Laman

Entri Populer

Tampilkan postingan dengan label bid'ah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bid'ah. Tampilkan semua postingan

Sabtu, Juni 25, 2011

adakah dalil tentang Solat hajat ?

“Barang siapa
yang
mempunyai
hajat
kepada
Allah atau
kepada
salah
seorang
dari
bani adam/manusia, maka hendaklah ia berwudhu serta membaguskan wudhunya, kemudian sholat hajat
dua rakaat. Setelah itu hendaknya ia menyanjung kepada Allah dan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam. Kemudian ia mengucapkan doa (hajat) : Laa ilaa illallahul halimul kariim, subhaanallahi robbil ‘ arsyil azhiim, alhamdulillaahi robbil ‘ aalamiin, as-aluka muujibaati rohmatik, … dst..dst” Hadits ini SANGAT DHA’ IF Dikeluarkan oleh Imam At Tirmidzi (1/477), Ibnu Majah (no. 1384) & Al Hakim (1/320), semuanya dari jalan Faa-id bin Abdurrahman dari Abdullah bin Abi Aufa, secara marfu’ . Imam Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits ini, ia berkata,”Hadits ini gharib/asing, di isnadnya ada pembicaraan, karena Faa-id bin Abdurrahman itu telah di lemahkan di dalam haditsnya. Sanad hadits ini sangat dha’ if (Dha’ ifun jiddan), Faa-id bin Abdurrahman Abdul Waruqaa’ telah di lemahkan oleh sejumlah ulama hadits : 1.Berkata Imam Ahmad bin Hambal : “Matrukul Hadits” 2.Kata Imam Ibnu Ma’ in : “Dha’ if, bukan orang yang tsiqoh”. 3.Berkata Imam Abud Daud : “Bukan apa-apa (istilah untuk rawi lemah/dha’ if)” 4.Berkata Imam an Nasaa-i : “Bukan orang/rawi yang tsiqoh, matrukul hadits”. 5.Berkata Ibnu Hibban : “Tidak boleh berhujjah dengannya” 6.Berkata Imam Bukhari : “Munkarul Hadits” Faedah : Maksud perkataan (jarh) Imam Bukhari diatas telah beliau jelaskan sendiri dengan perkataannya yang masyhur, “Setiap rawi yang telah aku katakan (jarh) sebagai munkarul hadits, maka tidak halal meriwayatkan hadits darinya”. (Al Mizaan AdzDzahabi :1/6).
7.Berkata Imam Abu Hatim : “Hadits-haditsnya dari jalan Ibnu Abi Aufa batil-batil”. 8.Berkata Imam al Hakim : “Ia telah meriwayatkan dari Ibnu Abi Aufa hadits-hadits maudhu’ (palsu)”. Adapun mengapa hadits ini di takhrij dan dikatakan sebagai hadits yang sangat lemah adalah : Pertama, Faa-id bin Abdurrahman telah di lemahkan oleh ulama-ulama dan imam-imam ahli hadits, teristimewa jarh oleh Imam Bukhari yang menunjukkan sangat lemahnya Faa-id. Kedua, Riwayat-riwayatnya dari jalan Ibnu Abi Aufa adalah bathil, bahkan menurut Imam al Hakim adalah Maudhu’ (palsu). Sedangkan hadits ini Faa-id riwayatkan dari jalannya (Ibnu Abi Aufa). Dari dua alasan inilah, maka dapat di simpulkan bahwa hadits ini adalah “Sangat Lemah”. Wallahu a’ lam. Hadits ini adalah salah satu hadits sholat sunnat hajat yang sangat masyhur sekali di kalangan kaum muslimin. Dan termasuk salah satu dari “hadits-hadits dha’ if” yang terdapat dalam kitab “Pedoman Shalat” (hal :503) yang ditulis oleh Al Ustadz Hasbi Ash Shiddiqi.
Selain itu, ada lagi satu hadits yang di jadikan dasar oleh Syaikh
Sayyid Sabiq dalam kitabnya “Fiqih Sunnah” untuk menyunnatkan sholat hajat, hadits tersebut adalah : ‘ Dari Abi Darda’ , ia berkata. “Wahai manusia! Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang berwudhu lalu ia sempurnakan, niscaya Allah akan memberikan apa saja yang ia minta cepat atau lambat”” . Hadits ini di keluarkan oleh Imam Ahmad (6/442-443) dengan sanad yang dha’ if. Di sanadnya ada seorang rawi yang majhul yaitu Maimun Abi Muhammad sebagaimana telah di jelaskan oleh al Albani dalam kitabnya “Tamamul Minnah (hal 260), yang mengambil keterangan dari para imam seperti ibnu Ma’ in, Ibnu ‘ Aidy, Adz Dzahabi dan lain-lain, mereka semua mengatakan bahwa Maimun adalah Majhul atau tidak dikenal. Adapun pernyataan Sayyid Sabiq bahwa sanad hadits diatas adalah shahih adalah merupakan “tasaahul” beliau di dalam kitabnya tersebut.

Minggu, Mei 29, 2011

pengertian bid'ah

BID'AH dalam agama Islam berarti sebuah perbuatan yang tidak
pernah diperintahkan maupun
dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW tetapi banyak dilakukan oleh masyarakat sekarang ini.

Hukum dari bidaah ini adalah haram
Perbuatan dimaksud ialah perbuatan baru atau penambahan dalam hubungannya dengan peribadatan dalam arti sempit (ibadah mahdhah), yaitu ibadah yang tertentu syarat dan
rukunnya.

Pemakaian kata tersebut di
antaranya ada pada :
Firman Allah ta’ ala

(Dialah Allah) Pencipta langit dan bumi.” (Q.s.2:117)

Firman Allah ta’ ala :

” Katakanlah (hai Muhammad), “ Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rosul-rosul.” (Q.s:46:9)

Maknanya: Dia telah merintis
suatu cara yang belum pernah
ada yang mendahuluinya.

Maknanya: sesuatu yang
dianggap baik yang
kebaikannya belum pernah ada
yang menyerupai sebelumnya.

Dari makna bahasa seperti
itulah pengertian bid’ ah diambil oleh para ulama.

1. Jadi membuat cara-cara
baru dengan tujuan agar
orang lain mengikuti
disebut bid’ ah (dalam segi bahasa).

2. Sesuatu perkerjaan yang
sebelumnya belum perna
dikerjakan orang juga
disebut bid’ ah (dalam segi bahasa).

3. Terlebih lagi suatu perkara
yang disandarkan pada
urusan ibadah (agama)
tanpa adanya dalil syar’ i (Al-Qur’ an dan As-Sunnah) dan tidak ada contohnya(tidak ditemukan perkara
tersebut) pada zaman
Rosulullah shallallahu
‘ alayhi wa sallam maka inilah makna bid’ ah sesungguhnya.

Secara umum, bid'ah bermakna
melawan ajaran asli suatu agama
(artinya mencipta sesuatu yang
baru dan disandarkan pada
perkara agama/ibadah).

Para ulama  [1] salaf telah memberikan beberapa definisi
bidah.

Definisi-definisi ini memiliki
lafadl-lafadlnya berbeda-beda
namun sebenarnya memiliki
kandungan makna yang sama.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,

Bidah dalam agama adalah perkara
yang dianggap wajib maupun
sunnah namun yang Allah dan
rasul-Nya tidak syariatkan.
Adapun apa-apa yang Ia perintahkan baik perkara wajib maupun sunnah maka harus diketahui dengan dalil-dalil syariat.

Imam Syathibi,
bid'ah dalam agama adalah Satu jalan dalam agama yang diciptakan menyamai syariat yang diniatkan dengan menempuhnya bersungguh-
sungguh dalam beribadah kepada Allah.

Ibnu Rajab :
Bidah adalah mengada-adakan suatu perkara yang tidak ada asalnya dalam syariat. Jika perkara-perkara baru tersebut bukan pada
syariat maka bukanlah bidah, walaupun bisa dikatakan bidah
secara bahasa

Imam as-Suyuthi,
beliau berkata,
Bidah adalah sebuah ungkapan
tentang perbuatan yang
menentang syariat dengan suatu
perselisihan atau suatu
perbuatan yang menyebabkan menambah dan mengurangi
ajaran syariat.

Dengan memperhatikan definisi-
definisi ini akan nampak tanda-
tanda yang mendasar bagi
batasan bidah secara syariat
yang dapat dimunculkan ke
dalam beberapa point di bawah ini :

1. Bahwa bidah adalah
mengadakan suatu perkara
yang baru dalam agama.
Adapun mengadakan suatu
perkara yang tidak
diniatkan untuk agama tetapi semata diniatkan
untuk terealisasinya
maslahat duniawi seperti
mengadakan perindustrian
dan alat-alat sekedar
untuk mendapatkan kemaslahatan manusia
yang bersifat duniawi tidak
dinamakan bidah.

2. Bahwa bidah tidak
mempunyai dasar yang
ditunjukkan syariat.
Adapun apa yang
ditunjukkan oleh kaidah-
kaidah syariat bukanlah bidah, walupun tidak
ditentukan oleh nash
secara khusus.
Misalnya adalah apa yang bisa kita
lihat sekarang: orang yang
membuat alat-alat perang seperti kapal terbang,roket, tank atau
selain itu dari sarana- sarana perang modern yang diniatkan untuk
mempersiapkan perang melawan orang-orang kafir dan membela kaum muslimin
maka perbuatannya bukanlah bidah. Bersamaan dengan itu syariat tidak
memberikan nash tertentu dan rasulullah tidak mempergunakan senjata itu ketika bertempur
melawan orang-orang kafir.

Namun demikian pembuatan
alat-alat seperti itu masuk ke dalam keumuman

firman Allah taala,:

Dan persiapkanlah oleh kalian
untuk mereka (musuh-musuh) kekuatan yang kamu sanggupi.Demikian pula perbuatan-perbuatan lainnya. Maka setiap apa-
apa yang mempunyai asal dalam sariat termasuk bagian dari syariat bukan perkara bidah.

3. Bahwa bidah semuanya
tercela
(hadits Al 'Irbadh
bin Sariyah dishahihkan
oleh syaikh Al Albani di
dalam Ash Shahiihah no.937
dan al Irwa no.2455)

4. Bahwa bidah dalam agama
kadang-kadang menambah
dan kadang-kadang mengurangi syariat sebagaimana yang
dikatakan oleh Suyuthi di samping dibutuhkan pembatasan yaitu apakah motivasi adanya
penambahan itu agama.
Adapun bila motivasi
penambahan selain agama, bukanlah bidah.

Contohnya meninggalkan perkara
wajib tanpa udzur, maka
perbuatan ini adalah tindakan maksiat bukan bidah.

Demikian juga meninggalkan satu amalan sunnah tidak dinamakan
bidah.
Masalah ini akan diterangkan nanti dengan beberapa contohnya ketika
membahas pembagian bidah. InsyaAllah.

Bidah merupakan pelanggaran
yang sangat besar dari sisi
melampaui batasan-batasan
hukum Allah dalam membuat
syariat, karena sangatlah jelas
bahwa hal ini menyalahi dalam meyakini kesempurnaan
syariat.

Menuduh Rasulullah
Muhammad SAW menghianati
risalah,
menuduh bahwa syariat Islam masih kurang dan membutuhkan tambahan serta belum sempurna.

Jadi secara umum dapat diketahui bahwa semua bid'ah dalam perkara
ibadah/agama adalah haram atau
dilarang sesuai kaedah ushul fiqih
bahwa hukum asal ibadah adalah haram kecuali bila ada perintah

dan tidaklah tepat pula
penggunaan istilah bid'ah
hasanah jika dikaitkan dengan
ibadah atau agama sebagaimana
pandangan orang banyak, namun masih relevan jika dikaitkan
dengan hal-hal baru selama itu
berupa urusan keduniawian
murni

misal dulu orang
berpergian dengan unta sekarang dengan mobil, maka mobil ini adalah bid'ah namun bid'ah secara bahasa bukan definisi bid'ah secara istilah
syariat dan contoh penggunaan
sendok makan, mobil, mikrofon,
pesawat terbang pada masa kini yang dulunya tidak ada inilah
yang hakekatnya bid'ah hasanah.

Dan contoh-contoh perkara ini
tiada lain merupakan bagian dari
perkara Ijtihadiyah

Selasa, Mei 10, 2011

syarat agar amal di terima d sisi allah

Beramal shalih memang
penting karena merupakan
konsekuensi dari keimanan
seseorang. Namun yang tak
kalah penting adalah
mengetahui persyaratan agar amal tersebut
diterima di sisi Allah. Jangan
sampai ibadah yang kita
lakukan menjadi sia-sia
karena tidak diterima Allah
Subhanahuwata’ ala, bahkan bisa jadi justru
membuat Allah murka
karena cara beramal kita
tidak memenuhi syarat
yang Allah dan Rasul-Nya
telah bimbing melalui Al Qur’ an dan As-Sunnah. Syarat Diterimanya Amal oleh Allah Subhanahuwata’ ala Pertama, amal harus
dilaksanakan dengan
keikhlasan semata-mata
mencari ridha Allah
Subhanahuwata’ ala. Allah Subhanahuwata’ ala berfirman; Dan tidaklah mereka
diperintahkan melainkan
agar menyembah Allah
dengan mengikhlaskan
baginya agama yang lurus”. (Al Bayyinah: 5) Rasulullah
Sholallohualaihiwasallam
bersabda: “Sesungguhnya amal-amal tergantung pada niat dan
setiap orang akan
mendapatkan sesuatu
sesuai dengan
niatnya.” (Shahih, HR Bukhari-Muslim) Kedua dalil ini sangat jelas
menunjukkan bahwa dasar
dan syarat pertama
diterimanya amal adalah
ikhlas, yaitu semata-mata
mencari wajah Allah Subhanahuwata’ ala. Amal tanpa disertai dengan
keikhlasan maka amal
tersebut tidak akan
diterima oleh Allah
Subhanahuwata’ ala. Kedua, amal tersebut
sesuai dengan sunnah
(petunjuk) Rasulullah
Sholallohualaihiwasallam. Beliau
Sholallohualaihiwasallam
bersabda: “Dan barang siapa yang melakukan satu amalan
yang tidak ada perintahnya
dari kami maka amalan
tersebut
tertolak.” (Shahih, HR Muslim dari ‘ Aisyah radhiallahu ‘ anha) Dari dalil-dalil di atas para
ulama sepakat bahwa
syarat amal yang akan
diterima oleh Allah
Subhanahuwata’ ala adalah ikhlas dan sesuai dengan
bimbingan Rasulullah
Sholallohualaihiwasallam.
Jika salah satu dari kedua
syarat tersebut tidak ada,
maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah
Subhanahuwata’ ala. Dari sini sangat jelas
kesalahan orang-orang
yang mengatakan “ Yang penting kan niatnya.” Yang benar, harus ada
kesesuaian amal tersebut
dengan ajaran Rasulullah
Sholallohualaihiwasallam.
Jika istilah “yang penting niat” itu benar niscaya kita akan membenarkan
segala perbuatan maksiat
(ingkar, red) kepada Allah
Subhanahuwata’ ala dengan alasan ‘ yang penting niatnya’ . Orang seperti mereka akan
mengatakan para pencuri,
penzina, pemabuk, pemakan
riba’ , pemakan harta anak yatim, perampok, penjudi,
penipu, pelaku bid’ ah (yaitu cara-cara baru
dalam beribadah mengada-
ada, yang tidak ada
contohnya dari Rasululah
Sholallohualaihiwasallam)
dan bahkan perbuatan syirik tidak bisa kita
salahkan, karena beralasan
kita tidak mengetahui
bagaimana niatnya (karena
bisa jadi niatnya baik
menurut pandangan mereka). Demikian juga
dengan seseorang yang
mencuri dengan niat
memberikan nafkah kepada
anak dan isterinya. Apakah seseorang
melakukan bid’ ah (cara beribadah yang sesat)
dengan niat beribadah
kepada Allah
Subhanahuwata’ ala adalah perbuatan yang
dibenarkan? Apakah orang
yang meminta petunjuk
kepada kuburan-kuburan /
makam wali dengan niat
memuliakan wali itu adalah perbuatan yang
dibenarkan? Tentu
jawabannya adalah tidak. Dari pembahasan di atas
sangat jelas kedudukan dua
syarat tersebut dalam
sebuah amalan dan sebagai
penentu diterimanya. Oleh
karena itu, sebelum melangkah untuk beramal
hendaklah bertanya pada
diri kita: Untuk siapa saya
beramal? Dan bagaimana
caranya? Maka jawabannya
adalah dengan kedua syarat di atas. Masalah berikutnya, juga
bukan sekedar
memperbanyak amal, akan
tetapi benar atau tidaknya
amalan tersebut.
Allah Subhanahuwata’ ala berfirman: “Dia Allah yang telah menciptakan mati dan hidup
untuk menguji kalian
siapakah yang paling bagus
amalannya.” (Al Mulk: 2) Jadi dari ayat ini Allah
Subhanahuwata’ ala mengatakan yang paling
baik amalnya dan bukan
yang paling banyak
amalnya, yaitu amal yang
dilaksanakan dengan ikhlas
dan sesuai dengan ajaran Rasulullah
Sholallohualaihiwasallam. Wallahu a’ lam.

Selasa, April 19, 2011

adakah bid'ah hasanah ?

Banyak alasan yang dipakai orang-orang untuk ‘ melegalkan’ perbuatan bid’ ah.

Salah satunya, tidak semua bid’ ah itu jelek.
Menurut mereka, bid’ ah ada pula yang baik (hasanah).
Mereka pun memiliki dalil untuk mendukung pendapatnya tersebut.

Bagaimana kita menyikapinya ?

Di antara sebab-sebab tersebarnya bid’ ah di negeri kaum muslimin adalah adanya keyakinan pada kebanyakan kaum muslimin bahwa di dalam kebid’ ahan ini ada yang boleh diterima yang dinamakan bid’ ah hasanah.

Pandangan ini berangkat dari pemahaman bahwa bid’ ah itu ada dua: hasanah (baik) dan sayyiah (jelek).

Berikut ini kami paparkan apa yang diterangkan oleh Asy- Syaikh As-Suhaibani dalam kitab Al-Luma’ :

Bantahan terhadap Syubhat Pendapat yang Menyatakan Adanya Bid’ ah Hasanah Syubhat pertama: Pemahaman mereka yang salah terhadap hadits:

“Barangsiapa membuat satu sunnah (cara atau jalan) yang baik di dalam Islam maka dia mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun. Dan barangsiapa yang membuat satu sunnah yang buruk di dalam Islam, dia mendapat dosanya dan dosa orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” (Shahih, HR. Muslim no. 1017).

Bantahannya Pertama:

Sesungguhnya makna dari (barangsiapa yang membuat satu sunnah) adalah menetapkan suatu amalan yang sifatnya tanfidz (pelaksanaan), bukan amalan tasyri’ (penetapan hukum).

Maka yang dimaksud dalam hadits ini adalah amalan yang ada tuntunannya dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam .

Makna ini ditunjukkan pula oleh sebab keluarnya hadits tersebut, yaitu sedekah yang disyariatkan.

Kedua: Rasul yang mengatakan:

“Barangsiapa yang membuat satu sunnah (cara atau jalan) yang baik di dalam Islam.” Adalah juga yang mengatakan: “Semua bid’ ah itu adalah sesat.” Dan tidak mungkin muncul dari Ash-Shadiqul Mashduq (Rasul yang benar dan dibenarkan) ?
suatu perkataan yang mendustakan ucapannya yang lain.
Tidak mungkin pula perkataan beliau ?
saling bertentangan.
Dengan alasan ini, maka tidak boleh kita mengambil satu hadits dan mempertentangkannya dengan hadits yang lain.
Karena sesungguhnya ini adalah seperti perbuatan orang yang beriman kepada sebagian Al-Kitab tetapi kafir kepada sebagian yang lain.

Ketiga:
Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘ alaihi wassalam mengatakan (barangsiapa membuat sunnah) bukan mengatakan (barangsiapa yang membuat bid’ ah). Juga mengatakan (dalam Islam).
Sedangkan bid’ ah bukan dari ajaran Islam.

Beliau juga mengatakan (yang baik). Dan perbuatan bid’ ah itu bukanlah sesuatu yang hasanah (baik).
Tidak ada persamaan antara As Sunnah dan bid’ ah, karena sunnah itu adalah jalan yang diikuti, sedangkan bid’ ah adalah perkara baru yang diada-adakan di dalam agama.

Keempat: Tidak satupun kita dapatkan keterangan yang dinukil dari salafus shalih menyatakan bahwa mereka menafsirkan Sunnah Hasanah itu sebagai bid’ ah yang dibuat-buat sendiri oleh manusia.

Syubhat kedua:
Pemahaman mereka yang salah terhadap perkataan ‘ Umar bin Al- Khaththab :

“Sebaik-baik bid’ ah adalah ini (tarawih berjamaah)”.

Jawaban atas syubhat ini:

1. Anggaplah kita terima dalalah (pendalilan) ucapan beliau seperti yang mereka maukan – bahwa bid’ ah itu ada yang baik, namun sesungguhnya, kita kaum muslimin mempunyai satu pedoman;
kita tidak boleh mempertentangkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam dengan pendapat siapapun juga (selain beliau).

Tidak dibenarkan kita membenturkan sabda beliau dengan ucapan Abu Bakar, meskipun dia adalah orang terbaik di umat ini sesudah Nabi Muhammad Shallallahu ‘ alaihi wassalam atau dengan perkataan ‘ Umar bin Al- Khaththab ataupun yang lainnya.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ ala :

“(Kami mengutus mereka) sebagai rasul-rasul pemberi berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya para Rasul itu.” (An- Nisa`: 165)

Sehingga tidak tersisa lagi bagi manusia satu alasan pun untuk membantah Allah dengan telah diutusnya para rasul ini.

Merekalah yang telah menjelaskan urusan agama mereka serta apa yang diridhai oleh Allah.
Merekalah hujjah Allah terhadap kita manusia, bukan selain mereka.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)

Asy-Syaikh ‘ Abdurrahman As- Sa’ di (secara ringkas) mengatakan:

“Ayat ini mengajarkan kepada kita bagaimana beradab terhadap Allah dan Rasul-Nya, hendaknya kita berjalan (berbuat dan beramal) mengikuti perintah Allah dan Sunnah Rasul-Nya, jangan mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam segenap urusan.

Dan inilah tanda-tanda kebahagiaan dunia dan akhirat.” Ibnu ‘ Abbas mengatakan:

“Hampir-hampir kalian ditimpa hujan batu dari langit. Aku katakan: Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam bersabda demikian… demikian, (tapi) kalian mengatakan: Kata Abu Bakr dan ‘ Umar begini… begini… .” ‘ Umar bin ‘ Abdul ‘ Aziz mengatakan: “Tidak ada (hak) berpendapat bagi siapapun dengan (adanya) sunnah yang telah ditetapkan Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam .

” Al-Imam Asy-Syafi’ i mengatakan:

“Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam , tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena pendapat (pemikiran) seseorang.”

Al-Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan:

“Barangsiapa yang menolak hadits Nabi, berarti dia (sedang) berada di tepi jurang kehancuran.”

2. Bahwa ‘ Umar mengatakan kalimat ini tatkala beliau mengumpulkan kaum muslimin untuk shalat tarawih berjamaah. Padahal shalat tarawih berjamaah ini bukanlah suatu bid’ ah.

Bahkan perbuatan tersebut termasuk sunnah dengan dalil yang diriwayatkan oleh ‘ Aisyah,

bahwa Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam pada suatu malam shalat di masjid, kemudian orang-orang mengikuti beliau. Kemudian keesokan harinya jumlah mereka semakin banyak. Setelah itu malam berikutnya (ketiga atau keempat) mereka berkumpul (menunggu Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam ).
Namun beliau tidak keluar.
Pada pagi harinya, beliau bersabda: “Saya telah melihat apa yang kalian lakukan.
Dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar (shalat bersama kalian) kecuali kekhawatiran (kalau- kalau) nanti (shalat ini) diwajibkan atas kalian.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 1129)

Secara tegas beliau menyatakan di sini alasan mengapa beliau meninggalkan shalat tarawih berjamaah.

Maka tatkala ‘ Umar melihat alasan ini (kekhawatiran Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam ) sudah tidak ada lagi, beliau menghidupkan kembali shalat tarawih berjamaah ini.

Dengan demikian, jelaslah bahwa tindakan khalifah ‘ Umar ini mempunyai landasan yang kuat yaitu perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam sendiri.

Jadi jelas bahwa bid’ ah yang dimaksudkan oleh ‘ Umar bin Al- Khaththab adalah bid’ ah dalam pengertian secara bahasa, bukan
menurut istilah syariat.

Dan jelas pula tidak mungkin ‘ Umar berani melanggar atau menentang sabda Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam yang telah menyatakan bahwa: “Semua bid’ ah itu sesat.”

Syubhat ketiga: Pemahaman yang salah tentang atsar dari Ibnu Mas’ ud
“Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka dia adalah baik di sisi Allah.” (Dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad, 1/379)

Bantahan:
- Atsar ini tidak shahih jika di- rafa’ -kan (disandarkan) kepada Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam , tetapi ini adalah ucapan Ibnu Mas’ ud semata.

Dan diriwayatkan dari Anas tetapi sanadnya gugur, yang shahih adalah mauquf (hanya sampai) kepada Ibnu Mas’ ud .

- pada kata menunjukkan kepada sesuatu yang sudah diketahui.

Dan tentunya yang dimaksud dengan kata Al- Muslimun di sini adalah para shahabat.

Dan tidak ada satupun riwayat yang dinukil dari mereka yang menyatakan adanya bid’ ah yang hasanah. -

Kalaulah dianggap bahwa ini menunjukkan keumuman (maksudnya seluruh kaum muslimin), maka artinya adalah ijma’ . Dan ijma’ adalah hujjah.

Maka sanggupkah mereka menunjukkan adanya satu perbuatan bid’ ah yang disepakati berdasarkan ijma’ kaum muslimin bahwa perbuatan itu adalah bid’ ah hasanah?

Tentunya ini adalah perkara yang mustahil.

- Bagaimana mereka berani berdalil dengan ucapan beliau seperti ini, padahal beliau sendiri adalah orang yang paling keras kebenciannya terhadap bid’ ah, di mana beliau pernah mengatakan:

“Ikutilah! Dan jangan berbuat bid’ ah. Sungguh kalian telah dicukupkan. Dan sesungguhnya setiap bid’ ah itu adalah sesat. ”(Shahih, HR. Ad-Darimi 1/69).

Secara ringkas, semua keterangan di atas yang menunjukkan betapa buruknya bid’ ah.
Kami simpulkan dalam beberapa hal berikut ini,  yang kami nukil dari sebagian tulisan Asy-Syaikh Salim Al-Hilali:

Cukuplah semua akibat buruk yang dialami pelaku bid’ ah itu sebagai kejelekan di dunia dan akhirat, yakni:

1. Amalan mereka tertolak, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam :

“Barangsiapa yang membuat- buat sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami yang bukan berasal daripadanya, maka semua itu tertolak.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘ Aisyah)

2. Terhalangnya taubat mereka selama masih terus melakukan kebid’ ahan itu. Rasulullah bersabda:

“Allah menghalangi taubat setiap pelaku bid’ ah sampai dia meninggalkan bid’ ahnya.” (HR. Ibnu Abi Ashim dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam As Shahihah no. 1620 dan As Sunnah Ibnu Abi Ashim hal. 21)

3. Pelaku bid’ ah akan mendapat laknat karena Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam bersabda:

“Barangsiapa yang berbuat bid’ ah, atau melindungi kebid’ ahan, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘ Ali bin Abi Thalib)

. Akhirnya, wahai kaum muslimin, hendaklah kita menjauhi semua kebid’ ahan ini setelah mengetahui betapa besar bahayanya bid’ ah.

Selain kita menjauhi bid’ ah itu sendiri, juga kita diperintah untuk menjauhi para pelakunya apalagi juru-juru dakwah yang mengajak kepada pemikiran-pemikiran bid’ ah ini.

Seandainya ada yang mengatakan:

Bukankah mereka orang yang baik dan apa yang mereka sampaikan itu adalah baik juga?

Hendaklah kita ingat firman Allah Subhanahu wa Ta’ ala :

“Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri.” (Al-Anfal: 23)

Perlu pula kita ketahui bahwa bid’ ah itu lebih berbahaya dari kemaksiatan.
Seseorang yang bermaksiat dia akan merasa takut dan melakukannya dengan sembunyi-sembunyi atau melarikan diri setelah berbuat.

Sedangkan pelaku bid’ ah semakin tenggelam dalam kebid’ ahannya dia akan semakin merasa yakin bahwa dia di atas kebenaran.

Satu lagi, bid’ ah itu adalah posnya (pengantar kepada) kekufuran.

Wallahu a’ lam. Semoga Allah tetap membimbing kita mendapatkan hidayah dan taufik-Nya serta menyelamatkan diri dan keluarga kita dari bid’ ah ini.

Sumber Bacaan:
1 Al-Qaulul Mufid
(2), Asy-Syaikh Ibnu ‘ Utsaimin,
2 Al-Qaulul Mufid, Asy-Syaukani,
3 Al-I’ tisham
(1), Asy-Syathibi,
4 Al-Luma’ , As-Sahibani,
5 Al-Bid’ ah wa Atsaruhas Sayyi‘ , Salim Al- Hilali,
6 Al-Bid’ ah wa Atsaruha, ‘ Ali Al-Faqihi,
7 Riyadhul Jannah, Asy-Syaikh Muqbil,
8 Taisir Al- Karimir Rahman, As-Sa’

Sabtu, April 16, 2011

Taqlid, Beramal Dengan Pendapat Seseorang atau Golongan Tanpa Didasari Dalil

“Kiai-ku lebih pintar dari kamu!”, “Imamku-lah yang paling benar!”, ungkapan-ungkapan seperti ini sering kita dengar ketika ada nasehat disampaikan. Inilah antara lain gambaran taqlid dan fanatisme golongan, penyakit yang telah lama menjangkiti umat. Hancurnya kaum muslimin dan jatuhnya mereka ke dalam kehinaan tidak lain disebabkan kebodohan mereka terhadap Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘ alaihi wasallam, serta tidak memahami pengertian dan pelajaran yang terdapat pada keduanya. Demikian pula yang menjatuhkan umat Islam ke dalam perbuatan bid’ ah serta khurafat. Bahkan kebodohan terhadap agamanya ini merupakan faktor utama yang menumbuhnsuburkan taqlid. Berbagai kebid’ ahan tumbuh dengan subur di atas ketaqlidan dan kebodohan yang ada di tengah-tengah kaum muslimin. Hal ini juga disebabkan adanya para dajjal (pembohong besar) dari berbagai golongan (sempalan) yang menyandarkan dirinya kepada imam-imam madzhab yang telah dikenal. Padahal pengakuan mereka yang menyebutkan bahwa mereka adalah pengikut para imam tersebut adalah pengakuan dusta. Kita dapati dalam kitab-kitab tentang tafsir, fiqih, tasawwuf ataupun syarh hadits Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam berbagai kebid’ ahan bahkan khurafat yang ditulis oleh mereka yang menyatakan dirinya
bermadzhab Fulani. Innaa lillah wa Innaa ilaihi raji’ un. Begitu hebatnya penyakit ini melanda kaum muslimin seakan- akan sudah menjadi wabah yang tidak ada obatnya di dunia ini.
Dan akibat taqlid ini, muncullah sikap-sikap fanatik terhadap apa
yang ada pada dirinya atau kelompoknya. Sampai-sampai seorang yang bermadzhab dengan satu madzhab tertentu tidak mau menikahkan puterinya dengan orang dari madzhab lain, tidak mau pula shalat di belakang
imam yang berbeda madzhab, dan sebagainya. Bahkan yang ironis, di antara penganut madzhab ada yang saling mengkafirkan. Inilah sesungguhnya penyakit yang mula-mula menimpa makhluk
ciptaan Allah.
Iblis yang terkutuk, makhluk pertama yang mendurhakai Allah, tidak lain disebabkan oleh sikap fanatiknya, di mana dia merasa unggul karena unsur yang menjadi asal dia diciptakan. Allah subhanahu wa ta’ ala menerangkan hal ini:
“Aku lebih baik daripadanya. Engkau menciptakanku dari api sedangkan dia Kau ciptakan dari tanah.” (Al A’ raf: 12)
Definisi Taqlid Taqlid secara bahasa bermakna mengikatkan sesuatu di leher. Jadi orang yang taqlid kepada seorang tokoh, ibarat diberi tali yang mengikat lehernya untuk ditarik seakan-akan hewan ternak. Sedangkan menurut istilah, taqlid artinya beramal dengan pendapat seseorang atau golongan tanpa didasari oleh dalil atau hujjah yang jelas. Dari pengertian ini, jelaslah bahwa taqlid bukanlah ilmu dan ini hanyalah kebiasaan orang yang awam (tidak berilmu) dan jahil.
Dan Allah subhanahu wa ta’ ala telah mencela sikap taqlid ini dalam beberapa tempat dalam Al Qur’ an. Firman Allah subhanahu wa ta’ ala:

“Atau adakah Kami memberikan sebuah kitab kepada mereka sebelum Al Qur’ an lalu mereka berpegang dengan kitab itu? Bahkan mereka berkata: ‘ Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.’ Dan demikianlah, kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: ‘ Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’ (Rasul itu) berkata: ‘ Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang
lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapak kalian menganutnya?’ Mereka menjawab: ‘ Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.’ Maka Kami binasakan mereka, maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” (Az-Zukhruf: 21-25)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah sebagaimana dinukil oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah, mengatakan: “Ayat-ayat ini adalah dalil terbesar tentang batil dan jeleknya taqlid. Karena sesungguhnya orang-orang yang taqlid ini, mengamalkan ajaran agama mereka hanyalah dengan pendapat para pendahulu mereka yang diwarisi secara turun temurun. Dan apabila datang seorang juru dakwah yang mengajak mereka keluar dari kesesatan, kembali kepada al-haq, atau menjauhkan mereka dari kebid’ ahan yang mereka yakini dan warisi dari para pendahulu mereka itu tanpa didasari dalil yang jelas – hanya berdasarkan katanya dan katanya-, mereka mengatakan kalimat yang sama dengan orang-orang yang biasa bermewah-mewah:


‘ Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’ Atau ungkapan lain yang semakna dengan ini.” Firman Allah subhanahu wa ta’ ala: “Mereka menjadikan pendeta- pendeta dan ahli-ahli ibadah mereka sebagai Rabb selain Allah.” (At-Taubah: 31)

Maksudnya, mereka menjadikan para ulama dan ahli ibadah di kalangan mereka sebagai Rabb selain Allah. Artinya, ketika para ulama dan ahli ibadah itu menghalalkan untuk mereka apa yang diharamkan oleh Allah, mereka mengikuti penghalalan tersebut. Dan ketika mereka mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah mereka juga mengikuti pengharaman tersebut. Bahkan ketika para ulama dan ahli ibadah tersebut menetapkan suatu syariat yang baru dalam agama mereka yang bertentangan dengan ajaran para Rasul itu, mereka juga mengikutinya. Allah subhanahu wa ta’ ala berfirman:

“Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya? Mereka menjawab: ‘ Kami dapati bapak-bapak kami menyembahnya’ .” (Al-Anbiya’ : 52-53)

Dan perhatikanlah bagaimana jawaban yang mereka berikan. Walhasil, taqlid ini menghalangi mereka untuk menerima kebenaran, sebagaimana disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ ala: “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” (Az-Zukhruf: 24)

Dan para ulama menjadikan ayat-ayat ini dan yang semakna dengannya sebagai hujjah (pedoman hukum) tentang batilnya taqlid. Tidaklah menjadi halangan bagi mereka untuk berhujjah dengan ayat ini meskipun ayat ini berbicara tentang orang-orang kafir, karena kesamaan yang terjadi bukan pada kekufuran satu golongan atau keimanan yang lain, akan tetapi kesamaannya adalah bahwa taqlid itu terjadi karena keduanya sama-sama mengikuti suatu keyakinan atau pendapat tanpa hujjah atau dalil yang jelas. Demi Allah Yang Maha Agung, sesungguhnya kaum muslimin itu, ketika benar-benar sebagai kaum muslimin yang sempurna dan benar keislaman mereka, keadaan mereka senantiasa mendapat pertolongan dan menjadi pahlawan-pahlawan yang membebaskan berbagai negara dan menundukkannya di bawah kedaulatan muslimin. Akan tetapi ketika mereka mengubah-ubah perintah-perintah Allah, maka Allah-pun memberi balasan kepada mereka dengan mengganti nikmat-Nya kepada mereka, dan menghentikan kekhalifahan yang ada di tangan mereka. Dan inilah kenyataan yang kita saksikan dan kita rasakan. Al-‘ Allamah Al-Ma’ shumi mengatakan bahwa termasuk yang berubah adalah adanya prinsip dan kewajiban harusnya seorang muslim bermadzhab dengan satu madzhab tertentu dan bersikap fanatik meskipun dengan alasan yang batil. Padahal madzhab-madzhab ini baru muncul sesudah berakhirnya masa tiga generasi terbaik umat ini. Dan akhirnya dengan bid’ ah ini tercapailah tujuan Iblis memecah-belah kaum muslimin. Kita berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ ala dari hal itu. Beliau juga menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan harusnya seseorang bermadzhab dengan satu madzhab tertentu sesungguhnya dibangun di atas satu kepentingan politik tertentu, dan ambisi-ambisi atau tujuan pribadi. Dan sesungguhnya
madzhab yang haq dan wajib diyakini dan diikuti adalah madzhab junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘ alaihi wasallam yang merupakan Imam yang Agung yang wajib diikuti, kemudian para Al-Khulafa’ Ar- Rasyidin. Allah subhanahu wa ta’ ala berfirman:

“Dan apa-apa yang datang dari Rasul kepada kamu maka ambillah
dia, dan apa yang kamu dilarang mengerjakannya maka jauhilah!” (Al-Hasyr: 7)

Dan adapun yang dimaksud dengan Sunnah Al-Khulafa’ Ar- Rasyidin yang harus diikuti tidak lain adalah jalan hidup mereka yang sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam.
Wallahu a’ lam bish- shawab.

Daftar bacaan
1 Jami’ Bayanil ‘ Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu ‘ Abdil Barr,
2 Riyadhul Jannah, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’ i,
3 Hadiyyatus Sulthan, Muhammad Sulthan Al-Ma’ shumi,
4 Al-Hadits Hujjatun Binafsihi, Asy-Syaikh Al- Albani,
5 Ma’ na Qaulil Imam Al- Muththalibi, As-Subki,
6 Irsyadun Nuqqad, Al-Imam Ash-Shan’ ani,
7 Al-Mudzakkirah, Asy-Syinqithi,
8 Al-Ihkam, Ibnu Hazm,
9 Al-Ihkam, Al-Amidi

banyak macam sholawat yg tidak di ajarkan rosulullah

Sudah bukan rahasia lagi kalau di tengah-tengah kaum muslimin, banyak tersebar berbagai jenis shalawat yang sama sekali tidak berdasarkan dalil dari sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Shalawat-shalawat itu biasanya dibuat oleh pemimpin tarekat sufi tertentu yang dianggap baik oleh sebagian umat Islam kemudian disebarkan hingga diamalkan secara turun temurun. Padahal jika shalawat- shalawat semacam itu diperhatikan secara cermat, akan nampak berbagai penyimpangan berupa kesyirikan, bid’ ah, ghuluw terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan sebagainya. A. Shalawat Nariyah Shalawat jenis ini banyak tersebar dan diamalkan di kalangan kaum muslimin. Bahkan ada yang menuliskan lafadznya di sebagian dinding masjid. Mereka berkeyakinan, siapa yang membacanya 4444 kali, hajatnya akan terpenuhi atau akan dihilangkan kesulitan yang dialaminya. Berikut nash shalawatnya: َّﻢُﻬَّﻠﻟﺍ ِّﻞَﺻ ًﺓَﻼَﺻ ًﺔَﻠِﻣﺎَﻛ ْﻢِّﻠَﺳَﻭ ﺎﻣَﻼَﺳ ﺎّﻣﺎَﺗ ﺎَﻧِﺪِّﻴَﺳ َﻰﻠَﻋ ْﻱِﺬَّﻟﺍ ٍﺪَّﻤَﺤُﻣ َﻪِﺑ ُﻞَﺤْﻨُﺗ ُﺪَﻘُﻌْﻟﺍ ُﺝِﺮَﻔْﻨَﺗَﻭ ِﻪِﺑ ُﺏَﺮُﻜْﻟﺍ ﻰَﻀْﻘُﺗَﻭ ِﻪِﺑ ُﺞِﺋﺍَﻮَﺤْﻟﺍ ُﻝﺎَﻨُﺗَﻭ ِﻪِﺑ ُﺐِﺋﺎَﻏَّﺮﻟﺍ ُﻦْﺴُﺣَﻭ ِﻢْﻴِﺗﺍَﻮَﺨْﻟﺍ ﻰَﻘْﺴَﺘْﺴُﻳَﻭ ُﻡﺎَﻤَﻐْﻟﺍ ِﻪِﻬْﺟَﻮِﺑ ِﻢْﻳِﺮَﻜْﻟﺍ َﻰﻠَﻋَﻭ ِﻪِﻟﺁ َﻚَﻟ ٍﻡْﻮُﻠْﻌَﻣ ِّﻞُﻛ َﺩَﺪَﻋ ِﻪِﺒْﺤَﺻَﻭ “Ya Allah, berikanlah shalawat yang sempurna dan salam yang sempurna kepada Baginda kami Muhammad yang dengannya terlepas dari ikatan (kesusahan) dan dibebaskan dari kesulitan. Dan dengannya pula ditunaikan hajat dan diperoleh segala keinginan dan kematian yang baik, dan memberi siraman (kebahagiaan) kepada orang yang sedih dengan wajahnya yang mulia, dan kepada keluarganya, para shahabatnya, dengan seluruh ilmu yang engkau miliki.” Ada beberapa hal yang perlu dijadikan catatan kaitannya dengan shalawat ini: 1- Sesungguhnya aqidah tauhid yang diseru oleh Al Qur’ anul Karim dan yang diajarkan kepada
kita dari Rasulullah shallallahu laiahi wasallam, mengharuskan setiap muslim untuk berkeyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya yang melepaskan ikatan (kesusahan), membebaskan dari kesulitan, yang menunaikan hajat, dan memberikan manusia apa yang mereka minta. Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim berdo’ a kepada selain Allah untuk menghilangkan kesedihannya atau menyembuhkan penyakitnya, walaupun yang diminta itu seorang malaikat yang dekat ataukah nabi yang diutus. Telah disebutkan dalam berbagai ayat dalam Al Qur’ an yang menjelaskan haramnya meminta pertolongan, berdo’ a, dan semacamnya dari berbagai jenis ibadah kepada selain Allah Azza wajalla. Firman Allah: ِﻞُﻗ ﺍﻮُﻋْﺩﺍ َﻦْﻳِﺬَّﻟﺍ ْﻢُﺘْﻤَﻋَﺯ ْﻦِﻣ ِﻪِﻧْﻭُﺩ ْﻢُﻜْﻨَﻋ ِّﺮُّﻀﻟﺍ َﻒْﺸَﻛ َﻥْﻮُﻜِﻠْﻤَﻳ َﻼَﻓ ًﻼْﻳﻮِْﺤَﺗ َﻻَﻭ “Katakanlah: ‘ Panggillah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah. Maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula memindahkannya.” (Al-Isra: 56) Para ahli tafsir menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan segolongan kaum yang berdo’ a kepada Al Masih ‘ Isa, atau malaikat, ataukah sosok- sosok yang shalih dari kalangan jin. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/47-48) 2- Bagaimana mungkin Rasulullah shallallahu alaihi wasallam rela dikatakan bahwa dirinya mampu melepaskan ikatan (kesulitan), menghilangkan kesusahan, dsb, sedangkan Al Qur’ an menyuruh beliau untuk berkata: ْﻞُﻗ َﻻ ُﻚِﻠْﻣَﺃ ﻲِﺴْﻔَﻨِﻟ ًﺎﻌْﻔَﻧ َﻻَﻭ ﺍّﺮَﺿ َّﻻِﺇ ﺎَﻣ َﺀﺎَﺷ ُﻪﻠﻟﺍ ْﻮَﻟَﻭ ُﺖْﻨُﻛ ُﻢَﻠْﻋَﺃ َﺐْﻴَﻐْﻟﺍ ُﺕْﺮَﺜْﻜَﺘْﺳَﻻ َﻦِﻣ ِﺮْﻴَﺨْﻟﺍ ﺎَﻣَﻭ َﻲِﻨَّﺴَﻣ ُﺀْﻮُّﺴﻟﺍ ْﻥِﺇ ﺎَﻧَﺃ َّﻻِﺇ ٌﺮْﻳِﺬَﻧ َﻥْﻮُﻨِﻣْﺆُﻳ ٍﻡْﻮَﻘِﻟ ٌﺮْﻴِﺸَﺑَﻭ “Katakanlah: ‘ Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan
pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman’ .” (Al- A’ raf: 188) Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu mengatakan, “Berdasarkan kehendak Allah dan kehendakmu”. Maka beliau bersabda: ْﻲِﻨَﺘْﻠَﻌَﺟَﺃ ِﻪﻠﻟ ؟ﺍًّﺪِﻧ ْﻞُﻗ ﺎَﻣ ُﻪﻠﻟﺍ َﺀﺎَﺷ ُﻩَﺪْﺣَﻭ “Apakah engkau hendak menjadikan bagi Allah sekutu? Ucapkanlah: Berdasarkan kehendak Allah semata.” (HR. An- Nasai dengan sanad yang hasan) (Lihat Minhaj Al-Firqatin Najiyah 227-228, Muhammad Jamil Zainu) B. Shalawat Al-Fatih (Pembuka) Lafadznya adalah sebagai berikut: َّﻢُﻬَّﻠﻟﺍ ِّﻞَﺻ َﻰﻠَﻋ ﺎَﻧِﺪِّﻴَﺳ ٍﺪَّﻤَﺤُﻣ ِﺢِﺗﺎَﻔْﻟﺍ ﺎَﻤِﻟ َﻖَﻠْﻏَﺃ ِﻢِﺗﺎَﺨْﻟﺍَﻭ ﺎَﻤِﻟ َﻖَﺒَﺳ , ِﺮِﺻﺎَﻧ ِّﻖَﺤْﻟﺍ ِّﻖَﺤْﻟﺎِﺑ ﻱِﺩﺎَﻬْﻟﺍ ﻰَﻟِﺇ َﻚِﻃﺍَﺮِﺻ ِﻢْﻴِﻘَﺘْﺴَﻤْﻟﺍ َﻰﻠَﻋَﻭ ِﻪِﻟﺁ َّﻖَﺣ ِﻩِﺭْﺪَﻗ ٌﻢْﻴِﻈَﻋ ُﻩُﺭﺍَﺪْﻘِﻣَﻭ “Ya Allah berikanlah shalawat kepada Baginda kami Muhammad yang membuka apa yang tertutup dan yang menutupi apa-apa yang terdahulu, penolong kebenaran dengan kebenaran yang memberi petunjuk ke arah jalan yang lurus. Dan kepada keluarganya, sebenar-benar pengagungan padanya dan kedudukan yang agung.” Berkata At-Tijani tentang shalawat ini – dan dia pendusta dengan perkataannya-: “… .Kemudian (Nabi shallallahu alaihi wasallam) memerintah aku untuk kembali kepada shalawat Al-Fatih ini. Maka ketika beliau memerintahkan aku dengan hal tersebut, akupun bertanya kepadanya tentang keutamaannya. Maka beliau mengabariku pertama kalinya bahwa satu kali membacanya menyamai membaca Al Qur’ an enam kali. Kemudian beliau mengabarkan kepadaku untuk kedua kalinya bahwa satu kali membacanya menyamai setiap tasbih yang terdapat di alam ini dari setiap dzikir, dari setiap do’ a yang kecil maupun besar, dan dari Al Qur’ an 6.000 kali, karena ini termasuk dzikir.” Dan ini merupakan kekafiran yang nyata karena mengganggap perkataan manusia
lebih afdhal daripada firman Allah Azza Wajalla. Sungguh merupakan suatu kebodohan apabila seorang yang berakal apalagi dia seorang muslim berkeyakinan seperti perkataan ahli bid’ ah yang sangat bodoh ini. (Minhaj Al-Firqah An-Najiyah 225 dan Mahabbatur Rasul 285, Abdur Rauf Muhammad Utsman) Telah bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: ُﻪَﻤَّﻠَﻋَﻭ َﻥﺁْﺮُﻘْﻟﺍ َﻢَّﻠَﻌَﺗ ْﻦَﻣ ْﻢُﻛُﺮْﻴَﺧ “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al Qur’ an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari dan Tirmidzi dari Ali bin Abi Thalib. Dan datang dari hadits’ Utsman bin ‘ Affan riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah) Dan juga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: ْﻦَﻣ َﺃَﺮَﻗ ْﻦِﻣ ﺎﻓْﺮَﺣ ِﻪﻠﻟﺍ ِﺏﺎَﺘِﻛ ِﻪِﺑ ُﻪَﻠَﻓ ٌﺔَﻨَﺴَﺣ ُﺔَﻨَﺴَﺤْﻟﺍَﻭ ِﺮْﺸَﻌِﺑ ﺎَﻬِﻟﺎَﺜْﻣَﺃ َﻻ ُﻝْﻮُﻗَﺃ : } ﻢﻟﺃ { ٌﻑْﺮَﺣ ، ْﻦِﻜَﻟَﻭ ٌﻒِﻟَﺃ ٌﻑْﺮَﺣ ٌﻢْﻴِﻣَﻭ ٌﻑْﺮَﺣ ٌﻡَﻻَﻭ ٌﻑْﺮَﺣ “Barangsiapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, maka baginya satu kebaikan. Dan satu kebaikan menjadi sepuluh kali semisal (kebaikan) itu. Aku tidak mengatakan: alif lam mim itu satu huruf, namun alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim itu satu huruf.” (HR.Tirmidzi dan yang lainnya dari Abdullah bin Mas’ ud dan dishahihkan oleh Al-Albani rahimahullah) C. Shalawat yang disebutkan salah seorang sufi dari Libanon dalam kitabnya yang membahas tentang keutamaan shalawat, lafadznya sebagai berikut: َّﻢُﻬَّﻠﻟﺍ ِّﻞَﺻ َﻰﻠَﻋ ٍﺪَّﻤَﺤُﻣ ﻰَّﺘَﺣ َﻞَﻌْﺠَﺗ َﺔَّﻴِﻣْﻮُّﻴَﻘْﻟﺍ َﺔَّﻳِﺪَﺣَﻷْﺍ ُﻪْﻨِﻣ “Ya Allah berikanlah shalawat kepada Muhammad sehingga engkau menjadikan darinya keesaan dan qoyyumiyyah (maha berdiri sendiri dan yang mengurusi makhluknya).” Padahal sifat Al-Ahadiyyah dan Al-Qayyumiyyah, keduanya termasuk sifat-sifat Allah Azza wajalla. Maka, bagaimana mungkin kedua sifat Allah ini diberikan kepada salah seorang dari makhluk-Nya padahal Allah Ta’ ala berfirman: َﺲْﻴَﻟ ِﻪِﻠْﺜِﻤَﻛ ٌﺀْﻲَﺷ َﻮُﻫَﻭ ُﻊْﻴِﻤَّﺴﻟﺍ ُﺮْﻴِﺼَﺒْﻟﺍ “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11) D. Shalawat Sa’ adah (Kebahagiaan) Lafadznya sebagai berikut: َّﻢُﻬَّﻠﻟﺍ ِّﻞَﺻ َﻰﻠَﻋ ﺎَﻧِﺪِّﻴَﺳ ٍﺪَّﻤَﺤُﻣ ﺎَﻣ َﺩَﺪَﻋ ﻲِﻓ ِﻢْﻠِﻋ ِﻪﻠﻟﺍ ًﺓَﻼَﺻ ًﺔَﻤِﺋﺍَﺩ ِﻡﺍَﻭَﺪِﺑ ِﻪﻠﻟﺍ ِﻚْﻠُﻣ “Ya Allah, berikanlah shalawat kepada baginda kami Muhammad sejumlah apa yang ada dalam ilmu Allah, shalawat yang kekal seperti kekalnya kerajaan Allah.” Berkata An-Nabhani As-Sufi setelah menukilkannya dari Asy- Syaikh Ahmad Dahlan: ”Bahwa pahalanya seperti 600.000 kali shalat. Dan siapa yang rutin membacanya setiap hari Jum’ at 1.000 kali, maka dia termasuk orang yang berbahagia dunia akhirat.” (Lihat Mahabbatur Rasul 287-288) Cukuplah keutamaan palsu yang disebutkannya, yang menunjukkan kedustaan dan kebatilan shalawat ini. E. Shalawat Al-In’ am Lafadznya sebagai berikut: َّﻢُﻬَّﻠﻟﺍ ِّﻞَﺻ ْﻢِّﻠَﺳَﻭ ْﻙِﺭﺎَﺑَﻭ ﺎَﻧِﺪِّﻴَﺳ َﻰﻠَﻋ ٍﺪَّﻤَﺤُﻣ َﻰﻠَﻋَﻭ ِﻪِﻟﺁ َﺩَﺪَﻋ ِﻡﺎَﻌْﻧِﺇ ِﻪﻠﻟﺍ ِﻪِﻟﺎَﻀْﻓِﺇَﻭ “Ya Allah berikanlah shalawat, salam dan berkah kepada baginda kami Muhammad dan kepada keluarganya, sejumlah kenikmatan Allah dan keutamaan-Nya.” Berkata An-Nabhani menukil dari Syaikh Ahmad Ash-Shawi: “Ini adalah shalawat Al-In’ am. Dan ini termasuk pintu-pintu kenikmatan dunia dan akhirat, dan pahalanya tidak terhitung.” (Mahabbatur Rasul 288) F. Shalawat Badar Lafadz shalawat ini sebagai berikut: shalatullah salamullah ‘ ala thoha rosulillah shalatullah salamullah ‘ ala yaasiin habibillah tawasalnaa bibismillah wa bil hadi rosulillah wa kulli majahid fillah bi ahlil badri ya Allah Shalawat Allah dan salam-Nya semoga tercurah kepada Thaha Rasulullah Shalawat Allah dan salam-Nya semoga tercurah kepada Yasin Habibillah Kami bertawassul dengan nama Allah dan dengan pemberi petunjuk, Rasulullah Dan dengan seluruh orang yang berjihad di jalan Allah, serta dengan ahli Badr, ya Allah Dalam ucapan shalawat ini terkandung beberapa hal: 1. Penyebutan Nabi dengan habibillah 2. Bertawassul dengan Nabi 3. Bertawassul dengan para mujahidin dan ahli Badr Point pertama telah diterangkan kesalahannya secara jelas pada rubrik Tafsir. Pada point kedua, tidak terdapat satu dalilpun yang shahih yang membolehkannya. Allah Idan Rasul-Nya tidak pernah mensyariatkan. Demikian pula para shahabat (tidak pernah mengerjakan). Seandainya disyariatkan, tentu Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam telah menerangkannya dan para shahabat melakukannya. Adapun hadits: “Bertawassullah kalian dengan kedudukanku karena sesungguhnya kedudukan ini besar di hadapan Allah”, maka hadits ini termasuk hadits maudhu’ (palsu) sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah dan Asy-Syaikh Al-Albani. Adapun point ketiga, tentunya lebih tidak boleh lagi karena bertawassul dengan Nabi shallallhu ‘ alaihi wa sallam saja tidak diperbolehkan. Yang dibolehkan adalah bertawassul dengan nama Allah di mana Allah Subhanahu wa Ta’ ala berfirman: َﻭ ِﻪﻠﻟ ُﺀﺂﻤْﺳَﻷﺍ َﻦْﺴُﺤْﻟﺍ ُﻩْﻮُﻋْﺩﺎَﻓ َﺎﻬِﺑ “Dan hanya milik Allah-lah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu.” (Al-A’ raf: 180) Demikian pula di antara doa Nabi: “Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan segala nama yang Engkau miliki yang Engkau namai diri-Mu dengannya. Atau Engkau ajarkan kepada salah seorang hamba-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau simpan di sisi-Mu dalam ilmu yang ghaib.” (HR. Ahmad, Abu Ya’ la dan lainnya, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 199) Bertawassul dengan nama Allah seperti ini merupakan salah satu dari bentuk tawassul yang diperbolehkan. Tawassul lain yang
juga diperbolehkan adalah dengan amal shalih dan dengan doa orang shalih yang masih hidup (yakni meminta orang shalih agar mendoakannya). Selain itu yang tidak berdasarkan dalil, termasuk tawassul terlarang. Jenis-jenis shalawat di atas banyak dijumpai di kalangan sufiyah. Bahkan dijadikan sebagai materi yang dilombakan di antara para tarekat sufi. Karena setiap tarekat mengklaim bahwa mereka memiliki do’ a, dzikir, dan shalawat-shalawat yang menurut
mereka mempunyai sekian pahala. Atau mempunyai keutamaan bagi yang membacanya yang akan menjadikan mereka dengan cepat kepada derajat para wali yang shaleh. Atau menyatakan bahwa termasuk keutamaan wirid ini karena syaikh tarekatnya telah mengambilnya dari Nabi shallallahu alaihi wasallam secara langsung dalam keadaan sadar atau mimpi. Di mana, katanya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menjanjikan bagi yang membacanya kedekatan dari beliau, masuk jannah (surga) ,dan yang lainnya dari sekian propaganda yang tidak bernilai sedikitpun dalam timbangan syariat. Sebab, syariat ini tidaklah diambil dari mimpi-mimpi. Dan karena Rasul tidak memerintahkan kita dengan perkara-perkara tersebut sewaktu beliau masih hidup. Jika sekiranya ada kebaikan untuk kita, niscaya beliau telah menganjurkannya kepada kita. Apalagi apabila model shalawat tersebut sangat bertentangan dengan apa yang beliau bawa, yakni menyimpang dari agama dan sunnahnya. Dan yang semakin menunjukkan kebatilannya, dengan adanya wirid-wirid bid’ ah ini menyebabkan terhalangnya mayoritas kaum muslimin untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah yang justru disyari’ atkan yang telah Allah jadikan sebagai jalan mendekatkan diri kepada-Nya dan memperoleh keridhaannya. Berapa banyak orang yang berpaling dari Al Qur’ an dan mentadabburinya disebabkan tenggelam dan ‘ asyik’ dengan wirid bid’ ah ini? Dan berapa banyak dari mereka yang sudah tidak peduli lagi untuk menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena tergiur dengan pahala ‘ instant’ yang berlipat ganda. Berapa banyak yang lebih mengutamakan majelis-majelis dzikir bid’ ah semacam buatan Arifin Ilham daripada halaqah yang di dalamnya membahas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Laa haula walaa quwwata illaa billah.

Mengucapkan “Sodaqollahul Adzim” Setelah Membaca Al Qur’ an

Dasar agama Islam ialah hanya beramal dengan Kitabullah dan Sunnah rasulNya. Keduanya adalah sebagai marja’ – rujukan- setiap perselisihan yang ada di tengah-tengah kaum muslimin. Siapa yang tidak mengembalikan kepada keduanya maka dia bukan seorang mukmin. Allah berfirman, “Maka demi Rabmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS An Nisa : 65). Telah mafhum bersama bahwa Allah menciptakan manusia bukan untuk suatu urusan yang sia-sia, tetapi untuk satu tujuan agung yang kemaslahatannya kembali kepada manusia yaitu agar beribadah kepadaNya. Kemudian tidak hanya itu saja, tetapi Allah juga mengutus rasulNya untuk menerangkan kepada manusia jalan yang lurus dan memberikan hidayah – dengan izin Allah- kepada sirotil azizil hamid. Allah berfirman, “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS An Nahl : 64). Sungguh, betapa besar rahmat Allah kepada kita, dengan diutusnya Rasulullah, Allah telah menyempurnakan agama ini. Allah telah berfirman, “… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni’ matKu dan telah Kuridhoi islam itu jadi agama bagimu…” (QS Al Maidah : 3). Tak ada satu syariatpun yang
Allah syariatkan kepada kita melainkan telah disampaikan oleh rasulNya. Aisyah berkata kepada Masyruq, “Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa Muhammad itu telah menyembunyikan sesuatu yang Allah telah turunkan padanya, maka sungguh ia talah berdusta !” (HR. Bukhori Muslim). Berkat Al Imam As Syatibi, “Tidaklah Nabi meninggal kecuali beliau telah menyampaikan seluruh apa yang dibutuhkan dari urusan dien dan dunia…” Berkat Ibnu Majisyun, “Aku telah mendengar Malik berkata, “Barang siapa yang membuat bid’ ah (perkara baru dalam Islam), kemudian menganggapnya baik, maka sungguh dia telah mengira bahwa Muhammad telah menghianati risalah, karena Allah telah berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan unutukmu agamamu…””” (QS Al Maidah : 3). Kaum muslimin – rahimakumullah-, sahabat Ibnu Mas’ ud telah berkata, “Ikutilah, dan jangan kalian membuat perkara baru !”. Suatu peringatan tegas dimana kita tidak perlu untuk menambah– nambah sesuatu yang baru atau bahkan mengurangi sesuatu dalam hal agama. Banyak
ide atau atau anggapan– anggapan baik dalam agama yang tidak ada contohnya bukanlah perbuatan terpuji yang akan mendatangkan pahala, tetapi justru yang demikian itu berarti menganggap kurang atas syariat yang telah dibawa oleh rasulullah, dan bahkan yang demikian itu dianggap telah membuat syariat baru. Seperti perkataan Iman Syafi’ i, ”Siapa yang membuat anggapan- anggapan baik dalam agama sungguh ia telah membuat syariat baru.” Ucapan “sodaqollahul adzim” setelah membaca Al Quran atau satu ayat darinya bukanlah hal yang asing di kalangan kita kaum muslimin -sangat disayangkan-. Dari anak kecil sampai orang tua , pria atau wanita sudah biasa mengucapkan itu. Tak ketinggalan pula – sayangnya- para qori Al Quran dan para khotib di mimbar-mimbar juga mengucapkannya bila selesai membaca satu atau dua ayat AlQuran. Ada apa memangnya dengan kalimat itu ? Kaum muslimin – rahimakumullah-, mengucapkan “sodaqollahul adzim” setelah selasai membaca Al Quran baik satu ayat atau lebih adalah bid’ ah, perhatikanlah keterangan- keterangan berikut ini. Pertama Dalam shahih Bukhori no. 4582 dan shahih Muslim no. 800, dari hadits Abdullah bin Mas’ ud berkata, “Berkata Nabi kepadaku, “Bacakanlah padaku.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku bacakan kepadamu sedangkan kepadamu telah diturunkan?” beliau menjawab, “ya”. Maka aku membaca surat An Nisa hingga ayat “Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu) .” (QS An Nisa : 41) beliau berkata, “cukup”. Lalu aku (Ibnu Masud) menengok kepadanya ternyata kedua mata beliau berkaca-kaca.” Sahabat Ibnu Mas’ ud dalam hadits ini tidak menyatakan “sodaqollahul adzim” setelah membaca surat An Nisa tadi. Dan tidak pula Nabi memerintahkannya untuk menyatakan “sodaqollahul adzim”, beliau hanya mengatakan kepada Ibnu Mas’ ud “cukup”. Kedua Diriwayatkan oleh Bukhori dalam shahihnya no. 6 dan Muslim no. 2308 dari sahabat Ibnu Abbas beliau berkata, “Adalah Rasulullah orang yang paling giat dan beliau lebih giat lagi di bulan ramadhan, sampai saat Jibril menemuinya – Jibril selalu menemuinya tiap malam di Bulan Ramadhan- bertadarus Al Quran bersamanya”. Tidak dinukil satu kata pun bahawa Jibril atau Nabi Muhammad ketika selesai qiroatul
Quran mengucapkan “sodaqollahul adzim”. Ketiga Diriwayatkan oleh Bukhori dalam shahihnya no. 3809 dan Muslim no. 799 dari hadits Anas bin Malik – radiyallahu anhuma-, “Nabi berkata kepada Ubay, “Sesungguhnya Allah menyuruhku untuk membacakan kepadamu “lam yakunil ladzina kafaru min ahlil kitab” (“Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya)…”) (QS Al Bayyinah : 1). Ubay berkata , ”menyebutku ?” Nabi menjawab, “ya”, maka Ubay pun menangis”. Nabi tidak mengucapkan “sodaqollahul adzim” setelah membaca ayat itu. Keempat Diriwayatkan oleh Bukhori dalam shahihnya no. 4474 dari hadits Raafi’ bin Al Ma’ la – radiyallahu anhuma- bahwa Nabi bersabda, “Maukah engkau kuajari surat yang paling agung dalam Al Quran
sebelum aku pergi ke masjid ?” Kemudian beliau (Nabi) pergi ke masjid, lalu aku mengingatkannya dan beliau berkata, “Alhamdulillah, ia (surat yang agung itu) adalah As Sab’ ul Matsaani dan Al Quranul Adzim yang telah diberikan kepadaku.” Beliau tidak mengatakan “sodaqollahul adzim”. Kelima Terdapat dalam Sunan Abi Daud no. 1400 dan Sunan At Tirmidzi no. 2893 dari hadits Abi Hurairah dari Nabi, beliau bersabda, “Ada satu surat dari Al Quran banyaknya 30 ayat akan memberikan syafaat bagi pemiliknya – yang membacanya/ mengahafalnya- hingga ia akan diampuni, “tabaarokalladzii biyadihil mulk” (“Maha Suci Allah yang ditanganNyalah segala kerajaan…”) (QS Al Mulk : 1). Nabi tidak mengucapkan “sodaqollahul adzim” setelah membacanya. Keenam Dalam Shahih Bukhori no. 4952 dan Muslim no. 494 dari hadits Baro’ bin ‘ Ajib berkata, “Aku mendengar Rasulullah membaca di
waktu Isya dengan “attiini waz zaituun” , aku tidak pernah mendengar seorangpun yang lebih indah suaranya darinya”. Dan beliau tidak mengatakan setelahnya “sodaqollahul adzim”. Ketujuh Diriwatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya no. 873 dari hadits Ibnat Haritsah bin An Nu’ man berkata, “Aku tidak mengetahui/hafal “qaaf wal qur’ aanil majiid” kecuali dari lisan rasulullah, beliau berkhutbah dengannya pada setiap Jumat”. Tidak dinukil beliau mengucapkan setelahnya “sodaqollahul adzim” dan tidak dinukil pula ia (Ibnat Haritsah) saat membaca surat “qaaf” mengucapkan “sodaqollahul adzim”. Jika kita mau menghitung surat dan ayat-ayat yang dibaca oleh Rasulullah dan para sahabatnya serta para tabiin dari generasi terbaik umat ini, dan nukilan bahwa tak ada satu orangpun dari mereka yang mengucapkan “sodaqollahul adzim” setelah membacanya maka akan sangat banyak dan panjang. Namun cukuplah apa yang kami nukilkan dari mereka yang menunjukkan bahwa mengucapkan “sodaqollahul adzim” setelah membaca Al Quran atau satu ayat darinya adalah bid’ ah – perkara yang baru- yang tidak pernah ada dan di dahului oleh genersi pertama. Kaum muslimin – rahimakumullah-, satu hal lagi yang perlu dan penting untuk diperhatikan bahwa meskipun ucapan “sodaqollahul adzim” setelah qiroatul Quran adalah bid’ ah, namun kita wajib meyakini dalam hati perihal maknanya bahwa Allah maha benar dengan seluruh firmannya, Allah berfirman, “Dan siapa lagi yang lebih baik perkataanya daripada Allah”, dan Allah berfirman, “Dan siapa lagi yang lebih baik perkataanya dari pada Allah”. Barang siapa yang mendustakanya – firman Allah- maka ia kafir atau munafiq. Semoga Allah senantiasa mengokohkan kita diatas Al Kitab dan Sunnah dan Istiqomah diatasnya. Wal ilmu indallah

Sabtu, Januari 15, 2011

FATWA IMAM SYA'FII TENTANG YASINAN

Majlis kenduri arwah lebih dikenali dengan berkumpul beramai-ramai dengan hidangan jamuan (makanan) di rumah si Mati. 

Kebiasaannya diadakan sama ada pada hari kematian, dihari kedua, ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, setahun dan lebih dari itu bagi mereka yang fanatik kepada kepercayaan ini atau kepada si Mati. 

Malangnya mereka yang mengerjakan perbuatan ini tidak menyadari bahawa terdapat banyak fatwa-fatwa dari Imam Syafie rahimahullah dan para ulama besar dari kalangan yang bermazhab Syafie telah mengharamkan dan membid’ahkan perbuatan atau amalan yang menjadi tajuk perbincangan dalam tulisan ini

Di dalam kitab ( ناعا ة طلا نیبلا ) juz 2. hlm. 146,

tercatat pengharaman Imam Syafie rahimahullah tentang perkara yang disebutkan di atas sebagaimana ketegasan beliau dalam fatwanya:


ُهَرْكَیَو ُذاَخِّتا ِماَعَّطلا ىِف ِمْوَیْلا ِلَّوَالْا ثِلاَّثلاَو َدْعَبَو ِعْوُبْسُالْا ُلْقَنَو ِماَعَّطلا ىَلِا ِرْوُبُقْلا

“Dan dilarang (ditegah/makruh) menyediakan makanan pada hari pertama kematian, hari ketiga dan seterusnnya sesudah seminggu. Dilarang juga membawa
makanan ke kuburan”. 

Imam Syafie dan jumhur ulama- ulama besar ( مئا ة ملعلا ءا شلا عفا ةی ) yang berpegang kepada mazhab Syafie, dengan berlandaskan kepada hadis-hadis sahih, mereka memfatwakan bahawa yang sewajarnya menyediakan makanan untuk keluarga si Mati adalah jiran, kerabat si Mati atau orang yang datang menziarahi mayat, bukan keluarga (ahli si Mati)
sebagaimana fatwa Imam Syafie:


ُّبِحُاَو ِناَرْیِجِل ِتِّیَمْلا ْيِذْوَا ِھِتَباَرَق ْنَا اْوُلَمْعَی ِلْھَال ِتِّیَمْلا ْىِف ِمْوَی ُتْوُمَی ِھِتَلْیَلَو اًماَعَط
اَم ْمُھُعِبْشُی َّنِاَو َكِلَذ ٌةَّنُس .

“Aku suka kalau jiran si Mati atau saudara mara si Mati menyediakan makanan untuk keluarga si Mati pada hari kematian dan malamnya sehingga mengenyangkan mereka. Sesungguhnya itulah amalan yang sunnah”. 

Fatwa Imam Syafie di atas ini adalah berdasarkan hadis sahih:


“Abdullah bin Ja’far berkata: Ketika tersebar tentang berita terbunuhnya Ja’far, 
Nabi sallallahu ‘alaihi wa-sallam bersabda: Hendaklah kamu menyediakan makanan untuk keluarga Ja’far, mereka telah ditimpa keadaan yang menyebukkan (kesusahan)”.

[1] Menurut fatwa Imam Syafie, adalah haram mengadakan kenduri arwah dengan menikmati hidangan di rumah si Mati, terutama jika si Mati termasuk keluarga yang miskin, menanggung beban hutang, meninggalkan anak-anak yatim yang masih kecil dan waris si
Mati mempunyai tanggungan perbelanjaan yang besar dan ramai. Tentunya tidak dipertikaikan bahawa makan harta anak-anak yatim hukumnya haram. Telah dinyatakan
juga di dalam kitab ( ةناعا نیبلاطلا ) jld. 2. hlm. 146:

“Imam Syafie berkata lagi: Dibenci bertetamu dengan persiapan makanan yang disediakan oleh ahli si Mati kerana ia adalah sesuatu yang keji dan ia adalah bid’ah”. Seterusnya di dalam kitab ( ناعا ة طلا نیبلا ) juz. 2. hlm. 146 – 147,


Imam Syafie rahimahullah berfatwa lagi:


َنِمِو ِعَدِبْلا ِةَرَكْنُمْلا ِهْوُرْكَمْلا ُھُلْعَف اَم ُلَعْفَی ُساَّنلا َنِم ِةَشْحَوْلا ِعْمَجْلاَو َنْیِعِبْرَالْاَو َب ْل َك ُّل َكِلَذ ٌماَرَح

1 H/R Asy-Syafie (I/317), Abu Dawud, Tirmizi, Ibnu Majah dan Ahmad I/205. Dihasankan oleh at- Turmizi dan di sahihkan oleh al- Hakim.

“Dan antara bid’ah yang mungkar ialah kebiasaan orang yang melahirkan rasa kesedihannya sambil berkumpul beramai-ramai melalui upacara (kenduri arwah) dihari keempat puluh (empat pulu harinya) pada hal semuanya ini adalah haram”. 
Ini bermakna mengadakan kenduri arwah (termasuk tahlilan dan yasinan beramairamai) dihari pertama kematian, dihari ketiga, dihari ketujuh, dihari keempat puluh, dihari keseratus, setelah setahun kematian dan dihari-hari seterusnya sebagaimana yang diamalkan oleh masyarakat Islam sekarang adalah perbuatan haram dan bid’ah menurut fatwa Imam Syafie.

 Oleh itu, mereka yang mendakwa bermazhab Syafie sewajarnya menghentikan perbuatan yang haram dan bid’ah ini sebagai mematuhi wasiat imam yang agung ini.


Seterusnya terdapat dalam kitab
yang sama
( ةناعا طلا نیبلا ) juz 2. hlm. 145-146,

 Mufti yang bermazhab Syafie al- Allamah Ahmad Zaini bin Dahlan rahimahullah menukil fatwa Imam Syafie yang menghukum bid’ah dan mengharamkan kenduri arwah:
َالَو َّكَش َّنَا َعْنَم ِساَّنلا ْنِم ِهِذَھ ِةَعْدِبْلا َكْنُمْلا ِةَر ْیِف ِھ َیْحِا ٌءا ُّسلِل ةَّن َتاَمِاَو ٌة َعْدِبْلِل ِة َفَو
ٌحْت ٍرْیِثَكِل ْنِم ِباَوْبَا ِرْیَخْلا ٌقْلَغَو ٍرْیِثَكِل ْنِم ْبَا ِباَو َّشلا ِّر ، َف َّنِا َّنلا َسا ُفَّلَكَتَی نْو ًفُّلَكَت ا ْیِثَك اًر ْيِّدَؤُی ىَلِا ْنَا َنْوُكَی َكِلَذ ُعْنُّصلا اًمَّرَحُم .

“Dan tidak boleh diragukan lagi bahawa melarang (mencegah) manusia dari perbuatan bid’ah yang mungkar demi untuk menghidupkan sunnah dan mematikan (menghapuskan) bid’ah, membuka banyak pintu- pintu kebaikan dan menutup pintu pintu keburukan dan (kalau dibiarkan bid’ah berterusan) orang-orang (awam) akan
terdedah (kepada kejahatan) sehingga memaksa diri mereka melakukan perkara yang haram”. 

Kenduri arwah atau lebih dikenali dewasa ini sebagai majlis tahlilan, selamatan atau yasinan, ia dilakukan juga di perkuburan terutama dihari khaul

Amalan ini termasuk perbuatan yang amat dibenci, ditegah, diharamkan dan dibid’ahkan oleh Imam Syafie rahimahullah sebagaimana yang telah ditegaskan oleh beliau:
 

“Apa yang diamalkan oleh manusia dengan berkumpul dirumah keluarga si mati dan menyediakan makanan adalah termasuk perbuatan bid’ah yang mungkar”.


[2] Di dalam kitab fikh ( شاح ةی یلقلا يبو ) juz. 1 hlm. 353 atau di kitab ( – یلق ىبو – یمع ةر شاح ناتی ) juz. 1 hlm. 414 
dapat dinukil ketegasan Imam ar-
Ramli rahimahullah yang mana beliau berkata:

2 Lihat: ةناعا نیبلاطلا juz 2 hlm. 145.

 َلاَق اَنُخْیَش ىِلْمَّرلا : َنِمَو ِعَدِبْلا ِةَرَكْنُمْلا ِهْوُرْكَمْلا اَھُلْعِف اَمَك ىِف ِةَضْوَّرلا اَم ُھُلَعْفَی
ُساَّنلا اَّمِم ىَّمَسُی َةَراَفِكْلا ْنِمَو ِعْنُص ِماَعَط ِعاَمَتْجِالل ِھْیَلَع َلْبَق ِتْوَمْلا ِعَبْوَا ُهَد ِمَو ن لا ِحْبَّذ َلَع
ى ِرْوُبُقْلا ، ْلَب ُّلُك َكِلَذ ٌماَرَح ْنِا َناَك ِم ْن َم ٍلا ُجْحَم ٍرْو َلَو ْو ِم َن َكرَّتلا ِة ، ْوَا ِم ْن َم ِلا ِّیَم ٍت ِھْیَلَع ٌنْیَد َبَّتَرَتَو ِھْیَلَع ٌرَرَض ْوَا ُوْحَن َكِلَذ .

“Telah berkata Syeikh kita ar- Ramli: Antara perbuatan bid’ah yang mungkar jika dikerjakan ialah sebagaimana yang dijelaskan di dalam kitab “Ar- Raudah” iaitu mengerjakan amalan yang disebut “kaffarah” secara menghidangkan makanan agar dapat berkumpul di rumah si Mati sama sebelum atau sesudah kematian, termasuklah (bid’ah yang mungkar) penyembelihan untuk si Mati, malah yang demikian itu semuanya haram terutama jika sekiranya dari harta yang masih dipersengketakan walau sudah ditinggalkan oleh si Mati atau harta yang masih dalam hutang (belum dilunas) atau seumpamanya”. 

Di dalam kitab ( ھقفلا ىلع بھاذملا ةعبرالا ) jld.1 hlm. 539, ada dijelaskan bahawa: 


“Termasuk bid’ah yang dibenci ialah apa yang menjadi amalan orang sekarang, iaitu menyembelih beberapa sembelihan ketika si Mati telah keluar dari rumah (telah dikebumikan). Ada yang melakukan sehingga kekuburan atau menyediakan makanan kepada sesiapa yang datang berkumpul untuk takziyah”. Kenduri arwah pada hakikatnya lebih merupakan tradisi dan kepercayaan untuk mengirim pahala bacaan fatihah atau menghadiahkan pahala melalui pembacaan al-Quran terutamanya surah yasin, zikir dan berdoa beramai-ramai yang ditujukan kepada arwah si
Mati.

 Mungkin persoalan ini dianggap isu yang remeh, perkara furu’, masalah cabang atau
ranting oleh sebahagian masyarakat awam dan dilebih- lebihkan oleh kalangan mubtadi’مبتد) “

pembuat atau aktivis bid’ah” sehingga amalan ini tidak mahu dipersoalkam oleh pengamalnya tentang haram dan tegahannya dari Imam Syafie rahimahullah dan para ulama yang bermazhab Syafie.


Pada hakikatnya, amalan mengirim atau menghadiahkan pahala bacaan seperti yang dinyatakan di atas adalah persoalan besar yang melibatkan akidah dan ibadah. 

Wajib diketahui oleh setiap orang yang beriman bahawa masalah akidah dan ibadah tidak boleh dilakukan secara suka-suka (tanpa ada hujjah atau dalil dari Kitab Allah dan Sunnah RasulNya),
tidak boleh berpandukan pada anggapan yang disangka baik lantaran ramainya
masyarakat yang melakukannya, kerana Allah Subhanahu wa- Ta’ala telah memberi amaran yang tegas kepada mereka yang suka bertaqlid (meniru) perbuatan orang ramai yang tidak
ada dalil atau suruhannya dari syara

 sebagaimana firmanNya:

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan (majoriti) orang- orang yang di muka bumi ini, nescaya mereka akan menyesatkan diri kamu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanya mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”. (QS. Al-An’am, 6:116)


Begitu juga sesuatu amalan yang disangkakan ibadah sama ada yang dianggap wajib atau sunnah, maka ia tidak boleh ditentukan oleh akal atau hawa nafsu, antara amalan tersebut
ialah amalan kenduri arwah (tahlilan atau yasinan) maka lantaran ramainya orang yang mengamalkan dan adanya unsur- unsur agama dalam amalan tersebut seperti bacaan al- Quran, zikir, doa dan sebagainya, maka kerananya dengan mudah diangkat dan dikategorikan sebagai ibadah. 

Sedangkan kita hanya dihalalkan mengikut dan mengamalkan apa yang benar- benar telah disyariatkan oleh al- Quran dan as-Sunnah jika ia dianggap sebagai ibadah 

sebagaimana firman Allah Azza wa-Jalla: َ

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat
(peraturan yang wajib ditaati)
dalam urusan (agamamu) itu,
maka ikutilah syariat itu dan
janganlah kamu ikuti hawa nafsu
orang-orang yang tidak mengetahui (orang jahil).
Sesungguhnya mereka sekali-kali
tidak akan dapat menolak diri
kamu sedikitpun dari siksaan
Allah”. (QS. Al-Jatsiyah, 45:18-19) 


Setiap amalan yang dianggap
ibadah jika hanya berpandukan
kepada andaian mengikut
perkiraan akal fikiran, perasaan,
keinginan hawa nafsu atau
ramainya orang yang melakukan tanpa dirujuk terlebih dahulu
kepada al-Quran, as-Sunnah dan
athar yang sahih untuk dinilai
sama ada haram atau halal,
sunnah atau bid’ah, maka perbuatan tersebutadalah suatu
kesalahan (haram dan bid’ah) menurut syara sebagaimana
yang dijelaskan oleh ayat di atas
dan difatwakan oleh Imam Syafie
rahimahullah. 

Memandangkan
polemik dan persoalan kenduri
arwah kerapkali ditimbulkan dan ditanyakan kepada penulis, maka
ia perlu ditangani dan
diselesaikan secara syarii
(menurut hukum dari al-Quran
dan as-Sunnah) serta fatwa
para ulama Ahli Sunnah wal- Jamaah dari kalangan Salaf as-
Soleh yang muktabar.


Dalam membincangkan isu ini pula,
maka penulis tumpukan kepada
kalangan para ulama dari mazhab Syafie kerana ramai mereka yang bermazhab Syafie menyangka bahawa amalan
kenduri arwah, tahlilan, yasinan
atau amalan mengirim pahala
adalah diajarkan oleh Imam
Syafie dan para ulama yang berpegang dengan mazhab
Syafie.

Insya-Allah, mudah-mudahan
tulisan ini bukan sahaja dapat
menjawab pertanyaan bagi
mereka yang bertanya, malah akan sampai kepada mereka
yang mempersoalkan isu ini,
termasuklah mereka yang masih
tersalah anggap tentang hukum
sebenar kenduri arwah (tahlilan
atau yasinan) menurut Ahli Sunnah wal-Jamaah.

YASINAN BUKANLAH SUNNAH

Bid’ah lainnya yang biasa dilakukan sebagian umat Islam adalah membaca bersama-sama surat Yasin setiap malam Jumat. Lalu mereka berkeyakinan mengirimkan pahalanya kepada arwah orang tua atau saudara yang sudah wafat. Sebenarnya, tidak ada masalah apa pun jika seseorang hendak membaca surat Yasin, bahkan itu adalah hal yang baik, sebab itu merupakan salah satu surat Al Quranul Karim. Namun, masalah mulai ada ketika membaca surat Yasin dikhususkan pada malam Jumat saja, tidak pada malam lainnya, dan tidak pula surat yang lainnya, lalu dibarengi dengan keyakinan atau fadhilah tertentu. Maka ini semua membutuhkan dalil khusus yang shahih untuk melaksanakannya. Jika, tidak ada maka tidak boleh melaksanakannya apalagi merutinkannya. Sebab, hal tersebut telah menjadi hal baru dalam agama. Ketetapan ini sesuai dengan kaidah yang ditetapkan para ulama:

لصألاف يف تادابعلا نالطبلا ىتح موقي ليلد ىلع رمألا
“Hukum asal dalam ibadah adalah batil, sampai adanya dalil yang menunjukkan
perintahnya.” (Imam Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in, 1/344. Maktabah Al Kulliyat Al Azhariyah)


Jadi, selama belum ada dalil yang mencontohkan atau memerintahkan, maka ibadah tersebut batil dan mengada- ngada. Kaidah ini berasal dari hadits berikut: نم ثدحأ يف

انرمأ اذه ام سيل هيف وهف در

“Barangsiapa yang membuat hal baru dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka itu tertolak.” (HR. Bukhari No. 2550. Muslim No. 1718)


Dalam hal yasinan setiap malam Jumat ini pun, kita tidak akan menemukan keterangannya dalam Al Quran dan As Sunnah tentang keutamaannya dibaca secara khusus pada malam Jumat. Kedudukan Hadits-Hadits Tentang Yasin
Hadits Pertama,

Dari Al Hasan Al Bashri Radhiallahu ‘Anhu: ْنَع يِبَأ َةَرْيَرُه ، َلاَق : َلاَق ُلوُسَر ِهَّللا ىَّلَص ُهَّللا ِهْيَلَع َمَّلَسَو : " ْنَم َأَرَق سي يِف ٍمْوَي ْوَأ ٍةَلْيَل َءاَغِتْبا ِهْجَو ِهَّللا َرِفُغ ُهَل"

Dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barang siapa yang membaca surat Yasin malam hari atau siang, dengan mengharapkan keridhaan Allah, maka dia akan diampuni.” (HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, 19/62/145) Hadits ini dha’if. Sebab, Al Hasan tidak mendengar langsung hadits itu dari Abu Hurairah.(Ibid)
Sementara dalam sanadnya terdapat Aghlab bin Tamim. Berkata Imam Al Haitsami tentang dia: “Dha’if.” (Imam Al Haitsami, Majma’ az Zawaw’id, 7/97. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah) Sementara Imam Bukhari berkata
tentang Aghlab bin Tamim: “Munkarul hadits (haditsnya munkar).” Imam Yahya bin Ma’in mengatakan: “Tidak ada apa- apanya.” Ibnu ‘Adi berkata: “Pada umumnya hadits-hadits darinya tidak terjaga.” Berkata Maslamah bin Qasim: “Munkarul hadits.” (Imam Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, 1/ 194). Maka jelaslah kedhaifan hadits tersebut.

Hadits Kedua. Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata: لاق لوسر هللا ىلص هللا هيلع ملسو نم ماد ىلع ةءارق سي لك ةليل مث تام تام اديهش . Dari Anas bin Malik, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barang siapa yang merutinkan membaca Yasin setiap malam, lalu dia mati, maka dia mati syahid.” Hadits ini palsu. Berkata Imam Al Haitsami tentang hadits ini: هاور يناربطلا يف ريغصلا هيفو ديعس نب ىسوم يدزالا وهو باذك Diriwayatkan oleh Ath Thabarani dalam Ash Shaghir, di dalam sanadnya terdapat Sa’id bin Musa Al Azdi, seorang pendusta. (Majma’ Az Zawaid, Ibid) Sementara Imam Ibnu Hibban menuduh Sa’id bi Musa sebagai pemalsu hadits. (Imam Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, 1/435) Maka, jelaslah kepalsuan hadits ini.

Hadits Ketiga. Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda: نم راز ربق هيدلاو لك ةعمج ، أرقف امهدنع وأ هدنع * ) سي ( * رفغ هل ددعب لك ةيآ وأ فرح “Barangsiapa yang menziarihi kubur dua orang tuanya setiap Jum’at, lalu dibacakan Yasin pada sisinya, maka akan diampunkan baginya setiap ayat atau huruf.” Hadits ini palsu. Ibnu ‘Adi berkata: “Hadits ini batil dan tidak ada asalnya sanad ini.” Ad Daruquthni mengatakan: “Hadits ini palsu, oleh karena itu Ibnul Jauzi memasukkan hadits ini kedalam kitabnya Al Maudhu’at (hadits- hadits palsu).” (Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Silsilah Adh Dha’ifah, 1/127/ 50)

Hadits Keempat. Dari Anas bin
Malik Radhiallahu ‘Anhu: َلاَق ُّيِبَّنلا ىَّلَص ُهَّللا ِهْيَلَع َمَّلَسَو َّنِإ ِّلُكِل ٍءْيَش اًبْلَق ُبْلَقَو ِنآْرُقْلا سي ْنَمَو َأَرَق سي َبَتَك ُهَّللا ُهَل اَهِتَءاَرِقِب َةَءاَرِق ِنآْرُقْلا َرْشَع ٍتاَّرَم Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya segala sesuatu memiliki hati, dan hatinya Al Quran adalah Yasin, dan barangsiapa yang membaca Yasin, maka Allah tetapkan baginya seperti membaca Al Quran sepuluh kali.” (HR. At Tirmidzi N0. 3048)
Hadits ini juga palsu. Kata Imam At Tirmidzi dalam sanadnya terdapat Harun Abu Muhammad seorang Syaikh yang majhul (tidak dikenal). (Ibid)
Syaikh Al Albany mengatakan hadits ini palsu, lantaran Harun Abu Muhammad. Selain itu dalam sanadnya terdapat Muqatil bin Sulaiman. Ibnu Abi Hatim bertanya
kepada ayahnya (Imam Abu Hatim
Ar Razi) tentang hadits ini dia menjawab: “Muqatil ini adalah Muqatil bin Sulaiman, aku pernah melihat hadits ini pada awal kitabnya yang telah dipalsukannya. Muqatil ini haditsnya batil dan tidak ada dasarnya.” Waki’ berkata: Muqatil adalah pendusta.” (Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, As Silsilah Adh Dha’ifah, 1/246/ 169)


Inilah sebagian tentang hadits- hadits keutamaan surat Yasin, semuanya masih dalam perbincangan, antara dhaif (lemah), munkar, bahkan palsu. Wallahu A’lam Ada hadits lain tentang keutamaan surat Yasin, yang agak lebih baik dibanding di atas, ini pun juga dhaif sebenarnya. Dari Ma’qil bin Yasar Radhiallahu ‘Anhu: لاق يبنلا ىلص هللا هيلع ملسو اوءرقا سي ىلع مكاتوم اذهو ظفل نبا ءالعلا . Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Bacakanlah Yasin terhadap orang yang menghadapi sakaratul maut.” Ini lafaz dari Ibnu al ‘Ala. (HR. Abu Daud No. 3121)

Para ulama berbeda pendapat dalam menilai hadits ini, tetapi umumnya mendhaifkan. Menurut Syaikh Al Albany hadits ini dha’if. (Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 3121).
Imam Ash Shan’ani menjelaskan, bahwa Imam Ibnul Al Qaththan menyatakan adanya cacat pada hadits ini yakni idhthirab (goncang), dan mauquf (hanya sampai sahabat nabi), dan terdapat rawi (periwayat) yang majhul (tidak dikenal) yakni Abu Utsman dan ayahnya. Sementara, Imam Ibnul ‘Arabi mengutip dari Imam Ad Daruquthni, yang mengatakan bahwa hadits ini sanadnya mudhtharib (goncang), majhulul matni (redaksinya tidak dikenal), dan tidak ada yang shahih satu pun hadits dalam bab ini (tentang Yasin). (Subulus Salam, 3/63. Mawqi’ Al Islam. At Talkhish Al Habir No. 734. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah) Sementara, Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Bulughul Maram mengatakan, Imam Ibnu Hibban menshahihkan hadits ini. (Imam Ibnu Hajar, Bulughul Maram, Kitabul Janaiz, no. 437. Cet.1, Darul Kutub Al Islamiyah).
Telah masyhur dikalangan muhadditsin (ahli hadits), bahwa Imam Ibnu Hibban adalah ulama yang mutasahil (terlalu memudahkan) dalam menshahihkan hadits. Oleh karena itu, penshahihan yang dilakukan kerap ditinjau ulang oleh ulama setelahnya.
Imam Ahmad dalam Musnad-nya, mengatakan, telah berkata kepada kami Abul Mughirah, telah
berkata kepada kami Shafwan, katanya: “Dahulu para masyayikh (guru) mengatakan jika dibacakan surat Yasin di sisi mayit, maka itu akan meringankannya.” Pengarang Musnad Al Firdaus telah menyandarkan riwayat ini dari Abu Darda’ dan Abu Dzar, mereka mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidaklah seorang mayit meninggal lalu dibacakan surat Yasin di sisinya, melainkan Allah Ta’ala akan memudahkannya.” Lalu, Imam Ash Shan’ani mengatakan, bahwa dua riwayat inilah yang menguatkan penshahihan yang dilakukan Imam
Ibnu Hibban, yang maknanya adalah menjelang kematian (bukan dibaca sesudah wafat, pen), dan dua riwayat ini lebih jelas dibanding riwayat yang dijadikan dalil olehnya. (Ibid)
Tertulis dalam kitab Raudhatul Muhadditsin, disebutkan bahwa Imam An Nawawi dalam Al Adzkar menyatakan hadits ini dhaif, lantaran ada dua orang yang majhul (tidak dikenal), hanya saja
–katanya- Imam Abu Daud tidak mendhaifkannya. Tetapi Imam An Nawawi berhujjah dengan hadits ini dalam kitabnya yang lain. (Imam An Nawawi, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/5)
Ibnu ‘Alan dalam Syarh Al Adzkar menerangkan bahwa Imam Ibnu Hajar juga menjadikan riwayat dari Shafwan sebagai penguat hadits ini, dan menurutnya riwayat Shafwan tersebut adalah mauquf dan sanadnya hasan. Bahkan, Al Hafizh Ibnu Hajar menghukumi riwayat tersebut adalah marfu’ (sampai kepada Rasulullah) dengan alasan para masyayikh (guru) tersebut yakni para sahabat dan tabi’in senior, tidak mungkin berkata menurut pendapat mereka sendiri. Sementara Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, dengan sanad shahih, dari jalan Abu Sya’tsa’ Jabir bin Zaid, salah seorang tabi’in terpercaya, bahwa dianjurkan dibacakan di sisi mayit surah Ar Ra’du. (Raudhatul Muhadditsin, No. 4691. Markaz Nur Al Islam. Imam An Nawawi, Al Adzkar, 1 /144. Darul Fikr)
Jadi, pada dasarnya hadits di atas adalah dhaif, namun menurut pihak yang menshahihkan, terdepat beberapa riwayat lain yang menjadi penguat (syawahid) menjadi shahih. Demikianlah pembahasan pro-kontra atas keshahihan hadits ini.