungkan padanya.

Pemandangan semacam ini bukanlah hal yang asing lagi ditengah-tengah kaum muslimin, wallahua`lam.

apa tujuan dilakukan hal tersebut?. Mungkin mereka menganggap yang demikian itu merupakan bentuk ibadah ataukah tujuannya untuk sebagai hiasan saja atau untuk menolak bahaya atau sebagai bentuk pengagungan mereka terhadap ayat-ayat Allah Subhanahu Wa Ta’ ala ataupun untuk mencari barakah dan yang lainya.

Maka berikut ini kita akan sampaikan penjelasan ulama dalam permasalahan ini.

Berkata Syaikh Ibnu `Utsaimin Rahimahullah Ta`ala ;

” Setelah memuji Allah Subhanahu Wa Ta’ ala … ( dalam khutbah ini ) saya akan memperingatkan dua perkara yang berkaitan dengan Al Qur`anul Karim ;
1) Sesungguhnya sebagian besar mereka biasa menggantungkan tulisan-tulisan yang berisikan Al Qur`an didinding tempat duduk mereka/pertemuan mereka, saya
tidak tahu mengapa mereka melakukan tersebut .
Apakah mereka melakukannya dalam rangka ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ ala?
Jika demikian maka ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ ala dengan perbuatan tersebut adalah bid`ah yang tidak pernah dilakukan para shahabat dan orang – orang yang mengikuti mereka dengan baik .

Ataukah mereka menggantungkan ayat – ayat tersebut dalam rangka
menolak kejelekan ?
Maka perbuatan ini bukanlah perantara untuk menolak kejelekan dari mereka karena menolak kejelekan adalah dengan
membaca Al Qur`an tersebut dengan lisannya sebagaimana
sabda Nabi Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam ;

“Barang siapa yang membaca ayat kursi pada malam hari maka senantiasa dia akan mendapatkan penjagaan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ ala dan syaithan tidak akan mendekatinya sampai pagi hari “. ( HR . Imam Bukhari dan An Nasai dari shahabat Abi Hurairah )

Jadi menggantungkan ayat kursi / yang lainnya dari ayat- ayat Allah tidak akan bermanfaat bagi mereka sedikitpun .
Ataukah mereka
melakukannya dengan tujuan
untuk mencari berkah dengan
Al Qur`an dengan cara seperti
itu ?
Maka cara semacam ini tidaklah disyari`atkan bahkan merupakan perkara baru yang diada – adakan , telah bersabda Nabi Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam

Artinya ; dan setiap bid`ah adalah kesesatan .

Sesungguhnya cara bertabaruk dengan Al Qur`an adalah dengan membacanya dengan sebenar- benarnya , melafadzkan dengan lisannya ,mengimani dalam hatinya dan mengamalkan dengan anggota tubuhnya,

sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ ala :

Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi”. (QS , Al Baqarah 121 )

Inilah jalannya orang-orang mukmin , membaca Kitabullah dan tidak menggantungkannya didinding dan didalam museum.

Ataukah mereka yang
menggantungkannya tersebut
mengnginkan untuk
mengingatkan manusia
terhadap Al Qur`an apabila
mengangkat kepala kearahnya ?

Akan tetapi apabila engkau lihat dalam kenyataannya maka tidaklah engkau dapatkan pengaruhnya karena mungkin dalam majelis-majelis itu tidak ada seorangpun yang mengangkat kepalanya membaca ayat tersebut atau untuk memikirkan apa yang terkandung
di dalamnya dari hokum-hukum dan rahasia-rahasia .

Ataukah mereka yang
menggantungkan ayat-ayat
yang mulia itu sekedar
menggantungkan saja (tanpa
maksud apa-apa ) atau untuk
tujuan keindahan pandangan ?

Sesungguhnya tidaklah pantas menjadikan Al Qur`an sebagai sesuatu yang sia-sia .

Tidak pantas pula hanya sebagai hiasan saja , Al Qur`an terlalu mulia dan terlalu agung kedudukannya antuk dijadikan semua itu .

Kemudian sesungguhnya menggantungkan Al Qur`an tersebut adalah perkara yang dilarang Aku tidak menyangka ada seorangpun yang tidak mengetahuinya
.Sesungguhnya majelis-majelis yang digantung didalamnya Al Qur`an terkadang merupakan majelis sia-sia yang diharamkan , karena terkadang didalamnya dilakukan ghibah ,kedustaan , caci-maki dan perbuatan haram yang lainnya .

Terkadang pula engkau dengar suara musik dan nyanyian yang haram dimajelis- majelis tersebut .Maka perbuatan-perbuatan ini jelas merupakan sikap mengolok-olok terhadap Kitab Allah Subhanahu Wa Ta’ ala karena digantungkan di atas kepala-kepala hadirin dalam keadaan mereka berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ ala dihadapan ayat-ayat Kitabullah .

Kita memohon ampun dari Allah Subhanahu Wa Ta’ ala terhadap hal yang demikian ini .
Karena itu Aku menyeru kepada segenap saudara kita yang mengantungkan ayat-ayat Al Qur`an untuk melepaskannya karena perbuatan seperti ini tidaklah pantas untuk dilakukan apapun tujuannya .

2) Adapun perkara yang kedua yang ingin saya peringatkan dan saya khususkan hal ini kepada para penulis yang biasa menulis ayat-ayat Al Qur`an yang mulia untuk orang lain di kertas- kertas atau yang lainnya .
Para penulis itu biasa menggunakan bentuk khat (tulisan) selain khat `Utsmani .
Mereka menjadikan tulisan-tulisan ini dalam bentuk seni lukis / ukir ( kaligrafi ), sampai-sampai saya mendengar sebagian dari mereka ingin menulis firman Allah Subhanahu Wa Ta’ ala

Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas
malam … ( QR.Az Zumar: 5 )

Maka dia menulis huruf wawu(ﻭ) seolah-olah seperti lingkaran sementara dia menginginkan menulis Al Qur`an sesuai dengan apa yang ditunjukan dari maknanya.

Hal ini jelas keharamannya tanpa keraguan .
Karena lafadz-lafadz Al Qur`anul Karim tidak pantas untuk dijadikan bentuk yang samar yang mana pada sisi ini ingin ditampakkan sisi kejeniusan penulisnya atau dibuat dengan bentuk yang akan memalingkan pandangan pada seninya ( bukan pada ayat-ayat Al Qur`an ) karena Al Qur`an bukanlah untuk dijadikan hiasan dan lukisan / ukiran.

Dan siapa yang padanya ada tulisan yang demikian maka hendaklah dia membakar atau menghapusnya agar supaya ayat-ayat Allah Subhanahu Wa Ta’ ala tidak dijadikan sebagai bahan permainan / olok-olokan .

Para `ulama Rahimahumullah telah
berselisih dalam tiga pendapat tentang boleh tidaknya menulis Al Qur`an dengan selain khat `Utsmani sekalipun untuk anak- anak .

Adapun menulis Al Qur`an dengan bentuk seni lukis / ukir kaligrafi ( sehingga sulit di baca atau dapat menyebabkan keliru dalam membacanya ) tidak ragu lagi keharamannya .

Maka wajib bagi kita, wahai saudara-saudara sekalian untuk menghormati kitabullah, mengagungkannya dan menjadikannya sesuai dengan tujuan diturunkannya yakni sebagai nasehat, obat penyembuh bagi penyakit dalam dada ,petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman .

Dengarkan hikmah diturunkannya Al Qur`an dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ ala ;

“ Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran “(QS. Shad 29 )

Tidaklah Al Qur`an turun untuk dipajang di dinding dan tidaklah turun untuk dijadikan lukisan / ukiran dalam penulisanya .
Ketahuilah, semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ ala merahmati kalian, bahwasannya sebaik-baik ucapan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam .

Sedangkan sejelek-jelek perkara adalah bid`ah, Ketahuilah setiap biid`ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya adalah neraka.

Taqlid, Beramal Dengan Pendapat Seseorang atau Golongan Tanpa Didasari Dalil

“Kiai-ku lebih pintar dari kamu!”, “Imamku-lah yang paling benar!”, ungkapan-ungkapan seperti ini sering kita dengar ketika ada nasehat disampaikan. Inilah antara lain gambaran taqlid dan fanatisme golongan, penyakit yang telah lama menjangkiti umat. Hancurnya kaum muslimin dan jatuhnya mereka ke dalam kehinaan tidak lain disebabkan kebodohan mereka terhadap Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘ alaihi wasallam, serta tidak memahami pengertian dan pelajaran yang terdapat pada keduanya. Demikian pula yang menjatuhkan umat Islam ke dalam perbuatan bid’ ah serta khurafat. Bahkan kebodohan terhadap agamanya ini merupakan faktor utama yang menumbuhnsuburkan taqlid. Berbagai kebid’ ahan tumbuh dengan subur di atas ketaqlidan dan kebodohan yang ada di tengah-tengah kaum muslimin. Hal ini juga disebabkan adanya para dajjal (pembohong besar) dari berbagai golongan (sempalan) yang menyandarkan dirinya kepada imam-imam madzhab yang telah dikenal. Padahal pengakuan mereka yang menyebutkan bahwa mereka adalah pengikut para imam tersebut adalah pengakuan dusta. Kita dapati dalam kitab-kitab tentang tafsir, fiqih, tasawwuf ataupun syarh hadits Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam berbagai kebid’ ahan bahkan khurafat yang ditulis oleh mereka yang menyatakan dirinya
bermadzhab Fulani. Innaa lillah wa Innaa ilaihi raji’ un. Begitu hebatnya penyakit ini melanda kaum muslimin seakan- akan sudah menjadi wabah yang tidak ada obatnya di dunia ini.
Dan akibat taqlid ini, muncullah sikap-sikap fanatik terhadap apa
yang ada pada dirinya atau kelompoknya. Sampai-sampai seorang yang bermadzhab dengan satu madzhab tertentu tidak mau menikahkan puterinya dengan orang dari madzhab lain, tidak mau pula shalat di belakang
imam yang berbeda madzhab, dan sebagainya. Bahkan yang ironis, di antara penganut madzhab ada yang saling mengkafirkan. Inilah sesungguhnya penyakit yang mula-mula menimpa makhluk
ciptaan Allah.
Iblis yang terkutuk, makhluk pertama yang mendurhakai Allah, tidak lain disebabkan oleh sikap fanatiknya, di mana dia merasa unggul karena unsur yang menjadi asal dia diciptakan. Allah subhanahu wa ta’ ala menerangkan hal ini:
“Aku lebih baik daripadanya. Engkau menciptakanku dari api sedangkan dia Kau ciptakan dari tanah.” (Al A’ raf: 12)
Definisi Taqlid Taqlid secara bahasa bermakna mengikatkan sesuatu di leher. Jadi orang yang taqlid kepada seorang tokoh, ibarat diberi tali yang mengikat lehernya untuk ditarik seakan-akan hewan ternak. Sedangkan menurut istilah, taqlid artinya beramal dengan pendapat seseorang atau golongan tanpa didasari oleh dalil atau hujjah yang jelas. Dari pengertian ini, jelaslah bahwa taqlid bukanlah ilmu dan ini hanyalah kebiasaan orang yang awam (tidak berilmu) dan jahil.
Dan Allah subhanahu wa ta’ ala telah mencela sikap taqlid ini dalam beberapa tempat dalam Al Qur’ an. Firman Allah subhanahu wa ta’ ala:

“Atau adakah Kami memberikan sebuah kitab kepada mereka sebelum Al Qur’ an lalu mereka berpegang dengan kitab itu? Bahkan mereka berkata: ‘ Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.’ Dan demikianlah, kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: ‘ Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’ (Rasul itu) berkata: ‘ Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang
lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapak kalian menganutnya?’ Mereka menjawab: ‘ Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.’ Maka Kami binasakan mereka, maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” (Az-Zukhruf: 21-25)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah sebagaimana dinukil oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah, mengatakan: “Ayat-ayat ini adalah dalil terbesar tentang batil dan jeleknya taqlid. Karena sesungguhnya orang-orang yang taqlid ini, mengamalkan ajaran agama mereka hanyalah dengan pendapat para pendahulu mereka yang diwarisi secara turun temurun. Dan apabila datang seorang juru dakwah yang mengajak mereka keluar dari kesesatan, kembali kepada al-haq, atau menjauhkan mereka dari kebid’ ahan yang mereka yakini dan warisi dari para pendahulu mereka itu tanpa didasari dalil yang jelas – hanya berdasarkan katanya dan katanya-, mereka mengatakan kalimat yang sama dengan orang-orang yang biasa bermewah-mewah:


‘ Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’ Atau ungkapan lain yang semakna dengan ini.” Firman Allah subhanahu wa ta’ ala: “Mereka menjadikan pendeta- pendeta dan ahli-ahli ibadah mereka sebagai Rabb selain Allah.” (At-Taubah: 31)

Maksudnya, mereka menjadikan para ulama dan ahli ibadah di kalangan mereka sebagai Rabb selain Allah. Artinya, ketika para ulama dan ahli ibadah itu menghalalkan untuk mereka apa yang diharamkan oleh Allah, mereka mengikuti penghalalan tersebut. Dan ketika mereka mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah mereka juga mengikuti pengharaman tersebut. Bahkan ketika para ulama dan ahli ibadah tersebut menetapkan suatu syariat yang baru dalam agama mereka yang bertentangan dengan ajaran para Rasul itu, mereka juga mengikutinya. Allah subhanahu wa ta’ ala berfirman:

“Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya? Mereka menjawab: ‘ Kami dapati bapak-bapak kami menyembahnya’ .” (Al-Anbiya’ : 52-53)

Dan perhatikanlah bagaimana jawaban yang mereka berikan. Walhasil, taqlid ini menghalangi mereka untuk menerima kebenaran, sebagaimana disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ ala: “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” (Az-Zukhruf: 24)

Dan para ulama menjadikan ayat-ayat ini dan yang semakna dengannya sebagai hujjah (pedoman hukum) tentang batilnya taqlid. Tidaklah menjadi halangan bagi mereka untuk berhujjah dengan ayat ini meskipun ayat ini berbicara tentang orang-orang kafir, karena kesamaan yang terjadi bukan pada kekufuran satu golongan atau keimanan yang lain, akan tetapi kesamaannya adalah bahwa taqlid itu terjadi karena keduanya sama-sama mengikuti suatu keyakinan atau pendapat tanpa hujjah atau dalil yang jelas. Demi Allah Yang Maha Agung, sesungguhnya kaum muslimin itu, ketika benar-benar sebagai kaum muslimin yang sempurna dan benar keislaman mereka, keadaan mereka senantiasa mendapat pertolongan dan menjadi pahlawan-pahlawan yang membebaskan berbagai negara dan menundukkannya di bawah kedaulatan muslimin. Akan tetapi ketika mereka mengubah-ubah perintah-perintah Allah, maka Allah-pun memberi balasan kepada mereka dengan mengganti nikmat-Nya kepada mereka, dan menghentikan kekhalifahan yang ada di tangan mereka. Dan inilah kenyataan yang kita saksikan dan kita rasakan. Al-‘ Allamah Al-Ma’ shumi mengatakan bahwa termasuk yang berubah adalah adanya prinsip dan kewajiban harusnya seorang muslim bermadzhab dengan satu madzhab tertentu dan bersikap fanatik meskipun dengan alasan yang batil. Padahal madzhab-madzhab ini baru muncul sesudah berakhirnya masa tiga generasi terbaik umat ini. Dan akhirnya dengan bid’ ah ini tercapailah tujuan Iblis memecah-belah kaum muslimin. Kita berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ ala dari hal itu. Beliau juga menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan harusnya seseorang bermadzhab dengan satu madzhab tertentu sesungguhnya dibangun di atas satu kepentingan politik tertentu, dan ambisi-ambisi atau tujuan pribadi. Dan sesungguhnya
madzhab yang haq dan wajib diyakini dan diikuti adalah madzhab junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘ alaihi wasallam yang merupakan Imam yang Agung yang wajib diikuti, kemudian para Al-Khulafa’ Ar- Rasyidin. Allah subhanahu wa ta’ ala berfirman:

“Dan apa-apa yang datang dari Rasul kepada kamu maka ambillah
dia, dan apa yang kamu dilarang mengerjakannya maka jauhilah!” (Al-Hasyr: 7)

Dan adapun yang dimaksud dengan Sunnah Al-Khulafa’ Ar- Rasyidin yang harus diikuti tidak lain adalah jalan hidup mereka yang sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam.
Wallahu a’ lam bish- shawab.

Daftar bacaan
1 Jami’ Bayanil ‘ Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu ‘ Abdil Barr,
2 Riyadhul Jannah, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’ i,
3 Hadiyyatus Sulthan, Muhammad Sulthan Al-Ma’ shumi,
4 Al-Hadits Hujjatun Binafsihi, Asy-Syaikh Al- Albani,
5 Ma’ na Qaulil Imam Al- Muththalibi, As-Subki,
6 Irsyadun Nuqqad, Al-Imam Ash-Shan’ ani,
7 Al-Mudzakkirah, Asy-Syinqithi,
8 Al-Ihkam, Ibnu Hazm,
9 Al-Ihkam, Al-Amidi