Laman

Entri Populer

Tampilkan postingan dengan label pernikahan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pernikahan. Tampilkan semua postingan

Jumat, Mei 06, 2011

BAHAYA ! DURHAKA KEPADA SUAMI

Tujuan suatu pernikahan
adalah untuk menciptakan
kecenderungan
(ketenangan), kasih
sayang, dan cinta. Sebab
seorang istri akan menjadi penyejuk mata, dan
penenang di kala timbul
problema. Namun, jika istri
itu durhaka lagi
membangkang kepada
suaminya, maka alamat kehancuran ada didepan
mata. Dia tidak lagi menjadi
penyejuk hati, tapi menjadi
musibah dan neraka bagi
suaminya. Allah Subhanahu wa Ta’ ala telah berfirman : “Dan diantara tanda-tanda
kekuasan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-
istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung
dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-
Nya di antaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya
yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-
tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum :21) Kedurhakaan seorang istri
kepada suaminya amat
banyak ragam dan
bentuknya, seperti
mencaci-maki suami,
mengangkat suara depan suami, membuat suami
jengkel, berwajah cemberut
depan suami, menolak
ajakan suami untuk jimak,
membenci keluarga suami,
tidak mensyukuri (mengingkari) kebaikan, dan
pemberian suami, tidak mau
mengurusi rumah tangga
suami, selingkuh,
berpacaran di belakang
suami, keluar rumah tanpa izin suami, dan sebagainya. Allah -Subhanahu wa Ta’ la- telah mengancam istri yang
durhaka kepada suaminya
melalui lisan Rasul-Nya
ketika Beliau -Shollallahu
‘ alaihi wasallam- bersabda, “Allah tidak akan melihat seorang istri yang tidak
mau berterima kasih atas
kebaikan suaminya padahal
ia selalu butuh kepada
suaminya” . [HR. An-Nasa'iy dalam Al-
Kubro (9135 & 9136), Al-
Bazzar dalam Al-Musnad
(2349), Al-Hakim dalam Al-
Mustadrok (2771), dan
lainnya. Hadits ini di-shohih- kan oleh Syaikh Al-Albaniy
dalam Ash-Shohihah (289)] Tipe wanita seperti ini
banyak disekitar kita.
Suami yang capek banting
tulang setiap hari untuk
menghidupi anak-anaknya,
dan memenuhi kebutuhannya, namun masih
saja tetap berkeluh kesah
dan tidak puas dengan
penghasilan suaminya. Ia
selalu membanding-
bandingkan suaminya dengan orang lain, sehingga
hal itu menjadi beban yang
berat bagi suaminya. Maka
tidak heran jika neraka
dipenuhi dengan wanita-
wanita seperti ini, sebagaimana sabda Nabi -
Shollallahu ‘ alaihi wasallam- “Telah diperlihatkan neraka kepadaku, kulihat
mayoritas penghuninya
adalah wanita, mereka
telah kufur (ingkar)!” Ada yang bertanya, “apakah mereka kufur (ingkar)
kepada Allah?” Rasullah - Shollallahu ‘ alaihi wasallam- menjawab, “Tidak, mereka mengingkari (kebaikan)
suami. Sekiranya kalian
senantiasa berbuat baik
kepada salah seorang dari
mereka sepanjang
hidupnya, lalu ia melihat sesuatu yang tidak
berkenan, ia (istri durhaka
itu) pasti berkata, “Saya sama sekali tidak pernah
melihat kebaikan pada
dirimu”. [HR. Bukhariy dalam Shohih-nya (29), dan Muslim
dalam Shohih-nya (907)] Hushain bin Mihshon telah
berkata, “Bibiku telah menceritakan kepadaku
seraya berkata,
“Saya mendatangi Rasulullah -Shollallahu
‘ alaihi wasallam- untuk suatu keperluan. Beliau
bertanya:”siapakah ini? Apakah sudah bersuami?.
“sudah!”, jawabku. “Bagaimana hubungan engkau dengannya?”, tanya Rasulullah. “Saya selalu mentaatinya sebatas
kemampuanku”. Rasulullah - Shollallahu ‘ alaihi wasallam- bersabda, “Perhatikanlah selalu bagaimana
hubunganmu dengannya,
sebab suamimu adalah
surgamu, dan nerakamu”. [HR. An-Nasa'iy dalam Al-
Kubro (8963), Ahmad dalam
Al-Musnad (4/341/no.
19025), dan lainnya. Hadits
ini di-shohih-kan oleh Al-
Albaniy dalam Ash-Shohihah (2612), dan Adab Az-Zifaf
(hal. 213)] Dari hadits ini, kita telah
mengetahui betapa besar
dan agungnya hak-hak
suami yang wajib dipenuhi
seorang istri sampai
Rasulullah -Shollallahu ‘ alaihi wasallam- pernah bersabda, “Sekiranya aku boleh memerintahkan seseorang
untuk sujud kepada lainnya,
niscaya akan kuperintahkan
seorang istri sujud kepada
suaminya” . [HR. At- Tirmidziy dalam As-Sunan
(1159), dan lainnya. Hadits
ini di-shohih-kan oleh
Syaikh Al-Albaniy dalam Al-
Irwa' (1998)] Jika seorang istri tidak
memenuhi hak-hak tersebut
atau durhaka kepada
suami, maka ia
mendapatkan ancaman dari
Allah -Ta’ ala- lewat lisan Nabi -Shallallahu ‘ alaihi wa sallam-, “Ada dua orang yang sholatnya tidak
melampaui kepalanya: budak
yang lari dari majikannya
sampai ia kembali, dan
wanita yang durhaka
kepada suaminya sampai ia mau rujuk (taubat)”. [HR. Ath-Thobroniy dalam
Ash-Shoghir (478), dan Al-
Hakim dalam Al-Mustadrok
(7330)] Nabi -Shallallahu ‘ alaihi wa sallam- bersabda, “Ada tiga orang yang sholatnya tidak melampaui
telinganya: Hamba yang lari
sampai ia mau kembali,
wanita yang bermalam
(tidur, red), sedang
suaminya masih marah kepadanya, dan seorang
pemimpin kaum, sedang
mereka benci kepadanya”. [HR. At-Tirmidziy (360).
Hadits ini di-hasan-kan oleh
Al-Albaniy dalam Takhrij Al-
Misykah (1122)] Ini merupakan ancaman
yang amat keras bagi para
wanita durhaka, karena
kedurhakaannya menjadi
sebab tertolaknya amal
sholatnya di sisi Allah. Dia sholat hanya sekedar
melaksanakan kewajiban di
hadapan Allah. Adapun
pahalanya, maka ia tak
akan mendapatkannya,
selain lelah dan capek saja. Wal’ iyadzu billahmin dzalik. Diantara bentuk
kedurhakaan seorang istri
kepada suaminya,
enggannya seorang istri
untuk memenuhi hajat
biologis suaminya. Keengganan seorang istri
dalam melayani suaminya,
lalu suami murka dan
jengkel merupakan sebab
para malaikat melaknat
istri yang durhaka seperti ini. Nabi -Shallallahu ‘ alaihi wa sallam- bersabda, “Jika seorang suami mengajak istrinya
(berjimak) ke tempat tidur,
lalu sang istri enggan, dan
suami bermalam dalam
keadaan marah kepadanya,
maka para malaikat akan melaknat sang istri sampai
pagi”. [HR. Al-Bukhoriy Kitab Bad'il Kholq (3237),
dan Muslim dalam Kitab An-
Nikah (1436)] Seorang suami saat ia
butuh pelayanan biologis
(jimak) dari istrinya, maka
seorang istri tak boleh
menolak hajat suaminya,
bahkan ia harus berusaha sebisa mungkin memenuhi
hajatnya, walaupun ia
capek atau sibuk dengan
suatu urusan. Nabi -
Shallallahu ‘ alaihi wa sallam- bersabda, “Demi (Allah) Yang jiwa Muhammad ada di Tangan-
Nya, seorang istri tak akan
memenuhi hak Robb-nya
sampai ia mau memenuhi
hak suaminya. Walaupun
suaminya meminta dirinya (untuk berjimak), sedang ia
berada dalam sekedup,
maka ia (istri) tak boleh
menghalanginya”. [HR. Ibnu Majah dalam Kitab
An-Nikah (1853). Hadits ini
dikuatkan oleh Al-Albaniy
dalam Adab Az-Zifaf (hal.
211)] Perhatikan hadits ini, Nabi -
Shallallahu ‘ alaihi wa sallam- memberikan
bimbingan kepada para
wanita yang bersuami agar
memperhatikan suaminya
saat-saat ia dibutuhkan
oleh suaminya. Sebab kebanyakan problema
rumah tangga timbul dan
berawal dari masalah
kurangnya perhatian istri
atau suami kepada
kebutuhan biologis pasangannya, sehingga
“solusinya” (baca: akibatnya) munculllah
kemarahan, dan
ketidakharmonisan rumah
tangga. Syaikh Al-Albaniy-
rahimahullah- berkata
dalam Adab Az-Zifaf (hal.
210), “Jika wajib bagi seorang istri untuk
mentaati suaminya dalam
hal pemenuhan biologis
(jimak), maka tentunya
lebih wajib lagi baginya
untuk mentaati suami dalam perkara yang lebih penting
dari itu, seperti mendidik
anak, memperbaiki
(mengurusi) rumah tangga,
dan sejenisnya diantara
hak dan kewajibannya”. Seorang wanita yang
durhaka kepada suaminya,
akan selalu dibenci oleh
suaminya, bahkan ia akan
dibenci oleh istri suaminya
dari kalangan bidadari di surga. Istri bidadari ini
akan marah. Saking
marahnya, ia mendoakan
kejelekan bagi wanita yang
durhaka kepada suaminya.. Nabi -Shallallahu ‘ alaihi wa sallam- bersabda, “Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di
dunia, melainkan istrinya
dari kalangan bidadari akan
berkata, “Janganlah engkau menyakitinya.
Semoga Allah memusuhimu.
Dia (sang suami) hanyalah
tamu di sisimu; hampir saja
ia akan meninggalkanmu
menuju kepada kami”. [HR. At-Tirmidziy Kitab Ar-
Rodho' (1174), dan Ibnu
Majah dalam Kitab An-Nikah
(2014). Hadits ini di-shohih-
kan oleh Al-Albaniy dalam
Adab Az-Zifaf (hal. 212)] Demikianlah bahayanya
seorang wanita melakukan
kedurhakaan kepada
suaminya, yakni tak mau
taat kepada suami dalam
perkara-perkara yang ma’ ruf (boleh) menurut syari’ at. Semoga wanita- wanita yang durhaka
kepada suaminya mau
kembali berbakti, dan
bertaubat sebelum ajal
menjemput. Pada hari itulah
penyesalan tak lagi bermanfaat baginya.

Minggu, Mei 01, 2011

Anak-anakku.., Hari ini akan menjadi satu
di antara hari-hari yang
paling bersejarah di dalam
kehidupan kalian berdua.
Sebentar lagi kalian akan
menjadi sepasang suami- isteri, yang darinya kelak
akan lahir anak-anak yang
sholeh dan sholehah, dan
kalian akan menjadi
seorang bapak dan seorang
ibu, untuk kemudian menjadi seorang kakek dan
seorang nenek, …… insya Allah. Rentang perjalanan hidup
manusia yang begitu
panjang … sesungguhnya singkat saja. Begitu pula… liku-liku dan pernik-pernik
kerumitan hidup
sesungguhnya jugalah
sederhana. Kita semua..
diciptakan ALLAH
Subhaanahu wa ta’ alaa tidak lain untuk beribadah
kepada NYA. Maka, jika kita
semua berharap kelak
dapat berjumpa dengan
ALLAH Subhaanahu wa
ta’ alaa … dalam keadaan IA ridlo kepada kita,
hendaklah kita jadikan
segala tindakan kita
semata-mata di dalam
rangka mencari keridlo’ an- NYA dan menyelaraskan diri
kepada Sunnah Nabi-NYA
Yang Mulia -Shallallahu
alaihi wa sallam- “Maka barangsiapa merindukan akan
perjumpaannya dengan
robb-nya, hendaknya ia
beramal dengan amalan
yang sholeh, serta tidak
menyekutukan dengan sesuatu apapun di dalam
peribadatahan kepada
robb-nya.” Begitu pula pernikahan ini,
ijab-qabulnya, adanya wali
dan dua orang saksi,
termasuk hadirnya kita
semua memenuhi undangan
ini… adalah ibadah, yang tidak luput dari keharusan
untuk sesuai dengan
syari’ at ALLAH Subhaanahu wa ta’ alaa. Oleh karena itu… , kepada calon suami anakku… Saya ingatkan, bahwa
wanita itu dinikahi karena
empat alasan, sebagaimana
sabda Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam: “Wanita dinikahi karena empat alasan. Hartanya,
keturunannya,
kecantikannya,atau
agamanya. Pilihlah karena
agamanya, niscaya
selamatlah engkau.” (HR:Muslim) Maka ambilah nanti putriku
sebagai isteri sekaligus
sebagai amanah yang kelak
kamu dituntut bertanggung
jawab atasnya. Dengannya
dan bersamanya lah kamu beribadah kepada ALLAH
Subhaanahu wa ta’ alaa, di dalam suka… di dalam duka. Gaulilah ia secara baik,
sesuai dengan yang
diharuskan menurut
syari’ at ALLAH. Terimalah ia sepenuh hati, kelebihan dan
kekurangannya, karena
ALLAH Subhaanahu wa
ta’ alaa telah memerintahkan demikian: “Dan gaulilah isteri-isterimu dengan cara yang ma’ ruf. Maka seandainya kalian
membenci mereka, karena
boleh jadi ada sesuatu yang
kalian tidak sukai dari
mereka, sedangkan ALLAH
menjadikan padanya banyak kebaikan.” (An-Nisaa’ :19) Dan ingatlah pula wasiat
Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam-: “Pergaulilah isteri-isteri dengan baik. Karena
sesungguhnya mereka itu
mitra hidup kalian” Dan perlakuanmu terhadap
isterimu ini menjadi cermin
kadar keimananmu,
sebagaimana Sabda Nabi -
Shallallahu alaihi wa sallam-; “Mu’ min yang paling sempurna imannya adalah
yang paling baik akhlaqnya.
Dan sebaik-baik kalian
adalah yang paling baik
terhadap isterinya” “Dan kamu sebagai laki-laki adalah pemimpin di dalam
rumah tangga”. “Lelaki itu pemimpin bagi wanita disebabkan ALLAH
telah melebihkan yang satu
dari yang lainnya dan
disebabkan para lelaki yang
memberi nafkah dengan
hartanya.” (An-Nisaa’ : 34) Maka agar kamu dapat
memimpin rumah tanggamu,
penuhilah syarat-
syaratnya, berupa
kemampuan untuk
menafkahi, mengajari, dan mengayomi. Raihlah
kewibawaan agar isterimu
patuh di bawah pimpinanmu.
Jadilah suami yang
bertanggungjawab, arif dan
lemah lembut , sehingga isterimu merasa hangat dan
tentram di sisimu.
Berusahalah sekuat tenaga
menjadi teladan yang baik
baginya, sehingga ia bangga
bersuamikan kamu. Ya, inilah sa’ atnya untuk membuktikan bahwa kamu
laki-laki sejati, laki-laki
yang bukan hanya lahirnya. Kepada putriku… Saya ingatkan kepadamu
akan sabda Nabi -
Shallallahu alaihi wa
sallam- : “Jika datang kepadamu (- wahai para orang tua anak
gadis-) seorang pemuda
yang kau sukai akhlaq dan
agamanya, maka
nikahkanlah ia. Jika tidak,
maka akan terjadi fitnah dan menyebarnya
kerusakan di muka
bumi.” (HR: Ibnu Majah) Dan semoga -tentunya-
calon suamimu datang dan
diterima karena agama dan
akhlaqnya, bukan karena
yang lain. Maka hendaknya
kau luruskan pula niatmu. Sambutlah dia sebagai
suami sekaligus pemimpinmu.
Jadikanlah perkawinanmu ini
sebagai wasilah ibadahmu
kepada ALLAH Subhaanahu
wa ta’ alaa. Camkanlah sabda Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam-: “Seandainya aku boleh memerintahkan manusia
untuk sujud kepada
sesamanya, sungguh sudah
aku perintahkan sang isteri
sujud kepada suaminya.” Karenanya sekali lagi saya
nasihatkan , wahai putriku… Terima dan sambutlah
suamimu ini dengan sepenuh
cinta dan ketaatan. Layani ia dengan
kehangatanmu… Manjakan ia dengan
kelincahan dan
kecerdasanmu… Bantulah ia dengan
kesabaran dan doamu… Hiburlah ia dengan nasihat-
nasihatmu… Bangkitkan ia dengan
keceriaan dan
kelembutanmu… Tutuplah kekurangannya
dengan mulianya akhlaqmu… Manakala telah kamu
lakukan itu semua, tak ada
gelar yang lebih tepat
disandangkan padamu selain
Al Mar’ atush-Shalihah, yaitu sebaik-baik perhiasan
dunia. Sebagaimana Sabda
Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam-: “Dunia tak lain adalah perhiasan. Dan sebaik-baik
perhiasan dunia adalah
wanita yang sholihah.” Inilah satu kebahagiaan
hakiki -bukan khayali- yang
diidam-idamkan oleh setiap
wanita beriman. Maka
bersyukurlah, sekali lagi
bersyukurlah kamu untuk semua itu, karena tidak
semua wanita memperoleh
kesempatan sedemikian
berharga. Kesempatan
menjadi seorang isteri,
menjadi seorang ibu. Terlebih lagi, adanya
kesempatan, diundang
masuk ke dalam surga dari
pintu mana saja yang kamu
kehendaki. Yang demikian ini mungkin
bagimu selagi kamu
melaksanakan sholat wajib
lima waktu -cukup yang
lima waktu-, puasa -juga
cukup yang wajib- di bulan Ramadhan, menjaga
kemaluan -termasuk
menutup aurat- , dan ta’ at kepada suami. Cukup, cukup
itu. Sebagaimana sabda Nabi
-Shallallahu alaihi wa
sallam-: “Jika seorang isteri telah sholat yang lima, puasa di
bulan Ramadhan, menjaga
kemaluannya, dan ta’ at kepada suaminya. Dikatakan
kapadanya: Silahkan masuk
ke dalam Surga dari pintu
mana saja yang engkau
mau.” Anak-anakku… , Melalui rangkaian ayat-ayat
suci Al Qur’ an dan Hadits- Hadits Nabi Yang Mulia, kami
semua yang hadir di sini
mengantarkan kalian
berdua memasuki gerbang
kehidupan yang baru,
bersiap-siap meninggalkan ruang tunggu, dan
mengakhiri masa penantian
kalian yang lama. Kami
semua hanya dapat
mengantar kalian hingga di
dermaga. Untuk selanjutnya, bahtera
rumah-tangga kalian akan
mengarungi samudra
kehidupan, yang tentunya
tak sepi dari ombak,
bahkan mungkin badai. Karena itu, jangan
tinggalkan jalan ketaqwaan.
Karena hanya dengan
ketaqwaan saja ALLAH
Subhaanahu wa ta’ alaa akan mudahkan segala
urusan kalian,
mengeluarkan kalian dari
kesulitan-kesulitan, bahkan
mengaruniai kalian rizki. “Dan barang siapa yang bertaqwa kepada ALLAH,
niscaya ALLAH akan berikan
bagi nya jalan keluar dan
mengaruniai rizki dari sisi
yang tak terduga.” “Dan barang siapa yang bertaqwa kepada ALLAH,
niscaya ALLAH akan
mudahkan urusannya.” Bersyukurlah kalian berdua
akan ni’ mat ini semua. ALLAH Subhaanahu wa
ta’ alaa telah mengkaruniakan kalian
separuh dari agama ini,
ALLAH Subhaanahu wa
ta’ alaa telah mengkaruniakan kalian
kesempatan untuk
menjalankan syari’ at-NYA yang mulia, ALLAH
Subhaanahu wa ta’ alaa juga telah mengkaruniakan
kalian kesempatan untuk
mencintai dan dicintai
dengan jalan yang suci dan
terhormat. Ketahuilah, bahwa
pernikahan ini menyebabkan
kalian harus lebih berbagi.
Orang tua kalian
bertambah, saudara kalian
bertambah, bahkan sahabat-sahabat kalian pun
bertambah, yang kesemua
itu tentu memperpanjang
tali silaturahmi,
memperlebar tempat
berpijak, memperluas pandangan, dan
memperjauh daya
pendengaran. Bukan saja
semakin banyak yang perlu
kalian atur dan perhatikan,
sebaliknya semakin banyak pula yang akan ikut
mengatur dan
memperhatikan kalian.
Maka, barang siapa yang
tidak kokoh sebagai pribadi
dia akan semakin gamang menghadapi kehidupannya
yang baru. Ketahuilah, bahwa anak-
anak yang sholeh dan
sholehah yang kalian idam-
idamkan itu sulit lahir dan
tumbuh kecuali di dalam
rumah tangga yang sakinah penuh cinta dan kasih
sayang. Dan tentunya tak
akan tercipta rumah-
tangga yang sakinah,
kecuali dibangun oleh suami
yang sholeh dan isteri yang sholehah. Akan tetapi, wahai anak-
anakku, jangan takut
menatap masa depan dan
memikul tanggung jawab ini
semua. Jangan bersedih dan
berkecil hati jika kalian menganggap bekal yang
kalian miliki sekarang ini
masih sangat kurang. ALLAH
Subhaanahu wa ta’ alaa berfirman: (Artinya): “Dan janganlah berkecil hati juga jangan
bersedih. Padahal kalian
adalah orang-orang yang
mulia seandainya sungguh-
sungguh beriman.” (Ali Imran: 139) Ya, selama masih ada iman
di dalam dada segalanya
akan menjadi mudah bagi
kalian. Bukankah dengan
pernikahan ini kalian bisa
saling tolong-menolong di dalam kebajikan dan taqwa.
Bukankah dengan
pernikahan ini kalian bisa
saling menutupi kelemahan
dan kekurangan masing-
masing. Bersungguh- sungguhlah untuk itu,
untuk meraih segala
kebaikan yang ALLAH
Subhaanahu wa ta’ alaa sediakan melalui pernikahan
ini. Jangan lupa untuk
senantiasa memohon
pertolongan kepada ALLAH.
kemudian jangan merasa
tak mampu atau pesimis. Jangan, jangan kalian awali
kehidupan rumah tangga ini
dengan perasaan lemah ! “Bersungguh-sungguhlah kepada yang bermanfa’ at bagimu, mohonlah
pertolongan kepada ALLAH,
dan jangan merasa
lemah!” (HR: Ibnu Majah) Terakhir, ingatlah bahwa
nikah merupakan Sunnah
Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam-, sebagaimana
sabdanya: “Nikah itu merupakan bagian dari Sunnahku. Maka
barang siapa berpaling dari
Sunnahku, ia bukanlah
bagian dari umatku.” Maka janganlah justru
melalui pernikahan ini atau
setelah aqad ini kalian
justru meninggalkan Sunnah
untuk kemudian
bergelimang di dalam berbagai bid’ ah dan kema’ shiyatan. Kepada besanku… Terimalah masing-masing
mereka sebagai tambahan
anak bagi kita. Ma’ lumilah kekurangan-
kekurangannya, karena
mereka memang masih
muda. Bimbinglah mereka,
karena inilah saatnya
mereka memasuki kehidupan yang sesungguhnya. Wajar, sebagaimana
seorang anak bayi yang
sedang belajar berdiri dan
berjalan, tentu pernah
mengalami jatuh untuk
kemudian bangkit dan mencoba kembali. Maka
bantulah mereka sampai
benar-benar kokoh untuk
berdiri dan berjalan sendiri. Bantu dan bimbing mereka,
tetapi jangan mengatur.
Biarkan.., Karena
sepenuhnya diri mereka dan
keturunan yang kelak lahir
dari perkawinan mereka adalah tanggung-jawab
mereka sendiri di hadapan
ALLAH Subhaanahu wa
ta’ alaa. Hargailah harapan dan cita-cita yang mereka
bangun di atas ilmu yang
telah sampai pada mereka. Keterlibatan kita yang
terlalu jauh dan tidak pada
tempatnya di dalam
persoalan rumah tangga
mereka bukannya akan
membantu. Bahkan sebaliknya, membuat
mereka tak akan pernah
kokoh. Sementara mereka
dituntut untuk menjadi
sebenar-benar bapak dan
sebenar-benar ibu di hadapan… dan bagi anak- anak mereka sendiri. Ketahuilah, bahwa bukan
mereka saja yang sedang
memasuki kehidupannya
yang baru, sebagai suami
isteri. Kita pun, para orang
tua, sedang memasuki kehidupan kita yang baru,
yakni kehidupan calon
seorang kakek atau nenek
– insya Allah. Maka hendaknya umur dan
pengalaman ini membuat
kita,… para orang tua, menjadi lebih arif dan
sabar, bukannya semakin
pandir dan dikuasai
perasaan. Pengalaman hidup
kita memang bisa jadi
pelajaran, tetapi belum tentu harus jadi acuan bagi
mereka. Jika kelak -dari pernikahan
ini- lahir cucu-cucu bagi
kita. Sayangilah mereka
tanpa harus melecehkan
dan menjatuhkan wibawa
orang tuanya. Berapa banyak cerita di mana
kakek atau nenek merebut
superioritas ayah dan ibu.
Sehingga anak-anak lebih
ta’ at kepada kakek atau neneknya ketimbang
kepada kedua orang
tuanya. Sungguh, akankah
kelak cucu-cucu kita
menjadi anak-anak yang
ta’ at kepada orang tuanya atau tidak, sedikit banyak
dipengaruhi oleh cara kita
memanjakan mereka. Kepada semua, baik yang
pernah mengalami peristiwa
semacam ini, maupun yang
sedang menanti-nanti
gilirannya, marilah kita
do’ akan mereka dengan do’ a yang telah diajarkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi
wa sallam.

Selasa, April 19, 2011

Menuju keluarga sakinah

Merupakan satu anugerah dari Allah, ketika seorang wanita dipertemukan dengan pasangan hidupnya dalam satu jalinan kasih yang suci.

Hal ini sebagai satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Sang Khaliq.

  “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian pasangan hidup dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir“. (Ar-Rum: 21)

Apa lagi bila pendamping hidup
itu seorang yang shalih, yang akan memuliakan istrinya bila bersemi cinta di hatinya, namun kalau toh cinta itu tak kunjung datang maka ia tak akan menghinakan istrinya.

Merajut dan menjalin tali pernikahan agar selalu berjalan baik tidak bisa dikatakan mudah bak membalik kedua telapak tangan, karena dibutuhkan ilmu dan ketakwaan untuk menjalaninya.

Seorang suami butuh bekal ilmu agar ia tahu bagaimana menahkodai rumah tangganya.

Istripun demikian, ia harus tahu bagaimana menjadi seorang istri yang baik dan bagaimana kedudukan seorang suami dalam syariat ini.

Masing- masing punya hak dan kewajiban yang harus ditunaikan agar jalinan itu tidak goncang ataupun terputus.

Syariat menetapkan seorang suami memiliki hak yang sangat besar terhadap istrinya, sampai- sampai bila diperkenankan oleh Allah, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam akan memerintahkan seorang istri sujud kepada suaminya.

Abdullah ibnu Abi Aufa bertutur: Tatkala Mu’ adz datang ke negeri Yaman atau Syam, ia melihat orang-orang Nashrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka.

Maka ia memandang dan memastikan dalam hatinya bahwa Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam adalah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu.

Ketika ia kembali ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam, ia berkata:

“Ya Rasulullah, aku melihat orang-orang Nashrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka, maka aku memandang dan memastikan dalam hatiku bahwa engkaulah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu.”

Mendengar ucapan Mu’ adz ini, bersabdalah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam:

  “Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain (sesama makhluk) niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.
Dan tidaklah seorang istri dapat menunaikan seluruh hak Allah Azza wa Jalla terhadapnya hingga ia menunaikan seluruh hak suaminya terhadapnya.
Sampai-sampai jika suaminya meminta dirinya (mengajaknya bersenggama) sementara ia sedang berada di atas pelana (yang dipasang di atas unta) maka ia harus memberikannya (tidak boleh menolak).” (HR. Ahmad 4/381. Dihasankan Asy- Syaikh Albani dalam Ash-Shahihul Jami’ no. 5295 dan Irwa Al-Ghalil no. 1998)

Satu dari sekian hak suami terhadap istrinya adalah disyukuri akan kebaikan yang diperbuatnya dan tidak dilupakan keutamaannya. Namun disayangkan, di kalangan para istri banyak yang melupakan atau tidak tahu hak yang satu ini, hingga kita dapatkan mereka sering mengeluhkan suaminya, melupakan kebaikan yang telah diberikan dan tidak ingat akan keutamaannya.

Yang lebih disayangkan, ucapan dan penilaian miring terhadap suami ini kadang menjadi bahan obrolan di antara para wanita dan menjadi bahan keluhan sesama mereka.

Padahal perbuatan seperti ini menghadapkan si istri kepada kemurkaan Allah dan adzab yang pedih.

Perbuatan tidak tahu syukur ini merupakan satu sebab wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, sebagaimana diberitakan Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam seselesainya beliau dari Shalat Kusuf (Shalat Gerhana):

“Diperlihatkan neraka kepadaku. Ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita yang kufur .”
Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?”
Beliau menjawab: “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami).
Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka satu masa, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata:
Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu.” (HR. Al- Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907)
Al-Qadhi Ibnul ‘ Arabi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini disebutkan secara khusus dosa kufur/ingkar terhadap suami di antara sekian dosa lainnya karena Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam telah menyatakan:

Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain (sesama makluk) niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.

Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam menggandengkan hak suami terhadap istri dengan hak Allah, maka bila seorang istri mengkufuri/mengingkari hak suaminya, sementara hak suami terhadapnya telah mencapai puncak yang sedemikian besar, hal itu sebagai bukti istri tersebut meremehkan hak Allah.

Karena itulah diberikan istilah kufur terhadap perbuatannya akan tetapi kufurnya tidak sampai mengeluarkan dari agama.” (Fathul Bari, 1/106)

Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam juga mengisahkan:

“Aku berdiri di depan pintu surga, ternyata kebanyakan yang masuk ke dalamnya adalah orang-orang miskin, sementara orang kaya lagi terpandang masih tertahan (untuk dihisab) namun penghuni neraka telah diperintah untuk masuk ke dalam neraka , ternyata mayoritas yang masuk ke dalam neraka adalah kaum wanita.” (HR. Al- Bukhari no. 5196 dan Muslim no. 2736)

Pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam keluar menuju lapangan untuk melaksanakan shalat. Setelahnya beliau berkhutbah dan ketika melewati para wanita beliau bersabda:

“Wahai sekalian wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar (meminta ampun) karena sungguh diperlihatkan kepadaku mayoritas kalian adalah penghuni neraka.” Berkata salah seorang wanita yang cerdas: “Apa sebabnya kami menjadi mayoritas penghuni neraka, wahai Rasulullah?
” Beliau menjawab: “Kalian banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan suami.
Aku belum pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya namun dapat menundukkan lelaki yang memiliki akal yang sempurna daripada kalian.”
Wanita itu bertanya lagi: “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan kurang akal dan kurang agama?“.
“Adapun kurangnya akal wanita ditunjukkan dengan persaksian dua orang wanita sama dengan persaksian seorang lelaki.
Sementara kurangnya agama wanita ditunjukkan dengan ia tidak mengerjakan shalat dan meninggalkan puasa di bulan Ramadhan selama beberapa malam (yakni saat ditimpa haidh).” (HR. Al-Bukhari no. 304 dan Muslim no. 79)

Karena mayoritas kaum wanita adalah ahlun nar (penghuni neraka) maka mereka menjadi jumlah yang minoritas dari ahlul jannah. Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam nyatakan hal ini dalam sabdanya:

“Minoritas penghuni surga adalah kaum wanita.” (HR. Muslim no. 2738)

Bila demikian adanya tidak pantas bagi seorang wanita yang mencari keselamatan dari adzab untuk menyelisihi suaminya dengan mengkufuri kenikmatan dan kebaikan yang telah banyak ia curahkan ataupun banyak mengeluh hanya karena sebab sepele yang tak sebanding dengan apa yang telah ia persembahkan untuk anak dan istrinya.

Sepatutnya bila seorang istri melihat dari suaminya sesuatu yang tidak ia sukai atau tidak pantas dilakukan maka ia jangan mengkufuri dan melupakan seluruh kebaikannya.

Sungguh, bila seorang istri tidak mau bersyukur kepada suami, sementara suaminya adalah orang yang paling banyak dan paling sering berbuat kebaikan kepadanya, maka ia pun tidak akan pandai bersyukur kepada Allah ta`ala, Dzat yang terus mencurahkan kenikmatan dan menetapkan sebab-sebab tersampaikannya kenikmatan pada setiap hamba

. Abu Hurairah radhiyallahu ‘ anhu menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam:

ْ “Siapa yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia maka ia tidak akan bersyukur kepada Allah.” (HR. Abu Dawud no. 4177 dan At- Tirmidzi no. 2020, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil di atas syarat Muslim, dalam Ash- Shahihul Musnad, 2/338)

Al-Khaththabi berkata: “Hadits ini dapat dipahami dari dua sisi.

Pertama: orang yang tabiat dan kebiasaannya suka mengingkari kenikmatan yang diberikan kepadanya dan enggan untuk mensyukuri kebaikan mereka maka menjadi kebiasaannya pula mengkufuri nikmat Allah ta`ala dan tidak mau bersyukur kepada-Nya.

Sisi kedua: Allah tidak menerima rasa syukur seorang hamba atas kebaikan yang Dia curahkan apabila hamba tersebut tidak mau bersyukur (berterima kasih) terhadap kebaikan manusia dan mengingkari kebaikan mereka, karena berkaitannya dua perkara ini.” (‘ Aunul Ma’ bud, 13/114)

Adapun Al-Qadhi mengatakan tentang hadits ini: “(Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam menyatakan demikian) bisa jadi karena mensyukuri Allah ta`ala hanya bisa sempurna dengan patuh kepada-Nya dan melaksanakan perintah-Nya.

Sementara di antara perkara yang Dia perintahkan adalah berterima kasih kepada manusia yang menjadi perantara tersampaikannya nikmat-nikmat Allah kepadanya.

Maka orang yang tidak patuh kepada Allah dalam hal ini, ia tidak menunaikan kesyukuran atas kenikmatan- Nya.

Atau bisa pula maknanya, orang yang tidak berterima kasih kepada manusia yang telah memberikan dan menyampaikan kenikmatan kepadanya, padahal ia tahu sifat manusia itu sangat senang mendapatkan pujian, ia menyakiti si pemberi kebaikan dengan berpaling dan mengingkari apa yang telah diberikan, maka orang seperti ini akan lebih berani meremehkan sikap syukur kepada Allah, yang sebenarnya sama saja bagi-Nya antara kesyukuran dan kekufuran .” (Tuhfatul Ahwadzi, 6/74).

Sepantasnya bagi seorang istri yang mencari keselamatan dari adzab Allah untuk mencurahkan seluruh kemampuannya dalam menunaikan hak-hak suami, karena suaminya adalah jembatan untuk meraih kenikmatan surga atau malah sebaliknya membawa dirinya ke jurang neraka.

Al-Hushain bin Mihshan radliallahu anhu menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam karena satu keperluan dan setelah selesai dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam bertanya kepadanya:

َ “Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab: “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?” tanya Rasulullah lagi. Ia menjawab: “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah bersabda: “Lihatlah di mana keberadaanmu saat bergaul dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4/341 Berkata penulis Jami’ Ahkamin Nisa: hadits ini hasan, 3/430)

Saudariku, janganlah engkau sakiti suamimu dengan tidak mensyukuri apa yang telah diberikannya.

Ingatlah, suamimu hanya sementara waktu menemanimu di dunia, kemudian dia akan berpisah denganmu dan berkumpul dengan para bidadari surga yang murka kala engkau menyakitinya.

Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam menyatakan hal ini dalam sabdanya:

  “Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia kecuali berkata hurun `in (bidadari- bidadari surga) yang menjadi istri si suami di surga: “Jangan engkau menyakitinya qatalakillah , karena dia di sisimu hanyalah sebagai tamu dan sekedar singgah, hampir-hampir dia akan berpisah denganmu untuk bertemu dengan kami.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah no. 204. Berkata penulis Bahjatun Nazhirin: Sanad hadits ini shahih, 1/372) .

Wallahu ta`ala a`lam bishawwab.