Laman

Entri Populer

Tampilkan postingan dengan label sunnah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sunnah. Tampilkan semua postingan

Rabu, Oktober 03, 2012

konsekuensi cinta kepada rosulullah

Konsekuensi Dan Tanda-Tanda Cinta Kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam

[A]. Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharuskan adanya peng-agungan,
memuliakan, meneladani beliau dan men-dahulukan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas segala ucapan makhluk serta mengagungkan Sunnah-Sunnahnya.

[B]. Mentaati apa yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan Allah memerintahkan setiap Muslim dan Muslimah untuk taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena dengan taat kepada beliau menjadi sebab seseorang masuk Surga.
Kita wajib mentaati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menjalankan apa yang diperintahkannya dan meninggalkan apa yang dilarangnya.
Hal ini merupakan konsekuensi dari syahadat (kesaksian) bahwa beliau adalah Rasul (utusan) Allah.

Dalam banyak ayat Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk mentaati Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antaranya ada yang diiringi dengan perintah taat kepada Allah, sebagaimana firman-Nya

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya…” [An-Nisaa': 59]

Tekadang pula Allah mengancam orang yang mendur-hakai Rasul-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

“Maka hendaklah orang-orang yang melanggar perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa adzab yang pedih” [An-Nuur: 63]

Artinya hendaknya mereka takut jika hatinya ditimpa fitnah kekufuran, nifaq, bid’ah atau siksa pedih di dunia, baik berupa pembunuhan, had, pemenjaraan atau siksa-siksa lain yang disegerakan. Allah telah menjadikan ketaatan dan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sebab hamba mendapatkan kecintaan Allah dan ampunan atas dosa-dosanya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan ketaatan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai petunjuk dan mendurhakainya sebagai suatu kesesatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk” [An-Nuur : 54]

Allah mengabarkan bahwa pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat teladan yang baik bagi segenap ummatnya. Allah berfirman:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang meng-harap (rahmat) Allah dan kedatangan hari Kiamat dan dia banyak menyebut Nama Allah” [Al-Ahzaab: 21]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ayat yang mulia ini adalah pokok yang agung tentang meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbagai perkataan, perbuatan dan perilakunya.

Untuk itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan manusia untuk meneladani sifat sabar, keteguhan, kepahlawanan, perjuangan dan kesabaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menanti pertolongan dari Rabb-nya Azza wa Jalla ketika perang Ahzaab.

Semoga Allah senantiasa mencurahkan shalawat dan salam kepada beliau hingga hari Kiamat.”[1]

[C]. Membenarkan apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkata menurut hawa nafsunya.

[D]. Menahan diri dari apa yang dilarang dan dicegah oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkan-lah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” [Al-Hasyr: 7]

[E]. Beribadah sesuai dengan apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam syari’atkan, atau dengan kata lain ittiba’ kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Agama Islam sudah sempurna, tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurangi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengajarkan ummat Islam tentang bagaimana cara yang benar dalam beribadah kepada Allah, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan semuanya.
Oleh karena itu, ummat Islam wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mereka mendapatkan kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, kejayaan dan dimasukkan ke dalam Surga-Nya.

Ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hukumnya adalah wajib, dan ittiba’ menunjukkan kecintaan seorang hamba kepada Allah Azza wa Jalla

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”[Ali ‘Imran: 31]

Berkata Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H):

“Ayat ini adalah pemutus hukum bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah namun tidak mau menempuh jalan Ra-sulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka orang itu dusta dalam pengakuannya tersebut hingga ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan dan perbuatannya”[2]

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya.

Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.[3]

[F]. Anjuran Bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[4]
Di antara hak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disyari’atkan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas ummatnya adalah agar mereka mengucapkan shalawat dan salam untuk beliau.

Allah Subhanahu wa Ta’ala dan para Malaikat-Nya telah bershalawat kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada para hamba-Nya agar mengucapkan shalawat dan salam kepada beliau.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat-Nya ber-shalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [Al-Ahzaab: 56]

Diriwayatkan bahwa makna shalawat Allah kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pujian Allah atas beliau di hadapan para Malaikat-Nya, sedang shalawat Malaikat berarti mendo’akan beliau, dan shalawat ummatnya berarti permohonan ampun bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam”

Dalam ayat di atas, Allah telah menyebutkan tentang kedudukan hamba dan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tempat yang tertinggi, bahwasanya Dia memujinya di hadapan para Malaikat yang terdekat, dan bahwa para Malaikat pun mendo’akan untuknya, lalu Allah memerintah-kan segenap penghuni alam ini untuk mengucapkan shalawat dan salam atasnya, sehingga bersatulah pujian untuk beliau di alam yang tertinggi dengan alam terendah (bumi).

Adapun makna: “Ucapkanlah salam untuknya” adalah berilah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam penghormatan dengan penghormatan Islam.

Dan jika bershalawat kepada Nabi Muhammad hendaklah seseorang menghimpunnya dengan salam untuk beliau.

Karena itu hendaknya tidak membatasi dengan salah satunya saja.

Misalnya dengan mengucapkan: “Shallallaahu ‘alaih (semoga shalawat dilimpahkan untuknya)” atau hanya mengucapkan:

“‘alaihis salaam (semoga dilimpahkan baginya keselamatan).”

Hal itu karena Allah memerintahkan untuk mengucapkan keduanya. Mengucapkan shalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan oleh syari’at pada waktu-waktu yang dipentingkan, baik yang hukumnya wajib atau sunnah mu-akkadah.

Dalam kitab Jalaa’ul Afhaam, Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan 41 waktu (tempat).

Beliau rahimahullah memulai dengan sesuatu yang paling penting yakni ketika shalat di akhir tasyahhud.

Di waktu tersebut para ulama sepakat tentang disyari’atkan-nya bershalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antara waktu lain yang beliau sebutkan adalah di akhir Qunut, kemudian saat khutbah, seperti khutbah Jum’at, hari raya dan istisqa’, kemudian setelah menjawab adzan, ketika berdo’a, ketika masuk dan keluar dari masjid, juga ketika menyebut nama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kaum Muslimin tentang tatacara mengucapkan shalawat.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memperbanyak membaca shalawat kepadanya pada hari Jum’at.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Perbanyaklah kalian membaca shalawat kepadaku pada hari dan malam Jum’at. Barangsiapa yang ber-shalawat kepadaku sekali niscaya Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali”[5]

Kemudian Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan beberapa manfaat dari mengucapkan shalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana beliau menyebutkan ada 40 manfaat. Di antara manfaat itu adalah

1. Shalawat merupakan bentuk ketaatan kepada perintah Allah.

2. Mendapatkan 10 kali shalawat dari Allah bagi yang bershalawat sekali untuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

3. Diharapkan dikabulkannya do’a apabila didahului dengan shalawat tersebut.

4. Shalawat merupakan sebab mendapatkan syafa’at dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika ketika mengucapkan shalawat diiringi dengan permohonan kepada Allah agar memberikan wasilah (kedudukan yang tinggi) kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Kiamat.

5. Shalawat merupakan sebab diampuninya dosa-dosa.

6. Shalawat merupakan sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab orang yang mengucapkan shalawat dan salam kepadanya.[6]

Tetapi tidak dibenarkan mengkhususkan waktu dan cara tertentu dalam bershalawat dan memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali berdasarkan dalil shahih dari Al-Qur-an dan As-Sunnah.
Para ulama Ahlus Sunnah telah banyak meriwayat-kan lafazh-lafazh shalawat yang shahih, sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para Sahabatnya Radhiyallahu anhum

Di antaranya adalah dari hadits berikutِ

Telah bercerita kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik bin Anas dari ‘Abdullah bin Abi Bakr bin Muhammad bin ‘Amru bin Hazm dari bapaknya dari ‘Amru bin Sulaim Az Zuraqiy telah mengabarkan kepadaku Abu Humaid as-Sa’idiy radliallahu ‘anhu bahwa mereka berkata;

“Wahai Rasulullah, bagaimana caranya kami bershalawat kepada baginda?”.
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ucapkanlah;

Allahumma shalli ‘alaa Muhammadin wa azwaajihi wa dzurriyyatihii kamaa shollaita ‘alaa aali Ibrahim wa baarik ‘alaa Muhammadin wa azwaajihi wa dzurriyyatihii kamaa baarakta ‘alaa aali Ibrahim innaka hamiidun majiid”
(Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad, istri-istrinya dan anak keturunannya sebagaimana Engkau telah memberi shalawat kepada keluarga Ibrahim dan berilah barakah kepada Muhammad, istri-istrinya dan anak keturunannya sebagaimana Engkau telah memberi barakah kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkah Maha Terpuji dan Maha Mulia) “.[HR. Bukhari No. 3118]

lihat juga catatan kaki [no 7]

Di antara contoh shalawat-shalawat yang bid’ah adalah:

1. Shalawat thibbul qulub
2. Shalawat naariyah, serta adanya keyakinan bathil bahwa barangsiapa yang membacanya 4444 kali maka akan dilapangkan kesulitannya. Shalawat naariyah ini mengandung kesyirikan.
3. Shalawat al-faatih, serta adanya anggapan bahwa membaca shalawat ini lebih baik daripada membaca Al-Qur’an, dan lain-lainnya. Shalawat al-faatih ini adalah perbuatan bid’ah.
4. Shalawat basyisyiyah.[8]

Setiap muslim harus menjauhkan semua bentuk shalawat bid’ah yang tidak ada asalnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan wajib ber-pegang kepada hadits-hadits shahih yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena apa yang beliau ajarkan sudah cukup dan memadai, tidak boleh ditambah lagi.

Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi yang mulia ini, juga bagi keluarga beliau, para Sahabat, dan orang-orang yang mengikuti jejak beliau hingga hari Kiamat.

Larangan Ghuluw (Berlebih-lebihan) Dalam Memuji Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam .

Ghuluw artinya melampaui batas.
Dikatakan: jika ia melampaui batas dalam ukuran. Allah berfirman:

“Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu.” [An-Nisaa': 171]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.”[9]

Salah satu sebab yang membuat seseorang menjadi kufur adalah sikap ghuluw dalam beragama, baik kepada orang shalih atau orang yang dianggap wali, maupun ghuluw kepada kuburan para wali, hingga mereka minta dan berdo’a kepadanya padahal ini adalah perbuatan syirik akbar.

Sedangkan ithra’ artinya melampaui batas (berlebih-lebihan) dalam memuji serta berbohong karenanya.

Dan yang dimaksud dengan ghuluw dalam hak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah melampaui batas dalam menyanjungnya, sehingga meng-angkatnya di atas derajatnya sebagai hamba dan Rasul (utusan) Allah, menisbatkan kepadanya sebagian dari sifat-sifat Ilahiyyah.

Hal itu misalnya dengan memohon dan meminta pertolongan kepada beliau, tawassul dengan beliau, atau tawassul dengan kedudukan dan kehormatan beliau, bersumpah dengan nama beliau, sebagai bentuk ‘ubudiyyah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala , perbuatan ini adalah syirik.

Dan yang dimaksud dengan ithra’ dalam hak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berlebih-lebihan dalam memujinya, padahal beliau telah melarang hal tersebut melalui sabda beliau:

“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji ‘Isa putera Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah, ‘‘Abdullaah wa Rasuuluhu (hamba Allah dan Rasul-Nya).’”[10]

Dengan kata lain, janganlah kalian memujiku secara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku.

Hal itu sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihis Sallam, sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah.
Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku, maka katakanlah:

“Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya.”[11]

‘Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu ‘anhu berkata,

“Ketika aku pergi bersama delegasi bani ‘Amir untuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid (penghulu) kami!”
Spontan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Sayyid (penghulu) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta’aala!”
Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya.”
Serta merta beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
“Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian dan jangan-lah sampai kalian terseret oleh syaitan”[12]

Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Sebagian orang berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, wahai orang yang terbaik di antara kami dan putera orang yang terbaik di antara kami!
Wahai sayyid kami dan putera penghulu kami!’
Maka seketika itu juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

“Wahai manusia, ucapkanlah dengan yang biasa (wajar) kalian ucapkan! Jangan kalian terbujuk oleh syaitan, aku adalah Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak suka kalian mengangkat (menyanjung)ku di atas (melebihi) kedudukan yang telah Allah berikan kepadaku. [13]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci jika orang-orang memujinya dengan berbagai ungkapan seperti:
“Engkau adalah sayyidku, engkau adalah orang yang terbaik di antara kami, engkau adalah orang yang paling utama di antara kami, engkau adalah orang yang paling agung di antara kami.
” Padahal sudah diketahui sesungguhnya beliau adalah makhluk yang paling utama dan paling mulia secara mutlak. Meskipun demikian, beliau melarang mereka agar menjauhkan mereka dari sikap melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam menyanjung hak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga untuk menjaga kemurnian tauhid.

Selanjutnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan mereka agar menyifati beliau dengan dua sifat yang merupakan derajat paling tinggi bagi hamba yang di dalamnya tidak ada ghuluw serta tidak membahayakan ‘aqidah.

Dua sifat itu adalah ‘Abdullaah wa Rasuuluh (hamba dan utusan Allah).

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka disanjung melebihi dari apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan dan Allah ridhai.

Tetapi banyak manusia yang melanggar larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, sehingga mereka berdo’a kepadanya, meminta pertolongan kepadanya, ber-sumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah.
Hal itu sebagaimana yang mereka lakukan ketika peringatan maulid Nabi , dalam kasidah atau anasyid, dimana mereka tidak membedakan antara hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Setiap muslim wajib mengetahui bahwa di antara faktor yang menyebabkan manusia menjadi kafir dan meninggalkan agama mereka yaitu sikap berlebih-lebihan kepada orang-orang shalih,
seperti yang terjadi pada kaum Nabi Nuh Alaihissalam

“Dan mereka berkata: ‘Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) ilah-ilah kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, tidak juga suwaa’, yaghuts, ya’uq dan nasr.’” [QS. Nuh: 23][14]

[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 2] _________

Foote Note

[1]. Tafsiir Ibni Katsir (III/522-523), cet. Daarus Salaam.

[2]. Tafsiir Ibni Katsiir (I/384), cet. Daarus Salam.

[3]. Sebagian contoh-contoh bid’ah yang masih dilakukan kaum Muslimin seperti: Perayaan dan peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, perayaan Isra’ Mi’raj, tawassul dengan orang mati, membangun kubur, dan yang lainnya. Semua ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya.

[3]. Bahasan tentang shalawat selengkapnya dapat dilihat pada kitab Jalaa-ul Afhaam fii Fadhlish Shalaah was Salaam ‘alaa Muhammad Khairil Anaam (hal. 453-556), karya al-‘Allamah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dengan tahqiq Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman.

[4]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 158).

[5]. HR. Al-Baihaqi (III/249) dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, sanad hadits ini hasan. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1407) oleh Syaikh al-Albani rahimahullah

[6]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal 158-159).

[7]. HR. Al-Bukhari (no. 3370/Fat-hul Baari (VI/408)), Muslim (no. 406), Abu Dawud (no. 976, 977, 978), at-Tirmidzi (no. 483), an-Nasa-i(III/47-48), Ibnu Majah (no. 904), Ahmad (IV/243-244) dan lain-lain, dari Sahabat Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu ‘anhu. Untuk mengetahui lafazh-lafazh shalawat lainnya yang diriwayatkan secara shahih dari Nabi j dapat dilihat dalam buku Do’a dan Wirid (hal. 178-180), oleh penulis, cet. VI/ Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta, th. 2006 M.

[8]. Lihat Minhaaj al-Firqatin Naajiyah wat Thaa’ifah al-Manshuurah ‘ala Dhau-il Kitaab was Sunnah (hal. 116-122) oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu dan Mu’jamul Bida’ (hal. 345-346).

[9]. HR. Ahmad (I/215, 347), an-Nasa-i (V/268), Ibnu Majah (no. 3029), Ibnu Khuzaimah (no. 2867) dan lainnya, dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu. Sanad hadits ini shahih menurut syarat Muslim. Dishahihkan oleh Imam an-Nawawi dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

[10]. HR. Al-Bukhari (no. 3445), at-Tirmidzi dalam Mukhtasharusy Syamaa-il al-Muhammadiyyah (no. 284), Ahmad (I/23, 24, 47, 55), ad-Darimi (II/320) dan yang lainnya, dari Shahabat ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu.

[11]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal 151).

[12]. HR. Abu Dawud (no 4806), Ahmad (IV/24, 25), al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no 211/ Shahiihul Adabil Mufrad no 155), an-Nasa’i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 247, 249). Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata: “Rawi-rawinya shahih. Dishahihkan oleh para ulama (ahli hadits).” (Fathul Baari V/179) [13]. HR. Ahmad (III/153, 241, 249), an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 249, 250) dan al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (no. 2675). Sanadnya shahih dari Shahabat Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu.

[14]. Lihat Fat-hul Majid Syarah Kitabut Tauhid bab 18.

Sabtu, Juni 18, 2011

AGAR AMAL IBADAH TIDAK SIA SIA

Setiap perbuatan yang kita
lakukan tidak lepas dari dua hal,
niat dan cara. Keduanya harus sama-sama baik. Islam tentu
tidak membenarkan gaya Robin
Hood si pencuri budiman, yang
mencuri harta orang-orang kaya
yang pelit kemudian
membagikannya kepada orang- orang miskin. Islam juga tidak
membenarkan orang-orang riya,
yang beramal dengan niat yang
salah. Begitupun dengan ibadah dalam
Islam. Ibadah dalam Islam
merupakan syariat Allah
Subhanahu Wa Ta’ ala yang harus memenuhi dua syarat ini,
niat dan cara yang benar.
Ibarat orang yang akan ujian,
tentu ia harus tahu terlebih
dahulu materi yang akan diujikan.
Begitu pula dengan orang yang akan beribadah, ia harus
mengilmui dulu apa yang akan ia
lakukan. Allah Subhanahu Wa
Ta’ ala berfirman yang artinya: “Ketahuilah bahwa tidak illah yang haq disembah melainkan
Allah, maka mohonlah ampunan
bagi dosamu” (Muhammad : 19). Imam Bukhari menjadikan ayat ini
pada salah satu bab dalam kitab
shahihnya. Beliau berkata “Bab Ilmu sebelum berkata dan
berbuat”, kemudian beliau mengomentari ayat tersebut :
“Maka Allah Jalla Jalaluhu telah memulai dengan ilmu sebelum
berucap dan beramal.” Salah satu ilmu yang harus kita
ketahui adalah kaidah dalam
ibadah. Allah Subhanahu Wa
Ta’ ala telah menjelaskan bahwa tujuan utama penciptaan jin dan
manusia adalah hanya untuk
beribadah kepada-Nya. Namun,
tahukah kita bahwa ibadah
tersebut tak lagi berguna alias
sia-sia jika tidak menetapi kaidahnya? Berikut kaidah-
kaidah penting yang mendasari
benarnya suatu ibadah: 1.Ibadah bersifat tauqifiyyah
(berdasarkan wahyu)
Allah Subhanahu Wa Ta’ ala berfirman yang artinya: “Dan Kami jadikan kamu berada di
atas suatu syariat (peraturan)
dari urusan agama ini, maka
ikutilah syariat itu dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu
orang-orang yang tidak mengetahui” (Al Jatsiyah : 18) Ibadah berbeda dengan
muamalah. Pada dasarnya, ibadah
adalah haram kecuali ada dalil
dalam Al Qur’ an dan As Sunnah yang memerintahkannya. Dalam
hal ini tidak ada sedikitpun peran
akal di dalamnya. Contoh
mudahnya seperti ini, kenapa
kita tidak melakukan shalat
shubuh empat raka’ at saja? Bukankah semakin banyak
raka’ at, maka akan semakin banyak ayat Al Qur’ an yang dibaca sehingga makin besar
pahala? Jawabannya adalah
karena syari’ at memerintahkan dua raka’ at, tidak kurang tidak lebih. Pasti ada hikmah besar di
balik itu, walaupun tidak semua
hikmah ibadah diketahui
hikmahnya. Seandainya
kebenaran diukur dengan
pendapat (akal) orang, maka sungguh mengusap bagian bawah
khuf (sepatu) lebih utama dari
atasnya padahal yang benar
berdasarkan dalil adalah
mengusap bagian atas sepatu. 2.Ibadah harus dilakukan dengan
ikhlas, bebas dari noda syirik
Allah Subhanahu Wa Ta’ ala berfirman yang artinya: “Maka barangsiapa yang mengharapkan
untuk bertemu dengan Rabb-
nya, maka hendaklah dia beramal
dengan amalan yang shalih dan
tidak menyekutukan (melakukan
syirik) dengan seorangpun dalam beribadah kepada Rabb-
nya” (Al-Kahfi : 110) Barangsiapa yang melakukan
syirik berarti ia meletakkan
ibadah tidak pada tempatnya
dan memberikannya kepada yang
tidak berhak, dan itu merupakan
kezhaliman yang paling besar. 3.Mengikuti sunnah Nabi
Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam Allah Subhanahu Wa Ta’ ala berfirman yang artinya:
“Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasuulullah shalallahu
alaihi wa sallam itu suri tauladan
yang baik.” (Al Ahzab : 21). Ibnu Mas’ ud Radhiyallahu ‘ anhu berkata “Banyak orang yang menginginkan kebenaran, tapi
tidak sampai kepadanya”. Ibadah tidak cukup dengan bermodalkan
niat saja. Contohnya adalah
perayaan maulid Nabi yang
dilakukan sebagian umat Islam,
yang tidak pernah dicontohkan
oleh Nabi Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam dan para sahabatnya.
Mungkin mereka akan berkata,
“Bukankah ini baik? Niat kami baik, untuk menumbuhkan
kecintaan kepada Nabi”. Maka jawabannya adalah, “Baik menurut kalian, belum tentu baik
menurut Allah”. Beribadah tanpa contoh dari Rasulullah Shallallahu
‘ Alaihi Wasallam sama saja dengan mengatakan, “Niat kami tulus, karena Allah semata. Meski
cara yang kami tempuh mungkin
salah, atau sudah jelas-jelas
keliru dalam Islam.” Risalah yang Allah Subhanahu Wa
Ta’ ala turunkan melalui Rasulullah Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam sudah sempurna, tidak
perlu ditambah. Dengan
menambahnya, berarti dengan
tidak langsung kita telah
menuduh Rasulullah Shallallahu
‘ Alaihi Wasallam tidak amanah karena masih ada amal shalih
yang belum beliau sampaikan
kepada kita. Maka tidak heran
jika Nabi Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam bersabda yang artinya,
“Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami
(dalam Islam) yang tidak
terdapat (tuntunan) padanya,
maka ia tertolak.” (Muttafaq ‘ alaih) Suatu ibadah dikatakan
mengikuti sunnah jika memenuhi
kriteria berikut: Sebab Misalkan ada seseorang yang
melaksanakan shalat dua
raka’ at setiap masuk rumah dan menjadikan hal ini sebagai
sunnah. Tentu saja perbuatan
seperti ini tertolak. Walaupun
shalat disyariatkan, akan tetapi
ketika sebabnya tidak
bersumber dari syariat, perbuatan ini tidak mempunyai
nilai ibadah. Jenis Sebagai contoh adalah bila
seseorang berkurban dengan
kuda. Padahal Allah
mensyariatkan bahwa kurban
harus dari jenis hewan ternak
tertentu, yakni kambing, sapi, atau unta. Ukuran Apabila seseorang melakukan
ibadah tidak sesuai dengan
ukuran yang telah ditetapkan
oleh syariat, maka ibadahnya
tertolak. Contohnya seseorang
yang membasuh anggota tubuhnya sebanyak empat kali
ketika berwudhu, padahal
syariat hanya menuntunkan tiga
kali. Teknis Contohnya seseorang shalat, ia
langsung bersujud sebelum
melakukan ruku’ , maka shalatnya tidak sah dan
tertolak, sebab tidak sesuai
dengan teknis tuntunan
syari’ at. Waktu Jika seseorang beramal tapi
waktunya tidak sesuai, maka
amalnya tertolak. Misalnya
seseorang yang melaksanakan
shalat tidak sesuai dengan
waktunya. Contoh: shalat tahajjud dilaksanakan pada siang
hari, tentu saja amalnya ini tidak
diterima. Tempat Contohnya adalah orang yang
beri’ tikaf di rumah atau sekolah. Padahal syariat sudah
menjelaskan bahwa tempat
i’ tikaf adalah di dalam masjid. 4. Sebagian ibadah telah dibatasi
dengan masa dan ukuran
tertentu
Allah Subhanahu Wa Ta’ ala berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya shalat itu adalah suatu kewajiban yang ditentukan
waktunya atas orang-orang
yang beriman” (An- Nisa :103). Tidak boleh bagi kita untuk
melanggarnya seperti yang telah
dijelaskan pada kaidah di atas. 5. Ibadah harus dilandasi oleh
mahabbah (rasa cinta), khauf
(takut), raja’ (harap), dan merendahkan diri hanya kepada
Allah Subhanahu Wa Ta’ ala. Allah Subhanahu Wa Ta’ ala berfirman yang artinya: “Orang- orang yang mereka seru itu ,
mereka sendiri mencari jalan
kepada Rabb mereka, siapa yang
lebih dekat (kepada Allah) dan
mengharapkan rahmat-Nya dan
takut kepada azab-Nya.” (Al Isra ‘ : 57) 6. Kewajiban ibadah itu tidak
akan berhenti (selesai) dari
seorang mukallaf semenjak baligh
dan berakal sampai akhirnya dia
wafat
Allah Subhanahu Wa Ta’ ala berfirman yang artinya: “Dan beribadahlah engkau kepada
Rabbmu sampai engkau mati” (Al Hijr : 99)
Semoga bermanfaat.

Sabtu, Juni 11, 2011

BERAMAL DENGAN PENDAPAT SESEORANG ATAU GOLONGAN TANPA DIDASARI DALIL


“Kiai-ku lebih pintar dari kamu!”, “Imamku-lah yang paling benar!”, ungkapan-ungkapan seperti ini sering kita dengar ketika ada nasehat disampaikan. Inilah antara lain gambaran taqlid dan fanatisme golongan, penyakit yang telah lama menjangkiti umat. Hancurnya kaum muslimin dan jatuhnya mereka ke dalam kehinaan tidak lain disebabkan kebodohan mereka terhadap Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘ alaihi wasallam, serta tidak memahami pengertian dan pelajaran yang terdapat pada keduanya. Demikian pula yang menjatuhkan umat Islam ke dalam perbuatan bid’ ah serta khurafat. Bahkan kebodohan terhadap agamanya ini merupakan faktor utama yang menumbuhnsuburkan taqlid. Berbagai kebid’ ahan tumbuh dengan subur di atas ketaqlidan dan kebodohan yang ada di tengah-tengah kaum muslimin. Hal ini juga disebabkan adanya para dajjal (pembohong besar) dari berbagai golongan (sempalan) yang menyandarkan dirinya kepada imam-imam madzhab yang telah dikenal. Padahal pengakuan mereka yang menyebutkan bahwa mereka adalah pengikut para imam tersebut adalah pengakuan dusta. Kita dapati dalam kitab-kitab tentang tafsir, fiqih, tasawwuf ataupun syarh hadits Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam berbagai kebid’ ahan bahkan khurafat yang ditulis oleh mereka yang menyatakan dirinya
bermadzhab Fulani. Innaa lillah wa Innaa ilaihi raji’ un. Begitu hebatnya penyakit ini melanda kaum muslimin seakan- akan sudah menjadi wabah yang tidak ada obatnya di dunia ini. Dan akibat taqlid ini, muncullah sikap-sikap fanatik terhadap apa
yang ada pada dirinya atau kelompoknya. Sampai-sampai seorang yang bermadzhab dengan satu madzhab tertentu tidak mau menikahkan puterinya dengan orang dari madzhab lain, tidak mau pula shalat di belakang
imam yang berbeda madzhab, dan sebagainya. Bahkan yang ironis, di antara penganut madzhab ada yang saling mengkafirkan. Inilah sesungguhnya penyakit yang mula-mula menimpa makhluk
ciptaan Allah. Iblis yang terkutuk, makhluk pertama yang mendurhakai Allah, tidak lain disebabkan oleh sikap fanatiknya, di mana dia merasa unggul karena unsur yang menjadi asal dia diciptakan. Allah subhanahu wa ta’ ala menerangkan hal ini: “Aku lebih baik daripadanya. Engkau menciptakanku dari api sedangkan dia Kau ciptakan dari tanah.” (Al A’ raf: 12) Definisi Taqlid Taqlid secara bahasa bermakna mengikatkan sesuatu di leher. Jadi orang yang taqlid kepada seorang tokoh, ibarat diberi tali yang mengikat lehernya untuk ditarik seakan-akan hewan ternak. Sedangkan menurut istilah, taqlid artinya beramal dengan pendapat seseorang atau golongan tanpa didasari oleh dalil atau hujjah yang jelas. Dari pengertian ini, jelaslah bahwa taqlid bukanlah ilmu dan ini hanyalah kebiasaan orang yang awam (tidak berilmu) dan jahil. Dan Allah subhanahu wa ta’ ala telah mencela sikap taqlid ini dalam beberapa tempat dalam Al Qur’ an. Firman Allah subhanahu wa ta’ ala: “Atau adakah Kami memberikan sebuah kitab kepada mereka sebelum Al Qur’ an lalu mereka berpegang dengan kitab itu? Bahkan mereka berkata: ‘ Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.’ Dan demikianlah, kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: ‘ Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’ (Rasul itu) berkata: ‘ Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang
lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapak kalian menganutnya?’ Mereka menjawab: ‘ Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.’ Maka Kami binasakan mereka, maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” (Az-Zukhruf: 21-25) Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah sebagaimana dinukil oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah, mengatakan: “Ayat-ayat ini adalah dalil terbesar tentang batil dan jeleknya taqlid. Karena sesungguhnya orang-orang yang taqlid ini, mengamalkan ajaran agama mereka hanyalah dengan pendapat para pendahulu mereka yang diwarisi secara turun temurun. Dan apabila datang seorang juru dakwah yang mengajak mereka keluar dari kesesatan, kembali kepada al-haq, atau menjauhkan mereka dari kebid’ ahan yang mereka yakini dan warisi dari para pendahulu mereka itu tanpa didasari dalil yang jelas –hanya berdasarkan katanya dan katanya-, mereka mengatakan kalimat yang sama dengan orang-orang yang biasa bermewah-mewah:
‘ Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’ Atau ungkapan lain yang semakna dengan ini.” Firman Allah subhanahu wa ta’ ala: “Mereka menjadikan pendeta- pendeta dan ahli-ahli ibadah mereka sebagai Rabb selain Allah.” (At-Taubah: 31) Maksudnya, mereka menjadikan para ulama dan ahli ibadah di kalangan mereka sebagai Rabb selain Allah. Artinya, ketika para ulama dan ahli ibadah itu menghalalkan untuk mereka apa yang diharamkan oleh Allah, mereka mengikuti penghalalan tersebut. Dan ketika mereka mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah mereka juga mengikuti pengharaman tersebut. Bahkan ketika para ulama dan ahli ibadah tersebut menetapkan suatu syariat yang baru dalam agama mereka yang bertentangan dengan ajaran para Rasul itu, mereka juga mengikutinya. Allah subhanahu wa ta’ ala berfirman: “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya? Mereka menjawab: ‘ Kami dapati bapak-bapak kami menyembahnya’ .” (Al-Anbiya’ : 52-53) Dan perhatikanlah bagaimana jawaban yang mereka berikan. Walhasil, taqlid ini menghalangi mereka untuk menerima kebenaran, sebagaimana disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ ala: “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” (Az-Zukhruf: 24) Dan para ulama menjadikan ayat-ayat ini dan yang semakna dengannya sebagai hujjah (pedoman hukum) tentang batilnya taqlid. Tidaklah menjadi halangan bagi mereka untuk berhujjah dengan ayat ini meskipun ayat ini berbicara tentang orang-orang kafir, karena kesamaan yang terjadi bukan pada kekufuran satu golongan atau keimanan yang lain, akan tetapi kesamaannya adalah bahwa taqlid itu terjadi karena keduanya sama-sama mengikuti suatu keyakinan atau pendapat tanpa hujjah atau dalil yang jelas. Demi Allah Yang Maha Agung, sesungguhnya kaum muslimin itu, ketika benar-benar sebagai kaum muslimin yang sempurna dan benar keislaman mereka, keadaan mereka senantiasa mendapat pertolongan dan menjadi pahlawan-pahlawan yang membebaskan berbagai negara dan menundukkannya di bawah kedaulatan muslimin. Akan tetapi ketika mereka mengubah-ubah perintah-perintah Allah, maka Allah-pun memberi balasan kepada mereka dengan mengganti nikmat-Nya kepada mereka, dan menghentikan kekhalifahan yang ada di tangan mereka. Dan inilah kenyataan yang kita saksikan dan kita rasakan. Al-‘ Allamah Al-Ma’ shumi mengatakan bahwa termasuk yang berubah adalah adanya prinsip dan kewajiban harusnya seorang muslim bermadzhab dengan satu madzhab tertentu dan bersikap fanatik meskipun dengan alasan yang batil. Padahal madzhab-madzhab ini baru muncul sesudah berakhirnya masa tiga generasi terbaik umat ini. Dan akhirnya dengan bid’ ah ini tercapailah tujuan Iblis memecah-belah kaum muslimin. Kita berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ ala dari hal itu. Beliau juga menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan harusnya seseorang bermadzhab dengan satu madzhab tertentu sesungguhnya dibangun di atas satu kepentingan politik tertentu, dan ambisi-ambisi atau tujuan pribadi. Dan sesungguhnya
madzhab yang haq dan wajib diyakini dan diikuti adalah madzhab junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘ alaihi wasallam yang merupakan Imam yang Agung yang wajib diikuti, kemudian para Al-Khulafa’ Ar- Rasyidin. Allah subhanahu wa ta’ ala berfirman: “Dan apa-apa yang datang dari Rasul kepada kamu maka ambillah
dia, dan apa yang kamu dilarang mengerjakannya maka jauhilah!” (Al-Hasyr: 7) Dan adapun yang dimaksud dengan Sunnah Al-Khulafa’ Ar- Rasyidin yang harus diikuti tidak lain adalah jalan hidup mereka yang sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam. Wallahu a’ lam bish- shawab. Daftar bacaan 1 Jami’ Bayanil ‘ Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu ‘ Abdil Barr, 2 Riyadhul Jannah, Asy- Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’ i, 3 Hadiyyatus Sulthan, Muhammad Sulthan Al-Ma’ shumi, 4 Al-Hadits Hujjatun Binafsihi, Asy-Syaikh Al- Albani, 5 Ma’ na Qaulil Imam Al- Muththalibi, As-Subki, 6 Irsyadun Nuqqad, Al-Imam Ash-Shan’ ani, 7 Al-Mudzakkirah, Asy-Syinqithi, 8 Al-Ihkam, Ibnu Hazm, 9 Al-Ihkam, Al-Amidi Dikutip dari http:// www.asysyariah.com, Penulis : Al- Ustadz Idral Harits , Judul asli: Taqlid Dan Fanatisme Golongan

Selasa, Mei 10, 2011

syarat agar amal di terima d sisi allah

Beramal shalih memang
penting karena merupakan
konsekuensi dari keimanan
seseorang. Namun yang tak
kalah penting adalah
mengetahui persyaratan agar amal tersebut
diterima di sisi Allah. Jangan
sampai ibadah yang kita
lakukan menjadi sia-sia
karena tidak diterima Allah
Subhanahuwata’ ala, bahkan bisa jadi justru
membuat Allah murka
karena cara beramal kita
tidak memenuhi syarat
yang Allah dan Rasul-Nya
telah bimbing melalui Al Qur’ an dan As-Sunnah. Syarat Diterimanya Amal oleh Allah Subhanahuwata’ ala Pertama, amal harus
dilaksanakan dengan
keikhlasan semata-mata
mencari ridha Allah
Subhanahuwata’ ala. Allah Subhanahuwata’ ala berfirman; Dan tidaklah mereka
diperintahkan melainkan
agar menyembah Allah
dengan mengikhlaskan
baginya agama yang lurus”. (Al Bayyinah: 5) Rasulullah
Sholallohualaihiwasallam
bersabda: “Sesungguhnya amal-amal tergantung pada niat dan
setiap orang akan
mendapatkan sesuatu
sesuai dengan
niatnya.” (Shahih, HR Bukhari-Muslim) Kedua dalil ini sangat jelas
menunjukkan bahwa dasar
dan syarat pertama
diterimanya amal adalah
ikhlas, yaitu semata-mata
mencari wajah Allah Subhanahuwata’ ala. Amal tanpa disertai dengan
keikhlasan maka amal
tersebut tidak akan
diterima oleh Allah
Subhanahuwata’ ala. Kedua, amal tersebut
sesuai dengan sunnah
(petunjuk) Rasulullah
Sholallohualaihiwasallam. Beliau
Sholallohualaihiwasallam
bersabda: “Dan barang siapa yang melakukan satu amalan
yang tidak ada perintahnya
dari kami maka amalan
tersebut
tertolak.” (Shahih, HR Muslim dari ‘ Aisyah radhiallahu ‘ anha) Dari dalil-dalil di atas para
ulama sepakat bahwa
syarat amal yang akan
diterima oleh Allah
Subhanahuwata’ ala adalah ikhlas dan sesuai dengan
bimbingan Rasulullah
Sholallohualaihiwasallam.
Jika salah satu dari kedua
syarat tersebut tidak ada,
maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah
Subhanahuwata’ ala. Dari sini sangat jelas
kesalahan orang-orang
yang mengatakan “ Yang penting kan niatnya.” Yang benar, harus ada
kesesuaian amal tersebut
dengan ajaran Rasulullah
Sholallohualaihiwasallam.
Jika istilah “yang penting niat” itu benar niscaya kita akan membenarkan
segala perbuatan maksiat
(ingkar, red) kepada Allah
Subhanahuwata’ ala dengan alasan ‘ yang penting niatnya’ . Orang seperti mereka akan
mengatakan para pencuri,
penzina, pemabuk, pemakan
riba’ , pemakan harta anak yatim, perampok, penjudi,
penipu, pelaku bid’ ah (yaitu cara-cara baru
dalam beribadah mengada-
ada, yang tidak ada
contohnya dari Rasululah
Sholallohualaihiwasallam)
dan bahkan perbuatan syirik tidak bisa kita
salahkan, karena beralasan
kita tidak mengetahui
bagaimana niatnya (karena
bisa jadi niatnya baik
menurut pandangan mereka). Demikian juga
dengan seseorang yang
mencuri dengan niat
memberikan nafkah kepada
anak dan isterinya. Apakah seseorang
melakukan bid’ ah (cara beribadah yang sesat)
dengan niat beribadah
kepada Allah
Subhanahuwata’ ala adalah perbuatan yang
dibenarkan? Apakah orang
yang meminta petunjuk
kepada kuburan-kuburan /
makam wali dengan niat
memuliakan wali itu adalah perbuatan yang
dibenarkan? Tentu
jawabannya adalah tidak. Dari pembahasan di atas
sangat jelas kedudukan dua
syarat tersebut dalam
sebuah amalan dan sebagai
penentu diterimanya. Oleh
karena itu, sebelum melangkah untuk beramal
hendaklah bertanya pada
diri kita: Untuk siapa saya
beramal? Dan bagaimana
caranya? Maka jawabannya
adalah dengan kedua syarat di atas. Masalah berikutnya, juga
bukan sekedar
memperbanyak amal, akan
tetapi benar atau tidaknya
amalan tersebut.
Allah Subhanahuwata’ ala berfirman: “Dia Allah yang telah menciptakan mati dan hidup
untuk menguji kalian
siapakah yang paling bagus
amalannya.” (Al Mulk: 2) Jadi dari ayat ini Allah
Subhanahuwata’ ala mengatakan yang paling
baik amalnya dan bukan
yang paling banyak
amalnya, yaitu amal yang
dilaksanakan dengan ikhlas
dan sesuai dengan ajaran Rasulullah
Sholallohualaihiwasallam. Wallahu a’ lam.

Selasa, April 05, 2011

JADIKAN AL QURAN DAN SUNNAH DI DEPAN MU !

Allah Subhanahu wa Ta’ ala berfirman dalam Al-Qur`an Al-
Karim, “Takutlah kalian kepada fitnah yang tidak hanya menimpa
orang-orang yang zhalim
diantara kalian secara
khusus.” [ Al-Anfal: 25 ] Ayat ini merupakan pokok
penjelasan dalam fitnah. Karena
itu Imam Al-Bukhary dalam Shahih -nya memulai Kitabul Fitan (kitab penjelasan tentang
fitnah-fitnah) dengan
penyebutan ayat ini. Firman Allah Ta’ ala, “Takutlah kalian kepada fitnah … ,” menunjukkan kewajiban seorang
muslim untuk berhati-hati
menghadapi fitnah dan
menjauhinya dan tentunya
seseorang tidak bisa menjauhi
fitnah itu kecuali dengan mengetahui dua perkara: 1. Apa-apa saja yang
dianggap fitnah di dalam
syariat Islam. 2. Pijakan, cara atau langkah
dalam meredam atau
menjauhi fitnah tersebut. Kemudian Ibnu Katsir
rahimahullah berkata dalam
menafsirkan ayat ini, “Ayat ini, walaupun merupakan
pembicaraan yang ditujukan
kepada para shahabat Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam, akan tetapi ayat ini
berlaku umum pada setiap muslim
karena Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam men-tahdzir
(memperingatkan) dari fitnah.” Kata fitnah dalam konteks ayat
datang dalam bentuk nakirah
(umum), sehingga mempunyai
makna yang umum, menyangkut
segala sesuatu yang merupakan
fitnah bagi manusia. Imam Al-Alusy, ketika
menafsirkan kata fitnah dalam
ayat ini, berkata, “Fitnah ditafsirkan (oleh para ulama
salaf) dengan beberapa perkara,
di antaranya Mudahanah dalam
amar ma’ ruf dan nahi mungkar, dan diantaranya perselisihan dan
perpecahan, dan diantaranya
meninggalkan pengingkaran
terhadap bid’ ah-bid’ ah yang muncul dan lain-lainnya.” Kemudian beliau berkata, “Setiap makna tergantung dari
konsekuensi keadaannya.” Dan dikatakan di dalam ayat,
“takutlah kalian … ,” menunjukkan bahwa fitnah itu buta dan tuli,
tidak pandang bulu, serta dapat
menimpa siapa saja. Berkata
Imam Asy-Syaukany dalam Tafsir -nya, “Yaitu takutlah kalian kepada fitnah yang
melampaui orang-orang yang
zhalim sehingga menimpa orang
shalih dan orang thalih ‘ tidak shalih’ dan timpahan fitnah itu tidak khusus bagi orang yang
langsung berbuat kezhaliman
tersebut di antara kalian.” Definisi Fitnah Fitnah dalam syariat Islam
mempunyai beberapa makna: Pertama, Bermakna syirik, seperti dalam firman Allah Ta’ ala, “Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah dan sampai
agama semuanya untuk
Allah.” [ Al-Baqarah: 193 ] Yaitu hingga tidak ada lagi
kesyirikan. Juga Allah berfirman, “Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.” [ Al-Baqarah: 217 ] Kedua, Bermakna siksaan dan adzab, seperti dalam firman Allah
Ta’ ala, “ (Dikatakan kepada mereka), ‘ Rasakanlah fitnahmu itu. Inilah
fitnah yang dahulu kamu minta
supaya disegerakan. ’ .” [ Adz- Dzariyat: 14 ] Dan Allah Jalla Jalaluhu berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan fitnah
kepada orang-orang yang mu k
min laki-laki dan perempuan
kemudian mereka tidak
bertaubat, maka bagi mereka
adzab Jahannam dan bagi mereka adzab (neraka) yang
membakar.” [ Al-Buruj: 10 ] Makna fitnah dalam dua ayat ini
adalah siksaan dan adzab. Ketiga , Bermakna ujian dan cobaan, seperti dalam firman
Allah Ta’ ala, “Dan kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan
sebagai fitnah (yang sebenar-
benarnya).” [ Al-Anbiya`: 35 ] Allah Jalla Wa ’ Ala menyatakan pula dalam firman-Nya, “Sesungguhnya harta-harta kalian dan anak-anak kalian itu
hanyalah merupakan
fitnah.” [ Al-Anfal: 28 ] Keempat , Bermakna musibah dan balasan, sebagaimana
tafsiran para ulama dalam surah
Al-Anfal ayat 25 di atas, “Takutlah kalian kepada fitnah yang tidak hanya menimpa
orang-orang yang zhalim
diantara kalian secara khusus.” (Lihat Mauqiful Mu’ min Minal Fitan Karya Syaikh ‘ Abdul ‘ Aziz bin Baz dan Mufradat Al- Qur`an karya Ar-Raghib Al- Ashbahany) Demikianlah def i nisi fitnah,
tetapi harus diketahui oleh
setiap muslim bahwa fitnah yang
ditimpakan oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ ala itu mempunyai hikmah di belakangnya. Allah ‘ Azza wa Jalla berfirman, “ Alif Lam Mim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka
dibiarkan (saja) mengatakan,
‘ Kami telah beriman,’ sedang mereka tidak diuji lagi? Dan
sesungguhnya Kami telah menguji
orang-orang yang sebelum
mereka, maka sesungguhnya
Allah mengetahui orang-orang
yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang
yang dusta.” [ Al-‘ Ankabut: 1-3 ] Berikut ini kami akan
menyebutkan beberapa kaidah-
kaidah pokok yang harus
dipegang oleh setiap muslim
dalam menghadapi fitnah. Kaidah Pertama, Pada setiap perselisihan merujuk pada Al-
Qur`an dan Sunnah sesuai
dengan pemahaman para ulama
salaf. Allah Subhanahu Wa Ta’ ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara
kalian. Kemudian jika kalian
berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.” [ An- Nisa`: 59 ] Dan Allah Jalla Tsana`uhu
berfirman, “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan
janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya.
Amat sedikitlah kamu mengambil
pelajaran (darinya).” [ Al-A’ raf: 3 ] Kemudian di dalam hadits Abu
Hurairah, Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda, ﺍﻮﻠﻀﺗ ﻦﻟ ﻦﻴﺌﻴﺷ ﻢﻜﻴﻓ ﺖﻛﺮﺗ ﻲﺘﻨﺳﻭ ﻪﻠﻟﺍ ﺏﺎﺘﻛ ﺎﻤﻫﺪﻌﺑ “Saya tinggalkan pada kalian dua perkara, yang kalian tidak akan
sesat di belakang keduanya,
(yaitu) kitab Allah dan
Sunnahku.” (HR. Malik dan Al- Hakim dan dihasankan oleh
Syaikh Al-Albany dalam Al- Misykah ) Kemudian Allah Ta’ ala menyatakan, “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu
hakim dalam perkara yang
mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan
dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan
sepenuhnya”. [ An-Nisa`: 65 ] Ingatlah bahwa menentang Allah
dan Rasul-Nya adalah sebab
kehinaan. Allah Subhanahu wa
Ta’ ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-
Nya, mereka termasuk orang-
orang yang sangat hina.” [ Al- Mujadilah: 20 ] Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam juga mengingatkan
dalam hadits Ibnu ‘ Umar, ﻢﺗﺬﺧﺃﻭ ﺔﻨﻴﻌﻟﺎﺑ ﻢﺘﻌﻳﺎﺒﺗ ﺍﺫﺇ ﻉﺭﺰﻟﺎﺑ ﻢﺘﻴﺿﺭﻭ ﺮﻘﺒﻟﺍ ﺏﺎﻧﺫﺃ ﻪﻠﻟﺍ ﻂﻠﺳ ﺩﺎﻬﺠﻟﺍ ﻢﺘﻛﺮﺗﻭ ﻰﺘﺣ ﻪﻋﺰﻨﻳ ﻻ ﻻﺫ ﻢﻜﻴﻠﻋ ﻢﻜﻨﻳﺩ ﻰﻟﺇ ﺍﻮﻌﺟﺮﺗ “Apabila kalian telah berjual beli dengan cara `inah ‘ menjual barang dengan cara kredit
kepada seseorang kemudian ia
kembali membelinya dari orang
itu dengan harga kontan lebih
murah dari harga kredit tadi-
pent’ dan kalian telah ridha dengan perkebunan dan kalian
telah mengambil ekor-ekor (sibuk
beternak?) sapi dan kalian
meninggalkan jihad, maka Allah
akan menimpakan kepada kalian
suatu kehinaan yang tidak akan diangkat sampai kalian kembali
kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawuddan lain-lainnya dan
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany
dalam Ash-Shahihah no. 11) Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam juga mengingatkan
dalam hadits beliau, ﻰﻠﻋ ﺭﺎﻐﺼﻟﺍﻭ ﻝﺬﻟﺍ ﻞﻌﺟﻭ ﻱﺮﻣﺃ ﻒﻟﺎﺧ ﻦﻣ “Dan telah dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi orang yang
menyelisihi perintahku.” (Hadits hasan dari seluruh jalan-jalannya.
Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany
dalam Al-Irwa` no. 1269) Ketahuilah bahwa menyelisihi
Allah dan Rasul-Nya adalah sebab
turunnya musibah dan siksaan
dan sebab kehancuran dan
kesesatan. Allah Al-Wahid Al-
Qahhar menegaskan dalam firman-Nya, “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul
takut akan ditimpa cobaan atau
ditimpa azab yang pedih.” [ An- Nur: 63 ] Juga dalam hadits Abu Hurairah
riwayat Bukhary-Muslim,
Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam menyatakan, ﺎﻣﻭ ﻩﻮﺒﻨﺘﺟﺎﻓ ﻪﻨﻋ ﻢﻜﺘﻴﻬﻧ ﺎﻣ ﺎﻣ ﻪﻨﻣ ﺍﻮﻠﻌﻓﺎﻓ ﻪﺑ ﻢﻜﺗﺮﻣﺃ ﻦﻳﺬﻟﺍ ﻚﻠﻫﺃ ﺎﻤﻧﺈﻓ ﻢﺘﻌﻄﺘﺳﺍ ﻢﻬﻠﺋﺎﺴﻣ ﺓﺮﺜﻛ ﻢﻜﻠﺒﻗ ﻦﻣ ﻢﻬﺋﺎﻴﺒﻧﺃ ﻰﻠﻋ ﻢﻬﻓﻼﺘﺧﺍﻭ “Apapun yang saya melarang kalian darinya maka jauhilah hal
tersebut dan apapun yang saya
perintahkan kepada kalian maka
laksanakanlah semampu kalian.
Sesungguhnya yang
menghancurkan orang-orang sebelum kalian hanyalah
banyaknya pertanyaan mereka
dan penyelisihan mereka
terhadap para Nabinya.” Kemudian Abu Bakr Ash-Shiddiq
radhiyallahu ‘ anhu berkata, ﻝﻮﺳﺭ ﻥﺎﻛ ﺎﺌﻴﺷ ﺎﻛﺭﺎﺗ ﺖﺴﻟ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻲﻧﺇ ﻪﺑ ﺖﻠﻤﻋ ﻻﺇ ﻪﺑ ﻞﻤﻌﻳ ﻦﻣ ﺎﺌﻴﺷ ﺖﻛﺮﺗ ﻥﺇ ﻰﺸﺧﺃ ﻎﻳﺯﺃ ﻥﺃ ﻩﺮﻣﺃ “Tidaklah saya meninggalkan sesuatu apapun yang Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wa ‘ alihi wa sallam mengerjakannya kecuali
saya kerjakan karena saya
takut kalau saya meninggalkan
sesuatu dari perintah beliau saya
akan menyimpang.” (HSR. Bukhary-Muslim) Memahami Al-Qur`an dan As-
Sunnah harus dengan
pemahaman para ulama Salaf.
Allah Jalla Fi ‘ Ulahu berfirman, “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, Kami
biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam,
dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali”. [ An-Nisa`: 115 ] Juga dalam hadits yang
mutawatir, Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda, ﻦﻳﺬﻟﺍ ﻢﺛ ﻲﻧﺮﻗ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﺮﻴﺧ ﻢﻬﻧﻮﻠﻳ ﻦﻳﺬﻟﺍ ﻢﺛ ﻢﻬﻧﻮﻠﻳ “Sebaik-baik manusia adalah
zamanku, kemudian zaman setelahnya kemudian zaman setelahnya.” Beliau menyatakan pula, ﻯﺪﺣﺇ ﻰﻠﻋ ﺩﻮﻬﻴﻟﺍ ﺖﻗﺮﺘﻓﺍ ﺖﻗﺮﺘﻓﺍﻭ ﺔﻗﺮﻓ ﻦﻴﻌﺒﺳﻭ ﻦﻴﻌﺒﺳﻭ ﻦﻴﺘﻨﺛ ﻰﻠﻋ ﻯﺭﺎﺼﻨﻟﺍ ﻕﺮﺘﻔﺘﺳ ﻲﺘﻣﺃ ﻥﺇﻭ ﺔﻗﺮﻓ ﺎﻬﻠﻛ ﺔﻗﺮﻓ ﻦﻴﻌﺒﺳﻭ ﺙﻼﺛ ﻰﻠﻋ ﻲﻫﻭ ﺓﺪﺣﺍﻭ ﻻﺇ ﺭﺎﻨﻟﺍ ﻲﻓ ﺔﻋﺎﻤﺠﻟﺍ “Telah terpecah orang– orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu
firqah ‘ golongan ’ dan telah terpecah orang-orang Nashara
menjadi tujuh puluh dua firqah
dan sesungguhnya umatku akan
terpecah menjadi tujuh puluh
tiga firqah. Semuanya dalam
neraka kecuali satu dan ia adalah Al-Jama’ ah.” (Hadits shahih, dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albany dalam Zhilalul Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash- Shahih Al-Musnad Mimma
Laisa Fi Ash-Shahihain - rahimahumallahu-) Karena itulah, Imam Ahmad
rahimahullah berkata, “Pokok sunnah di sisi kami adalah
berpegang teguh di atas apa
yang para shahabat berada di
atasnya dan mengikuti mereka.” Lihat Syarh Ushul I’ tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ ah 1/176. Allahu Akbar …! Betapa kuatnya pijakan seorang muslim bila ia
berpegang teguh dengan Al
Qur`an dan Sunnah sesuai
dengan pemahaman para ulama
salaf. Ini merupakan senjata yang
paling ampuh dan tameng yang paling kuat dalam menghadapi
dan menangkis setiap fitnah
yang datang. Sejarah telah
membuktikan bagaimana orang-
orang yang berpegang teguh
kepada Al Qur`an dan Sunnah selamat dari fitnah dan mereka
tetap kokoh di atas jalan yang
lurus. Lihatlah kisah Abu Bakar Ash-
Shiddiq radhiyallahu ‘ anhu , ketika Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wa alihi wa sallam mengirim Usamah bin Zaid untuk memimpin
700 orang dalam menggempur
kerajaan Rum. Ketika pasukan
tersebut tiba di suatu tempat
yang bernama Dzu Khasyab,
Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam meninggal. Maka
mulailah orang-orang Arab di
sekitar Madinah murtad dari
agama sehingga para shahabat
mengkhawatirkan keadaan kota
Madinah. Lalu para shahabat berkata kepada Abu Bakar,
“Wahai Abu Bakar, kembalikan pasukan yang dikirim ke
kerajaan Rum itu, apakah
mereka diarahkan ke Rum
sedang orang-orang Arab di
sekitar Madinah telah murtad?” Maka Abu Bakar radhiyallahu
‘ anhu berkata, “Demi yang tidak ada sesembahan yang berhak
selain-Nya, andaikata anjing-
anjing telah berlari di kaki-kaki
para istri Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wa alihi wa sallam , saya tidak akan menarik suatu
pasukan pun yang dikirim oleh
Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dan saya tidak
akan melepaskan bendera yang
diikat oleh Rasulullah.” Lihat bagaimana gigihnya Abu
Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu
‘ anhu berpegang dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dalam kondisi yang
sangat genting seperti ini dan
betapa kuatnya keyakinan beliau
akan kemenangan orang yang
menjalankan perintah-Nya. Maka yang terjadi setelah itu,
setiap kali pasukan Usamah bin
Zaid melewati suatu suku yang
murtad, suku yang murtad itu
berkata, “Andaikata mereka itu tidak mempunyai kekuatan,
tentu tidak akan keluar pasukan
sekuat ini dari mereka. Tetapi
kita tunggu sampai mereka
bertempur melawan kerajaan
Rum.” Lalu bertempurlah pasukan Usamah bin Zaid menghadapi
kerajaan Rum dan pasukan
Usamah berhasil mengalahkan
dan membunuh mereka. Kemudian
kembalilah pasukan Usamah
dengan selamat dan orang-orang yang akan murtad itu tadi tetap
di atas Islam. (Baca kisah ini dalam Madarik An-Nazhar hal. 51-52 cet. kedua) Maka lihatlah, wahai orang-orang
yang menghendaki keselamatan!
Peganglah kaidah pertama ini
dengan baik, niscaya engkau
akan selamat dari fitnah di dunia
dan di akhirat. Kaidah Kedua, merujuk kepada para ulama. Allah Al-Hakim Al-‘ Alim mengisahkan tentang Qarun
dalam firman-Nya, “Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya.
Berkatalah orang-orang yang
menghendaki kehidupan dunia,
‘ Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang
telah diberikan kepada Qarun;
sesungguhnya ia benar-benar
mempunyai keberuntungan yang
besar.’ Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu, ‘ Celakalah kalian, pahala Allah adalah lebih
baik bagi orang-orang yang
beriman dan beramal shalih, dan
tidak diperoleh pahala itu kecuali
oleh orang-orang yang sabar.’ Maka Kami benamkanlah Qarun
beserta rumahnya ke dalam
bumi. Maka tidak ada baginya
suatu golongan pun yang
menolongnya terhadap adzab
Allah. dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat)
membela (dirinya).” [ Al- Qashash: 79-81 ] Karena itulah Imam Hasan Al-
Bashry berkata, “Sesungguhnya bila fitnah itu datang, diketahui
oleh setiap ‘ alim (ulama), dan apabila telah terjadi (lewat),
maka baru diketahui oleh orang-
orang yang jahil.” Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda pula
dalam hadits ‘ Ubadah bin Shamit riwayat Imam Ahmad dan lain-
lain, ﻞﺠﻳ ﻢﻟ ﻦﻣ ﻲﺘﻣﺃ ﻦﻣ ﺲﻴﻟ ﻑﺮﻌﻳﻭ ﺎﻧﺮﻴﻐﺻ ﻢﺣﺮﻳﻭ ﺎﻧﺮﻴﺒﻛ ﻪﻘﺣ ﺎﻨﻤﻟﺎﻌﻟ “Bukan dari ummatku siapa yang tidak menghormati orang yang
besar dari kami dan tidak
merahmati orang yang kecil dari
kami dan tidak mengetahui hak
orang yang alim dari
kami.” (Dihasankan oleh Syaikh Al Albany dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir ) Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam juga bersabda
dalam hadits Ibnu ‘ Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Al Hakim,
Ibnu Hibban dan lain-lain, ﻢﻛﺮﺑﺎﻛﺃ ﻊﻣ ﺔﻛﺮﺒﻟﺍ “Berkah itu bersama orang- orang besarnya
kalian.” (Dishahihkan oleh Syaikh Al Albany dalam Silsilah Ahadits Ash Shahihah no. 1778) Fitnah akan bermunculan apabila
para ulama sudah tidak lagi
dijadikan sebagai rujukan,
sebagaimana dalam hadits Abu
Hurairah riwayat Ibnu Majah dan
lain-lainnya, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda, ﺕﺍﻮﻨﺳ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﻲﺗﺄﻴﺳ ﺏﺫﺎﻜﻟﺍ ﺎﻬﻴﻓ ﻕﺪﺼﻳ ﺕﺎﻋﺍﺪﺧ ﻦﻤﺗﺆﻳﻭ ﻕﺩﺎﺼﻟﺍ ﺎﻬﻴﻓ ﺏﺬﻜﻳﻭ ﺎﻬﻴﻓ ﻥﻮﺨﻳﻭ ﻦﺋﺎﺨﻟﺍ ﺎﻬﻴﻓ ﺎﻬﻴﻓ ﻖﻄﻨﻳﻭ ﻦﻴﻣﺄﻟﺍ ﺔﻀﺒﻳﻭﺮﻟﺍ ﺎﻣﻭ ﻞﻴﻗ ﺔﻀﺒﻳﻭﺮﻟﺍ ﻲﻓ ﻢﻠﻜﺘﻳ ﻪﻓﺎﺘﻟﺍ ﻞﺟﺮﻟﺍ ﻝﺎﻗ ﺔﻣﺎﻌﻟﺍ ﺮﻣﺃ “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang menipu, akan
dipercaya/dibenarkan padanya
orang yang berdusta dan
dianggap berdusta orang yang
jujur, orang yang berkhianat
dianggap amanah dan orang yang amanah dianggap
berkhianat dan akan berbicara
Ar-Ruwaibidhah. Ditanyakan, ‘ Siapakah Ar-Ruwaibidhah itu? ’ Beliau berkata, ‘ Orang yang bodoh berbicara dalam perkara
umum.” (Dishahihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahih Al- Musnad Mimma Laisa Fi Ash-
Shahihain ) Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam juga bersabda
dalam hadits ‘ Abdullah bin ‘ Amr bin ‘ Ash riwayat Bukhary-Muslim, ﻢﻠﻌﻟﺍ ﺾﺒﻘﻳ ﻻ ﻪﻠﻟﺍ ﻥﺇ ﺩﺎﺒﻌﻟﺍ ﻦﻣ ﻪﻋﺰﺘﻨﻳ ﺎﻋﺍﺰﺘﻧﺍ ﺾﺒﻘﺑ ﻢﻠﻌﻟﺍ ﺾﺒﻘﻳ ﻦﻜﻟﻭ ﻖﺒﻳ ﻢﻟ ﺍﺫﺇ ﻰﺘﺣ ﺀﺎﻤﻠﻌﻟﺍ ﺎﺳﻭﺅﺭ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﺬﺨﺗﺍ ﺎﻤﻟﺎﻋ ﺮﻴﻐﺑ ﺍﻮﺘﻓﺄﻓ ﺍﻮﻠﺌﺴﻓ ﻻﺎﻬﺟ ﺍﻮﻠﺿﺃﻭ ﺍﻮﻠﻀﻓ ﻢﻠﻋ “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan
mencabutnya dari para hamba
akan tetapi Allah mencabutnya
dengan mencabut (mewafatkan)
para ulama sampai bila tidak
tersisa lagi seorang alim maka manusia pun mengambil para
pemimpin yang bodoh maka
mereka pun ditanya lalu mereka
memberi fatwa tanpa ilmu maka
sesatlah mereka lagi
menyesatkan.”

Minggu, April 03, 2011

adzan dan iqomah pada bayi yg baru lahir

Al-
Ustadz
Abu
Muawiah Sepanjang
pemeriksaan
kami,
ada
lima
hadits yang
menyebutkan
masalah
ini,
berikut
penjelasannya: 1. Hadits Abu Rafi’ Maula Rasulullah -Shallallahu ‘ alaihi wasallam-. ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﺖﻳﺃﺭ ﻥﺫﺃ ﻲﻓ ﻥﺫﺃ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﺗﺪﻟﻭ ﻦﻴﺣ ﻲﻠﻋ ﻦﺑ ﻦﺴﺤﻟﺍ ﺓﻼﺼﻟﺎﺑ ﺔﻤﻃﺎﻓ “Saya melihat Rasulullah - Shallallahu ‘ alaihi wasallam- mengumandangkan azan di telinga Al-Hasan bin ‘ Ali -seperti azan shalat- tatkala beliau dilahirkan oleh Fathimah.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (6/391-392), Ath- Thoyalisy (970), Abu Daud (5105),
At-Tirmidzy (1514), Al-Baihaqy (9/305) dan dalam Asy-Syu’ ab (8617, 8618), Ath-Thobrony (931, 2578) dan dalam Ad-Du’ a` (2/944), Al-Hakim (3/179), Al- Bazzar (9/325), Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah (11/273), dan Ar-Ruyany dalam Al-Musnad (1/455). Semuanya dari jalan Sufyan Ats-Tsaury dari ‘ Ashim bin ‘ Ubaidillah bin ‘ Ashim dari ‘ Ubaidillah bin Abi Rafi’ dari Abi Rafi’ -radhiyallahu ‘ anhu-. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ath-Thobrany (926, 2579) tapi dari jalan Hammad bin Syu’ aib dari ‘ Ashim bin ‘ Ubaidillah dari ‘ Ali ibnul Husain dari Abi Rafi’ dengan lafadz: ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟﺍ ﻥﺃ ﻦﺴﺤﻟﺍ ﻥﺫﺃ ﻲﻓ ﻥﺫﺃ ﻢﻠﺳﻭ ﺎﻤﻬﻨﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻲﺿﺭ ﻦﻴﺴﺤﻟﺍﻭ ﻪﺑ ﺮﻣﺃﻭ ﺍﺪﻟﻭ ﻦﻴﺣ “Sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘ alaihi wasallam- mengumandangkan azan di telinga Al-Hasan dan Al-Husain - radhiyallahu ‘ anhuma- tatkala keduanya lahir, dan beliau memerintahkan hal tersebut”. Maka dari jalan ini kita bisa melihat bahwa Hammad bin Syu’ aib menyelisihi Sufyan Ats- Tsaury dengan menambah dua lafadz; “dan Al-Husain” dan “beliau memerintahkan hal tersebut(1)”. Akan tetapi jalan Hammad - termasuk kedua lafadz tambahannya- adalah mungkar, karena Hammad bin Syu’ aib telah menyelisihi Sufyan padahal dia (Hammad) adalah seorang rowi yang sangat lemah. Yahya bin Ma’ in berkata, “Tidak ada apa-apanya (arab: laisa bisyay`in)”. Imam Al-Bukhary berkata dalam At-Tarikh Al-Kabir (3/25), “Hammad bin Syu’ aib At- Taimy, Abu Syu’ aib Al-Hummany … , ada kritikan padanya (arab: fiihi nazhor)(2)”. Al-Haitsamy berkata mengomentari riwayat ini dalam Majma’ Az-Zawa`id (4/60), “Ath-Thobrony meriwayatkannya dalam Al-Kabir sedang di dalamnya ada terdapat Hammad bin Syu’ aib, dan dia adalah rowi yang sangat lemah”.(3) Kita kembali ke jalan Sufyan Ats- Tsaury. Di dalamnya sanadnya ada ‘ Ashim bin ‘ Ubaidillah dan dia juga adalah rowi yang sangat lemah. Imam Abu Hatim dan Abu Zur’ ah berkata, “Mungkar haditsnya dan goncang haditsnya”. Imam Ahmad berkata dari Sufyan ibnu ‘ Uyainah (beliau) berkata, “Saya melihat para masyaikh (guru-guru) menjauhi hadits ‘ Ashim bin ‘ Ubaidillah”. ‘ Ali ibnul Madiny berkata, “Saya melihat ‘ Abdurrahman bin Mahdy mengingkari dengan sangat keras hadits-hadits ‘ Ashim bin ‘ Ubaidillah”. Dan hadits ini adalah salah satu hadits yang diingkari atas ‘ Ashim bin ‘ Ubaidillah, sebagaimana dalam Mizanul I’ tidal (4/8). Lihat juga Al-Jarh wat Ta’ dil (6/347) karya Ibnu Abi Hatim dan Al-Kamil (5/225). Berkaca dari uraian di atas,
kita tidak ragu untuk menghukumi hadits ini sebagai hadits yang sangat lemah (arab: dho’ ifun Jiddan). 2. Hadits ‘ Abdullah bin ‘ Abbas -radhiyallahu ‘ anhuma-. ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟﺍ ﻥﺃ ﻦﺴﺤﻟﺍ ﻥﺫﺃ ﻲﻓ ﻥﺫﺃ ﻢﻠﺳﻭ ﺪﻟﻭ ﻡﻮﻳ ﻲﻠﻋ ﻦﺑ , ﻲﻓ ﻥﺫﺄﻓ ﻲﻓ ﻡﺎﻗﺃﻭ ﻰﻨﻤﻴﻟﺍ ﻪﻧﺫﺃ ﻯﺮﺴﻴﻟﺍ ﻪﻧﺫﺃ “Sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘ alaihi wasallam- mengumandangkan azan di telinga Al-Hasan bin ‘ Ali pada hari beliau dilahirkan. Beliau mengumandangkan azan di telinga kanannya dan iqomah di telinga kirinya”. Hadits ini diriwayatkan oleh Al- Baihaqy dalam Syu’ abul Iman (8620) -dan beliau melemahkan hadits ini- dari jalan Al-Hasan bin ‘ Amr bin Saif dari Al-Qosim bin Muthib dari Manshur bin Shofiyyah dari Abu Ma’ bad dari Ibnu ‘ Abbas. Ini adalah hadits yang palsu. Imam Adz-Dzahaby berkata -memberikan biografi bagi Al-Hasan bin ‘ Amr bin Saif di atas- dalam Al-Mizan (2/267), “Dia dianggap pendusta oleh Ibnu Ma’ in, Imam Al-Bukhary berkata, “Dia adalah pendusta””. 3. Hadits Al-Husain bin ‘ Ali - radhiyallahu ‘ anhuma-. Rasulullah -Shallallahu ‘ alaihi wasallam- bersabda: ﻪﻟ ﺪﻟﻭ ﻦﻣ , ﻪﻧﺫﺃ ﻲﻓ ﻥﺫﺄﻓ ﻪﻧﺫﺃ ﻲﻓ ﻡﺎﻗﺃﻭ ﻰﻨﻤﻴﻟﺍ ﻯﺮﺴﻴﻟﺍ , ﻡﺃ ﻩﺮﻀﺗ ﻢﻟ ﻥﺎﻴﺒﺼﻟﺍ “Barangsiapa yang dikaruniai seorang anak, lalu dia mengumandangkan azan di telinga kanannya dan iqomah di telinga kirinya, maka Ummu Shibyan (jin yang mengganggu anak kecil) tidak akan membahayakan dirinya”. Diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dalam Asy-Syu’ ab (8619), Abu Ya’ la (678), dan Ibnu As-Sunny dalam ‘ Amalul Yaum (623) dari jalan Yahya ibnul ‘ Ala` Ar-Rozy dari Marwan bin Salim dari Tholhah bin ‘ Abdillah dari Al- Husain bin ‘ Ali. Hadits ini bisa dihukumi sebagai hadits yang palsu karena adanya dua orang pendusta di dalamnya: 1. Yahya Ibnul ‘ Ala`. Imam Al- Bukhary, An-Nasa`i, dan Ad- Daraquthny berkata, “Dia ditinggalkan (arab: matra ditinggalkan (arab: matruk)”. Imam Ahmad berkata, “Dia adalah pendusta, sering membuat hadits-hadits palsu”. Lihat Al- Mizan (7/206-207) karya Adz- Dzahaby dan Al-Kamil (7/198) karya Ibnu ‘ Ady, dan mereka berdua menyebutkan hadits ini dalam jejeran hadits-hadits yang diingkari atas Yahya ibnul ‘ Ala`. 2. Marwan bin Salim Al-Jazary. An-Nasa`i berkata, “Matrukul hadits”, Imam Ahmad, Al- Bukhary, dan selainnya berkata, “Mungkarul hadits”, dan Abu ‘ Arubah Al-Harrony berkata, “Dia sering membuat hadits-hadits palsu”. Lihat Al-Mizan (6/397-399) 4. Hadits ‘ Abdullah bin ‘ Umar -radhiyallahu ‘ anhuma-. ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟﺍ ﻥﺃ ﻦﺴﺤﻟﺍ ﻥﺫﺃ ﻲﻓ ﻥﺫﺃ ﻢﻠﺳﻭ ﺎﻤﻬﻨﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻲﺿﺭ ﻦﻴﺴﺤﻟﺍﻭ ﺍﺪﻟﻭ ﻦﻴﺣ “Sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘ alaihi wasallam- mengumandangkan azan di telinga Al-Hasan dan Al-Husain - radhiyallahu ‘ anhuma- tatkala mereka berdua dilahirkan”. Diriwayatkan oleh Imam Tammam Ar-Rozy dalam Al-Fawa`id (1/147/333), dan di dalam sanadnya terdapat rowi yang bernama Al-Qosim bin ‘ Abdillah bin ‘ Umar bin Hafsh Al-’ Umary. Imam Ahmad berkata tentangnya, “Tidak ada apa- apanya, dia sering berdusta
dan membuat hadits-hadits palsu”. Lihat Al-Kasyful Hatsits (1/210) 5. Hadits Ummul Fadhl bintul Harits Al-Hilaliyah - radhiyallahu ‘ anha-. Dalam hadits yang agak panjang, beliau bercerita bahwa Rasulullah -Shallallahu ‘ alaihi wasallam- pernah bersabda kepadanya ketika beliau sedang hamil: ﻪﺑ ﻲﻨﺗﺄﻓ ﻪﻴﺘﻌﺿﻭ ﺍﺫﺈﻓ . ﺖﻟﺎﻗ : ﻪﺘﻌﺿﻭ ﺎﻤﻠﻓ , ﻲﺒﻨﻟﺍ ﻪﺑ ﺖﻴﺗﺃ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ . ﻥﺫﺄﻓ ﻲﻓ ﻡﺎﻗﺃﻭ ﻰﻨﻤﻴﻟﺍ ﻪﻧﺫﺃ ﻲﻓ ﻯﺮﺴﻴﻟﺍ ﻪﻧﺫﺃ “Jika kamu telah melahirkan maka bawalah bayimu kepadaku”. Dia berkata, “Maka ketika saya telah melahirkan, saya membawanya kepada Nabi - Shallallahu ‘ alaihi wasallam-, maka beliau mengumandangkan azan di telinga kanannya dan iqomah di telinga kirinya …” . Al-Haitsmy berkata dalam Al- Majma’ (5/187), “Diriwayatkan oleh Ath-Thobrany dalam Al- Ausath (4), dan di dalam sanadnya ada Ahmad bin Rosyid Al-Hilaly. Dia tertuduh telah memalsukan hadits ini”. Sebagai kesimpulan kami katakan bahwa semua hadits-hadits yang menerangkan disyari’ atkannya adzan di telinga kanan bayi yang baru lahir dan iqomah di telinga kirinya adalah hadits-hadits yang yang sangat lemah dan tidak boleh diamalkan. Wallahu A’ lam. _________
(1) Maka riwayat ini menunjukkan wajibnya mengazankan bayi yang baru lahir, karena asal dalam perintah Nabi -Shallallahu ‘ alaihi wasallam- adalah bermakna wajib.
(2) Ini termasuk jarh (kritikan) yang sangat keras tapi dengan penggunaan lafadz yang halus, dan ini adalah kebiasaan Imam Al- Bukhary -rahimahullah-. Imam Al- Bukhary menggunakan lafadz ini untuk rowi-rowi yang ditinggalkan haditsnya. Lihat Fathul Mughits (1/372)
(3) Lihat kritikan lain terhadapnya dalam Al-Kamil (2/242-243) karya Ibnu ‘ Ady (4) Al-Mu’ jamul Ausath (9/102/9250) Sumber : http://al- atsariyyah.com/?p=950

Kamis, Februari 03, 2011

islam agama yang sempurna

Kehidupan dan Kematian Adalah
Dua Keniscayaan Kamu Muhammadiyah Ya ? PERSIS
Ya ? Al Irsyad Ya ? Salafi Ya ?
Wahabi Ya ? Kalimat itulah yang
sering dilontarkan oleh mereka
yang anti pati kepada mereka
yang tidak melakukan Tahlilan [selamatan Kematian] apabila ada
sanak keluarganya yang
meninggal dunia. Maka katakanlah kepada mereka; ْدَهْشاَو اَّنَأِب َنوُمِلْسُم Saksikanlah bahwa sesungguhnya
kami adalah Muslimun (orang-
orang yang berserah diri). [QS. Ali
Imron :52] KEMATIAN dan KELAHIRAN adalah
dua keniscayaan. Satu
kegembiraan dan satunya
kesedihan. Dan tidak mungkin
Islam tidak mengatur prosesi-
prosesi yang bersangkutan dengan kedua hal tersebut, Islam
telah mengaturnya dengan
mencontoh Rasulullah orang yang
PALING MENGERTI cara bersosialisi/
bermasyarakat. Beliau memiliki
akhlakul karimah, hati yang penyayang, paling santun dan
lembut hatinya. Beliau paling
mengerti bagaimana cara
menghibur orang dan mendo'akan
orang yang KEMATIAN dan
musibah lainnya. Bagimana cara bergembira bersama orang yang
lagi senang, baik menyambut
KELAHIRAN dan lainnya. Pada kasus
kematian, Rasulullah tidak pernah
mencontohkan TAHLILAN [dlm arti :
Selamatan Kematian]. RASULULLAH ADALAH ORANG
YANG PALING MENGERTI CARA
BERSOSIALISI DAN
BERMASYARAKAT "Lau Kaana Khairan Lasabaquuna
ilahi" [seandainya Selamatan
kematian itu baik, niscaya
Rasulullah dan para sahabatnya
paling bersegera melakukannya,
sebab perkara apapun yang bernilai baik (hasanah) dalam
rangka taqarrub kepada Allah
tidak akan pernah mereka
lewatkan] Maka sungguh na'if bagi mereka
yang berdalih untuk melakukan
Selamatan kematian hanya
berdasarkan pendapat bukan
dalil. Seandainyapun ada dalilnya : MAKA ALANGKAH NAI'FNYA
RASULULLAH TIDAK MENGERTI
BAHWA KALAU TERNYATA ADA
"DALILNYA" UNTUK MELAKUKAN
TAHLILAN, PADAHAL AL QUR'AN
TURUN DI SISI MEREKA DAN RASULULLAH MEMBIMBING MEREKA
[PARA SAHABAT] SECARA LANGSUNG.
Padahal di jaman Rasulullah para
sahabat banyak yang mati
syahid, bahkan ketika Istri beliau
Siti Khadijah dan anak beliau Al Qasim dan Ibrahim meninggal,
tidak ada keterangan Rasulullah
mentahlili mereka [red: selamatan
kematian]. Ketahuilah, pendapat seorang
ulama bukanlah SEBUAH DALIL.
Pendapat ulama, mustahil dapat
mengalahkan IJMA' SAHABAT. Begitu Sempurnanya ajaran Islam,
Mengatur Masalah Kematian dan
Kelahiran Ketahuilah, Islam adalah ad Dien
yang sempurna, sehingga tidak
perlu lagi penambahan dan
pengurangan syari'atnya. Apa-
apa yang telah menjadi syari'at
agama sejak diturunkannya QS. Al Maidah : 3, maka ia tetap menjadi
syari'at sampai sekarang dan
nantinya tanpa ada perubahan.