Laman

Entri Populer

Tampilkan postingan dengan label islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islam. Tampilkan semua postingan

Selasa, April 05, 2011

JADIKAN AL QURAN DAN SUNNAH DI DEPAN MU !

Allah Subhanahu wa Ta’ ala berfirman dalam Al-Qur`an Al-
Karim, “Takutlah kalian kepada fitnah yang tidak hanya menimpa
orang-orang yang zhalim
diantara kalian secara
khusus.” [ Al-Anfal: 25 ] Ayat ini merupakan pokok
penjelasan dalam fitnah. Karena
itu Imam Al-Bukhary dalam Shahih -nya memulai Kitabul Fitan (kitab penjelasan tentang
fitnah-fitnah) dengan
penyebutan ayat ini. Firman Allah Ta’ ala, “Takutlah kalian kepada fitnah … ,” menunjukkan kewajiban seorang
muslim untuk berhati-hati
menghadapi fitnah dan
menjauhinya dan tentunya
seseorang tidak bisa menjauhi
fitnah itu kecuali dengan mengetahui dua perkara: 1. Apa-apa saja yang
dianggap fitnah di dalam
syariat Islam. 2. Pijakan, cara atau langkah
dalam meredam atau
menjauhi fitnah tersebut. Kemudian Ibnu Katsir
rahimahullah berkata dalam
menafsirkan ayat ini, “Ayat ini, walaupun merupakan
pembicaraan yang ditujukan
kepada para shahabat Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam, akan tetapi ayat ini
berlaku umum pada setiap muslim
karena Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam men-tahdzir
(memperingatkan) dari fitnah.” Kata fitnah dalam konteks ayat
datang dalam bentuk nakirah
(umum), sehingga mempunyai
makna yang umum, menyangkut
segala sesuatu yang merupakan
fitnah bagi manusia. Imam Al-Alusy, ketika
menafsirkan kata fitnah dalam
ayat ini, berkata, “Fitnah ditafsirkan (oleh para ulama
salaf) dengan beberapa perkara,
di antaranya Mudahanah dalam
amar ma’ ruf dan nahi mungkar, dan diantaranya perselisihan dan
perpecahan, dan diantaranya
meninggalkan pengingkaran
terhadap bid’ ah-bid’ ah yang muncul dan lain-lainnya.” Kemudian beliau berkata, “Setiap makna tergantung dari
konsekuensi keadaannya.” Dan dikatakan di dalam ayat,
“takutlah kalian … ,” menunjukkan bahwa fitnah itu buta dan tuli,
tidak pandang bulu, serta dapat
menimpa siapa saja. Berkata
Imam Asy-Syaukany dalam Tafsir -nya, “Yaitu takutlah kalian kepada fitnah yang
melampaui orang-orang yang
zhalim sehingga menimpa orang
shalih dan orang thalih ‘ tidak shalih’ dan timpahan fitnah itu tidak khusus bagi orang yang
langsung berbuat kezhaliman
tersebut di antara kalian.” Definisi Fitnah Fitnah dalam syariat Islam
mempunyai beberapa makna: Pertama, Bermakna syirik, seperti dalam firman Allah Ta’ ala, “Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah dan sampai
agama semuanya untuk
Allah.” [ Al-Baqarah: 193 ] Yaitu hingga tidak ada lagi
kesyirikan. Juga Allah berfirman, “Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.” [ Al-Baqarah: 217 ] Kedua, Bermakna siksaan dan adzab, seperti dalam firman Allah
Ta’ ala, “ (Dikatakan kepada mereka), ‘ Rasakanlah fitnahmu itu. Inilah
fitnah yang dahulu kamu minta
supaya disegerakan. ’ .” [ Adz- Dzariyat: 14 ] Dan Allah Jalla Jalaluhu berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan fitnah
kepada orang-orang yang mu k
min laki-laki dan perempuan
kemudian mereka tidak
bertaubat, maka bagi mereka
adzab Jahannam dan bagi mereka adzab (neraka) yang
membakar.” [ Al-Buruj: 10 ] Makna fitnah dalam dua ayat ini
adalah siksaan dan adzab. Ketiga , Bermakna ujian dan cobaan, seperti dalam firman
Allah Ta’ ala, “Dan kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan
sebagai fitnah (yang sebenar-
benarnya).” [ Al-Anbiya`: 35 ] Allah Jalla Wa ’ Ala menyatakan pula dalam firman-Nya, “Sesungguhnya harta-harta kalian dan anak-anak kalian itu
hanyalah merupakan
fitnah.” [ Al-Anfal: 28 ] Keempat , Bermakna musibah dan balasan, sebagaimana
tafsiran para ulama dalam surah
Al-Anfal ayat 25 di atas, “Takutlah kalian kepada fitnah yang tidak hanya menimpa
orang-orang yang zhalim
diantara kalian secara khusus.” (Lihat Mauqiful Mu’ min Minal Fitan Karya Syaikh ‘ Abdul ‘ Aziz bin Baz dan Mufradat Al- Qur`an karya Ar-Raghib Al- Ashbahany) Demikianlah def i nisi fitnah,
tetapi harus diketahui oleh
setiap muslim bahwa fitnah yang
ditimpakan oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ ala itu mempunyai hikmah di belakangnya. Allah ‘ Azza wa Jalla berfirman, “ Alif Lam Mim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka
dibiarkan (saja) mengatakan,
‘ Kami telah beriman,’ sedang mereka tidak diuji lagi? Dan
sesungguhnya Kami telah menguji
orang-orang yang sebelum
mereka, maka sesungguhnya
Allah mengetahui orang-orang
yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang
yang dusta.” [ Al-‘ Ankabut: 1-3 ] Berikut ini kami akan
menyebutkan beberapa kaidah-
kaidah pokok yang harus
dipegang oleh setiap muslim
dalam menghadapi fitnah. Kaidah Pertama, Pada setiap perselisihan merujuk pada Al-
Qur`an dan Sunnah sesuai
dengan pemahaman para ulama
salaf. Allah Subhanahu Wa Ta’ ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara
kalian. Kemudian jika kalian
berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.” [ An- Nisa`: 59 ] Dan Allah Jalla Tsana`uhu
berfirman, “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan
janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya.
Amat sedikitlah kamu mengambil
pelajaran (darinya).” [ Al-A’ raf: 3 ] Kemudian di dalam hadits Abu
Hurairah, Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda, ﺍﻮﻠﻀﺗ ﻦﻟ ﻦﻴﺌﻴﺷ ﻢﻜﻴﻓ ﺖﻛﺮﺗ ﻲﺘﻨﺳﻭ ﻪﻠﻟﺍ ﺏﺎﺘﻛ ﺎﻤﻫﺪﻌﺑ “Saya tinggalkan pada kalian dua perkara, yang kalian tidak akan
sesat di belakang keduanya,
(yaitu) kitab Allah dan
Sunnahku.” (HR. Malik dan Al- Hakim dan dihasankan oleh
Syaikh Al-Albany dalam Al- Misykah ) Kemudian Allah Ta’ ala menyatakan, “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu
hakim dalam perkara yang
mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan
dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan
sepenuhnya”. [ An-Nisa`: 65 ] Ingatlah bahwa menentang Allah
dan Rasul-Nya adalah sebab
kehinaan. Allah Subhanahu wa
Ta’ ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-
Nya, mereka termasuk orang-
orang yang sangat hina.” [ Al- Mujadilah: 20 ] Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam juga mengingatkan
dalam hadits Ibnu ‘ Umar, ﻢﺗﺬﺧﺃﻭ ﺔﻨﻴﻌﻟﺎﺑ ﻢﺘﻌﻳﺎﺒﺗ ﺍﺫﺇ ﻉﺭﺰﻟﺎﺑ ﻢﺘﻴﺿﺭﻭ ﺮﻘﺒﻟﺍ ﺏﺎﻧﺫﺃ ﻪﻠﻟﺍ ﻂﻠﺳ ﺩﺎﻬﺠﻟﺍ ﻢﺘﻛﺮﺗﻭ ﻰﺘﺣ ﻪﻋﺰﻨﻳ ﻻ ﻻﺫ ﻢﻜﻴﻠﻋ ﻢﻜﻨﻳﺩ ﻰﻟﺇ ﺍﻮﻌﺟﺮﺗ “Apabila kalian telah berjual beli dengan cara `inah ‘ menjual barang dengan cara kredit
kepada seseorang kemudian ia
kembali membelinya dari orang
itu dengan harga kontan lebih
murah dari harga kredit tadi-
pent’ dan kalian telah ridha dengan perkebunan dan kalian
telah mengambil ekor-ekor (sibuk
beternak?) sapi dan kalian
meninggalkan jihad, maka Allah
akan menimpakan kepada kalian
suatu kehinaan yang tidak akan diangkat sampai kalian kembali
kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawuddan lain-lainnya dan
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany
dalam Ash-Shahihah no. 11) Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam juga mengingatkan
dalam hadits beliau, ﻰﻠﻋ ﺭﺎﻐﺼﻟﺍﻭ ﻝﺬﻟﺍ ﻞﻌﺟﻭ ﻱﺮﻣﺃ ﻒﻟﺎﺧ ﻦﻣ “Dan telah dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi orang yang
menyelisihi perintahku.” (Hadits hasan dari seluruh jalan-jalannya.
Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany
dalam Al-Irwa` no. 1269) Ketahuilah bahwa menyelisihi
Allah dan Rasul-Nya adalah sebab
turunnya musibah dan siksaan
dan sebab kehancuran dan
kesesatan. Allah Al-Wahid Al-
Qahhar menegaskan dalam firman-Nya, “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul
takut akan ditimpa cobaan atau
ditimpa azab yang pedih.” [ An- Nur: 63 ] Juga dalam hadits Abu Hurairah
riwayat Bukhary-Muslim,
Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam menyatakan, ﺎﻣﻭ ﻩﻮﺒﻨﺘﺟﺎﻓ ﻪﻨﻋ ﻢﻜﺘﻴﻬﻧ ﺎﻣ ﺎﻣ ﻪﻨﻣ ﺍﻮﻠﻌﻓﺎﻓ ﻪﺑ ﻢﻜﺗﺮﻣﺃ ﻦﻳﺬﻟﺍ ﻚﻠﻫﺃ ﺎﻤﻧﺈﻓ ﻢﺘﻌﻄﺘﺳﺍ ﻢﻬﻠﺋﺎﺴﻣ ﺓﺮﺜﻛ ﻢﻜﻠﺒﻗ ﻦﻣ ﻢﻬﺋﺎﻴﺒﻧﺃ ﻰﻠﻋ ﻢﻬﻓﻼﺘﺧﺍﻭ “Apapun yang saya melarang kalian darinya maka jauhilah hal
tersebut dan apapun yang saya
perintahkan kepada kalian maka
laksanakanlah semampu kalian.
Sesungguhnya yang
menghancurkan orang-orang sebelum kalian hanyalah
banyaknya pertanyaan mereka
dan penyelisihan mereka
terhadap para Nabinya.” Kemudian Abu Bakr Ash-Shiddiq
radhiyallahu ‘ anhu berkata, ﻝﻮﺳﺭ ﻥﺎﻛ ﺎﺌﻴﺷ ﺎﻛﺭﺎﺗ ﺖﺴﻟ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻲﻧﺇ ﻪﺑ ﺖﻠﻤﻋ ﻻﺇ ﻪﺑ ﻞﻤﻌﻳ ﻦﻣ ﺎﺌﻴﺷ ﺖﻛﺮﺗ ﻥﺇ ﻰﺸﺧﺃ ﻎﻳﺯﺃ ﻥﺃ ﻩﺮﻣﺃ “Tidaklah saya meninggalkan sesuatu apapun yang Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wa ‘ alihi wa sallam mengerjakannya kecuali
saya kerjakan karena saya
takut kalau saya meninggalkan
sesuatu dari perintah beliau saya
akan menyimpang.” (HSR. Bukhary-Muslim) Memahami Al-Qur`an dan As-
Sunnah harus dengan
pemahaman para ulama Salaf.
Allah Jalla Fi ‘ Ulahu berfirman, “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, Kami
biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam,
dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali”. [ An-Nisa`: 115 ] Juga dalam hadits yang
mutawatir, Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda, ﻦﻳﺬﻟﺍ ﻢﺛ ﻲﻧﺮﻗ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﺮﻴﺧ ﻢﻬﻧﻮﻠﻳ ﻦﻳﺬﻟﺍ ﻢﺛ ﻢﻬﻧﻮﻠﻳ “Sebaik-baik manusia adalah
zamanku, kemudian zaman setelahnya kemudian zaman setelahnya.” Beliau menyatakan pula, ﻯﺪﺣﺇ ﻰﻠﻋ ﺩﻮﻬﻴﻟﺍ ﺖﻗﺮﺘﻓﺍ ﺖﻗﺮﺘﻓﺍﻭ ﺔﻗﺮﻓ ﻦﻴﻌﺒﺳﻭ ﻦﻴﻌﺒﺳﻭ ﻦﻴﺘﻨﺛ ﻰﻠﻋ ﻯﺭﺎﺼﻨﻟﺍ ﻕﺮﺘﻔﺘﺳ ﻲﺘﻣﺃ ﻥﺇﻭ ﺔﻗﺮﻓ ﺎﻬﻠﻛ ﺔﻗﺮﻓ ﻦﻴﻌﺒﺳﻭ ﺙﻼﺛ ﻰﻠﻋ ﻲﻫﻭ ﺓﺪﺣﺍﻭ ﻻﺇ ﺭﺎﻨﻟﺍ ﻲﻓ ﺔﻋﺎﻤﺠﻟﺍ “Telah terpecah orang– orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu
firqah ‘ golongan ’ dan telah terpecah orang-orang Nashara
menjadi tujuh puluh dua firqah
dan sesungguhnya umatku akan
terpecah menjadi tujuh puluh
tiga firqah. Semuanya dalam
neraka kecuali satu dan ia adalah Al-Jama’ ah.” (Hadits shahih, dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albany dalam Zhilalul Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash- Shahih Al-Musnad Mimma
Laisa Fi Ash-Shahihain - rahimahumallahu-) Karena itulah, Imam Ahmad
rahimahullah berkata, “Pokok sunnah di sisi kami adalah
berpegang teguh di atas apa
yang para shahabat berada di
atasnya dan mengikuti mereka.” Lihat Syarh Ushul I’ tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ ah 1/176. Allahu Akbar …! Betapa kuatnya pijakan seorang muslim bila ia
berpegang teguh dengan Al
Qur`an dan Sunnah sesuai
dengan pemahaman para ulama
salaf. Ini merupakan senjata yang
paling ampuh dan tameng yang paling kuat dalam menghadapi
dan menangkis setiap fitnah
yang datang. Sejarah telah
membuktikan bagaimana orang-
orang yang berpegang teguh
kepada Al Qur`an dan Sunnah selamat dari fitnah dan mereka
tetap kokoh di atas jalan yang
lurus. Lihatlah kisah Abu Bakar Ash-
Shiddiq radhiyallahu ‘ anhu , ketika Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wa alihi wa sallam mengirim Usamah bin Zaid untuk memimpin
700 orang dalam menggempur
kerajaan Rum. Ketika pasukan
tersebut tiba di suatu tempat
yang bernama Dzu Khasyab,
Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam meninggal. Maka
mulailah orang-orang Arab di
sekitar Madinah murtad dari
agama sehingga para shahabat
mengkhawatirkan keadaan kota
Madinah. Lalu para shahabat berkata kepada Abu Bakar,
“Wahai Abu Bakar, kembalikan pasukan yang dikirim ke
kerajaan Rum itu, apakah
mereka diarahkan ke Rum
sedang orang-orang Arab di
sekitar Madinah telah murtad?” Maka Abu Bakar radhiyallahu
‘ anhu berkata, “Demi yang tidak ada sesembahan yang berhak
selain-Nya, andaikata anjing-
anjing telah berlari di kaki-kaki
para istri Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wa alihi wa sallam , saya tidak akan menarik suatu
pasukan pun yang dikirim oleh
Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dan saya tidak
akan melepaskan bendera yang
diikat oleh Rasulullah.” Lihat bagaimana gigihnya Abu
Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu
‘ anhu berpegang dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dalam kondisi yang
sangat genting seperti ini dan
betapa kuatnya keyakinan beliau
akan kemenangan orang yang
menjalankan perintah-Nya. Maka yang terjadi setelah itu,
setiap kali pasukan Usamah bin
Zaid melewati suatu suku yang
murtad, suku yang murtad itu
berkata, “Andaikata mereka itu tidak mempunyai kekuatan,
tentu tidak akan keluar pasukan
sekuat ini dari mereka. Tetapi
kita tunggu sampai mereka
bertempur melawan kerajaan
Rum.” Lalu bertempurlah pasukan Usamah bin Zaid menghadapi
kerajaan Rum dan pasukan
Usamah berhasil mengalahkan
dan membunuh mereka. Kemudian
kembalilah pasukan Usamah
dengan selamat dan orang-orang yang akan murtad itu tadi tetap
di atas Islam. (Baca kisah ini dalam Madarik An-Nazhar hal. 51-52 cet. kedua) Maka lihatlah, wahai orang-orang
yang menghendaki keselamatan!
Peganglah kaidah pertama ini
dengan baik, niscaya engkau
akan selamat dari fitnah di dunia
dan di akhirat. Kaidah Kedua, merujuk kepada para ulama. Allah Al-Hakim Al-‘ Alim mengisahkan tentang Qarun
dalam firman-Nya, “Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya.
Berkatalah orang-orang yang
menghendaki kehidupan dunia,
‘ Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang
telah diberikan kepada Qarun;
sesungguhnya ia benar-benar
mempunyai keberuntungan yang
besar.’ Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu, ‘ Celakalah kalian, pahala Allah adalah lebih
baik bagi orang-orang yang
beriman dan beramal shalih, dan
tidak diperoleh pahala itu kecuali
oleh orang-orang yang sabar.’ Maka Kami benamkanlah Qarun
beserta rumahnya ke dalam
bumi. Maka tidak ada baginya
suatu golongan pun yang
menolongnya terhadap adzab
Allah. dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat)
membela (dirinya).” [ Al- Qashash: 79-81 ] Karena itulah Imam Hasan Al-
Bashry berkata, “Sesungguhnya bila fitnah itu datang, diketahui
oleh setiap ‘ alim (ulama), dan apabila telah terjadi (lewat),
maka baru diketahui oleh orang-
orang yang jahil.” Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda pula
dalam hadits ‘ Ubadah bin Shamit riwayat Imam Ahmad dan lain-
lain, ﻞﺠﻳ ﻢﻟ ﻦﻣ ﻲﺘﻣﺃ ﻦﻣ ﺲﻴﻟ ﻑﺮﻌﻳﻭ ﺎﻧﺮﻴﻐﺻ ﻢﺣﺮﻳﻭ ﺎﻧﺮﻴﺒﻛ ﻪﻘﺣ ﺎﻨﻤﻟﺎﻌﻟ “Bukan dari ummatku siapa yang tidak menghormati orang yang
besar dari kami dan tidak
merahmati orang yang kecil dari
kami dan tidak mengetahui hak
orang yang alim dari
kami.” (Dihasankan oleh Syaikh Al Albany dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir ) Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam juga bersabda
dalam hadits Ibnu ‘ Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Al Hakim,
Ibnu Hibban dan lain-lain, ﻢﻛﺮﺑﺎﻛﺃ ﻊﻣ ﺔﻛﺮﺒﻟﺍ “Berkah itu bersama orang- orang besarnya
kalian.” (Dishahihkan oleh Syaikh Al Albany dalam Silsilah Ahadits Ash Shahihah no. 1778) Fitnah akan bermunculan apabila
para ulama sudah tidak lagi
dijadikan sebagai rujukan,
sebagaimana dalam hadits Abu
Hurairah riwayat Ibnu Majah dan
lain-lainnya, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda, ﺕﺍﻮﻨﺳ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﻲﺗﺄﻴﺳ ﺏﺫﺎﻜﻟﺍ ﺎﻬﻴﻓ ﻕﺪﺼﻳ ﺕﺎﻋﺍﺪﺧ ﻦﻤﺗﺆﻳﻭ ﻕﺩﺎﺼﻟﺍ ﺎﻬﻴﻓ ﺏﺬﻜﻳﻭ ﺎﻬﻴﻓ ﻥﻮﺨﻳﻭ ﻦﺋﺎﺨﻟﺍ ﺎﻬﻴﻓ ﺎﻬﻴﻓ ﻖﻄﻨﻳﻭ ﻦﻴﻣﺄﻟﺍ ﺔﻀﺒﻳﻭﺮﻟﺍ ﺎﻣﻭ ﻞﻴﻗ ﺔﻀﺒﻳﻭﺮﻟﺍ ﻲﻓ ﻢﻠﻜﺘﻳ ﻪﻓﺎﺘﻟﺍ ﻞﺟﺮﻟﺍ ﻝﺎﻗ ﺔﻣﺎﻌﻟﺍ ﺮﻣﺃ “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang menipu, akan
dipercaya/dibenarkan padanya
orang yang berdusta dan
dianggap berdusta orang yang
jujur, orang yang berkhianat
dianggap amanah dan orang yang amanah dianggap
berkhianat dan akan berbicara
Ar-Ruwaibidhah. Ditanyakan, ‘ Siapakah Ar-Ruwaibidhah itu? ’ Beliau berkata, ‘ Orang yang bodoh berbicara dalam perkara
umum.” (Dishahihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahih Al- Musnad Mimma Laisa Fi Ash-
Shahihain ) Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam juga bersabda
dalam hadits ‘ Abdullah bin ‘ Amr bin ‘ Ash riwayat Bukhary-Muslim, ﻢﻠﻌﻟﺍ ﺾﺒﻘﻳ ﻻ ﻪﻠﻟﺍ ﻥﺇ ﺩﺎﺒﻌﻟﺍ ﻦﻣ ﻪﻋﺰﺘﻨﻳ ﺎﻋﺍﺰﺘﻧﺍ ﺾﺒﻘﺑ ﻢﻠﻌﻟﺍ ﺾﺒﻘﻳ ﻦﻜﻟﻭ ﻖﺒﻳ ﻢﻟ ﺍﺫﺇ ﻰﺘﺣ ﺀﺎﻤﻠﻌﻟﺍ ﺎﺳﻭﺅﺭ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﺬﺨﺗﺍ ﺎﻤﻟﺎﻋ ﺮﻴﻐﺑ ﺍﻮﺘﻓﺄﻓ ﺍﻮﻠﺌﺴﻓ ﻻﺎﻬﺟ ﺍﻮﻠﺿﺃﻭ ﺍﻮﻠﻀﻓ ﻢﻠﻋ “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan
mencabutnya dari para hamba
akan tetapi Allah mencabutnya
dengan mencabut (mewafatkan)
para ulama sampai bila tidak
tersisa lagi seorang alim maka manusia pun mengambil para
pemimpin yang bodoh maka
mereka pun ditanya lalu mereka
memberi fatwa tanpa ilmu maka
sesatlah mereka lagi
menyesatkan.”

Kamis, Februari 03, 2011

islam agama yang sempurna

Kehidupan dan Kematian Adalah
Dua Keniscayaan Kamu Muhammadiyah Ya ? PERSIS
Ya ? Al Irsyad Ya ? Salafi Ya ?
Wahabi Ya ? Kalimat itulah yang
sering dilontarkan oleh mereka
yang anti pati kepada mereka
yang tidak melakukan Tahlilan [selamatan Kematian] apabila ada
sanak keluarganya yang
meninggal dunia. Maka katakanlah kepada mereka; ْدَهْشاَو اَّنَأِب َنوُمِلْسُم Saksikanlah bahwa sesungguhnya
kami adalah Muslimun (orang-
orang yang berserah diri). [QS. Ali
Imron :52] KEMATIAN dan KELAHIRAN adalah
dua keniscayaan. Satu
kegembiraan dan satunya
kesedihan. Dan tidak mungkin
Islam tidak mengatur prosesi-
prosesi yang bersangkutan dengan kedua hal tersebut, Islam
telah mengaturnya dengan
mencontoh Rasulullah orang yang
PALING MENGERTI cara bersosialisi/
bermasyarakat. Beliau memiliki
akhlakul karimah, hati yang penyayang, paling santun dan
lembut hatinya. Beliau paling
mengerti bagaimana cara
menghibur orang dan mendo'akan
orang yang KEMATIAN dan
musibah lainnya. Bagimana cara bergembira bersama orang yang
lagi senang, baik menyambut
KELAHIRAN dan lainnya. Pada kasus
kematian, Rasulullah tidak pernah
mencontohkan TAHLILAN [dlm arti :
Selamatan Kematian]. RASULULLAH ADALAH ORANG
YANG PALING MENGERTI CARA
BERSOSIALISI DAN
BERMASYARAKAT "Lau Kaana Khairan Lasabaquuna
ilahi" [seandainya Selamatan
kematian itu baik, niscaya
Rasulullah dan para sahabatnya
paling bersegera melakukannya,
sebab perkara apapun yang bernilai baik (hasanah) dalam
rangka taqarrub kepada Allah
tidak akan pernah mereka
lewatkan] Maka sungguh na'if bagi mereka
yang berdalih untuk melakukan
Selamatan kematian hanya
berdasarkan pendapat bukan
dalil. Seandainyapun ada dalilnya : MAKA ALANGKAH NAI'FNYA
RASULULLAH TIDAK MENGERTI
BAHWA KALAU TERNYATA ADA
"DALILNYA" UNTUK MELAKUKAN
TAHLILAN, PADAHAL AL QUR'AN
TURUN DI SISI MEREKA DAN RASULULLAH MEMBIMBING MEREKA
[PARA SAHABAT] SECARA LANGSUNG.
Padahal di jaman Rasulullah para
sahabat banyak yang mati
syahid, bahkan ketika Istri beliau
Siti Khadijah dan anak beliau Al Qasim dan Ibrahim meninggal,
tidak ada keterangan Rasulullah
mentahlili mereka [red: selamatan
kematian]. Ketahuilah, pendapat seorang
ulama bukanlah SEBUAH DALIL.
Pendapat ulama, mustahil dapat
mengalahkan IJMA' SAHABAT. Begitu Sempurnanya ajaran Islam,
Mengatur Masalah Kematian dan
Kelahiran Ketahuilah, Islam adalah ad Dien
yang sempurna, sehingga tidak
perlu lagi penambahan dan
pengurangan syari'atnya. Apa-
apa yang telah menjadi syari'at
agama sejak diturunkannya QS. Al Maidah : 3, maka ia tetap menjadi
syari'at sampai sekarang dan
nantinya tanpa ada perubahan.

Sabtu, Januari 15, 2011

YASINNAN YANG DI ANGGAP SUNNAH

“Ayo pak kita yasinan di rumahnya pak RT!” Kegiatan yang sudah menjadi tradisi di
masyarakat kita ini biasanya diisi
dengan membaca surat Yasin
secara bersama-sama. Mereka
bermaksud mengirim pahala
bacaan tersebut kepada si mayit untuk meringankan
penderitaannya. Timbang-
timbang, daripada berkumpul
untuk bermain catur, kartu
apalagi berjudi, kan lebih baik
digunakan untuk membaca Al- Qur’an (khususnya surat Yasin). Memang sepintas jika
dipertimbangkan menurut akal
pernyataan itu benar namun
kalau dicermati lagi ternyata ini
merupakan kekeliruan. Al-Qur’an untuk Orang Hidup Al-Qur’an diturunkan Alloh Ta’ala kepada Nabi Muhammad
shollallohu’alaihi wa sallam sebagai petunjuk, rahmat,
cahaya, kabar gembira dan
peringatan. Maka kewajiban
orang-orang yang beriman untuk
membacanya, merenungkannya,
memahaminya, mengimaninya, mengamalkan dan berhukum
dengannya. Hikmah ini tidak akan
diperoleh seseorang yang sudah
mati. Bahkan mendengar saja
mereka tidak mampu.
“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang
mati itu mendengar.” (Terjemah An-Nahl: 80). Alloh Ta’ala juga berfirman di dalam surat Yasin
tentang hikmah tersebut yang
artinya, “Al Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab
yang memberi penerangan
supaya dia memberi peringatan
kepada orang-orang yang
hidup.” (Yasin: 69-70). Alloh berfirman yang artinya,
“Sesungguhnya seseorang itu tidak akan menanggung dosa
seseorang yang lain dan
bahwasanya manusia tidak akan
memperolehi ganjaran melainkan
apa yang telah ia kerjakan.” (An- Najm: 38-39). Berkata Al-Hafizh
Imam Ibnu Katsir rohimahulloh:
“Melalui ayat yang mulia ini, Imam Syafi’i rohimahulloh dan para pengikutnya menetapkan bahwa
pahala bacaan (Al-Qur’an) dan hadiah pahala tidak sampai
kepada orang yang mati, karena
bacaan tersebut bukan dari amal
mereka dan bukan usaha
mereka. Oleh karena itu
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
memerintahkan umatnya,
mendesak mereka untuk
melakukan perkara tersebut dan
tidak pula menunjuk hal tersebut
(menghadiahkan bacaan kepada orang yang mati) walaupun
hanya dengan sebuah dalil pun.” Adapun dalil-dalil yang
menunjukkan keutamaan surat
Yasin jika dibaca secara khusus
tidak dapat dijadikan hujjah.
Membaca surat Yasin pada malam
tertentu, saat menjelang atau sesudah kematian seseorang
tidak pernah dituntunkan oleh
syari’at Islam. Bahkan seluruh hadits yang menyebutkan
tentang keutamaan membaca
Yasin tidak ada yang sahih
sebagaimana ditegaskan oleh Al
Imam Ad Daruquthni. Islam telah menunjukkan hal yang
dapat dilakukan oleh mereka
yang telah ditinggal mati oleh
teman, kerabat atau
keluarganya yaitu dengan
mendo’akannya agar segala dosa mereka diampuni dan
ditempatkan di surga Alloh
subhanahu wa ta’ala. Sedangkan jika yang meninggal adalah orang
tua, maka termasuk amal yang
tidak terputus dari orang tua
adalah do’a anak yang sholih karena anak termasuk hasil
usaha seseorang semasa di
dunia. Biar Sederhana yang
Penting Ada Tuntunannya Jadi, tidak perlu repot-repot
mengadakan kenduri, yasinan
dan perbuatan lainnya yang
tidak ada tuntunannya dari
Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam. Bahkan apabila dikaitkan
dengan waktu malam Jum’at, maka ada larangan khusus dari
Rosululloh shollalohu’alaihi wa sallam yakni seperti yang
termaktub dalam sabdanya, “Dari Abu Hurairah, dari Nabi shollallohu
‘alaihi wa sallam: Janganlah kamu khususkan malam Jum’at untuk melakukan ibadah yang tidak
dilakukan pada malam-malam
yang lain.” (HR. Muslim). Bukankah lebih baik beribadah sedikit
namun ada dalilnya dan istiqomah
mengerjakannya dibanding
banyak beribadah tapi sia-sia?
Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beramal yang tidak ada
tuntunannya dari kami, maka ia
tertolak.” (HR. Muslim). Semoga Alloh subhanahu wa ta’ala melindungi kita semua dari hal-
hal yang menjerumuskan kita ke
dalam kebinasaan. Wallohu a’lam bishshowab. *** Penulis: Muhammad Ikrar Yamin
Artikel www.muslim.or.id

Rabu, Desember 29, 2010

audisi al-muthaffifin

Siapapun kita manusia pada
dasarnya punya keinginan untuk
curang. Meminta lebih kalau
diberi orang. Dan cenderung
mengurangi apabila memberi ke
orang lain. Ada yang protes? Ya, begitulah. Bayangkan kita masih
anak-anak berumur 8 tahun.
Bayangkan ibu kita membagi kue
brownies kepada semua
anaknya, termasuk kita dan tak
lepas saudara kita tentunya. Ibu berusaha membagi dengan adil,
karena setiap anak memang
berbeda kadarnya. Bayangkan
kita bukan anak pertama. Tentu
ada sedikit rasa ngiri kenapa
kakak tertua mendapat yang paling besar. Sementara kita
tidak melirik bahwa adik pun
bagiannya yang lebih kecil. Yang
kita tahu,”Kok aku cuman dapet sedikit? Gak adil… ..!“. Masa berputar dan waktu
berlalu. Kita pun beranjak
dewasa dengan perkembangan
psikologi yang mengiringi.
Perkembangan psikologi tidaklah
sama pada setiap orang. Ada yang cepat menjadi dewasa.
Bahkan tidak sedikit yang telat
menjadi dewasa. Banyak kita
temui orang tua yang kekanak-
kanakan, kitakah itu? Perkembangan psikologi sangat
dipengaruhi oleh lingkungan dan
orang-orang sekitar. Dengan
bertambahnya usia, akal pun
semakin berkembang. Akal yang
berkembang itu menjadi sebuah dilemma, bisa bermanfaat atau
sebaliknya. Membinasakan. Kembali ke persoalan curang.
Ketika anak-anak, ketika
berontak kita hanya bisa diam
membisu menerima keputusan
sang ibu. Lebih dari itu, paling-
paling nangis atau ngambek. Saat dewasa, source yang dimiliki
bertambah, akal yang
berkembang dan fisik yang
semakin kuat. Implikasi dari
perkembangan kedua hal
tersebut bisa kita lihat di kehidupan sehari-hari. Sebuah SMA di Malang nekat
memalsukan nilai rapor muridnya
yang hendak mendaftar program
penelusuran bakat dan minat
untuk bisa kuliah di Universitas
Brawijaya, universitas kenamaan di kota Bentoel. “Mau kemana mas?“, tanya seorang tukang becak pada
sesosok pemuda yang tampak
kebingungan di terminal
tirtonadi, Solo. “Pasar Legi, pak“, pemuda itu menjawab. “20 ribu aja mas. Kan lewat Gemblegan dulu. Ayo saya anter.
Udah murah ni…!“ tukang becak itu membujuk sambil menipu. Tak perlulah ke Gemblegan dulu
dari terminal Tirtonadi kalau mau
ke Pasar Legi. Satu lagi bentuk
kecurangan. Mengulur waktu masuk kerja,
bagi yang karyawan, dan
tentunya sering curi start
pulang kerja. Lantas tiap tahun
menuntut kenaikan gaji. Sungguh
ini adalah bentuk kecurangan komunal, berjamaah. Pedagang
pun tidak luput dari praktik ini.
“Wah, gak boleh mas. Kulakannya aja gak dapet segitu! Bisa rugi
saya!“. Begitu seruan yang sering kita dengar dalam sebuah
fragmen tawar menawar antara
calon pembeli dengan sang
empunya dagangan. Menipukah
ini? Curangkah ini? *** “Ke mana Pak?” Tanya seorang penjual jasa taksi padaku. “Deket Bang, cuman cimone situ aja“,jawabku sedikit meramahkan diri. Karena aku tahu, orang
yang menawarkan jasa itu tak
lebih adalah preman bandara. “100 ribu aja. Udah murah ni“, orang itu menawarkan harga
taksi tembak atau borongan
yang bagiku adalah harga
banting. Perasaan calon
penumpang yang dibanting habis-
habisan. “Gocap!” aku hanya menjawab singkat. “Wah, gak boleh Pak. Ijin masuk aja 20 ribu. Itu kalo “Taksi Biru” gak ada yang mau, semuanya
lewat Cengkareng, tambah tol
bisa nyampe 150 ribu. 100 ribu
uda murah ni!” calo itu masih berharap aku iba padanya.
Namun sayang, aku sudah
mengenal medan. Jarak 8 km
tidak pantas dihargai 100 ribu
naik taksi. Akhirnya akupun dapet “Taksi Biru” yang tanpa calo, tanpa menipu, dan service lebih santun.
Tidak lebih dari 50 ribu. Jasa
parkir bandara hanya 10 ribu.
Sungguh, calo di bandara tadi
sudah melakukan 6 kebodohan.
Kebodohan pertama, tidak mau menggunakan argo meter.
Kedua, memalsukan trayek taksi
lain dengan menipu calon
penumpang. Ketiga, memalsukan
ongkos taksi lain. Keempat,
memalsukan ongkos jasa parker di bandara. Kelima, berniat
menipu calon penumpang. Dan
keenam, dia tidak sadar dia
sudah menjadi golongan Al-
Muthaffifin. Sungguh sebuah
penipuan besar-besaran. *** Dalam kancah politik, partai-
partai mengumbar janji. Saya
akan… .. Saya akan… . Saya akan… .. Sementara bangsa dan rakyat
negeri mayoritas muslim ini lebih
membutuhkan kerja nyata, riil.
Kita semua lebih membutuhkan
bukti, bukan janji. Janji-janji
partai politik gadungan itu memang diniatkan hanya untuk
memanen jutaan dana kampanye.
Dan… menipu para calon pemilihnya. Tidak lebih. Dan
sayangnya, belum banyak partai
politik yang benar-benar tulus
melayani negeri. Kau yang
berjanji… kau yang mengingkari… kau yang mulai… kau yang mengakhiri… . Semua contoh kasus di atas
berawal dari rasa tidak puas
dengan apa yang ada padanya.
Apa yang sudah Allah karuniakan
padanya. Fisik yang sehat,
oksigen gratis setiap hari, cukup makan, tidaklah cukup membuka
mata hati orang-orang
bermental Muthaffifin. “Masih kurang ni… .!” Begitulah mindset mereka, Al-Muthaffifin. *** Akibat salah asuhan Tak perlulah kita semua
memicingkan mata melihat
sadisnya watak manusia
muthaffifin di atas. Tak perlulah
kita khawatir apakah diri kita
bagian dari mereka. Cukuplah Allah dan Rasulnya menjadi
panutan setiap helaan nafas.
Menjadi titian setiap langkah.
Menjadi Suri untuk diteladani.
Cukuplah Al-Quran dan As-
Sunnah menuntun kita menjadi pribadi yang sholeh dan Ihsan.
Sholeh karena perangai kita
tidak untuk menyakiti orang lain.
Ihsan karena yakin setiap
perbuatan diawasi oleh Sang
Pemilik alam, Allahu Akbar. Wal ihsan an ta’ budallaha ka annaka taroohu, fa in lam takun taroohu
fa innahu yarooka. Sebagai muslim, setiap kita
bertanggung jawab mendidik
generasi militan dalam
menjalankan ajaran suci Islam.
Dan hendaklah takut kepada
Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di
belakang mereka anak-anak
yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh
sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan
hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar. [QS. an-Nisa' (4) : 9]. Mendidik kejujuran dan menjauhi
karakter muthaffifin termasuk
dalam kepribadian muslim sejati
yang digariskan. Orang-orang itu
tak mungkin mau menipu kalau
tidak khawatir tidak bisa makan. Orang-orang itu tak mungkin
menipu kalau mereka yakin
dengan janji Allah dengan setiap
perkataan yang benar. Lantas bagaimanakah dengan
calo di atas? Perlu kita kasihan
pada mereka. Kasihan karena
mereka masih mau menipu.
Kasihan karena mereka tidak
diajarkan nilai-nilai kejujuran. Kasihan karena mereka belum
saatnya mengenal kebenaran
hakiki. Kasihan karena keluarga
mereka makan dari yang tidak
halal, hasil menipu. Kasihan
karena mereka adalah penganut paham yang haram aja susah
apalagi dapetin yang halal.
Mungkin inikah masa yang
digambarkan oleh Rasulullah SAW
itu? Wahai sadaraku, persiapkan
generasi muslim yang militan.
Berkarakter kuat.
Berkepribadian memikat. Tidak
mudah tertipu dengan tipu
muslihat. Perkenalkanlah pada wajah-wajah surga itu
kebenaran hakiki. Kenalkanlah
pada anak-anak kita kejujuran.
Kenalkanlah akan janji Allah akan
ketaqwaan. Janganlah
meninggalkan generasi lemah akibat kesalahan kita mengasuh
mereka. Mungkin, tidak mendidik
anak-anak dengan nilai-nilai Islam
juga termasuk dengan tindakan
curang, muthaffif. Lantas, tertarikkah kita menjadi
Al-Muthaffif? Kecelakaan besarlah bagi Al-
Muthaffifin (orang-orang yang
curang). Yaitu orang-orang yang
apabila menerima takaran dari
orang lain mereka minta dipenuhi.
Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang
lain, mereka mengurangi.
Tidakkah orang-orang itu
menyangka, bahwa
sesungguhnya mereka akan
dibangkitkan. [Q.S. Al- Muthaffifin :1-4]

Selasa, Desember 28, 2010

meracik prestasi amal

Sobat, keimanan yang yang
sudah kita proklamirkan tidaklah
hanya penghias bibir dan
sekedar label tanda pengenal.
Allah swt berjanji memberikan
testing berupa ujian dan ajakan, apakah kita benar-benar
mempunyai iman yang
berkualitas. َبِسَحَأ ُساَّنلا ْنَأ اوُكَرْتُي ْنَأ اوُلوُقَي اَّنَمآ ْمُهَو ال َنوُنَتْفُي ) ٢ ( ْدَقَلَو اَّنَتَف َنيِذَّلا ْنِم ْمِهِلْبَق َّنَمَلْعَيَلَف ُهَّللا َنيِذَّلا اوُقَدَص َّنَمَلْعَيَلَو َنيِبِذاَكْلا Apakah manusia itu mengira
bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? dan Sesungguhnya
Kami telah menguji orang-orang
yang sebelum mereka, Maka
Sesungguhnya Allah mengetahui
orang-orang yang benar dan
Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.
(QS.29:2-3) Allah swt memberikan hadiah
yang amat sangat tiada duanya
disaat nanti. Suatu waktu yang
tidak bisa mengelak, tidak bisa
kembali ke dunia dan hanya
pertolongan Allah-lah yang berlaku, just it!. Hadiah tersebut
adalah ridho kepada makhluk
untuk melenggang masuk ke
dalam jannah (syurga).
Sebaliknya, bagi yang mempunyai
iman palsu akan berkumpul di suatu tempat hina yakni neraka. Sobat, kita baru saja diingatkan
tahun baru hijriyah. So,
berkurang sudah jatah umur
kita..marilah kita renungi. Apakah
yang sudah kita lakukan sampai
detik ini, hidup sia-siakah? Hidup tanpa kesungguhan dalam
beramal shaleh-kah? Ataukah
beribadah dengan seenaknya
sendiri? Ataukah telah berusaha
menekuni amal-amal sehingga
berprestasi di mata Allah swt? Sobat pasti ingat dengan
sahabat Bilal Ra, yang senantiasa
shalat sunnah setiap kali selesai
berwudhu sehingga suara
terompahnya sudah dikabarkan
“terdengar” di surga oleh Nabi SAW. Atau Abu Dzar yang
senantiasa menjaga wasiat Nabi
SAW selama hidup untuk tidak
meninggalkan 3 hal: 2 rakaat
sunnah Dhuha, puasa 3 hari
dalam sebulan dan shalat witir sebelum tidur. Dan juga kisah-
kisah shahih lain yang terjadi
pada suatu generasi terbaik,
yakni generasi para shabat
Rasulullah SAW. Dan tentunya
sebagai pengikut menjadi kita wajib untuk mencontoh dan
mengobarkan motivasi untuk
mengikuti jejaknya. Masih ingatkah kisah 3 orang
istimewa yang berteduh di goa,
kemudian atas kehendak Allah
swt pintunya menjadi tertutup
batu dan tidak bisa dibuka
kembali. Berkat prestasi dalam amalan mereka, Allah swt berikan
solusi dan bantuan langsung.
Simak hadist berikut : اَنَثَّدَح ُديِعَس ُنْب يِبَأ َمَيْرَم اَنَثَّدَح ُليِعاَمْسِإ ُنْب َميِهاَرْبِإ ِنْب َةَبْقُع َلاَق يِنَرَبْخَأ ٌعِفاَن ْنَع ِنْبا َرَمُع َيِضَر ُهَّللا اَمُهْنَع ْنَع ِلوُسَر ِهَّللا ىَّلَص ُهَّللا ِهْيَلَع َمَّلَسَو َلاَق اَمَنْيَب ُةَثاَلَث ٍرَفَن َنْوَشاَمَتَي ْمُهَذَخَأ ُرَطَمْلا اوُلاَمَف ىَلِإ ٍراَغ يِف ِلَبَجْلا ْتَّطَحْناَف ىَلَع ِمَف ْمِهِراَغ ٌةَرْخَص ْنِم ِلَبَجْلا ْتَقَبْطَأَف ْمِهْيَلَع َلاَقَف ْمُهُضْعَب ٍضْعَبِل اوُرُظْنا اًلاَمْعَأ اَهوُمُتْلِمَع ِهَّلِل ًةَحِلاَص اوُعْداَف َهَّللا اَهِب ُهَّلَعَل اَهُجُرْفَي َلاَقَف ْمُهُدَحَأ َّمُهَّللا ُهَّنِإ َناَك يِل ِناَدِلاَو ِناَخْيَش ِناَريِبَك يِلَو ٌةَيْبِص ٌراَغِص ُتْنُك ىَعْرَأ ْمِهْيَلَع اَذِإَف ُتْحُر ْمِهْيَلَع ُتْبَلَحَف ُتْأَدَب َّيَدِلاَوِب اَمِهيِقْسَأ َلْبَق يِدَلَو ُهَّنِإَو َءاَن َيِب ُرَجَّشلا اَمَف ُتْيَتَأ ىَّتَح ُتْيَسْمَأ اَمُهُتْدَجَوَف ْدَق اَماَن ُتْبَلَحَف اَمَك ُتْنُك ُبُلْحَأ ُتْئِجَف ِباَلِحْلاِب ُتْمُقَف َدْنِع اَمِهِسوُءُر ُهَرْكَأ ْنَأ اَمُهَظِقوُأ ْنِم اَمِهِمْوَن ُهَرْكَأَو ْنَأ َأَدْبَأ ِةَيْبِّصلاِب اَمُهَلْبَق ُةَيْبِّصلاَو َنْوَغاَضَتَي َدْنِع َّيَمَدَق ْمَلَف ْلَزَي َكِلَذ يِبْأَد ْمُهَبْأَدَو ىَّتَح َعَلَط ُرْجَفْلا ْنِإَف َتْنُك ُمَلْعَت يِّنَأ ُتْلَعَف َكِلَذ َءاَغِتْبا َكِهْجَو ْجُرْفاَف اَنَل ًةَجْرُف ىَرَن اَهْنِم َءاَمَّسلا َجَرَفَف ُهَّللا ْمُهَل ًةَجْرُف ىَّتَح َنْوَرَي اَهْنِم َءاَمَّسلا َلاَقَو يِناَّثلا َّمُهَّللا ُهَّنِإ ْتَناَك يِل ُةَنْبا ٍّمَع اَهُّبِحُأ ِّدَشَأَك اَم ُّبِحُي ُلاَجِّرلا َءاَسِّنلا ُتْبَلَطَف اَهْيَلِإ اَهَسْفَن ْتَبَأَف ىَّتَح اَهَيِتآ ِةَئاِمِب ٍراَنيِد ُتْيَعَسَف ىَّتَح ُتْعَمَج َةَئاِم ٍراَنيِد اَهُتيِقَلَف اَهِب اَّمَلَف ُتْدَعَق َنْيَب اَهْيَلْجِر ْتَلاَق اَي َدْبَع ِهَّللا ِقَّتا َهَّللا اَلَو ْحَتْفَت َمَتاَخْلا ُتْمُقَف اَهْنَع َّمُهَّللا ْنِإَف َتْنُك ُمَلْعَت يِّنَأ ْدَق ُتْلَعَف َكِلَذ َءاَغِتْبا َكِهْجَو ْجُرْفاَف اَنَل اَهْنِم َجَرَفَف ْمُهَل ًةَجْرُف َلاَقَو ُرَخآْلا َّمُهَّللا يِّنِإ ُتْنُك ُتْرَجْأَتْسا اًريِجَأ ِقَرَفِب ٍّزُرَأ اَّمَلَف ىَضَق ُهَلَمَع َلاَق يِنِطْعَأ يِّقَح ُتْضَرَعَف ِهْيَلَع ُهَّقَح ُهَكَرَتَف َبِغَرَو ُهْنَع ْمَلَف ْلَزَأ ُهُعَرْزَأ ىَّتَح ُتْعَمَج ُهْنِم اًرَقَب اَهَيِعاَرَو يِنَءاَجَف َلاَقَف ِقَّتا َهَّللا اَلَو يِنْمِلْظَت يِنِطْعَأَو يِّقَح ُتْلُقَف ْبَهْذا ىَلِإ َكِلَذ ِرَقَبْلا اَهيِعاَرَو َلاَقَف ِقَّتا َهَّللا اَلَو ْأَزْهَت يِب ُتْلُقَف يِّنِإ اَل ُأَزْهَأ َكِب ْذُخَف َكِلَذ َرَقَبْلا اَهَيِعاَرَو ُهَذَخَأَف َقَلَطْناَف اَهِب ْنِإَف َتْنُك ُمَلْعَت يِّنَأ ُتْلَعَف َكِلَذ َءاَغِتْبا َكِهْجَو ْجُرْفاَف اَم َيِقَب َجَرَفَف ُهَّللا ْمُهْنَع “Telah menceritakan kepada kami Sa’ id bin Abu Maryam telah menceritakan kepada kami Isma’ il bin Ibrahim bin ‘ Uqbah dia berkata; telah mengabarkan
kepadaku Nafi’ dari Ibnu Umar radliallahu ‘ anhuma dari Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam beliau bersabda: “Suatu ketika 3 orang laki-laki sedang
berjalan, tiba-tiba hujan turun
hingga mereka berlindung ke
dalam suatu gua yang terdapat
di gunung. Tanpa diduga
sebelumnya, ada sebongkah batu besar jatuh menutup mulut goa
dan mengurung mereka di
dalamnya. Kemudian salah
seorang dari mereka berkata
kepada temannya yang lain;
‘ lngat-ingatlah amal shalih yang pernah kalian lakukan hanya
karena mengharap ridla Allah
semata. Setelah itu, berdoa dan
memohonlah pertolongan kepada
Allah dengan perantaraan amal
shalih tersebut, mudah-mudahan Allah akan menghilangkan
kesulitan kalian. Kemudian salah seorang dari
mereka berkata; ‘ Ya Allah ya Tuhanku, dulu saya mempunyai
dua orang tua yang sudah lanjut
usia. Selain itu, saya juga
mempunyai seorang istri dan
beberapa orang anak yang masih
kecil. Saya menghidupi mereka dengan menggembalakan ternak.
Apabila pulang dari menggembala,
saya pun segera memerah susu
dan saya dahulukan untuk kedua
orang tua saya. Lalu saya
berikan air susu tersebut kepada kedua orang tua saya
sebelum saya berikan kepada
anak-anak saya. Pada suatu
ketika, tempat penggembalaan
saya jauh, hingga saya baru
pulang pada sore hari. Ternyata saya dapati kedua orang tua
saya sedang tertidur pulas. Lalu,
seperti biasa, saya segera
memerah susu. Saya berdiri di
dekat keduanya karena tidak
mau membangunkan dari tidur mereka. Akan tetapi, saya juga
tidak ingin memberikan air susu
tersebut kepada anak-anak
saya sebelum diminum oleh kedua
orang tua saya, meskipun mereka, anak-anak saya,
telah berkerumun di
telapak kaki saya untuk
meminta minum karena rasa
lapar yang sangat. Keadaan
tersebut saya dan anak- anak saya jalankan dengan
sepenuh hati hingga terbit
fajar. Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa saya melakukan
perbuatan tersebut hanya untuk
mengharap ridla-Mu, maka
bukakanlah celah untuk kami
hingga kami dapat melihat langit!
‘ Akhirnya Allah membuka celah lubang gua tersebut, hingga
mereka dapat melihat langit. Orang yang kedua dari mereka
berdiri sambil berkata; ‘ Ya Allah, dulu saya mempunyai seorang
sepupu perempuan (anak
perempuan paman) yang saya
cintai sebagaimana cintanya
kaum laki-laki yang menggebu-
gebu terhadap wanita. Pada suatu ketika saya pernah
mengajaknya untuk berbuat
mesum, tetapi ia menolak hingga
saya dapat memberinya uang
seratus dinar. Setelah bersusah
payah mengumpulkan uang seratus dinar, akhirnya saya pun
mampu memberikan uang
tersebut kepadanya. Ketika saya
berada diantara kedua pahanya
(telah siap untuk menggaulinya),
tiba-tiba ia berkata; ‘ Hai hamba Allah, takutlah
kepada Allah dan janganlah kamu membuka cincin
(menggauliku) kecuali setelah
menjadi hakmu.’ Lalu saya bangkit dan meninggalkannya. Ya
Allah, sesungguhnya Engkau pun
tahu bahwa saya melakukan hal
itu hanya untuk mengharapkan
ridhla-Mu. Oleh karena itu,
bukakanlah suatu celah lubang untuk kami! ‘ Akhirnya Allah membukakan sedikit celah lubang
lagi untuk mereka bertiga. Seorang lagi berdiri dan berkata;
‘ Ya Allah ya Tuhanku, dulu saya pernah menyuruh seseorang
untuk mengerjakan sawah saya
dengan cara bagi hasil. Ketika ia
telah menyelesaikan
pekerjaannya, ia pun berkata;
‘ Berikanlah hak saya kepada saya! ‘ Namun saya tidak dapat memberikan kepadanya haknya
tersebut hingga ia merasa
sangat jengkel. Setelah itu, saya
pun menanami sawah saya
sendiri hingga hasilnya dapat
saya kumpulkan untuk membeli beberapa ekor sapi dan menggaji
beberapa penggembalanya.
Selang berapa lama kemudian,
orang yang haknya dahulu tidak
saya berikan datang kepada
saya dan berkata; ‘ Takutlah kamu kepada Allah dan
janganlah berbuat zhalim
terhadap hak orang lain! ‘ Lalu saya berkata kepada orang
tersebut; ‘ Pergilah ke beberapa ekor sapi beserta para
penggembalanya itu dan ambillah
semuanya untukmu! ‘ Orang tersebut menjawab; ‘ Takutlah kepada Allah dan janganlah kamu
mengolok-olok saya! ‘ Kemudian saya katakan lagi kepadanya;
‘ Sungguh saya tidak bermaksud mengolok-olokmu. Oleh karena
itu, ambillah semua sapi itu
beserta para pengggembalanya
untukmu! ‘ Akhirnya orang tersebut memahaminya dan
membawa pergi semua sapi itu. Ya Allah, sesungguhnya
Engkau telah mengetahui
bahwa apa yang telah saya
lakukan dahulu adalah
hanya untuk mencari ridla-
Mu. Oleh karena itu, bukalah bagian pintu goa yang belum
terbuka! ‘ Akhirnya Allah pun membukakan sisanya untuk
mereka.” (HR. Bukhari) Sobat, bagaimana dengan kita?
Sudahkah kita berusaha meraih
amalan-amalan prestatif. Meraih
prestasi pastilah memerlukan
perjuangan, pengorbanan,
ketekunan dan keikhlasan. Mulailah dengan menebarkan
salam, berpuasa sunnah, shalat
sunnah, memberi makan kepada
orang yang membutuhkan,
berani mencegah kemungkaran
dan shalat malam ketika orang lain tidur nyenyak dan amal
shalih lainnya. Marilah kita buktikan iman
kepada Allah swt dengan
memberikan prestasi dalam
beramal shalih. Tidak hanya
sekedar penggugur kewajiban
atau setengah hati dalam menekuninya. Tunjuk dan nilai
dirimu, jangan menilai orang lain.
Semoga bermanfaat..

10 kerusakan dalam tahun baru

10 Kerusakan dalam
Perayaan Tahun Baru Selasa, 29 Desember 2009 00:00
Alhamdulillah. Segala puji hanya
milik Allah, Rabb yang
memberikan hidayah demi
hidayah. Shalawat dan salam
kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan
orang-orang yang mengikuti
mereka hingga akhir zaman.
Manusia di berbagai negeri
sangat antusias menyambut
perhelatan yang hanya setahun sekali ini. Hingga walaupun sampai
lembur pun, mereka dengan rela
dan sabar menunggu pergantian
tahun. Namun bagaimanakah
pandangan Islam -agama yang
hanif- mengenai perayaan tersebut? Apakah mengikuti dan
merayakannya diperbolehkan?
Semoga artikel yang singkat ini
bisa menjawabnya. Sejarah Tahun Baru Masehi Tahun Baru pertama kali
dirayakan pada tanggal 1
Januari 45 SM (sebelum masehi).
Tidak lama setelah Julius Caesar
dinobatkan sebagai kaisar Roma,
ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi
yang telah diciptakan sejak abad
ketujuh SM. Dalam mendesain
kalender baru ini, Julius Caesar
dibantu oleh Sosigenes, seorang
ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar
penanggalan baru itu dibuat
dengan mengikuti revolusi
matahari, sebagaimana yang
dilakukan orang-orang Mesir.
Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365
seperempat hari dan Caesar
menambahkan 67 hari pada
tahun 45 SM sehingga tahun 46
SM dimulai pada 1 Januari.
Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari
ditambahkan kepada bulan
Februari, yang secara teoritis
bisa menghindari penyimpangan
dalam kalender baru ini. Tidak
lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah
nama bulan Quintilis dengan
namanya, yaitu Julius atau Juli.
Kemudian, nama bulan Sextilis
diganti dengan nama pengganti
Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.[1] Dari sini kita dapat menyaksikan
bahwa perayaan tahun baru
dimulai dari orang-orang kafir
dan sama sekali bukan dari Islam.
Perayaan tahun baru ini terjadi
pada pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak dulu telah
dirayakan oleh orang-orang
kafir. Berikut adalah beberapa
kerusakan akibat seorang muslim
merayakan tahun baru. Kerusakan Pertama:
Merayakan Tahun Baru
Berarti Merayakan ‘ Ied (Perayaan) yang Haram Perlu diketahui bahwa perayaan
(’ ied) kaum muslimin ada dua yaitu ‘ Idul Fithri dan ‘ Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan, َناَك ِلْهَأِل ِةَّيِلِهاَجْلا ِناَمْوَي يِف ِّلُك ٍةَنَس َنوُبَعْلَي اَمِهيِف اَّمَلَف َمِدَق ُّيِبَّنلا ىَّلَص ُهَّللا ِهْيَلَع َمَّلَسَو َةَنيِدَمْلا َلاَق َناَك ْمُكَل ِناَمْوَي َنوُبَعْلَت اَمِهيِف ْدَقَو ْمُكَلَدْبَأ ُهَّللا اَمِهِب اًرْيَخ اَمُهْنِم َمْوَي ِرْطِفْلا َمْوَيَو ىَحْضَأْلا “Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan
Mihrojan) di setiap tahun yang
mereka senang-senang ketika
itu. Ketika Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau
mengatakan, ‘ Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di
dalamnya. Sekarang Allah telah
menggantikan bagi kalian dua
hari yang lebih baik yaitu hari
Idul Fithri dan Idul Adha.’” [2] Namun setelah itu muncul
berbagai perayaan (’ ied) di tengah kaum muslimin. Ada
perayaan yang dimaksudkan
untuk ibadah atau sekedar
meniru-niru orang kafir. Di
antara perayaan yang kami
maksudkan di sini adalah perayaan tahun baru Masehi.
Perayaan semacam ini berarti di
luar perayaan yang Nabi
shallallahu ‘ alaihi wa sallam maksudkan sebagai perayaan
yang lebih baik yang Allah ganti.
Karena perayaan kaum muslimin
hanyalah dua yang dikatakan
baik yaitu Idul Fithri dan Idul
Adha. Perhatikan penjelasan Al Lajnah
Ad Da-imah lil Buhuts ‘ Ilmiyyah wal Ifta’ , komisi fatwa di Saudi Arabia berikut ini:
Al Lajnah Ad Da-imah
mengatakan, “Yang disebut ‘ ied atau hari perayaan secara istilah
adalah semua bentuk
perkumpulan yang berulang
secara periodik boleh jadi
tahunan, bulanan, mingguan atau
semisalnya. Jadi dalam ied terkumpul beberapa hal: 1. Hari yang berulang semisal
idul fitri dan hari Jumat. 2. Berkumpulnya banyak orang
pada hari tersebut. 3. Berbagai aktivitas yang
dilakukan pada hari itu baik
berupa ritual ibadah ataupun
non ibadah. Hukum ied (perayaan) terbagi
menjadi dua: 1. Ied yang tujuannya adalah
beribadah, mendekatkan diri
kepada Allah dan
mengagungkan hari tersebut
dalam rangka mendapat
pahala, atau 2. Ied yang mengandung unsur
menyerupai orang-orang
jahiliah atau golongan-
golongan orang kafir yang
lain maka hukumnya adalah
bid’ ah yang terlarang karena tercakup dalam
sabda Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam, ْنَم َثَدْحَأ ىِف اَنِرْمَأ اَذَه اَم َسْيَل ُهْنِم َوُهَف ٌّدَر “Barang siapa yang mengada-adakan amal dalam
agama kami ini padahal
bukanlah bagian dari agama
maka amal tersebut
tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim) Misalnya adalah peringatan
maulid nabi, hari ibu dan hari
kemerdekaan. Peringatan maulid
nabi itu terlarang karena hal itu
termasuk mengada-adakan ritual
yang tidak pernah Allah izinkan di samping menyerupai orang-
orang Nasrani dan golongan
orang kafir yang lain. Sedangkan
hari ibu dan hari kemerdekaan
terlarang karena menyerupai
orang kafir.”[3] -Demikian penjelasan Lajnah- Begitu pula perayaan tahun baru
termasuk perayaan yang
terlarang karena menyerupai
perayaan orang kafir. Kerusakan Kedua:
Merayakan Tahun Baru
Berarti Tasyabbuh (Meniru-
niru) Orang Kafir Merayakan tahun baru termasuk
meniru-niru orang kafir. Dan
sejak dulu Nabi kita shallallahu
‘ alaihi wa sallam sudah mewanti- wanti bahwa umat ini memang
akan mengikuti jejak orang
Persia, Romawi, Yahudi dan
Nashrani. Kaum muslimin
mengikuti mereka baik dalam
berpakaian atau pun berhari raya. Dari Abu Hurairah, Nabi
shallallahu ‘ alaihi wa sallam bersabda, « َال ُموُقَت ُةَعاَّسلا ىَّتَح َذُخْأَت ىِتَّمُأ ِذْخَأِب ِنوُرُقْلا اَهَلْبَق ، اًرْبِش ٍرْبِشِب اًعاَرِذَو ٍعاَرِذِب « . َليِقَف اَي َلوُسَر ِهَّللا َسِراَفَك ِموُّرلاَو . َلاَقَف » ِنَمَو ُساَّنلا َّالِإ َكِئَلوُأ » “Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan
generasi sebelumnya sejengkal
demi sejengkal, sehasta demi
sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -
shallallahu ‘ alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“[4] Dari Abu Sa’ id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wa sallam bersabda, َّنُعِبَّتَتَل َنَنَس َنيِذَّلا ْنِم ْمُكِلْبَق اًرْبِش ٍرْبِشِب اًعاَرِذَو ٍعاَرِذِب ىَّتَح ْوَل اوُلَخَد ىِف ِرْحُج ٍّبَض ْمُهوُمُتْعَبَّتَال . اَنْلُق اَي َلوُسَر ِهَّللا َدوُهَيْلآ ىَراَصَّنلاَو َلاَق ْنَمَف “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian
sejengkal demi sejengkal dan
sehasta demi sehasta sampai jika
orang-orang yang kalian ikuti itu
masuk ke lubang dhob (yang
penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti
itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” [5] An Nawawi -rahimahullah- ketika
menjelaskan hadits di atas
menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan
dziro’ (hasta) serta lubang dhob (lubang hewan tanah yang
penuh lika-liku), adalah
permisalan bahwa tingkah laku
kaum muslimin sangat mirip sekali
dengan tingkah Yahudi dan
Nashroni. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam
kemaksiatan dan berbagai
penyimpangan, bukan dalam hal
kekufuran. Perkataan beliau ini
adalah suatu mukjizat bagi beliau
karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.”[6] Lihatlah apa yang dikatakan oleh
Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam. Apa yang beliau katakan
memang benar-benar terjadi
saat ini. Berbagai model pakaian
orang barat diikuti oleh kaum
muslimin, sampai pun yang
setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti,
termasuk pula perayaan tahun
baru ini. Ingatlah, Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam secara tegas telah
melarang kita meniru-niru orang
kafir (tasyabbuh). Beliau bersabda, ْنَم َهَّبَشَت ٍمْوَقِب َوُهَف ْمُهْنِم “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk
bagian dari mereka.” [7] Menyerupai orang kafir
(tasyabbuh) ini terjadi dalam hal
pakaian, penampilan dan
kebiasaan. Tasyabbuh di sini
diharamkan berdasarkan dalil Al
Qur’ an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’) . [8] Kerusakan Ketiga:
Merekayasa Amalan yang
Tanpa Tuntunan di Malam
Tahun Baru Kita sudah ketahui bahwa
perayaan tahun baru ini berasal
dari orang kafir dan merupakan
tradisi mereka. Namun
sayangnya di antara orang-
orang jahil ada yang mensyari’ atkan amalan-amalan tertentu pada malam pergantian
tahun. “Daripada waktu kaum muslimin sia-sia, mending malam
tahun baru kita isi dengan dzikir
berjama’ ah di masjid. Itu tentu lebih manfaat daripada
menunggu pergantian tahun
tanpa ada manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian
orang. Ini sungguh aneh.
Pensyariatan semacam ini berarti
melakukan suatu amalan yang
tanpa tuntunan. Perayaan tahun
baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual kaum
muslimin, lantas kenapa harus
disyari’ atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi menunggu
pergantian tahun pun akan
mengakibatkan meninggalkan
berbagai kewajiban sebagaimana
nanti akan kami utarakan. Jika ada yang mengatakan,
“Daripada menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak
bermanfaat, mending diisi dengan
dzikir. Yang penting kan niat kita
baik.” Maka cukup kami sanggah niat
baik semacam ini dengan
perkataan Ibnu Mas’ ud ketika dia melihat orang-orang yang
berdzikir, namun tidak sesuai
tuntunan Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam. Orang yang melakukan
dzikir yang tidak ada
tuntunannya ini mengatakan
pada Ibnu Mas’ ud, ِهَّللاَو اَي اَبَأ ِدْبَع ِنَمْحَّرلا اَم اَنْدَرَأ َّالِإ َرْيَخْلا . “Demi Allah, wahai Abu ‘ Abdurrahman (Ibnu Mas’ ud), kami tidaklah menginginkan selain
kebaikan.” Ibnu Mas’ ud lantas berkata, ْمَكَو ْنِم ٍديِرُم ِرْيَخْلِل ْنَل ُهَبيِصُي “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun
mereka tidak
mendapatkannya.” [9] Jadi dalam melakukan suatu
amalan, niat baik semata
tidaklah cukup. Kita harus juga
mengikuti contoh dari Nabi
shallallahu ‘ alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di
sisi Allah. Kerusakan Keempat:
Terjerumus dalam
Keharaman dengan
Mengucapkan Selamat
Tahun Baru Kita telah ketahui bersama
bahwa tahun baru adalah syiar
orang kafir dan bukanlah syiar
kaum muslimin. Jadi, tidak pantas
seorang muslim memberi selamat
dalam syiar orang kafir seperti ini. Bahkan hal ini tidak
dibolehkan berdasarkan
kesepakatan para ulama (ijma’) . Ibnul Qoyyim dalam Ahkam Ahli
Dzimmah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada
syi’ ar-syi’ ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir
(seperti mengucapkan selamat
natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi
ucapan selamat pada hari raya
dan puasa mereka seperti
mengatakan, ‘ Semoga hari ini adalah hari yang berkah
bagimu’ , atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka
dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini
bisa selamat dari kekafiran,
namun dia tidak akan lolos dari
perkara yang diharamkan.
Ucapan selamat hari raya seperti
ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan
selamat atas sujud yang mereka
lakukan pada salib, bahkan
perbuatan seperti ini lebih besar
dosanya di sisi Allah. Ucapan
selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang
memberi ucapan selamat pada
orang yang minum minuman
keras, membunuh jiwa, berzina,
atau ucapan selamat pada
maksiat lainnya. Banyak orang yang kurang
paham agama terjatuh dalam hal
tersebut. Orang-orang semacam
ini tidak mengetahui kejelekan
dari amalan yang mereka
perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan
selamat pada seseorang yang
berbuat maksiat, bid’ ah atau kekufuran, maka dia pantas
mendapatkan kebencian dan
murka Allah Ta’ ala.”[10] Kerusakan Kelima:
Meninggalkan Perkara Wajib
yaitu Shalat Lima Waktu Betapa banyak kita saksikan,
karena begadang semalam
suntuk untuk menunggu detik-
detik pergantian tahun, bahkan
begadang seperti ini diteruskan
lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari,
kebanyakan orang yang
begadang seperti ini luput dari
shalat Shubuh yang kita sudah
sepakat tentang wajibnya. Di
antara mereka ada yang tidak mengerjakan shalat Shubuh
sama sekali karena sudah
kelelahan di pagi hari. Akhirnya,
mereka tidur hingga
pertengahan siang dan berlalulah
kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali. Na’ udzu billahi min dzalik. Ketahuilah bahwa meninggalkan
satu saja dari shalat lima waktu
bukanlah perkara sepele. Bahkan
meningalkannya para ulama
sepakat bahwa itu termasuk
dosa besar. Ibnul Qoyyim -rahimahullah-
mengatakan, “Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat
(sepakat) bahwa meninggalkan
shalat wajib (shalat lima waktu)
dengan sengaja termasuk dosa
besar yang paling besar dan
dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta
orang lain, zina, mencuri, dan
minum minuman keras. Orang
yang meninggalkannya akan
mendapat hukuman dan
kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia
dan akhirat.”[11] Adz Dzahabi – rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga
keluar waktunya termasuk
pelaku dosa besar. Dan yang
meninggalkan shalat -yaitu satu
shalat saja- dianggap seperti
orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau
luput darinya termasuk dosa
besar. Oleh karena itu, orang
yang meninggalkannya sampai
berkali-kali termasuk pelaku
dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang
yang meninggalkan shalat
termasuk orang yang merugi,
celaka dan termasuk orang
mujrim (yang berbuat dosa).”[12] Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam pun mengancam dengan
kekafiran bagi orang yang
sengaja meninggalkan shalat lima
waktu. Buraidah bin Al Hushoib Al
Aslamiy berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wa sallam bersabda, ُدْهَعْلا ىِذَّلا اَنَنْيَب ُمُهَنْيَبَو ُةَالَّصلا ْنَمَف اَهَكَرَت ْدَقَف َرَفَك “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah
shalat. Barangsiapa
meninggalkannya maka dia telah
kafir.”[13] Oleh karenanya, seorang muslim tidak
sepantasnya merayakan tahun
baru sehingga membuat dirinya
terjerumus dalam dosa besar. Dengan merayakan tahun baru,
seseorang dapat pula terluput
dari amalan yang utama yaitu
shalat malam. Dari Abu Hurairah,
Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa sallam bersabda, ُلَضْفَأ ِةاَلَّصلا َدْعَب ِةَضيِرَفْلا ُةاَلَص ِلْيَّللا “Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.
”[14] Shalat malam adalah sebaik-baik shalat dan shalat
yang biasa digemari oleh orang-
orang sholih. Seseorang pun bisa
mendapatkan keutamaan karena
bertemu dengan waktu yang
mustajab untuk berdo’ a yaitu ketika sepertiga malam terakhir.
Sungguh sia-sia jika seseorang
mendapati malam tersebut
namun ia menyia-nyiakannya.
Melalaikan shalat malam
disebabkan mengikuti budaya orang barat, sungguh adalah
kerugian yang sangat besar. Kerusakan Keenam:
Begadang Tanpa Ada Hajat Begadang tanpa ada
kepentingan yang syar’ i dibenci oleh Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam. Termasuk di sini adalah
menunggu detik-detik
pergantian tahun yang tidak ada
manfaatnya sama sekali.
Diriwayatkan dari Abi Barzah,
beliau berkata, َّنَأ َلوُسَر ِهَّللا – ىلص هللا هيلع ملسو – َناَك ُهَرْكَي َمْوَّنلا َلْبَق ِءاَشِعْلا َثيِدَحْلاَو اَهَدْعَب “Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa sallam membenci tidur sebelum
shalat ‘ Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”[15] Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat
‘ Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan
khawatir jika sampai luput dari
shalat shubuh berjama’ ah. ‘ Umar bin Al Khottob sampai-sampai
pernah memukul orang yang
begadang setelah shalat Isya,
beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di
awal malam, nanti di akhir malam
tertidur lelap?!”[16] Apalagi dengan begadang, ini sampai
melalaikan dari sesuatu yang
lebih wajib (yaitu shalat Shubuh)
?! Kerusakan Ketujuh:
Terjerumus dalam Zina Jika kita lihat pada tingkah laku
muda-mudi saat ini, perayaan
tahun baru pada mereka
tidaklah lepas dari ikhtilath
(campur baur antara pria dan
wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan mungkin
lebih parah dari itu yaitu sampai
terjerumus dalam zina dengan
kemaluan. Inilah yang sering
terjadi di malam tersebut
dengan menerjang berbagai larangan Allah dalam bergaul
dengan lawan jenis. Inilah yang
terjadi di malam pergantian
tahun dan ini riil terjadi di
kalangan muda-mudi. Padahal
dengan melakukan seperti pandangan, tangan dan bahkan
kemaluan telah berzina. Ini
berarti melakukan suatu yang
haram. Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘ anhu, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa sallam bersabda, َبِتُك ىَلَع ِنْبا َمَدآ ُهُبيِصَن َنِم ىَنِّزلا ٌكِرْدُم َكِلَذ َال َةَلاَحَم ِناَنْيَعْلاَف اَمُهاَنِز ُرَظَّنلا ِناَنُذُألاَو اَمُهاَنِز ُعاَمِتْسِالا ُناَسِّللاَو ُهاَنِز ُمَالَكْلا ُدَيْلاَو اَهاَنِز ُشْطَبْلا ُلْجِّرلاَو اَهاَنِز اَطُخْلا ُبْلَقْلاَو ىَوْهَي ىَّنَمَتَيَو ُقِّدَصُيَو َكِلَذ ُجْرَفْلا ُهُبِّذَكُيَو “Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina
dan ini suatu yang pasti terjadi,
tidak bisa tidak. Zina kedua mata
adalah dengan melihat. Zina
kedua telinga dengan
mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan
adalah dengan meraba
(menyentuh). Zina kaki adalah
dengan melangkah. Zina hati
adalah dengan menginginkan dan
berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan
membenarkan atau mengingkari
yang demikian.”[17] Kerusakan Kedelapan:
Mengganggu Kaum Muslimin Merayakan tahun baru banyak
diramaikan dengan suara
mercon, petasan, terompet atau
suara bising lainnya. Ketahuilah
ini semua adalah suatu
kemungkaran karena mengganggu muslim lainnya,
bahkan sangat mengganggu
orang-orang yang butuh
istirahat seperti orang yang lagi
sakit. Padahal mengganggu
muslim lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Nabi
shallallahu ‘ alaihi wa sallam, ُمِلْسُمْلا ْنَم َمِلَس َنوُمِلْسُمْلا ْنِم ِهِناَسِل ِهِدَيَو “Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan
tangannya tidak mengganggu
orang lain.”[18] Ibnu Baththol mengatakan,
“Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang
muslim tidak menyakiti kaum
muslimin lainnya dengan lisan,
tangan dan seluruh bentuk
menyakiti lainnya. Al Hasan Al
Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak
menyakiti walaupun itu hanya
menyakiti seekor semut”.”[19] Perhatikanlah perkataan yang
sangat bagus dari Al Hasan Al
Basri. Seekor semut yang kecil
saja dilarang disakiti, lantas
bagaimana dengan manusia yang
punya akal dan perasaan disakiti dengan suara bising atau
mungkin lebih dari itu?! Kerusakan Kesembilan:
Meniru Perbuatan Setan
dengan Melakukan
Pemborosan Perayaan malam tahun baru
adalah pemborosan besar-
besaran hanya dalam waktu
satu malam. Jika kita perkirakan
setiap orang menghabiskan uang
pada malam tahun baru sebesar Rp.1000 untuk membeli mercon
dan segala hal yang
memeriahkan perayaan
tersebut, lalu yang merayakan
tahun baru sekitar 10 juta
penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang
yang dihambur-hamburkan dalam
waktu semalam? Itu baru
perkiraan setiap orang
menghabiskan Rp. 1000,
bagaimana jika lebih dari itu?! Masya Allah sangat banyak sekali
jumlah uang yang dibuang sia-sia.
Itulah harta yang dihamburkan
sia-sia dalam waktu semalam
untuk membeli petasan, kembang
api, mercon, atau untuk menyelenggarakan pentas musik,
dsb. Padahal Allah Ta’ ala telah berfirman, الَو ْرِّذَبُت اًريِذْبَت َّنِإ َنيِرِّذَبُمْلا اوُناَك َناَوْخِإ ِنيِطاَيَّشلا “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros.
Sesungguhnya pemboros-
pemboros itu adalah saudara-
saudara syaitan.” (Qs. Al Isro’ : 26-27) Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauh
sikap boros dengan mengatakan:
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros.
Sesungguhnya pemboros-
pemboros itu adalah saudara-
saudara syaitan.” Dikatakan demikian karena orang yang
bersikap boros menyerupai
setan dalam hal ini. Ibnu Mas’ ud dan Ibnu ‘ Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah
menginfakkan sesuatu bukan
pada jalan yang benar.” Mujahid mengatakan, “Seandainya seseorang menginfakkan seluruh
hartanya dalam jalan yang
benar, itu bukanlah tabdzir
(pemborosan). Namun jika
seseorang menginfakkan satu
mud saja (ukuran telapak tangan) pada jalan yang keliru,
itulah yang dinamakan tabdzir
(pemborosan).” Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah
mengeluarkan nafkah dalam
berbuat maksiat pada Allah,
pada jalan yang keliru dan pada
jalan untuk berbuat kerusakan.
”[20] Kerusakan Kesepuluh:
Menyia-nyiakan Waktu yang
Begitu Berharga Merayakan tahun baru termasuk
membuang-buang waktu. Padahal
waktu sangatlah kita butuhkan
untuk hal yang bermanfaat dan
bukan untuk hal yang sia-sia.
Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai
tanda kebaikan Islam seseorang, ْنِم ِنْسُح ِمَالْسِإ ِءْرَمْلا ُهُكْرَت اَم َال ِهيِنْعَي “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan
hal yang tidak bermanfaat
baginya.” [21] Ingatlah bahwa membuang-buang
waktu itu hampir sama dengan
kematian yaitu sama-sama
memiliki sesuatu yang hilang.
Namun sebenarnya membuang- buang waktu masih lebih jelek dari kematian. Semoga kita merenungkan
perkataan Ibnul Qoyyim,
“(Ketahuilah bahwa) menyia- nyiakan waktu lebih jelek dari
kematian. Menyia-nyiakan waktu
akan memutuskanmu
(membuatmu lalai) dari Allah dan
negeri akhirat. Sedangkan
kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan
penghuninya.”[22] Seharusnya seseorang
bersyukur kepada Allah dengan
nikmat waktu yang telah Dia
berikan. Mensyukuri nikmat
waktu bukanlah dengan
merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah
dengan melakukan ketaatan dan
ibadah kepada Allah. Itulah
hakekat syukur yang
sebenarnya. Orang-orang yang
menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela.
Allah Ta’ ala berfirman, ْمَلَوَأ مُكْرِّمَعُن اَّم ُرَّكَذَتَي ِهيِف نَم َرَّكَذَت ُمُكءاَجَو ُريِذَّنلا “Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam
masa yang cukup untuk berfikir
bagi orang yang mau berfikir,
dan (apakah tidak) datang
kepada kamu pemberi
peringatan?” (Qs. Fathir: 37). Qotadah mengatakan,
“Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil
yang bisa menjatuhkanmu.
Marilah kita berlindung kepada
Allah dari menyia-nyiakan umur
yang panjang untuk hal yang
sia-sia.”[23] Inilah di antara beberapa
kerusakan dalam perayaan
tahun baru. Sebenarnya masih
banyak kerusakan lainnya yang
tidak bisa kami sebutkan satu
per satu dalam tulisan ini karena saking banyaknya. Seorang
muslim tentu akan berpikir
seribu kali sebelum melangkah
karena sia-sianya merayakan
tahun baru. Jika ingin menjadi
baik di tahun mendatang bukanlah dengan merayakannya.
Seseorang menjadi baik tentulah
dengan banyak bersyukur atas
nikmat waktu yang Allah berikan.
Bersyukur yang sebenarnya
adalah dengan melakukan ketaatan kepada Allah, bukan
dengan berbuat maksiat dan
bukan dengan membuang-buang
waktu dengan sia-sia. Lalu yang
harus kita pikirkan lagi adalah
apakah hari ini kita lebih baik dari hari kemarin? Pikirkanlah
apakah hari ini iman kita sudah
semakin meningkat ataukah
semakin anjlok! Itulah yang harus
direnungkan seorang muslim
setiap kali bergulirnya waktu. Ya Allah, perbaikilah keadaan
umat Islam saat ini. Perbaikilah
keadaan saudara-saudara kami
yang jauh dari aqidah Islam.
Berilah petunjuk pada mereka
agar mengenal agama Islam ini dengan benar. “Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada
taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (Qs. Hud: 88) Alhamdulillahilladzi bi ni’ matihi tatimmush sholihat. Wa shallallahu
‘ ala nabiyyina Muhammad wa ‘ ala alihi wa shohbihi wa sallam. Disempurnakan atas nikmat Allah
di Pangukan-Sleman, 12
Muharram 1431 H Penulis: Muhammad Abduh
Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id