Laman

Entri Populer

Tampilkan postingan dengan label wasiat rosulullah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label wasiat rosulullah. Tampilkan semua postingan

Senin, Mei 30, 2011

WASIAT ROSULULLAH KEPADA UMAT AKHIR ZAMAN

Al Imam Abu Dawud
meriwayatkan dari sahabat
yang mulia Al ‘ Irbadh bin Sariyah radliallahu anhu,
bahwa ia berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam menasihatkan
kepada kami dengan satu
nasihat yang menggetarkan
hati-hati kami dan air mata
pun berlinang karenanya.
Maka ketika itu kami mengatakan: “Duhai Rasulullah, nasihat ini
seperti nasihat orang yang
mau mengucapkan selamat
tinggal, karena itu berilah
wasiat kepada kami.” Beliau pun bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian bertakwa kepada
Allah, untuk mendengar dan
taat, walaupun yang
memerintah kalian itu
seorang budak. Dan
barangsiapa di antara kalian yang masih hidup
sepeninggalku, niscaya dia
akan melihat perselisihan
yang banyak. Karena itu
wajib atas kalian untuk
berpegang dengan sunnahku dan sunnahnya Al
Khulafa’ Ar Rasyidin yang mendapatkan petunjuk.
Pegang erat-erat sunnah
itu dengan gigi geraham
kalian. Dan hati-hati kalian
dari perkara-perkara baru,
karena setiap perkara baru ( bid‘ ah) itu sesat.” (HR. Abu Dawud no. 3991) Kandungan Hadits Allah Subhanahu Wa Ta’ ala memerintahkan kepada
Nabi-Nya : “Berilah nasihat kepada mereka dan katakanlah
kepada mereka ucapan
yang bisa dipahami,
mengena dan menancap di
jiwa-jiwa mereka.” (An Nisa’ : 63) Nabi Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam memiliki sifat
selalu memberikan
bimbingan kepada jalan
yang lurus terhadap siapa
saja dari kalangan
umatnya, sehingga ketika para sahabatnya meminta
agar beliau memberikan
nasihat maka beliau pun
memenuhinya diiringi
dengan hikmah. Rasulullah Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam ketika
menyampaikan nasihat
senantiasa memilih kata-
kata yang tepat, lafadz
yang indah, mengena di hati
dan menancap dengan dalam. Beliau tidak
menyampaikan nasihat
dengan kalimat yang
panjang lagi bertele-tele,
namun cukup dengan
kalimat yang ringkas namun mencakup dan dimengerti.
Karena itulah beliau dikenal
oleh para sahabatnya
sebagai orang yang memiliki
jawami`ul kalim (perkataan
yang ringkas namun padat). Sebagaimana sabda beliau
Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam: “Aku diutus dengan jawami‘ ul kalim.” (HR. Al Bukhari no. 2977 dan Muslim
no. 523) ‘ Ammar bin Yasir radliallahu anhu pernah
menyampaikan khutbah
dengan ringkas dan
dipenuhi dengan kata-kata
yang tepat, ibarat yang
indah dan menancap di hati. Seusai khutbah, ada
seseorang yang
menegurnya. Maka ‘ Ammar pun menanggapi dengan
jawaban yang tepat: “Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya panjangnya shalat seseorang dan
ringkasnya khutbahnya
merupakan tanda
kefaqihannya. Karena itu
panjangkanlah shalat dan
ringkaskanlah khutbah. Sesungguhnya di antara
penyampaian dan ucapan
ada yang membuat orang
tersihir.” (HR. Muslim no. 869) Nasihat yang disampaikan
oleh Rasulullah Shallallahu
‘ Alaihi Wasallam ketika itu sangatlah menancap di hati
para sahabatnya hingga
hati mereka bergetar dan
air mata mereka pun
berlinang karenanya. Inilah
sifat kaum mukminin tatkala mendengar nasihat dari
Allah dan Rasul-Nya,
sebagaimana firman-Nya: “Hanyalah yang dikatakan orang-orang beriman itu
adalah mereka yang ketika
disebut nama Allah
bergetar hati-hati
mereka.” (Al Anfal: 2) “Dan apabila mereka mendengar apa yang
diturunkan kepada Rasul,
engkau akan melihat
mereka berlinangan air
mata karena apa yang
mereka ketahui dari kebenaran.” (Al Maidah: 83) Demikianlah nasihat
Rasulullah Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam, yang seolah-olah
beliau akan pergi
meninggalkan mereka
dengan memberikan nasihat
perpisahan. Sebagaimana
yang telah diketahui, orang yang akan pergi jauh tidak
akan meninggalkan sesuatu
yang penting kecuali
disampaikan dan
dipesankannya. (Tuhfatul
Ahwadzi, 7/366, ‘ Aunul Ma`bud, 12/234). Kandungan Wasiat Penting Rasulullah Shalallahu ‘ Alaihi Wassalam Setelah mendengar nasihat
Rasulullah Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam, para sahabat pun
khawatir mereka tidak
akan bertemu lagi dengan
Rasulullah setelahnya,
sehingga untuk
menyempurnakan nasihat yang ada, mereka meminta
wasiat beliau, seraya
berkata: “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini nasihat
orang yang akan berpisah,
karena itu berilah wasiat
kepada kami.” Beliau pun memberikan wasiat, di
antaranya: 1. Wasiat untuk Takwa kepada Allah Takwa merupakan pokok
kebaikan dan inti dari
segala perkara. Seluruh
seruan kepada pintu
kebaikan maupun larangan
kepada kejelekan terkumpul dalam kalimat takwa ini. Takwa ini pula merupakan
wasiat Allah Subhanahu Wa
Ta’ ala kepada orang-orang terdahulu maupun yang
belakangan, sebagaimana
dalam firman-Nya: “Sungguh Kami telah mewasiatkan kepada orang-
orang yang diberikan Al
Kitab sebelummu dan juga
kepada kalian agar
bertakwa kepada
Allah.” (An Nisa: 131) Kita diperintah oleh Allah
Subhanahu Wa Ta’ ala untuk berbekal dengannya
sebagaimana firman-Nya: “Berbekallah kalian, maka sesungguhnya sebaik-baik
bekal adalah takwa.” (Al Baqarah: 197) Oleh karena itu terkumpul
dalam takwa ini kebaikan
dunia dan akhirat. 2. Wasiat untuk Mendengar dan Taat Yang dimaksud dengan
mendengar dan taat oleh
beliau Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam di sini adalah
kepada para pemimpin kaum
muslimin, karena taat
kepada mereka akan
membawa kepada
kebahagiaan dunia dan akhirat. Dimana dengan
mentaati mereka akan
baiklah kehidupan orang-
orang yang dipimpin
(rakyat) dan menjadi
amanlah negeri, di samping juga dapat membantu
menegakkan agama mereka. Hal ini merupakan kewajiban
agama karena Allah telah
berfirman: “Taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian
kepada Rasulullah dan
kepada pemimpin di antara
kalian.” (An Nisa’ : 59) Kewajiban mendengar dan
taat ini tetap berlaku
bahkan ketika yang menjadi
pemimpin itu seorang budak
sekalipun. Rasulullah
Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam pernah berpesan: “Tetaplah kalian mendengar dan taat
sekalipun yang memimpin
kalian itu seorang budak
Habasyah (Ethopia) yang
rambutnya seperti
kismis.” (HR. Al Bukhari dari Anas bin Malik no. 7142 dan
Muslim dari Abu Dzarr no.
648) Al Imam Ibnu Daqiqil ‘ Ied rahimahullah menyatakan
bahwa sebagian ulama
berkata: “Seorang budak tidak bisa menjadi
pemimpin, akan tetapi
penyebutan pemimpin dari
kalangan budak dalam
hadits ini hanyalah sekedar
permisalan walaupun tidak mungkin terjadi, sama
halnya dengan sabda Nabi
Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam: “Siapa yang membangun masjid untuk Allah walaupun
besarnya hanya seperti
sarang burung maka Allah
akan membangunkan
untuknya sebuah rumah di
surga.” Dan telah diketahui bahwa ukuran sarang
burung tidak mungkin dapat
digunakan oleh manusia
sebagai masjid, akan tetapi
di sini hanya didatangkan
sebagai permisalan.” Dimungkinkan pula di sini
Nabi Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam ingin mengabarkan
rusaknya perkara apabila
diserahkan urusan kepada
selain ahlinya, sampai
akhirnya kepemimpinan
diserahkan kepada seorang budak (yang dia bukan
ahlinya). Sehingga andaikan
permisalan yang disebutkan
itu terjadi, tetaplah kalian
mendengar dan taat (dalam
rangka menolak kemudharatan yang lebih
besar walaupun) terpaksa
menempuh kemudharatan
yang lebih ringan di antara
dua kemudharatan yang
ada, dengan bersabar atas kepemimpinan seseorang
yang sebenarnya tidak
boleh menjadi pemimpin.
Yang mana apabila
membangkang kepadanya
akan mengantarkan kepada fitnah yang
besar.” (Syarhul Arba’ in An Nawawiyyah, hal. 75) Tentunya ketaatan kepada
pemimpin itu sebatas dalam
perkara yang ma‘ ruf (kebaikan), tanpa
melanggar hak Allah
Subhanahu Wa Ta’ ala, karena Rasulullah
Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam bersabda: “Ketaatan itu hanyalah dalam perkara
kebaikan.” (HR. Al Bukhari no. 4340 dan Muslim no.
1840) 3. Wasiat untuk Berpegang Teguh dengan Sunnah Nabi Shallallahu alaihi
wasallam mengatakan:
“Siapa di antara kalian yang masih hidup
sepeninggalku niscaya dia
akan melihat perselisihan
yang banyak. Karena itu
wajib atas kalian untuk
berpegang dengan sunnahku dan sunnahnya Al
Khulafa’ Ar Rasyidin yang mendapatkan petunjuk.
Gigit/pegang erat-erat
sunnah itu dengan gigi
geraham kalian.” Ini merupakan salah satu
tanda di antara tanda-
tanda kenabian beliau
Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam, di mana beliau mengabarkan
kepada para sahabatnya
tentang perkara yang akan
datang sepeninggalnya,
yakni akan terjadi
perselisihan yang banyak di kalangan umat beliau. Hal
ini sesuai dengan
pengabaran beliau
bahwasanya umat ini akan
berpecah belah menjadi 70
lebih golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu
yang selamat yaitu mereka
yang berpegang dengan
apa yang dipegangi oleh
Rasulullah dan para
sahabatnya. (Shahih Sunan At Tirmidzi, no.2129) Karena itulah, sebagai
bahtera penyelamat dari
gelombang perselisihan dan
perpecahan ini adalah
berpegang teguh dengan
sunnah beliau dan para Al Khulafa’ Ar Rasyidin. Saking kuatnya keharusan
berpegang tersebut hingga
diibaratkan seperti
menggigit dengan geraham
(Jami’ ul ‘ Ulum, 2/126). Ditambahkan oleh Syaikhul
Islam bahwa dikhususkannya
penyebutan geraham dalam
hadits ini karena gigitan
gigi geraham ini sangat
kokoh. (Majmu` Fatawa, 22/225). Kata Al Imam As Sindi: “Hal ini menunjukkan keharusan
untuk bersabar terhadap
kepayahan yang
menimpanya di jalan Allah,
sebagaimana yang harus
dihadapi orang yang sakit terhadap derita yang
menimpanya dari
sakitnya.” (Syarah Ibnu Majah, Al Imam As Sindi). Adapun sunnah yang
dimaksudkan dalam sabda
Nabi Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam ini adalah jalan
hidup beliau yang lurus dan
jelas. (Syarhul Arba’ in, hal. 75). Selain mengikuti Sunnah
beliau, diperintahkan pula
setelahnya untuk
memegangi sunnahnya Al
Khulafa’ Ar Rasyidin dan mereka yang dimaksud di
sini adalah Abu Bakar,
Umar, Utsman dan Ali
radliyallahu ‘ anhum, kata Ibnu Daqiqil `Ied. Para
khalifah ini disifatkan
dengan (Ar Rasyidin)
karena mereka mengetahui,
mengenali kebenaran dan
memutuskan dengannya. Mereka adalah (Al
Mahdiyyin) karena Allah
telah memberi petunjuk
mereka kepada kebenaran
dan tidak menyesatkan
mereka dari kebenaran tersebut. (Syarhul Arba’ in, hal. 75, Jami`ul ‘ Ulum, 1/127) Nabi Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam menggandengkan
sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin dengan Sunnah
beliau karena para khalifah
ini tatkala menetapkan
sunnah bisa jadi mengikuti
Sunnah Nabi itu sendiri, dan
bisa pula mereka mengikuti apa yang mereka pahami
dari Sunnah Nabi secara
global dan rinci, yang mana
perkara tersebut
tersembunyi bagi yang
lainnya. (Al I’ tisham, 1/118) Al Imam Asy Syaukani dalam
Al Fathur Rabbani
mengatakan: “Sunnah adalah jalan yang ditempuh,
sehingga seakan-akan Nabi
Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam bersabda: ‘ Tempuhlah jalanku dan jalannya Al
Khulafa’ Ar Rasyidin’ . Jalannya Al Khulafa’ Ar Rasyidin di sini sama dengan
jalannya Rasulullah karena
mereka merupakan orang
yang paling bersemangat
dalam berpegang dengan
Sunnah beliau dan mengamalkannya dalam
segala perkara. Bagaimana
pun keadaannya, mereka
sangatlah berhati-hati dan
menjaga diri agar tidak
sampai jatuh ke dalam perkara yang menyelisihi
Rasulullah Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam, sekalipun dalam
perkara yang terbilang
kecil, terlebih lagi dalam
perkara yang besar.” Beliau kemudian
melanjutkan: “Minimal dari faidah hadits ini adalah
ra`yu (pendapat) yang
bersumber dari mereka
adalah lebih utama dari
pendapat orang selain
mereka, sekalipun ternyata setelah ditinjau kembali hal
itu merupakan Sunnah
Rasulullah, dan juga lebih
baik daripada tidak ada
dalil.” (Dinukil dari Tuhfatul Ahwadzi, 7/367) 4 Wasiat untuk Berhati-hati dari Bid‘ ah Ucapan Nabi Shallallahu
‘ Alaihi Wasallam:“Hati-hati kalian dari perkara-perkara
baru”, merupakan peringatan kepada umat
beliau dari perkara baru
yang diada-adakan lalu
disandarkan kepada agama
sementara perkara
tersebut tidak ada asalnya sama sekali di dalam syariat
ini. Dan beliau tekankan lagi
peringatan beliau ini
dengan sabdanya: “ karena setiap bid`ah itu sesat”. Adapun ucapan para ulama
yang menganggap baik
sebagian bid‘ ah maka kembalinya hal tersebut
kepada pengertian bid‘ ah secara bahasa bukan
bid‘ ah menurut syariat. Seperti perkataan Umar
radliallahu anhu ketika
melihat kaum muslimin
shalat tarawih berjamaah
dipimpin seorang imam, ia
berucap: “Sebaik-baik bid‘ ah adalah perbuatan ini.” Shalat tarawih berjamaah
ini bukanlah bid‘ ah dalam pengertian syar‘ i karena perbuatan ini telah ada
asalnya dalam syariat, di
mana Nabi Shallallahu
‘ Alaihi Wasallam pernah melakukannya bersama
para sahabat selama
beberapa malam dari
malam-malam Ramadhan.
Adapun Umar hanya
menghidupkannya kembali setelah Nabi Shallallahu
‘ Alaihi Wasallam tidak melanjutkan
pelaksanaannya karena
khawatir perkara tersebut
akan diwajibkan kepada
umat beliau, sementara
mungkin ada di antara mereka yang tidak mampu
melaksanakannya. Wallahu ta‘ ala a‘ lam bish shawaab Penjelasan Riwayat Hadits Al Hafidz Abu Nu‘ aim berkata: “Hadits ini jayyid (bagus), termasuk hadits yang shahih dari
periwayatan orang-orang
Syam.” Beliau juga mengatakan: “Al Bukhari dan Muslim meninggalkan hadits ini (yakni
tidak memuat dalam kitab shahih
mereka) bukan karena
mengingkarinya.” Al Hakim menyatakan, Al Bukhari
dan Muslim meninggalkan
penyebutan hadits ini disebabkan
anggapan yang keliru dari
keduanya bahwa tidak ada
seorang rawi pun yang meriwayatkan dari Khalid bin
Ma‘ dan kecuali Ats Tsaur bin Yazid, padahal sebenarnya ada
perawi lain yang meriwayatkan
dari Khalid seperti Buhair bin
Sa‘ ad, Muhammad bin Ibrahim At Taimi dan selain keduanya. Namun pernyataan Al Hakim ini
dijawab oleh Al Hafidz Ibnu Rajab:
“Sebenarnya hal ini tidaklah seperti persangkaan Al Hakim.
Adapun Al Bukhari dan Muslim
tidak mengambil hadits ini karena
hadits ini tidak memenuhi syarat
mereka berdua di dalam kitab
shahihnya, di mana Al Bukhari dan Muslim sama sekali tidak
mengeluarkan dalam shahihnya
riwayat dari Abdurrrahman bin
Amr As Sulami dan dari Hujr Al
Kala`i. Dan juga dua orang rawi
yang disebut ini tidaklah terkenal (masyhur) dalam keilmuan dan
periwayatan hadits.” Adapun Abdurrahman As Sulami,
salah seorang perawi dalam
hadits ini, maka ia masturul hal
(keadaannya tidak diketahui),
walaupun telah meriwayatkan
darinya jama‘ ah (sekelompok orang) namun tidak ada seorang
alim yang mu‘ tabar (teranggap dan diakui keilmuannya) yang
men-tsiqah-kannya
(menganggapnya terpercaya).
Ibnul Qaththan Al Fasi
mendha’ ifkan (melemahkan) hadits ini karena hal tersebut. Demikian pula dengan Hujr bin
Hujr Al Kala‘ i, tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali
Khalid bin Ma‘ dan dan tidak ada seorang alim yang mu‘ tabar yang men-tsiqah- kannya,
sehingga ia dinyatakan majhulul
‘ ain (rawi yang tidak dikenal). Berkata Ibnul Qaththan: “Orang ini tidak dikenal.” Namun sebagaimana kata Al Imam Al
Hakim di atas, hadits ini
diriwayatkan juga dari selain
mereka berdua dan disebutkan
jalan-jalannya yang saling
menguatkan satu dengan lainnya oleh Al-Hafidz Ibnu Rajab dalam
kitabnya Jami’ ul ‘ Ulum, maka hadits ini hasan. Penghasanan
hadits ini dinyatakan oleh
Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al
Wadi‘ i rahimahullah, walaupun ada sebagian ulama yang
menshahihkannya, sehingga
mereka bersepakat bahwa
hadits ini bisa dijadikan sebagai
hujjah (dalil atau argumen),
kecuali Ibnul Qaththan Al Fasi yang mendha’ ifkan hadits ini. (As Sunnah Ibnu Abi Ashim, no.
27, Ash Shahihul Musnad, 2/71,
Jami‘ ul ‘ Ulum wal Hikam, 2/110, Mizanul I’ tidal, 2/207, Tahdzibut Tahdzib, 2/188, 6/215).