Laman

Entri Populer

Tampilkan postingan dengan label ibadah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ibadah. Tampilkan semua postingan

Sabtu, Juni 18, 2011

AGAR AMAL IBADAH TIDAK SIA SIA

Setiap perbuatan yang kita
lakukan tidak lepas dari dua hal,
niat dan cara. Keduanya harus sama-sama baik. Islam tentu
tidak membenarkan gaya Robin
Hood si pencuri budiman, yang
mencuri harta orang-orang kaya
yang pelit kemudian
membagikannya kepada orang- orang miskin. Islam juga tidak
membenarkan orang-orang riya,
yang beramal dengan niat yang
salah. Begitupun dengan ibadah dalam
Islam. Ibadah dalam Islam
merupakan syariat Allah
Subhanahu Wa Ta’ ala yang harus memenuhi dua syarat ini,
niat dan cara yang benar.
Ibarat orang yang akan ujian,
tentu ia harus tahu terlebih
dahulu materi yang akan diujikan.
Begitu pula dengan orang yang akan beribadah, ia harus
mengilmui dulu apa yang akan ia
lakukan. Allah Subhanahu Wa
Ta’ ala berfirman yang artinya: “Ketahuilah bahwa tidak illah yang haq disembah melainkan
Allah, maka mohonlah ampunan
bagi dosamu” (Muhammad : 19). Imam Bukhari menjadikan ayat ini
pada salah satu bab dalam kitab
shahihnya. Beliau berkata “Bab Ilmu sebelum berkata dan
berbuat”, kemudian beliau mengomentari ayat tersebut :
“Maka Allah Jalla Jalaluhu telah memulai dengan ilmu sebelum
berucap dan beramal.” Salah satu ilmu yang harus kita
ketahui adalah kaidah dalam
ibadah. Allah Subhanahu Wa
Ta’ ala telah menjelaskan bahwa tujuan utama penciptaan jin dan
manusia adalah hanya untuk
beribadah kepada-Nya. Namun,
tahukah kita bahwa ibadah
tersebut tak lagi berguna alias
sia-sia jika tidak menetapi kaidahnya? Berikut kaidah-
kaidah penting yang mendasari
benarnya suatu ibadah: 1.Ibadah bersifat tauqifiyyah
(berdasarkan wahyu)
Allah Subhanahu Wa Ta’ ala berfirman yang artinya: “Dan Kami jadikan kamu berada di
atas suatu syariat (peraturan)
dari urusan agama ini, maka
ikutilah syariat itu dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu
orang-orang yang tidak mengetahui” (Al Jatsiyah : 18) Ibadah berbeda dengan
muamalah. Pada dasarnya, ibadah
adalah haram kecuali ada dalil
dalam Al Qur’ an dan As Sunnah yang memerintahkannya. Dalam
hal ini tidak ada sedikitpun peran
akal di dalamnya. Contoh
mudahnya seperti ini, kenapa
kita tidak melakukan shalat
shubuh empat raka’ at saja? Bukankah semakin banyak
raka’ at, maka akan semakin banyak ayat Al Qur’ an yang dibaca sehingga makin besar
pahala? Jawabannya adalah
karena syari’ at memerintahkan dua raka’ at, tidak kurang tidak lebih. Pasti ada hikmah besar di
balik itu, walaupun tidak semua
hikmah ibadah diketahui
hikmahnya. Seandainya
kebenaran diukur dengan
pendapat (akal) orang, maka sungguh mengusap bagian bawah
khuf (sepatu) lebih utama dari
atasnya padahal yang benar
berdasarkan dalil adalah
mengusap bagian atas sepatu. 2.Ibadah harus dilakukan dengan
ikhlas, bebas dari noda syirik
Allah Subhanahu Wa Ta’ ala berfirman yang artinya: “Maka barangsiapa yang mengharapkan
untuk bertemu dengan Rabb-
nya, maka hendaklah dia beramal
dengan amalan yang shalih dan
tidak menyekutukan (melakukan
syirik) dengan seorangpun dalam beribadah kepada Rabb-
nya” (Al-Kahfi : 110) Barangsiapa yang melakukan
syirik berarti ia meletakkan
ibadah tidak pada tempatnya
dan memberikannya kepada yang
tidak berhak, dan itu merupakan
kezhaliman yang paling besar. 3.Mengikuti sunnah Nabi
Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam Allah Subhanahu Wa Ta’ ala berfirman yang artinya:
“Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasuulullah shalallahu
alaihi wa sallam itu suri tauladan
yang baik.” (Al Ahzab : 21). Ibnu Mas’ ud Radhiyallahu ‘ anhu berkata “Banyak orang yang menginginkan kebenaran, tapi
tidak sampai kepadanya”. Ibadah tidak cukup dengan bermodalkan
niat saja. Contohnya adalah
perayaan maulid Nabi yang
dilakukan sebagian umat Islam,
yang tidak pernah dicontohkan
oleh Nabi Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam dan para sahabatnya.
Mungkin mereka akan berkata,
“Bukankah ini baik? Niat kami baik, untuk menumbuhkan
kecintaan kepada Nabi”. Maka jawabannya adalah, “Baik menurut kalian, belum tentu baik
menurut Allah”. Beribadah tanpa contoh dari Rasulullah Shallallahu
‘ Alaihi Wasallam sama saja dengan mengatakan, “Niat kami tulus, karena Allah semata. Meski
cara yang kami tempuh mungkin
salah, atau sudah jelas-jelas
keliru dalam Islam.” Risalah yang Allah Subhanahu Wa
Ta’ ala turunkan melalui Rasulullah Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam sudah sempurna, tidak
perlu ditambah. Dengan
menambahnya, berarti dengan
tidak langsung kita telah
menuduh Rasulullah Shallallahu
‘ Alaihi Wasallam tidak amanah karena masih ada amal shalih
yang belum beliau sampaikan
kepada kita. Maka tidak heran
jika Nabi Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam bersabda yang artinya,
“Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami
(dalam Islam) yang tidak
terdapat (tuntunan) padanya,
maka ia tertolak.” (Muttafaq ‘ alaih) Suatu ibadah dikatakan
mengikuti sunnah jika memenuhi
kriteria berikut: Sebab Misalkan ada seseorang yang
melaksanakan shalat dua
raka’ at setiap masuk rumah dan menjadikan hal ini sebagai
sunnah. Tentu saja perbuatan
seperti ini tertolak. Walaupun
shalat disyariatkan, akan tetapi
ketika sebabnya tidak
bersumber dari syariat, perbuatan ini tidak mempunyai
nilai ibadah. Jenis Sebagai contoh adalah bila
seseorang berkurban dengan
kuda. Padahal Allah
mensyariatkan bahwa kurban
harus dari jenis hewan ternak
tertentu, yakni kambing, sapi, atau unta. Ukuran Apabila seseorang melakukan
ibadah tidak sesuai dengan
ukuran yang telah ditetapkan
oleh syariat, maka ibadahnya
tertolak. Contohnya seseorang
yang membasuh anggota tubuhnya sebanyak empat kali
ketika berwudhu, padahal
syariat hanya menuntunkan tiga
kali. Teknis Contohnya seseorang shalat, ia
langsung bersujud sebelum
melakukan ruku’ , maka shalatnya tidak sah dan
tertolak, sebab tidak sesuai
dengan teknis tuntunan
syari’ at. Waktu Jika seseorang beramal tapi
waktunya tidak sesuai, maka
amalnya tertolak. Misalnya
seseorang yang melaksanakan
shalat tidak sesuai dengan
waktunya. Contoh: shalat tahajjud dilaksanakan pada siang
hari, tentu saja amalnya ini tidak
diterima. Tempat Contohnya adalah orang yang
beri’ tikaf di rumah atau sekolah. Padahal syariat sudah
menjelaskan bahwa tempat
i’ tikaf adalah di dalam masjid. 4. Sebagian ibadah telah dibatasi
dengan masa dan ukuran
tertentu
Allah Subhanahu Wa Ta’ ala berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya shalat itu adalah suatu kewajiban yang ditentukan
waktunya atas orang-orang
yang beriman” (An- Nisa :103). Tidak boleh bagi kita untuk
melanggarnya seperti yang telah
dijelaskan pada kaidah di atas. 5. Ibadah harus dilandasi oleh
mahabbah (rasa cinta), khauf
(takut), raja’ (harap), dan merendahkan diri hanya kepada
Allah Subhanahu Wa Ta’ ala. Allah Subhanahu Wa Ta’ ala berfirman yang artinya: “Orang- orang yang mereka seru itu ,
mereka sendiri mencari jalan
kepada Rabb mereka, siapa yang
lebih dekat (kepada Allah) dan
mengharapkan rahmat-Nya dan
takut kepada azab-Nya.” (Al Isra ‘ : 57) 6. Kewajiban ibadah itu tidak
akan berhenti (selesai) dari
seorang mukallaf semenjak baligh
dan berakal sampai akhirnya dia
wafat
Allah Subhanahu Wa Ta’ ala berfirman yang artinya: “Dan beribadahlah engkau kepada
Rabbmu sampai engkau mati” (Al Hijr : 99)
Semoga bermanfaat.