Laman

Entri Populer

Selasa, Desember 28, 2010

10 kerusakan dalam tahun baru

10 Kerusakan dalam
Perayaan Tahun Baru Selasa, 29 Desember 2009 00:00
Alhamdulillah. Segala puji hanya
milik Allah, Rabb yang
memberikan hidayah demi
hidayah. Shalawat dan salam
kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan
orang-orang yang mengikuti
mereka hingga akhir zaman.
Manusia di berbagai negeri
sangat antusias menyambut
perhelatan yang hanya setahun sekali ini. Hingga walaupun sampai
lembur pun, mereka dengan rela
dan sabar menunggu pergantian
tahun. Namun bagaimanakah
pandangan Islam -agama yang
hanif- mengenai perayaan tersebut? Apakah mengikuti dan
merayakannya diperbolehkan?
Semoga artikel yang singkat ini
bisa menjawabnya. Sejarah Tahun Baru Masehi Tahun Baru pertama kali
dirayakan pada tanggal 1
Januari 45 SM (sebelum masehi).
Tidak lama setelah Julius Caesar
dinobatkan sebagai kaisar Roma,
ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi
yang telah diciptakan sejak abad
ketujuh SM. Dalam mendesain
kalender baru ini, Julius Caesar
dibantu oleh Sosigenes, seorang
ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar
penanggalan baru itu dibuat
dengan mengikuti revolusi
matahari, sebagaimana yang
dilakukan orang-orang Mesir.
Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365
seperempat hari dan Caesar
menambahkan 67 hari pada
tahun 45 SM sehingga tahun 46
SM dimulai pada 1 Januari.
Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari
ditambahkan kepada bulan
Februari, yang secara teoritis
bisa menghindari penyimpangan
dalam kalender baru ini. Tidak
lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah
nama bulan Quintilis dengan
namanya, yaitu Julius atau Juli.
Kemudian, nama bulan Sextilis
diganti dengan nama pengganti
Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.[1] Dari sini kita dapat menyaksikan
bahwa perayaan tahun baru
dimulai dari orang-orang kafir
dan sama sekali bukan dari Islam.
Perayaan tahun baru ini terjadi
pada pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak dulu telah
dirayakan oleh orang-orang
kafir. Berikut adalah beberapa
kerusakan akibat seorang muslim
merayakan tahun baru. Kerusakan Pertama:
Merayakan Tahun Baru
Berarti Merayakan ‘ Ied (Perayaan) yang Haram Perlu diketahui bahwa perayaan
(’ ied) kaum muslimin ada dua yaitu ‘ Idul Fithri dan ‘ Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan, َناَك ِلْهَأِل ِةَّيِلِهاَجْلا ِناَمْوَي يِف ِّلُك ٍةَنَس َنوُبَعْلَي اَمِهيِف اَّمَلَف َمِدَق ُّيِبَّنلا ىَّلَص ُهَّللا ِهْيَلَع َمَّلَسَو َةَنيِدَمْلا َلاَق َناَك ْمُكَل ِناَمْوَي َنوُبَعْلَت اَمِهيِف ْدَقَو ْمُكَلَدْبَأ ُهَّللا اَمِهِب اًرْيَخ اَمُهْنِم َمْوَي ِرْطِفْلا َمْوَيَو ىَحْضَأْلا “Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan
Mihrojan) di setiap tahun yang
mereka senang-senang ketika
itu. Ketika Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau
mengatakan, ‘ Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di
dalamnya. Sekarang Allah telah
menggantikan bagi kalian dua
hari yang lebih baik yaitu hari
Idul Fithri dan Idul Adha.’” [2] Namun setelah itu muncul
berbagai perayaan (’ ied) di tengah kaum muslimin. Ada
perayaan yang dimaksudkan
untuk ibadah atau sekedar
meniru-niru orang kafir. Di
antara perayaan yang kami
maksudkan di sini adalah perayaan tahun baru Masehi.
Perayaan semacam ini berarti di
luar perayaan yang Nabi
shallallahu ‘ alaihi wa sallam maksudkan sebagai perayaan
yang lebih baik yang Allah ganti.
Karena perayaan kaum muslimin
hanyalah dua yang dikatakan
baik yaitu Idul Fithri dan Idul
Adha. Perhatikan penjelasan Al Lajnah
Ad Da-imah lil Buhuts ‘ Ilmiyyah wal Ifta’ , komisi fatwa di Saudi Arabia berikut ini:
Al Lajnah Ad Da-imah
mengatakan, “Yang disebut ‘ ied atau hari perayaan secara istilah
adalah semua bentuk
perkumpulan yang berulang
secara periodik boleh jadi
tahunan, bulanan, mingguan atau
semisalnya. Jadi dalam ied terkumpul beberapa hal: 1. Hari yang berulang semisal
idul fitri dan hari Jumat. 2. Berkumpulnya banyak orang
pada hari tersebut. 3. Berbagai aktivitas yang
dilakukan pada hari itu baik
berupa ritual ibadah ataupun
non ibadah. Hukum ied (perayaan) terbagi
menjadi dua: 1. Ied yang tujuannya adalah
beribadah, mendekatkan diri
kepada Allah dan
mengagungkan hari tersebut
dalam rangka mendapat
pahala, atau 2. Ied yang mengandung unsur
menyerupai orang-orang
jahiliah atau golongan-
golongan orang kafir yang
lain maka hukumnya adalah
bid’ ah yang terlarang karena tercakup dalam
sabda Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam, ْنَم َثَدْحَأ ىِف اَنِرْمَأ اَذَه اَم َسْيَل ُهْنِم َوُهَف ٌّدَر “Barang siapa yang mengada-adakan amal dalam
agama kami ini padahal
bukanlah bagian dari agama
maka amal tersebut
tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim) Misalnya adalah peringatan
maulid nabi, hari ibu dan hari
kemerdekaan. Peringatan maulid
nabi itu terlarang karena hal itu
termasuk mengada-adakan ritual
yang tidak pernah Allah izinkan di samping menyerupai orang-
orang Nasrani dan golongan
orang kafir yang lain. Sedangkan
hari ibu dan hari kemerdekaan
terlarang karena menyerupai
orang kafir.”[3] -Demikian penjelasan Lajnah- Begitu pula perayaan tahun baru
termasuk perayaan yang
terlarang karena menyerupai
perayaan orang kafir. Kerusakan Kedua:
Merayakan Tahun Baru
Berarti Tasyabbuh (Meniru-
niru) Orang Kafir Merayakan tahun baru termasuk
meniru-niru orang kafir. Dan
sejak dulu Nabi kita shallallahu
‘ alaihi wa sallam sudah mewanti- wanti bahwa umat ini memang
akan mengikuti jejak orang
Persia, Romawi, Yahudi dan
Nashrani. Kaum muslimin
mengikuti mereka baik dalam
berpakaian atau pun berhari raya. Dari Abu Hurairah, Nabi
shallallahu ‘ alaihi wa sallam bersabda, « َال ُموُقَت ُةَعاَّسلا ىَّتَح َذُخْأَت ىِتَّمُأ ِذْخَأِب ِنوُرُقْلا اَهَلْبَق ، اًرْبِش ٍرْبِشِب اًعاَرِذَو ٍعاَرِذِب « . َليِقَف اَي َلوُسَر ِهَّللا َسِراَفَك ِموُّرلاَو . َلاَقَف » ِنَمَو ُساَّنلا َّالِإ َكِئَلوُأ » “Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan
generasi sebelumnya sejengkal
demi sejengkal, sehasta demi
sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -
shallallahu ‘ alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“[4] Dari Abu Sa’ id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wa sallam bersabda, َّنُعِبَّتَتَل َنَنَس َنيِذَّلا ْنِم ْمُكِلْبَق اًرْبِش ٍرْبِشِب اًعاَرِذَو ٍعاَرِذِب ىَّتَح ْوَل اوُلَخَد ىِف ِرْحُج ٍّبَض ْمُهوُمُتْعَبَّتَال . اَنْلُق اَي َلوُسَر ِهَّللا َدوُهَيْلآ ىَراَصَّنلاَو َلاَق ْنَمَف “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian
sejengkal demi sejengkal dan
sehasta demi sehasta sampai jika
orang-orang yang kalian ikuti itu
masuk ke lubang dhob (yang
penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti
itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” [5] An Nawawi -rahimahullah- ketika
menjelaskan hadits di atas
menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan
dziro’ (hasta) serta lubang dhob (lubang hewan tanah yang
penuh lika-liku), adalah
permisalan bahwa tingkah laku
kaum muslimin sangat mirip sekali
dengan tingkah Yahudi dan
Nashroni. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam
kemaksiatan dan berbagai
penyimpangan, bukan dalam hal
kekufuran. Perkataan beliau ini
adalah suatu mukjizat bagi beliau
karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.”[6] Lihatlah apa yang dikatakan oleh
Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam. Apa yang beliau katakan
memang benar-benar terjadi
saat ini. Berbagai model pakaian
orang barat diikuti oleh kaum
muslimin, sampai pun yang
setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti,
termasuk pula perayaan tahun
baru ini. Ingatlah, Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam secara tegas telah
melarang kita meniru-niru orang
kafir (tasyabbuh). Beliau bersabda, ْنَم َهَّبَشَت ٍمْوَقِب َوُهَف ْمُهْنِم “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk
bagian dari mereka.” [7] Menyerupai orang kafir
(tasyabbuh) ini terjadi dalam hal
pakaian, penampilan dan
kebiasaan. Tasyabbuh di sini
diharamkan berdasarkan dalil Al
Qur’ an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’) . [8] Kerusakan Ketiga:
Merekayasa Amalan yang
Tanpa Tuntunan di Malam
Tahun Baru Kita sudah ketahui bahwa
perayaan tahun baru ini berasal
dari orang kafir dan merupakan
tradisi mereka. Namun
sayangnya di antara orang-
orang jahil ada yang mensyari’ atkan amalan-amalan tertentu pada malam pergantian
tahun. “Daripada waktu kaum muslimin sia-sia, mending malam
tahun baru kita isi dengan dzikir
berjama’ ah di masjid. Itu tentu lebih manfaat daripada
menunggu pergantian tahun
tanpa ada manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian
orang. Ini sungguh aneh.
Pensyariatan semacam ini berarti
melakukan suatu amalan yang
tanpa tuntunan. Perayaan tahun
baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual kaum
muslimin, lantas kenapa harus
disyari’ atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi menunggu
pergantian tahun pun akan
mengakibatkan meninggalkan
berbagai kewajiban sebagaimana
nanti akan kami utarakan. Jika ada yang mengatakan,
“Daripada menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak
bermanfaat, mending diisi dengan
dzikir. Yang penting kan niat kita
baik.” Maka cukup kami sanggah niat
baik semacam ini dengan
perkataan Ibnu Mas’ ud ketika dia melihat orang-orang yang
berdzikir, namun tidak sesuai
tuntunan Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam. Orang yang melakukan
dzikir yang tidak ada
tuntunannya ini mengatakan
pada Ibnu Mas’ ud, ِهَّللاَو اَي اَبَأ ِدْبَع ِنَمْحَّرلا اَم اَنْدَرَأ َّالِإ َرْيَخْلا . “Demi Allah, wahai Abu ‘ Abdurrahman (Ibnu Mas’ ud), kami tidaklah menginginkan selain
kebaikan.” Ibnu Mas’ ud lantas berkata, ْمَكَو ْنِم ٍديِرُم ِرْيَخْلِل ْنَل ُهَبيِصُي “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun
mereka tidak
mendapatkannya.” [9] Jadi dalam melakukan suatu
amalan, niat baik semata
tidaklah cukup. Kita harus juga
mengikuti contoh dari Nabi
shallallahu ‘ alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di
sisi Allah. Kerusakan Keempat:
Terjerumus dalam
Keharaman dengan
Mengucapkan Selamat
Tahun Baru Kita telah ketahui bersama
bahwa tahun baru adalah syiar
orang kafir dan bukanlah syiar
kaum muslimin. Jadi, tidak pantas
seorang muslim memberi selamat
dalam syiar orang kafir seperti ini. Bahkan hal ini tidak
dibolehkan berdasarkan
kesepakatan para ulama (ijma’) . Ibnul Qoyyim dalam Ahkam Ahli
Dzimmah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada
syi’ ar-syi’ ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir
(seperti mengucapkan selamat
natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi
ucapan selamat pada hari raya
dan puasa mereka seperti
mengatakan, ‘ Semoga hari ini adalah hari yang berkah
bagimu’ , atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka
dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini
bisa selamat dari kekafiran,
namun dia tidak akan lolos dari
perkara yang diharamkan.
Ucapan selamat hari raya seperti
ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan
selamat atas sujud yang mereka
lakukan pada salib, bahkan
perbuatan seperti ini lebih besar
dosanya di sisi Allah. Ucapan
selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang
memberi ucapan selamat pada
orang yang minum minuman
keras, membunuh jiwa, berzina,
atau ucapan selamat pada
maksiat lainnya. Banyak orang yang kurang
paham agama terjatuh dalam hal
tersebut. Orang-orang semacam
ini tidak mengetahui kejelekan
dari amalan yang mereka
perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan
selamat pada seseorang yang
berbuat maksiat, bid’ ah atau kekufuran, maka dia pantas
mendapatkan kebencian dan
murka Allah Ta’ ala.”[10] Kerusakan Kelima:
Meninggalkan Perkara Wajib
yaitu Shalat Lima Waktu Betapa banyak kita saksikan,
karena begadang semalam
suntuk untuk menunggu detik-
detik pergantian tahun, bahkan
begadang seperti ini diteruskan
lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari,
kebanyakan orang yang
begadang seperti ini luput dari
shalat Shubuh yang kita sudah
sepakat tentang wajibnya. Di
antara mereka ada yang tidak mengerjakan shalat Shubuh
sama sekali karena sudah
kelelahan di pagi hari. Akhirnya,
mereka tidur hingga
pertengahan siang dan berlalulah
kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali. Na’ udzu billahi min dzalik. Ketahuilah bahwa meninggalkan
satu saja dari shalat lima waktu
bukanlah perkara sepele. Bahkan
meningalkannya para ulama
sepakat bahwa itu termasuk
dosa besar. Ibnul Qoyyim -rahimahullah-
mengatakan, “Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat
(sepakat) bahwa meninggalkan
shalat wajib (shalat lima waktu)
dengan sengaja termasuk dosa
besar yang paling besar dan
dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta
orang lain, zina, mencuri, dan
minum minuman keras. Orang
yang meninggalkannya akan
mendapat hukuman dan
kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia
dan akhirat.”[11] Adz Dzahabi – rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga
keluar waktunya termasuk
pelaku dosa besar. Dan yang
meninggalkan shalat -yaitu satu
shalat saja- dianggap seperti
orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau
luput darinya termasuk dosa
besar. Oleh karena itu, orang
yang meninggalkannya sampai
berkali-kali termasuk pelaku
dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang
yang meninggalkan shalat
termasuk orang yang merugi,
celaka dan termasuk orang
mujrim (yang berbuat dosa).”[12] Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam pun mengancam dengan
kekafiran bagi orang yang
sengaja meninggalkan shalat lima
waktu. Buraidah bin Al Hushoib Al
Aslamiy berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wa sallam bersabda, ُدْهَعْلا ىِذَّلا اَنَنْيَب ُمُهَنْيَبَو ُةَالَّصلا ْنَمَف اَهَكَرَت ْدَقَف َرَفَك “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah
shalat. Barangsiapa
meninggalkannya maka dia telah
kafir.”[13] Oleh karenanya, seorang muslim tidak
sepantasnya merayakan tahun
baru sehingga membuat dirinya
terjerumus dalam dosa besar. Dengan merayakan tahun baru,
seseorang dapat pula terluput
dari amalan yang utama yaitu
shalat malam. Dari Abu Hurairah,
Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa sallam bersabda, ُلَضْفَأ ِةاَلَّصلا َدْعَب ِةَضيِرَفْلا ُةاَلَص ِلْيَّللا “Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.
”[14] Shalat malam adalah sebaik-baik shalat dan shalat
yang biasa digemari oleh orang-
orang sholih. Seseorang pun bisa
mendapatkan keutamaan karena
bertemu dengan waktu yang
mustajab untuk berdo’ a yaitu ketika sepertiga malam terakhir.
Sungguh sia-sia jika seseorang
mendapati malam tersebut
namun ia menyia-nyiakannya.
Melalaikan shalat malam
disebabkan mengikuti budaya orang barat, sungguh adalah
kerugian yang sangat besar. Kerusakan Keenam:
Begadang Tanpa Ada Hajat Begadang tanpa ada
kepentingan yang syar’ i dibenci oleh Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam. Termasuk di sini adalah
menunggu detik-detik
pergantian tahun yang tidak ada
manfaatnya sama sekali.
Diriwayatkan dari Abi Barzah,
beliau berkata, َّنَأ َلوُسَر ِهَّللا – ىلص هللا هيلع ملسو – َناَك ُهَرْكَي َمْوَّنلا َلْبَق ِءاَشِعْلا َثيِدَحْلاَو اَهَدْعَب “Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa sallam membenci tidur sebelum
shalat ‘ Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”[15] Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat
‘ Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan
khawatir jika sampai luput dari
shalat shubuh berjama’ ah. ‘ Umar bin Al Khottob sampai-sampai
pernah memukul orang yang
begadang setelah shalat Isya,
beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di
awal malam, nanti di akhir malam
tertidur lelap?!”[16] Apalagi dengan begadang, ini sampai
melalaikan dari sesuatu yang
lebih wajib (yaitu shalat Shubuh)
?! Kerusakan Ketujuh:
Terjerumus dalam Zina Jika kita lihat pada tingkah laku
muda-mudi saat ini, perayaan
tahun baru pada mereka
tidaklah lepas dari ikhtilath
(campur baur antara pria dan
wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan mungkin
lebih parah dari itu yaitu sampai
terjerumus dalam zina dengan
kemaluan. Inilah yang sering
terjadi di malam tersebut
dengan menerjang berbagai larangan Allah dalam bergaul
dengan lawan jenis. Inilah yang
terjadi di malam pergantian
tahun dan ini riil terjadi di
kalangan muda-mudi. Padahal
dengan melakukan seperti pandangan, tangan dan bahkan
kemaluan telah berzina. Ini
berarti melakukan suatu yang
haram. Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘ anhu, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa sallam bersabda, َبِتُك ىَلَع ِنْبا َمَدآ ُهُبيِصَن َنِم ىَنِّزلا ٌكِرْدُم َكِلَذ َال َةَلاَحَم ِناَنْيَعْلاَف اَمُهاَنِز ُرَظَّنلا ِناَنُذُألاَو اَمُهاَنِز ُعاَمِتْسِالا ُناَسِّللاَو ُهاَنِز ُمَالَكْلا ُدَيْلاَو اَهاَنِز ُشْطَبْلا ُلْجِّرلاَو اَهاَنِز اَطُخْلا ُبْلَقْلاَو ىَوْهَي ىَّنَمَتَيَو ُقِّدَصُيَو َكِلَذ ُجْرَفْلا ُهُبِّذَكُيَو “Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina
dan ini suatu yang pasti terjadi,
tidak bisa tidak. Zina kedua mata
adalah dengan melihat. Zina
kedua telinga dengan
mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan
adalah dengan meraba
(menyentuh). Zina kaki adalah
dengan melangkah. Zina hati
adalah dengan menginginkan dan
berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan
membenarkan atau mengingkari
yang demikian.”[17] Kerusakan Kedelapan:
Mengganggu Kaum Muslimin Merayakan tahun baru banyak
diramaikan dengan suara
mercon, petasan, terompet atau
suara bising lainnya. Ketahuilah
ini semua adalah suatu
kemungkaran karena mengganggu muslim lainnya,
bahkan sangat mengganggu
orang-orang yang butuh
istirahat seperti orang yang lagi
sakit. Padahal mengganggu
muslim lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Nabi
shallallahu ‘ alaihi wa sallam, ُمِلْسُمْلا ْنَم َمِلَس َنوُمِلْسُمْلا ْنِم ِهِناَسِل ِهِدَيَو “Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan
tangannya tidak mengganggu
orang lain.”[18] Ibnu Baththol mengatakan,
“Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang
muslim tidak menyakiti kaum
muslimin lainnya dengan lisan,
tangan dan seluruh bentuk
menyakiti lainnya. Al Hasan Al
Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak
menyakiti walaupun itu hanya
menyakiti seekor semut”.”[19] Perhatikanlah perkataan yang
sangat bagus dari Al Hasan Al
Basri. Seekor semut yang kecil
saja dilarang disakiti, lantas
bagaimana dengan manusia yang
punya akal dan perasaan disakiti dengan suara bising atau
mungkin lebih dari itu?! Kerusakan Kesembilan:
Meniru Perbuatan Setan
dengan Melakukan
Pemborosan Perayaan malam tahun baru
adalah pemborosan besar-
besaran hanya dalam waktu
satu malam. Jika kita perkirakan
setiap orang menghabiskan uang
pada malam tahun baru sebesar Rp.1000 untuk membeli mercon
dan segala hal yang
memeriahkan perayaan
tersebut, lalu yang merayakan
tahun baru sekitar 10 juta
penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang
yang dihambur-hamburkan dalam
waktu semalam? Itu baru
perkiraan setiap orang
menghabiskan Rp. 1000,
bagaimana jika lebih dari itu?! Masya Allah sangat banyak sekali
jumlah uang yang dibuang sia-sia.
Itulah harta yang dihamburkan
sia-sia dalam waktu semalam
untuk membeli petasan, kembang
api, mercon, atau untuk menyelenggarakan pentas musik,
dsb. Padahal Allah Ta’ ala telah berfirman, الَو ْرِّذَبُت اًريِذْبَت َّنِإ َنيِرِّذَبُمْلا اوُناَك َناَوْخِإ ِنيِطاَيَّشلا “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros.
Sesungguhnya pemboros-
pemboros itu adalah saudara-
saudara syaitan.” (Qs. Al Isro’ : 26-27) Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauh
sikap boros dengan mengatakan:
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros.
Sesungguhnya pemboros-
pemboros itu adalah saudara-
saudara syaitan.” Dikatakan demikian karena orang yang
bersikap boros menyerupai
setan dalam hal ini. Ibnu Mas’ ud dan Ibnu ‘ Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah
menginfakkan sesuatu bukan
pada jalan yang benar.” Mujahid mengatakan, “Seandainya seseorang menginfakkan seluruh
hartanya dalam jalan yang
benar, itu bukanlah tabdzir
(pemborosan). Namun jika
seseorang menginfakkan satu
mud saja (ukuran telapak tangan) pada jalan yang keliru,
itulah yang dinamakan tabdzir
(pemborosan).” Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah
mengeluarkan nafkah dalam
berbuat maksiat pada Allah,
pada jalan yang keliru dan pada
jalan untuk berbuat kerusakan.
”[20] Kerusakan Kesepuluh:
Menyia-nyiakan Waktu yang
Begitu Berharga Merayakan tahun baru termasuk
membuang-buang waktu. Padahal
waktu sangatlah kita butuhkan
untuk hal yang bermanfaat dan
bukan untuk hal yang sia-sia.
Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai
tanda kebaikan Islam seseorang, ْنِم ِنْسُح ِمَالْسِإ ِءْرَمْلا ُهُكْرَت اَم َال ِهيِنْعَي “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan
hal yang tidak bermanfaat
baginya.” [21] Ingatlah bahwa membuang-buang
waktu itu hampir sama dengan
kematian yaitu sama-sama
memiliki sesuatu yang hilang.
Namun sebenarnya membuang- buang waktu masih lebih jelek dari kematian. Semoga kita merenungkan
perkataan Ibnul Qoyyim,
“(Ketahuilah bahwa) menyia- nyiakan waktu lebih jelek dari
kematian. Menyia-nyiakan waktu
akan memutuskanmu
(membuatmu lalai) dari Allah dan
negeri akhirat. Sedangkan
kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan
penghuninya.”[22] Seharusnya seseorang
bersyukur kepada Allah dengan
nikmat waktu yang telah Dia
berikan. Mensyukuri nikmat
waktu bukanlah dengan
merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah
dengan melakukan ketaatan dan
ibadah kepada Allah. Itulah
hakekat syukur yang
sebenarnya. Orang-orang yang
menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela.
Allah Ta’ ala berfirman, ْمَلَوَأ مُكْرِّمَعُن اَّم ُرَّكَذَتَي ِهيِف نَم َرَّكَذَت ُمُكءاَجَو ُريِذَّنلا “Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam
masa yang cukup untuk berfikir
bagi orang yang mau berfikir,
dan (apakah tidak) datang
kepada kamu pemberi
peringatan?” (Qs. Fathir: 37). Qotadah mengatakan,
“Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil
yang bisa menjatuhkanmu.
Marilah kita berlindung kepada
Allah dari menyia-nyiakan umur
yang panjang untuk hal yang
sia-sia.”[23] Inilah di antara beberapa
kerusakan dalam perayaan
tahun baru. Sebenarnya masih
banyak kerusakan lainnya yang
tidak bisa kami sebutkan satu
per satu dalam tulisan ini karena saking banyaknya. Seorang
muslim tentu akan berpikir
seribu kali sebelum melangkah
karena sia-sianya merayakan
tahun baru. Jika ingin menjadi
baik di tahun mendatang bukanlah dengan merayakannya.
Seseorang menjadi baik tentulah
dengan banyak bersyukur atas
nikmat waktu yang Allah berikan.
Bersyukur yang sebenarnya
adalah dengan melakukan ketaatan kepada Allah, bukan
dengan berbuat maksiat dan
bukan dengan membuang-buang
waktu dengan sia-sia. Lalu yang
harus kita pikirkan lagi adalah
apakah hari ini kita lebih baik dari hari kemarin? Pikirkanlah
apakah hari ini iman kita sudah
semakin meningkat ataukah
semakin anjlok! Itulah yang harus
direnungkan seorang muslim
setiap kali bergulirnya waktu. Ya Allah, perbaikilah keadaan
umat Islam saat ini. Perbaikilah
keadaan saudara-saudara kami
yang jauh dari aqidah Islam.
Berilah petunjuk pada mereka
agar mengenal agama Islam ini dengan benar. “Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada
taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (Qs. Hud: 88) Alhamdulillahilladzi bi ni’ matihi tatimmush sholihat. Wa shallallahu
‘ ala nabiyyina Muhammad wa ‘ ala alihi wa shohbihi wa sallam. Disempurnakan atas nikmat Allah
di Pangukan-Sleman, 12
Muharram 1431 H Penulis: Muhammad Abduh
Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Tidak ada komentar: