Laman

Entri Populer

Kamis, April 19, 2012

menjadikan kiai sebagai panutan sekalipun bertentangan dengan al quran dan as-sunnah ?

Alloh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita agar melaksakan taat kepada Alloh dan Rosul-Nya. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh, taatilah Rosul-Nya dan pemimpin kalian.” (An Nisa’: 59)

Para ulama menjelaskan ayat di atas bahwa ketaatan kepada Alloh dan Rosul-Nya merupakan ketaatan yang mutlak, sedangkan ketaatan kepada makhluk itu tergantung pada ketaatan kepada Alloh dan Rosul-Nya.

Jika makhluk itu mengajak kepada perbuatan maksiat kepada Alloh dan Rosul-Nya, maka kita tidak boleh mengikutinya.

Karena tidak ada taat kepada makhluk dalam maksiat kepada Alloh dan Rosul-Nya. Sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam,

“Tidak ada ketaatan kepada siapa pun dalam maksiat kepada Alloh, ketaatan hanyalah dalam perkara yang baik menurut syariat.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Tetapi apa yang terjadi pada kaum muslimin?
Di antara mereka ada yang menentang perintah Alloh dan Rosul-Nya, menentang Al Qur’an, menentang sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam padahal dalil tersebut sudah jelas bagi mereka.

Mereka lebih memilih pendapat pemimpin golongan mereka, orang yang mereka anggap sebagai wali, pendapat Pak Kyai atau orang alim meskipun jelas-jelas pendapat tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Sampai-sampai mereka menghalalkan sesuatu yang Alloh Ta’ala haramkan, dan mengharamkan sesuatu yang Alloh Ta’ala halalkan demi mengikuti pendapat seseorang.

Karena inilah mereka telah menjadikan tuhan-tuhan selain Alloh Ta’ala. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya,

“Mereka jadikan orang-orang alim dan rahib-rahib(pendta-pendeta) mereka sebagai Tuhan selain Alloh.” (At Taubah: 31)

Kami Tidak Menyembah Mereka

Ketika mendengar ayat ini dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, sahabat Adi bin Hatim rodhiyallohu ‘anhu yang dulu beragama nasrani berkata,

“Sesungguhnya kami tidak menyembah mereka”.

Kemudian Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata,

“Bukankah mereka mengharamkan yang Alloh halalkan kemudian kalian ikut mengharamkannya, dan mereka menghalalkan yang Alloh haramkan kemudian kalian ikut menghalalkannya?

” Kemudian sahabat Adi bin Hatim rodhiyallohu ‘anhu menjawab, “Ya!” Rosululloh berkata, “Itulah bentuk peribadatan kalian kepada mereka.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).

Inilah yang disebut syirik dalam ketaatan.

Oleh karena itu, Syaikh Muhammad At-Tamimy rohimahulloh Ta’ala memasukan hadits di atas dalam Kitab Tauhid karya beliau pada bab:

Barang siapa yang menaati ulama dan pemimpin dalam mengharamkan yang dihalalkan oleh Alloh dan menghalalkan yang diharamkan oleh Alloh, maka dia telah menjadikannya sebagai tuhan-tuhan selain Alloh.

Marah Karena Alloh Ta’ala

Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma berkata,

“Hujan batu dari langit akan segera menimpa kalian. Aku katakan, ‘Rosululloh berkata demikian-demikian’, namun kalian mengatakan, ‘Abu Bakar dan Umar berkata demikian’.” Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma marah karena ada yang menentang perkataan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan Abu Bakar dan Umar rodhiyallohu ‘anhuma. Padahal Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam menginformasikan bahwa mereka berdua termasuk penghuni surga, bahkan Abu Bakar dan Umar rodhiyallohu ‘anhuma adalah orang yang paling utama di antara umat ini dan orang yang pendapat-pendapatnya lebih mendekati kebenaran.

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Jika kalian mentaati Abu Bakar dan Umar, kalian akan mendapat petunjuk.” (HR Muslim).

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

“Kalian wajib mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku, peganglah dan gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Abi Hatim, shohih)

Jadi apabila ada yang menentang perkataan atau hadits Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan Abu Bakar dan Umar saja terlarang, bagaimana lagi jika menentang hadits Rosululloh dengan pendapat atau perkataan selain mereka berdua?

Tentunya lebih terlarang lagi. (Lihat Al Qoulul Mufid 2/88-89).

Perkataan Ulama’ Tentang Menentang Hadits

1. Imam Abu Hanifah rohimahullohu

1. “Tidak halal bagi seorang pun untuk mengambil perkataan kami jika dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya”.

2. “Jika saya menyampaikan perkataan yang bertentangan dengan Kitabulloh dan hadits Rosululloh, maka tinggalkanlah perkataanku”.

2. Imam Malik rohimahullohu

1. “Sesungguhnya saya hanyalah manusia, kadang salah dan kadang benar, maka telitilah pendapatku. Yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah ambillah dan yang tidak sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah tinggalkanlah”.

2. “Pendapat semua orang dapat diterima atau ditolak kecuali perkataan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam”.

3. Imam Syafi’i rohimahullohu

1. “Jika suatu hadits itu shohih, maka itulah pendapatku”.

2. “Seluruh kaum muslimin sepakat bahwa jika ada yang mengetahui hadits Rosululloh, maka dia tidak boleh meninggalkannya karena mengikuti pendapat seseorang”.

Imam Ahmad rohimahullohu

1. “Janganlah engkau mengekor kepadaku, Malik, Syafi’i, Auza’i, dan Ats-Tsaury. Ambillah dari sumber mereka mengambil”.

2. “Barang siapa menolak hadits Rosululloh maka dia dalam jurang kehancuran”. (Lihat Sifat Sholat Nabi hal 47-53).

Demikianlah perkataan para ulama yang melarang kita menentang hadits Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dengan pendapat seseorang.

Maka sudah sepantasnya bagi kita untuk memperhatikan hal ini.
Hanya kepada Alloh Ta’ala kita memohon supaya kita termasuk orang-orang yang selalu mendahulukan perkataan Alloh dan Rosul-Nya dari pada perkataan manusia, dan menjadikan kita selalu berpegang teguh dengan sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.

Wallohul Musta’an.

WASPADALAH! tanpa kita sadarikita beerbuat menyekutukan allah

Keberadaan ulama dalam umat ini adalah sebuah keberkahan yang akan membawa kebaikan bagi umat.
Ulama adalah pewaris para nabi. Merekalah yang meneruskan estafet dakwah para nabi dalam rangka meninggikan kalimat tauhid di muka bumi.

Akan tetapi, dengan berbagai keutamaan yang terdapat dalam diri seorang ulama, mereka tetaplah berbeda dengan nabi.

Jika nabi itu ma’shum, maka ulama tidaklah ma’shum.
Seorang ulama bisa saja tergelincir dalam suatu permasalahan.
Maka yang wajib bagi kita adalah mengikuti apa yang sesuai dengan Al Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
meskipun kita harus menyelisihi ulama yang tergelincir tersebut, meskipun mengaku keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, betapa pun kita mencintai dan menyanjungnya.

Menjadikan Ulama Sebagai Tandingan Allah

Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah, di antara konsekuensi kalimat syahadat yang selalu kita dengung-dengungkan adalah tunduk dan patuh kepada aturan-aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
menghalalkan apa yang Allah halalkan dan mengharamkan apa yang Allah haramkan.

Maka sebuah kewajiban bagi semua kaum muslimin untuk selalu mendahulukan firman Allah Ta’ala dan sabda Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dari seluruh ucapan manusia di dunia ini setinggi apapun kedudukannya dan semulia apapun nasabnya.

Tidak boleh kita taklid buta kepada seseorang sampai-sampai ketika beliau tergelincir dalam suatu permasalahan, maka kita tetap mengikuti ketergelinciran beliau dan melupakan firman Allah Ta’ala dan sabda Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang kaum nasrani dan yahudi,

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah” (QS. At Taubah : 31)

Ayat ini ditafsirkan dengan hadits Adi bin Hatim Ath Thoo-i radhiyallahu ‘anhu dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat tersebut kepada beliau. Kemudian beliau berkata : “Wahai Rasulullah, kami tidaklah beribadah kepada mereka”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أليس يحلون لكم ما حرم الله فتحلونه، ويحرمون ما أحل الله فتحرمونه؟

“Bukankah mereka menghalalkan untuk kalian apa yang Allah haramkan sehingga kalianpun menghalalkannya, dan mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan sehingga kalian mengharamkannya?”. Beliau (Adi bin Hatim) berkata : “Benar”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فتلك عبادتهم

“Itulah (yang dimaksud) beribadah kepada mereka”[1]

Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah mengatakan : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits tersebut menafsirkan bahwa maksud “menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah”

bukanlah maknanya ruku’ dan sujud kepada mereka.
Akan tetapi maknanya adalah mentaati mereka dalam mengubah hukum Allah dan mengganti syari’at Allah dengan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

Perbuatan tersebut dianggap sebagai bentuk beribadah kepada mereka selain kepada Allah dimana mereka menjadikan para ulama dan ahli ibadah tersebut sebagai sekutu-sekutu bagi Allah dalam masalah menetapkan syari’at.

Barangsiapa yang mentaati mereka dalam hal tersebut, maka sungguh dia telah menjadikan mereka sebagai sekutu-sekutu bagi Allah dalam menetapkan syari’at serta menghalalkan dan mengharamkan sesuatu. Ini adalah syirik besar”[2]

Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh rahimahullah mengatakan : “Hadits tersebut adalah dalil bahwa mentaati ulama dan ahli ibadah dalam bermaksiat kepada Allah adalah bentuk ibadah kepada mereka selain kepada Allah, dan termasuk syirik akbar yang tidak diampuni oleh Allah”[3]

Kemudian Allah Ta’ala berfirman dalam kelanjutan ayat di atas,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا

“Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa” (QS. At Taubah : 31)

Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas : “Yakni Rabb yang jika mengharamkan sesuatu, maka hukumnya haram. Dan apa yang Dia halalkan, maka hukumnya halal. Dan apa yang Dia syari’atkan, maka harus diikuti. Dan apa yang Dia tetapkan, maka harus dilaksanakan”[4]

Hal ini menunjukkan bahwa penetapan syari’at, mengharamkan dan menghalalkan sesuatu, adalah hak mutlak milik Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Lalu Allah Ta’ala menutup ayat di atas dengan firman-Nya,

سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (QS. At Taubah : 31)

Akhir ayat tersebut menunjukkan mengikuti seseorang ataupun ulama yang mengharamkan apa yang Allah halalkan dan menghalalkan apa yang Allah haramkan adalah sebuah kesyirikan.

Kenapa? Karena mengikuti ulama yang mengharamkan apa yang Allah halalkan dan menghalalkan apa yang Allah haramkan sama saja mengatakan bahwa ulama tersebut berhak untuk mengharamkan dan menghalalkan sesuatu padahal hak menghalalkan dan mengharamkan sesuatu adalah hak mutlak Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Hakikatnya sama saja ia membuat tandingan/sekutu bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam menetapkan syari’at. Inilah yang disebut dengan asy syirku fit tha’ah, syirik dalam hal ketaatan.

Apakah pelakunya otomatis kafir?

Orang yang mengikuti ketergelinciran ulama dalam mengharamkan apa yang Allah Ta’ala halalkan dan sebaliknya tidak boleh langsung dicap kafir.

Akan tetapi dalam masalah ini ada perincian sehingga hukumnya berbeda-beda tergantung individunya.

Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah memberikan perincian dalam masalah ini :

1. Jika dia meyakini bahwa menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal adalah sebuah perkara yang diperbolehkan, maka ini adalah syirik akbar yang mengeluarkan pelakunya keluar dari Islam

2. Jika dia tidak meyakini bolehnya perbuatan tersebut, tetapi meyakini bahwa menghalalkan dan mengharamkan adalah hak milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi dia melakukannya karena dorongan hawa nafsunya, atau karena ingin mewujudkan beberapa maslahat, maka ini adalah dosa besar tetapi tidak sampai derajat syirik akbar[5]

Bahaya meninggalkan hadits Rasulullah demi mengikuti pendapat seseorang

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata : “Hampir saja batu jatuh dari langit menimpa kalian. Aku mengatakan : ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda’. Tetapi kalian mengatakan : ‘Abu Bakar dan Umar berkata?’ “[6]

Imam Ahmad rahimahullah mengatakan : “Aku heran terhadap orang yang mengetahui sanad suatu hadits dan keshahihannya, tetapi mereka berpaling kepada pendapat Sufyan (Ats Tsauri). Allah Ta’ala berfirman,

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” (QS. An Nuur : 63)

Apakah engkau tahu apa yang dimaksud ‘fitnah’? Fitnah adalah kesyirikan. Bisa jadi jika dia membantah sebagian sabda Rasulullah maka kesesatan akan tertanam di hatinya hingga akhirnya dia binasa”[7]

Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah mengatakan : “Orang yang sengaja membantah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena mengikuti hawa nafsunya atau karena fanatik terhadap syaikhnya yang ia taklid kepadanya, maka (berdasarkan surat An Nuur di atas) ia diancam dengan dua hukuman :

1. Kesesatan yang bercokol di hati. Ketika mereka berpaling dari Al Qur’an dan tidak mau mempelajarinya, maka Allah akan membuat hati-hati mereka berpaling dari kebenaran sebagai hukuman atas mereka. Ini adalah bahaya yang sangat besar

2. Tertimpa adzab yang pedih yang dirasakan jasad mereka, yakni dengan terbunuh di dunia. Dimana Allah akan memberikan orang lain keleluasaan untuk membinasakan dirinya dan membunuhnya sebagai bentuk hukuman bagi mereka. Jikapun mereka mati bukan karena dibunuh, maka mereka akan diadzab di neraka (akibat penyelisihan mereka terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). [8]

Penutup

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, sungguh musibah taklid buta telah tersebar saat ini di masyarakat kita.
Mereka lebih mendahulukan pendapat ustadz, ulama, kiyai, atau habib kesayangan mereka dibandingkan firman Allah Ta’ala dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah tidaklah membuat mereka meninggalkan adat kebiasaan yang tidak sesuai dengan keduanya.
Maka hendaklah kita semua takut akan ancaman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut ini:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” (QS. An Nuur : 63)

فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik” (QS. Ash Shaff : 5)

Hanya kepada Allah-lah kita memohon perlindungan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kita taufik untuk selalu berpegang teguh kepada Al Qur’an dan As Sunnah dan meninggalkan pendapat manusia siapapun dia jika bertentangan dengan keduanya. Wallahu waliyyut taufiq

Jumat, Januari 13, 2012

MEMEGANG TEGUH ALQURAN DAN AS-SUNAH

Keterpurukan dan kondisi umat
Islam saat ini, bukan disebabkan
karena kehebatan dan kemajuan
umat lain.

Namun disebabkan oleh
kesalahan kita sendiri dalam
memilih cara hidup yang tidak sesuai dengan tuntunan Islam.

Sebagian pemuka agama ada
yang berperilaku seperti perilaku
pemuka agama Yahudi dan
Nasrani.
Mereka menyembunyikan yang
haq, karena alasan yang bersifat
pribadi.
Bahkan sebagian yang
lain menyembunyikannya karena
alasan rejeki.
Padahal Ar Razaq
itu hanya Allah swt.
Bagaimana dapat memperoleh rejeki yang barakah kalau jalannya dengan
menyembunyikan yang haq?

Sebagian yang lain suka
mencampur adukkan yang haq
dan yang batil.
Sehingga umat tidak bisa melihat dengan jelas mana yang halal dan mana yang haram.

Kebenaran yang seharusnya disampaikan dengan
jelas menjadi kabur, kelihatan
samar-samar.

Sedangkan sebagian besar
rakyat jelata malas mempelajari
kebenaran langsung dari sumbernya Al Qur’ an dan As Sunnah.

Sehingga apa yang mereka dapatkan kebatilan yang dipoles sehingga seolah-olah nampak benar.

Yang mereka jadikan rujukan hanya mitos, tradisi, dan pendapat para kyai, bukan Al Qur’ an dan As Sunnah.

Padahal siapa yang dapat
menjamin kebenaran dari
ketiganya?
Tidak ada sama
sekali.
Apalagi sebagian yang lain lebih
suka hiburan, foya-foya, dan
memuaskan hawa nafsu dari
pada menuntut ilmu.

Panggung-panggung hiburan yang
menampilkan para penyanyi ndhang ndhut selalu dipenuhi
oleh anak-anak muda, laki-laki
maupun perempuan yang
bercampur baur.

Sedang pengajian yang mengajarkan Al Qur’ an dan As Sunnah mereka abaikan begitu saja.

Mereka tidak suka dibimbing untuk
menjadi bangsa yang maju
terpimpin.
Mereka lebih suka
hidup bebas untuk memuaskan
hawa nafsu.

Maka tidak heran kalau yang
kita lihat bukan kemajuan tapi
kemerosotan,
bukan prestasi tapi dekadensi,
bukan kehidupan yang aman, tenteram, damai, dan sejahtera, tetapi kehidupan yang resah, gelisah, penuh
kebencian dan kedengkian.

Bagaimana kita dapat
memperbaiki-nya?
Sudahkah kita terlambat untuk berbuat?

Tidak ada kata terlambat untuk
bertaubat.

Selama hayat masih dikandung badan, sebelum nyawa sampai di tenggorokan, Allah
tetap akan menghargai
pertaubatan kita.

Sebagai orang awam sebaiknya segera kita berusaha untuk mempelajari Al Qur’ an dan As Sunnah, sehingga tidak mudah tertipu dan tersesat dalam beramal.

Rasulullah saw berwasiat dalam
sebuah hadist riwayat Ibnu Abdil
Barr :

“Aku telah meninggalkan kepadamu dua perkara yang
kamu tidak akan sesat selama
kamu berpegang teguh kepada
keduanya, yaitu Kitab Allah dan
Sunnah Nabi-Nya.”

Apa yang kita fahami dari Al Qur’ an dan As Sunnah segera kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Amalan inilah yang memungkinkan
terjadinya proses perubahan
karakter kita yang jelek manjadi
baik, malas menjadi rajin, kikir menjadi dermawan, isyrak
menjadi ikhlas.

Dalam hadist yang diriwayatkan
oleh Imam Hakim dari Hudzaifah

Rasulullah saw berpesan: Duru
ma’ a kitabillahi haitsu ma dara (Hendaklah kamu sekalian
beredar bersama kitab Allah
kemana saja dia beredar).

Rasulullah saw mengajak kita
semua untuk senantiasa
mengikuti Al Qur’ an.

Menjadikan Al Qur’ an sebagai imam kita dan pemberi arah gerak kita.
Dan menjadikannya sebagai rujukan
atas kebenaran, karena Al
Qur’ an tidak pernah tersentuh oleh kebatilan, baik dari depan
maupun dari belakangnya
(QS 41: 42).

Dan Al Qur’ an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang
diberkati, maka ikutilah dia dan
bertakwalah agar kamu diberi
rahmat (TQS 6: 155)

Ayat yang dikutip di atas
mengingatkan kepada kita semua
untuk mengikutinya,
mengikutiaturan, tata kehidupan dan nilai-nilai moral yang diajarkan Allah di dalamnya dan mengingatkan kita untuk bertakwa agar kita
mendapatkan kasih sayang-Nya.

Begitu pentingnya bertakwa
sehingga beliau saw juga
berpesan:

“Ittaqillaha haitsu ma kunta” (bertakwalah kepada Allah dimana saja kamu berada.)

Umat ini terpuruk dan hina
karena jauh dari cinta dan kasih
sayang-Nya.

Untuk itu hanya dengan kembali bertaat kepada- Nya dan mengikuti sunnah nabi- Nya kita akan mendapatkan
cinta dan kasih sayangnya (QS 3:
31).

Bahkan dengan jalan
berbuat taat kepada Allah dan
Rasul-Nya inilah kita akan
mendapatkan kemenangan yang besar (QS 4: 13).

Akan tetapi sebaliknya kalau kita durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya yang akan kita peroleh tiada lain
kecuali neraka dan siksa yang
menghinakan (QS 4: 14).

Sebagai tokoh masyarakat,
pemuka agama, atau orang yang
dituakan di lingkungannya,
hendaklah kita berusaha untuk
senantiasa meningkatkan
kualitas moral dan intelektual kita masing-masing.

Dengan senantiasa mengoreksi pikiran, ucapan, dan amalan kita dengan ayat-ayat Al Qur’ an dan As Sunnah.

Apa yang sesuai kita
syukuri dengan terus
meningkatkan diri dan apa yang
tidak sesuai segera kita
tinggalkan.

Dunia ini bergerak dengan cepat,
anak muda maju dengan pesat
didukung oleh berbagai fasilitas
baru seperti CD, komputer,
televisi, dan internet.

Sebagai
orang tua kalau kita tidak bergerak maju, merasa cukup
ilmu yang dimiliki, maka kita akan
tertinggal dari yang muda.

Bukan masanya lagi kita
memperdebatkan khilafiyyah.
Dengan semangat kembali kepada Al Qur’ an dan As Sunnah, mari kita saling menghormati.

Lana a’ maluna walakum a’malukum.

Mari kita saling bekerja-sama, kalau memang tidak bisa mari kita sama-sama bekerja

AWAS!!!! fanatik buta kepada habib atau kiai

Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam membacakan firman
Allah berikut ini; 

"Mereka
menjadikan para pendeta, dan
rahib-rahibnya sebagai tuhan
selain Allah...(QS. At Taubah : 31),

Adi bin Hatim berkata: "Kami dulu
orang-orang Nasrani tidak
menyembah mereka [para
pendeta dan pemuka agama
Nasrani].
Kemudian Rasulullah
berkata : 

"Bukankah mereka
menghalalkan apa yang
diharamkan Allah dan
mengharamkan apa yang
dihalalkan Allah, lalu kalian
mengikutinya ?
Jawab Adi bin Hatim : "Ya, benar.

Kata Nabi : "Itulah bentuk
penyembahan [kalian]
terhadap mereka" . (HR. Tirmidzi dari Adi bin Hatim). *Adi
bin Hatim sebelum masuk Islam,
beliau dahulunya beragama
Nasrani.

Fanatik terhadap kyai, Habib,
ulama, atau ustadz memang
telah mendarah daging dalam
tubuh umat ini. Yang jadi masalah
bukanlah sekedar mengikuti
pendapat orang yang berilmu.

 Namun yang menjadi masalah
adalah ketika pendapat para
ulama tersebut jelas-jelas
menyelisihi Al Qur’ an dan As Sunnah tetapi dibela mati-matian.

Yang penting kata mereka ‘ sami’ na wa atho’ na’ (apa yang dikatakan oleh kyai kami, tetap
kami dengar dan kami taat).

Entah pendapat kyai tersebut
merupakan perbuatan syirik
atau bid’ ah, yang penting kami tetap patuh kepada guru-guru
kami.

Fenomena Fanatik Buta Fanatik -dalam bahasa Arab
disebut ta’ ashub - adalah sikap mengikuti seseorang tanpa
mengetahui dalilnya, selalu
menganggapnya benar, dan
membelanya secara membabi
buta.


Fanatik terhadap kyai,
ustadz, atau ulama bahkan kelompok tertentu telah terjadi
sejak dahulu seperti yang terjadi
di kalangan para pengikut
madzhab (ada 4 madzhab yang
terkenal yaitu Hanafi, Hanbali,
Maliki, dan Syafi’ i).

Di mana para pengikut madzhab tersebut
mengklaim bahwa kebenaran
hanya pada pihak mereka
sendiri, sedangkan kebathilan
adalah pada pihak (madzhab)
yang lain.

Banyak contoh yang dapat
diambil dari para pengikut
madzhab tersebut.

Di antara
contoh perkataan bathil di
antara mereka adalah ucapan


Abul Hasan Al Karkhiy Al Hanafi (seorang tokoh fanatik di
kalangan Hanafiyyah). 
Beliau
mengatakan, 

“Setiap ayat dan hadits yang menyelisihi penganut
madzhab kami (Hanafiyyah),
maka harus diselewengkan
maknanya atau dihapus
hukumnya.

” Syaikh Al Albani rahimahullah juga
mengisahkan, bahwa ada
seorang bermadzhab Hanafiyah
mengharamkan pria dari
kalangan mereka menikah
dengan wanita bermadzhab Syafi’ iyah, kecuali wanita tadi diposisikan sebagai wanita ahli kitab dianalogikan dengan wanita
Yahudi dan Nasrani!!
Hal ini masih
terjadi hingga sekarang.

Seperti
ada seorang bermadzhab Hanafi
dan dia begitu takjub dengan seorang khotib masjid Bani
Umayyah di Damaskus, dia
mengatakan, 

“Andaikan khotib tadi bukan bermadzhab Syafi’ i, niscaya aku akan nikahkan dia
dengan anak perempuanku!”

Imam Adz Dzahabi dalam Siyar
A’ lam Nubala’ juga menceritakan, bahwa Abu Abdillah Muhammad
bin Fadhl Al Farra’ pernah menjadi imam sholat di masjid
Abdullah selama 60 puluh tahun
lamanya.
Beliau bermadzhab
Syafi’ i dan melakukan qunut shubuh. Setelah itu imam sholat
diambil alih oleh seseorang yang
bermadzhab Maliki dan tidak
melakukan qunut shubuh.
 Karena hal ini menyelisihi tradisi
masyarakat setempat, akhirnya mereka bubar meninggalkan imam yang tidak melakukan qunut shubuh ini, seraya
berkomentar, 

“Sholat imam tersebut tidak becus !!!”.

Inilah contoh yang terjadi di
kalangan pengikut madzhab.
Begitu juga yang terjadi pada
umat Islam sekarang ini, banyak
sekali di antara mereka membela
secara mati-matian pendapat dari ulama atau guru-guru mereka (seperti membela
kesyirikan, kebid’ ahan, atau perbuatan haram yang dilakukan
guru-guru tersebut), padahal
jelas-jelas bertentangan dengan
ayat dan hadits yang shohih.

Mempertentangkan
Perkataan Allah dan Rasul-
Nya dengan Perkataan
Kyai/Ulama. Banyak dari umat Islam saat ini,
apabila dikatakan kepada
mereka,

“Allah telah berfirman” atau kita sampaikan “Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa sallam telah bersabda …” , mereka malah menjawab, “Namun, kyai/ustadz kami berkata demikian …” .

Apakah mereka belum pernah
mendengar firman Allah (yang
artinya), 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya” (Al Hujurat : 1)

 Yaitu janganlah kalian mendahulukan
perkataan siapapun dari
perkataan Allah dan Rasul-Nya.

Dan perhatikan pula ayat
selanjutnya dari surat ini. Allah
Ta’ ala berfirman (yang artinya), 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan
suaramu melebihi suara Nabi, dan
janganlah kamu berkata
kepadanya dengan suara yang
keras, sebagaimana kerasnya
suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak
hapus (pahala) amalanmu,
sedangkan kamu tidak
menyadari.” (Al Hujurot : 2). 

Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam
I’ lamul Muwaqi’ in mengatakan, “Apabila mengeraskan suara mereka di atas suara Rasul
saja dapat menyebabkan
terhapusnya amalan
mereka.

Lantas bagaimana
kiranya dengan
mendahulukan pendapat, akal, perasaan, politik, dan
pengetahuan di atas ajaran
rasul. Bukankah ini lebih
layak sebagai penghapus
amalan mereka “ Ibnu ‘ Abbas radiyallahu ‘ anhuma mengatakan, 

“Hampir saja kalian akan dihujani hujan batu dari
langit. Aku ,‘ 
Rasulullah bersabda demikian lantas
kalian membantahnya
dengan mengatakan, ‘ Abu Bakar dan Umar berkata
demikian.’ “ (Shohih. HR. Ahmad) .

Dari perkataan ini, wajib bagi
seorang muslim jika dia
mendengar hadits Nabi shallallahu
‘ alaihi wa sallam dan dia paham maksudnya/penjelasannya dari
ahli ilmu, tidaklah boleh bagi dia
menolak hadits tersebut karena
perkataan seorang pun. 

Tidak boleh dia menentangnya karena
perkataan Abu Bakar dan Umar - radiyallahu ‘ anhuma- (yang telah kita ketahui bersama kedudukan
mereka berdua), atau sahabat
Nabi yang lain, atau orang-orang
di bawah mereka, apalagi dengan
perkataan seorang kyai atau
ustadz. 

Dan para ulama juga telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah
mendapatkan penjelasan dari
hadits Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa sallam, maka tidak boleh
baginya meninggalkan hadits
tersebut dikarenakan perkataan
seorang pun, siapa pun dia.

Dan perkataan seperti ini selaras
dengan perkataan Imam Syafi’ i - semoga Alloh merahmati beliau-.
Beliau rahimahullah mengatakan;

“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang
telah jelas baginya ajaran
Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa sallam, maka tidak halal
baginya untuk
meninggalkannya karena
perkataan yang lainnya.” (Madarijus Salikin, 2/335, Darul
Kutub Al ‘ Arobi. Lihat juga Al Haditsu Hujjatun bi Nafsihi fil
‘ Aqoid wal Ahkam, Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 79, Asy
Syamilah)

Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa sallam juga bersabda, 

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya Musa hadir di
tengah kalian dan kalian
mengikutinya dan
meninggalkanku, maka
sungguh kalian telah tersesat dari jalan yang
lurus. 
Sekiranya Musa hidup
kembali dan menjumpai
kenabianku, dia pasti
mengikutiku.” (Hasan, HR. Ad Darimi dan Ahmad).

Maksudnya apabila kita
meninggalkan sunnah Nabi dan
mengikuti Musa, seorang Nabi
yang mulia yang pernah diajak
bicara oleh Allah, maka kita akan
tersesat dari jalan yang lurus. Lantas bagaimana pendapat
saudara sekalian, apabila kita
meninggalkan sunnah Nabi dan
mengikuti para kyai, habib, tokoh
agama, ustadz, mubaligh,
cendekiawan dan sebagainya yang sangat jauh bila
dibandingkan Nabi Musa ‘ alaihis salaam??! 

Renungkanlah hal ini. Dampak Fanatik Buta Fanatik memunculkan berbagai
dampak negatif yang sangat
berbahaya bagi pribadi secara
khusus dan masyarakat secara
umum.

Berikut ini kami paparkan
beberapa dampak yang terjadi karena fanatik buta.

[1] Memejamkan mata
dari dalil yang kuat dan
berpegang dengan dalil
yang rapuh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah mengatakan,
“Mayoritas orang-orang fanatik madzhab tidak
mendalami Al Qur’ an dan As Sunnah kecuali segilintir
orang saja. 
Sandaran mereka hanyalah hadit-
hadits yang rapuh atau
hikayat-hikayat dari para
tokoh ulama yang bisa jadi benar dan bisa jadi bohong.”

[2] Merubah dalil untuk
membela pendapatnya Contohnya adalah atsar tentang qunut shubuh yang
diriwayatkan oleh Ahmad,
Ibnu Majah, Tirmidzi, dan
beliau menshahihkannya. Dari
Malik Al Asyja’ i radiyallahu ‘ anhu berkata, 

“Saya pernah bertanya kepada
ayahku,’ 

Wahai ayahku! Sesungguhnya engkau
pernah sholat di belakang
Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali di sini -di
Kufah-. Apakah mereka
melakukan qunut shubuh?’ 

Jawab beliau,’ 
Wahai anakku, itu merupakan perkara
muhdats (perkara baru yang
diada-adakan dalam agama -
pen)’ “ . 

Tetapi seorang tokoh
bermadzhab Syafi’ i di Mesir malah mengganti hadits
tersebut dengan lafadz yang
artinya, 

‘ Wahai anakku, ceritakanlah (kata muhdats diganti dengan fahaddits
yang berarti ceritakanlah-
pen) [!]‘ 

Dan tokoh ini juga mengatakan, 

“Sholatnya orang yang meninggalkan
qunut shubuh secara
sengaja, maka sholatnya
batal yaitu tidak sah.”

 Sungguh perbuatan tokoh ini
dikarenakan sikap fanatik
beliau pada madzhabnya
yang mengakar kuat pada
dirinya. 

Tetapi lihatlah
perbedaan yang sangat menonjol dengan orang yang
mengikuti kebenaran,
walaupun madzhabnya sama
dengan tokoh fanatik di
atas. 

Beliau -Abul Hasan Al
Kurjiy Asy Syafi’ i- tidak pernah melakukan qunut
shubuh dan beliau pernah
berkata,”Tidak ada hadits shohih tentang hal itu (yaitu
qunut shubuh,-pen).”

[3] Sering memalsukan
hadits Di antara hadits palsu hasil
rekayasa orang-orang yang
fanatik madzhab untuk
membela madzhabnya, yaitu
dari Ahmad bin Abdilllah bin
Mi’ dan dari Anas secara marfu’ :

 “Akan datang pada umatku seorang yang
bernama Muhammad bin Idris
(yakni Imam Syafi’ i-pen), dia lebih berbahaya bagi umatku daripada Iblis. Dan akan datang pada umatku
seorang bernama Abu
Hanifah, dia adalah pelita
umatku”.

 Hadits ini selain palsu, juga
bertentangan dengan nash
yang menyatakan bahwa
pelita umat ini adalah Nabi
Muhammad shollallohu ‘ alaihi wa sallam, sebagaimana yang
terdapat dalam surat Al
Ahzab ayat 46. 

[4] Menfatwakan bahwa
taqlid hukumnya wajib Para fanatisme madzhab atau kelompok akan
menyerukan kepada
pengikutnya tentang
kewajiban taqlid yaitu
mengambil pendapat seseorang tanpa mengetahui dalilnya.

 Hal ini sebagaimana yang
diwajibkan organisasi Islam
terbesar di Indonesia. Salah
seorang tokoh organisasi
tersebut mengatakan,
“Sejak ratusan tahun yang lalu sampai sekarang
sebagian besar umat Islam di
seluruh dunia yang termasuk
dalam golongan Ahlus Sunnah
wal Jama’ ah membenarkan adanya kewajiban taqlid bagi
orang yang tidak memenuhi
syarat untuk berijtihad …” 

Ini adalah ucapan yang bathil.
Tidak pernah ada kewajiban
seperti ini dari Allah,
Rasulullah, sampai-sampai
imam madzhab sekalipun.
Karena pendapat imam madzhab itu kadangkala
benar dan kadangkala juga
salah. 

Seringkali para imam
madzhab berpegang pada
suatu pendapat dan beliau
meralat pendapatnya tersebut. Dan para imam itu
sendiri melarang untuk taqlid
kepadanya,

sebagaimana
Imam Syafi’ i rahimahullah (imam madzhab yang
organisasi ini ikuti)
mengatakan; 

“Setiap yang aku katakan, kemudian ada
hadits shahih yang
menyelisihinya, maka
hadits Nabi tersebut
lebih utama untuk
diikuti. 

Janganlah kalian taqlid kepadaku”. Janganlah Menolak Kebenaran Sesungguhnya Allah telah
mengutus para rasul untuk
segenap manusia.

Allah mengutus
para rasul untuk mendakwahi
manusia agar mereka beribadah
dan menyembah kepada Allah semata. Akan tetapi kebanyakan
mereka mendustakan rasul-rasul
utusan Alloh itu; mereka tolak
kebenaran yang dibawanya,
yaitu ketauhidan.
Akhirnya mereka pun menemui kebinasaan. Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa sallam bersabda,

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam
hatinya ada kesombongan
meskipun sebesar biji sawi.” Kemudian beliau melanjutkan hadits ini
dengan berkata,
“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan
merendahkan orang
lain.” (HR. Muslim) 

Berdasarkan hadits di atas, tidak
diperbolehkan bagi seorang
mukmin menolak kebenaran atau
nasehat yang disampaikan
kepadanya. 
Karena jika demikian
berarti mereka telah menyerupai orang-orang kafir dan telah
menjerumuskan dirinya ke dalam
sifat sombong yang bisa
menghalanginya masuk surga.
Maka, sikap hikmah (yaitu sikap
menerima kebenaran dan tidak meremehkan siapapun yang
menyampaikannya -pen) menjadi
senjata yang ampuh bagi
seorang mukmin yang selalu siap
digunakan. Maka dari itu, kita
wajib menerima kebenaran dari siapapun datangnya, bahkan dari
setan sekalipun.

Ya Allah, tunjukilah -
dengan izin-Mu- bagi
kami pada kebenaran
dalam perkara yang
kami perselisihkan.
Sesungguhnya Engkaulah yang menunjuki siapa
yang Engkau kehendaki
ke jalan yang lurus.

[Disarikan oleh Abu Isma'il
Muhammad Abduh Tuasikal dari
Majalah Al Furqon ed.11/Th.II, At
Tamhiid li Syarhi Kitaabit Tauhid-
Syaikh Sholeh Alu Syaikh, al
Firqotun Najiyah-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu]

Penulis: Muhammad Abduh
Tuasikal Artikel http://rumaysho.com/ Tulisan di masa silam, wisma MTI,
Pogung Kidul Repost by Anwar Baru Belajar [Gambar buku di atas ; Ditulis
oleh Hartono Ahmad Jaiz dan
Abduh Zulfidar Akaha, penerbit
Pustaka Al Kautsar]


Ilustrasi :

Dialoq antara seorang Kyai
atau Habib dengan seorang
anggota jama'ah pengajian

[sebutlah si fulan].

Fulan : [si fulan berkata kepada Kyai atau Habib] Pak Yai… atau Bib… Tolong saya diberi amalan, yang dengan
amalan itu saya bisa ini… .bisa itu… ..!

Kyai / Habib : Silahkan amalkan bacaan ini…… ..dibaca sekian kali…… .[misalnya 1000 x] Seandainya perintah si Kyai
atau Habib tersebut
menyalahi tuntunan
Rasulullah dan tidak pernah
dicontohkan oleh Rasulullah,
maka si Kyai atau si Habib tersebut telah membuat syari'at baru, dan bagi si fulan yang telah menuruti
perintah si Kyai atau Habib
tersebut secara tidak sadar
telah menuhankannya.

 Yang berhak membuat
syari'at dalam agama
hanyalah Allah.

Adapun melakukan ibadah adalah
dengan cara
ittiba' (mengikuti) Rasulullah dalam beribadah kepada
Allah


Rabu, Desember 28, 2011

Mengenali Diri Sebagai Manusia

Sesungguhnya manusia
diciptakan oleh Allah SWT adalah
paling sempurna dibandingkan
dengan mahluk yang lainya.
Tetapi kita sendiri sebagai
manusia “sering kali” lupa, tidak tahu atau tidak kenal akan diri
kita sendiri sebagai manusia.
Potensi positif yang ada dalam
diri manusia menjadikannya
sebagai hamba yang Bertaqwa,
sebaliknya di sisi potensi negative mampu menjadikan
manusia menjadi lebih rendah
dari makhluk yang gak punya
akal sekalipun.
Untuk itu marilah kita ingatkan
diri kita ini sebagai manusia,
Siapa diri kita ini? Dari mana
asalnya? Mau kemana nantinya?
Dan yang paling penting adalah
bagaimana kita menempuh kehidupan didunia ini supaya
selamat mengarungi hidup didunia
dan akhirat nanti.
Sobat, jika kita mau kembali
Kitab Al-Qur’an ternyata telah
tertulis berbagai ayat yang
menyatakan bagaimana manusia
itu sebenarnya. Diantaranya,
Manusia itu adalah :

Pertama, Lemah ْ
ﻢُﻜْﻨَﻋ َﻒِّﻔَﺨُﻳ ْﻥَﺃ ُﻪَّﻠﻟﺍ ُﺪﻳِﺮُﻳ ﺎًﻔﻴِﻌَﺿ ُﻥﺎَﺴْﻧﻹﺍ َﻖِﻠُﺧَﻭ
Allah hendak memberikan
keringanan kepadamu, dan
manusia dijadikan bersifat lemah.
(QS.An-Nissa : 28)

Ketahuilah bahwa manusia
sangatlah lemah, tidak bisa hidup
sendiri. Saling membutuhkan dan
ketergantungan dengan yang
lain

Kedua, Suka Tergesa ُ
ﻩَﺀﺎَﻋُﺩ ِّﺮَّﺸﻟﺎِﺑ ُﻥﺎَﺴْﻧﻹﺍ ُﻉْﺪَﻳَﻭ ﻻﻮُﺠَﻋ ُﻥﺎَﺴْﻧﻹﺍ َﻥﺎَﻛَﻭ ِﺮْﻴَﺨْﻟﺎِﺑ
Dan manusia mendoa untuk
kejahatan sebagaimana ia
mendoa untuk kebaikan. dan
adalah manusia bersifat tergesa-
gesa. (QS.Al-Isra’ : 11)

Ketidaksabaran manusia jelaslah
terbukti, semuanya ingin terjadi
instant. Ihtiar baru sepertiga
ingin lekas mendapat hasil.
Terkadang sesuatu hal yang
menarik hati, menjadikan lupa akal sehat dan logika. Itulah
Manusia.

Ketiga, Senang Membantah ﺍَﺫِﺈَﻓ ٍﺔَﻔْﻄُﻧ ْﻦِﻣ َﻥﺎَﺴْﻧﻹﺍ َﻖَﻠَﺧ ٌﻦﻴِﺒُﻣ ٌﻢﻴِﺼَﺧ َﻮُﻫ Dia telah menciptakan manusia
dari mani, tiba-tiba ia menjadi
pembantah yang nyata. (QS. An-
Nahl : 4)

Keempat, Suka Berlebih-
lebihan ُّ
ﺮُّﻀﻟﺍ َﻥﺎَﺴْﻧﻹﺍ َّﺲَﻣ ﺍَﺫِﺇَﻭ ْﻭَﺃ ﺍًﺪِﻋﺎَﻗ ْﻭَﺃ ِﻪِﺒْﻨَﺠِﻟ ﺎَﻧﺎَﻋَﺩ َّﺮَﻣ ُﻩَّﺮُﺿ ُﻪْﻨَﻋ ﺎَﻨْﻔَﺸَﻛ ﺎَّﻤَﻠَﻓ ﺎًﻤِﺋﺎَﻗ ُﻪَّﺴَﻣ ٍّﺮُﺿ ﻰَﻟِﺇ ﺎَﻨُﻋْﺪَﻳ ْﻢَﻟ ْﻥَﺄَﻛ ﺎَﻣ َﻦﻴِﻓِﺮْﺴُﻤْﻠِﻟ َﻦِّﻳُﺯ َﻚِﻟَﺬَﻛ َﻥﻮُﻠَﻤْﻌَﻳ ﺍﻮُﻧﺎَﻛ
Dan apabila manusia ditimpa
bahaya Dia berdoa kepada Kami
dalam Keadaan berbaring, duduk
atau berdiri, tetapi setelah Kami
hilangkan bahaya itu
daripadanya, Dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-
olah Dia tidak pernah berdoa
kepada Kami untuk
(menghilangkan) bahaya yang
telah menimpanya. Begitulah
orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa
yang selalu mereka kerjakan. ﻰَﻐْﻄَﻴَﻟ َﻥﺎَﺴْﻧﻹﺍ َّﻥِﺇ ﻼَﻛ Ketahuilah! Sesungguhnya
manusia benar-benar melampaui
batas, (QS.Al-Alaq : 6)

Kelima, Lalai dan Pelupa ُﺮُﺛﺎَﻜَّﺘﻟﺍ ُﻢُﻛﺎَﻬْﻟَﺃ Bermegah-megahan telah
melalaikan kamu. (QS.At-
Takaatsur : 1) ﺎَﻋَﺩ ٌّﺮُﺿ َﻥﺎَﺴْﻧﻹﺍ َّﺲَﻣ ﺍَﺫِﺇَﻭ ُﻪَﻟَّﻮَﺧ ﺍَﺫِﺇ َّﻢُﺛ ِﻪْﻴَﻟِﺇ ﺎًﺒﻴِﻨُﻣ ُﻪَّﺑَﺭ ﻮُﻋْﺪَﻳ َﻥﺎَﻛ ﺎَﻣ َﻲِﺴَﻧ ُﻪْﻨِﻣ ًﺔَﻤْﻌِﻧ ِﻪَّﻠِﻟ َﻞَﻌَﺟَﻭ ُﻞْﺒَﻗ ْﻦِﻣ ِﻪْﻴَﻟِﺇ ْﻞُﻗ ِﻪِﻠﻴِﺒَﺳ ْﻦَﻋ َّﻞِﻀُﻴِﻟ ﺍًﺩﺍَﺪْﻧَﺃ ْﻦِﻣ َﻚَّﻧِﺇ ﻼﻴِﻠَﻗ َﻙِﺮْﻔُﻜِﺑ ْﻊَّﺘَﻤَﺗ ِﺭﺎَّﻨﻟﺍ ِﺏﺎَﺤْﺻَﺃ Dan apabila manusia itu ditimpa
kemudharatan, Dia memohon
(pertolongan) kepada Tuhannya
dengan kembali kepada-Nya;
kemudian apabila Tuhan
memberikan nikmat-Nya kepadanya LUPALAH Dia akan
kemudharatan yang pernah Dia
berdoa (kepada Allah) untuk
(menghilangkannya) sebelum itu,
dan Dia mengada-adakan
sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari
jalan-Nya. Katakanlah:
“Bersenang-senanglah dengan
kekafiranmu itu Sementara
waktu; Sesungguhnya kamu
Termasuk penghuni neraka”
Keenam, Suka Berkeluh
Kesah ﺎًﻋﻭُﺰَﺟ ُّﺮَّﺸﻟﺍ ُﻪَّﺴَﻣ ﺍَﺫِﺇ Apabila ia ditimpa kesusahan ia
berkeluh kesah, (QS. Al-Ma’arij :
20) Ketujuh, Cenderung Kikir َﻦِﺋﺍَﺰَﺧ َﻥﻮُﻜِﻠْﻤَﺗ ْﻢُﺘْﻧَﺃ ْﻮَﻟ ْﻞُﻗ ْﻢُﺘْﻜَﺴْﻣﻷ ﺍًﺫِﺇ ﻲِّﺑَﺭ ِﺔَﻤْﺣَﺭ ُﻥﺎَﺴْﻧﻹﺍ َﻥﺎَﻛَﻭ ِﻕﺎَﻔْﻧﻹﺍ َﺔَﻴْﺸَﺧ ﺍًﺭﻮُﺘَﻗ Katakanlah: “Kalau seandainya
kamu menguasai
perbendaharaan-
perbendaharaan rahmat
Tuhanku, niscaya
perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut
membelanjakannya”. dan adalah
manusia itu sangat kikir. (QS. Al-
Isra’ : 100) Kedelapan, Suka Mengkufuri
Nikmat ﺍًﺀْﺰُﺟ ِﻩِﺩﺎَﺒِﻋ ْﻦِﻣ ُﻪَﻟ ﺍﻮُﻠَﻌَﺟَﻭ ٌﻦﻴِﺒُﻣ ٌﺭﻮُﻔَﻜَﻟ َﻥﺎَﺴْﻧﻹﺍ َّﻥِﺇ Dan mereka menjadikan
sebahagian dari hamba-hamba-
Nya sebagai bahagian daripada-
Nya[1349]. Sesungguhnya
manusia itu benar-benar
pengingkar yang nyata (terhadap rahmat Allah). (QS. Az-
Zukhruf : 15) ٌﺩﻮُﻨَﻜَﻟ ِﻪِّﺑَﺮِﻟ َﻥﺎَﺴْﻧﻹﺍ َّﻥِﺇ Sesungguhnya manusia itu
sangat ingkar, tidak berterima
kasih kepada Tuhannya,
(QS.Al-’Aadiyaat : 6) Kesembilan, Senang
Berangan-angan ْﻢُﻜَﻌَﻣ ْﻦُﻜَﻧ ْﻢَﻟَﺃ ْﻢُﻬَﻧﻭُﺩﺎَﻨُﻳ ْﻢُﺘْﻨَﺘَﻓ ْﻢُﻜَّﻨِﻜَﻟَﻭ ﻰَﻠَﺑ ﺍﻮُﻟﺎَﻗ ْﻢُﺘْﺒَﺗْﺭﺍَﻭ ْﻢُﺘْﺼَّﺑَﺮَﺗَﻭ ْﻢُﻜَﺴُﻔْﻧَﺃ َﺀﺎَﺟ ﻰَّﺘَﺣ ُّﻲِﻧﺎَﻣﻷﺍ ُﻢُﻜْﺗَّﺮَﻏَﻭ ِﻪَّﻠﻟﺎِﺑ ْﻢُﻛَّﺮَﻏَﻭ ِﻪَّﻠﻟﺍ ُﺮْﻣَﺃ ُﺭﻭُﺮَﻐْﻟﺍ Orang-orang munafik itu
memanggil mereka (orang-orang
mukmin) seraya berkata:
“Bukankah Kami dahulu
bersama-sama dengan kamu?”
mereka menjawab: “Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu
sendiri dan menunggu
(kehancuran Kami) dan kamu
ragu- ragu serta ditipu oleh
angan-angan kosong sehingga
datanglah ketetapan Allah;dan kamu telah ditipu terhadap Allah
oleh (syaitan) yang Amat penipu.
(QS.Al-Hadid : 72) Sepuluh, Dzalim dan Bodoh ﻰَﻠَﻋ َﺔَﻧﺎَﻣﻷﺍ ﺎَﻨْﺿَﺮَﻋ ﺎَّﻧِﺇ ِﻝﺎَﺒِﺠْﻟﺍَﻭ ِﺽْﺭﻷﺍَﻭ ِﺕﺍَﻭﺎَﻤَّﺴﻟﺍ َﻦْﻘَﻔْﺷَﺃَﻭ ﺎَﻬَﻨْﻠِﻤْﺤَﻳ ْﻥَﺃ َﻦْﻴَﺑَﺄَﻓ َﻥﺎَﻛ ُﻪَّﻧِﺇ ُﻥﺎَﺴْﻧﻹﺍ ﺎَﻬَﻠَﻤَﺣَﻭ ﺎَﻬْﻨِﻣ ﻻﻮُﻬَﺟ ﺎًﻣﻮُﻠَﻇ Sesungguhnya Kami telah
mengemukakan amanat[1233]
kepada langit, bumi dan gunung-
gunung, Maka semuanya enggan
untuk memikul amanat itu dan
mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu Amat
zalim dan Amat bodoh, (QS.Al-
Ahzab : 72) Itulah sifat-sifat yang ada dalam
diri kita, harus diwaspadai. Begitu
banyak sifat buruk yang melekat
kepada diri manusia. Allah Maha
Adil dan Tidak menyulitkan
hamba-Nya, Islam adalah solusi untuk mengatur manusia agar
bisa mengarungi ujian di dunia
dan menggapai kebahagiaan di
akherat

Alhamdulillah, mari kita syukuri
nikmat iman dan Islam ini dengan
cara : Tetap taat kepada Allah
Walaupun kondisi sesulit
apapun
Tetap belajar terus dengan
mengkaji AlQur’an dan
Assunah Selalu memperbaiki diri dan
tidak menunda pertobatan
Menjaga keimanan dengan
tetap dalam kebersamaan
dan jamaah Manusia memang lemah dan
banyak kekurangan tetapi
dengan bersatu akan menjadi
kuat sehingga bisa selamat dunia
dan akherat. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim,
dari Abu Musa Al Asy’ari, dari
Nabi, beliau bersabda, ُّﺪُﺸَﻳ ِﻥﺎَﻴْﻨُﺒْﻟﺎَﻛ ِﻦِﻣْﺆُﻤْﻠِﻟ ُﻦِﻣْﺆُﻤْﻟﺍ َﻦْﻴَﺑ َﻚَّﺒَﺷ َّﻢُﺛ ﺎًﻀْﻌَﺑ ُﻪُﻀْﻌَﺑ ِﻪِﻌِﺑﺎَﺻَﺃ Seorang mukmin terhadap orang
mukmin yang lain seperti satu
bangunan, sebagian mereka
menguatkan sebagian yang lain,
dan beliau menjalin antara jari-
jarinya. ﺎًﻌﻴِﻤَﺟ ِﻪﻠﻟﺍ ِﻞْﺒَﺤِﺑ ﺍﻮُﻤِﺼَﺘْﻋﺍَﻭ َﺖَﻤْﻌِﻧ ﺍﻭُﺮُﻛْﺫﺍَﻭ ﺍﻮُﻗَّﺮَﻔَﺗ َﻻَﻭ ًﺀﺁَﺪْﻋَﺃ ْﻢُﺘﻨُﻛ ْﺫِﺇ ْﻢُﻜْﻴَﻠَﻋ ِﻪﻠﻟﺍ ﻢُﺘْﺤَﺒْﺻَﺄَﻓ ْﻢُﻜِﺑﻮُﻠُﻗ َﻦْﻴَﺑ َﻒَّﻟَﺄَﻓ ﺎًﻧﺍَﻮْﺧِﺇ ِﻪِﺘَﻤْﻌِﻨِﺑ Dan berpeganglah kamu
semuanya kepada tali (agama)
Allah, dan janganlah kamu
bercerai-berai, dan ingatlah akan
nikmat Allah kepadamu ketika
dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kamu karena nikmat
Allah orang-orang yang
bersaudara. (QS.Ali Imran:103) Semoga Bermanfaat

Selasa, Desember 27, 2011

Hukum Islam dalam menyambut / merayakan Tahun Baru Masehi

Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah, Rabb yang maha pengasih lagi maha penyayang. Shalawat dan salam untuk Nabi terakhir yang membawa peringatan bagi seluruh umat manusia, Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasallam, Semoga shalawat dan salam juga terlimpahkan kepada keluarga dan para sahabatnya, serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wasallam sampai hari kiamat. Wahai saudaraku yang mencintai sunnah, tak terasa kita saat ini berada dipenghujung perhitungan tahun masehi. Sungguh ada hal-hal yang patut kita waspadai dan cermati. Karna disana, dipenghujung tahun masehi biasanya ada perayaan-perayaan yang merupakan salah satu ibadahnya kaum nasrani. Kaum yang menyimpang dari ketentuan Allah Azza wa Jalla. Untuk itu, sebagai bentuk kehati-hatian dan menaati Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, agar aqidah kita sebagai seorang muslim tetap terjaga, dan tidak terjebak kedalam budaya jahiliyah dan budaya kaum kufar. Maka pada postingan kali ini, kami akan membawakan fatwa-fatwa dari
Ulama-ulama terkemuka dunia yang berdomisili di Saudi Arabia, yang tergabung dalam Al-Lajnah ad Daimah lil Buhuts al ‘Ilmiyyah wa al ifta. Yang diketuai oleh Syaikh 'Abdul-'Aziz bin 'Abdullaah bin Muhammad aalus-Syaikh, dengan Wakil Ketua Syaikh 'Abdullaah Ibnu 'Abdur-Rahmaan al- Ghudayyaan, dan Anggotanya Syaikh Saalih bin Fauzaan al- Fauzaan serta Syaikh Bakar bin 'Abdullaah Abu Zaid. Dimana keilmuan mereka ini tak diragukan lagi, mereka terkenal akan ke ke- Istiqomahannya dalam menegakkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah didalam kehidupan mereka. Dan kami sampaikan bahwa postingan ini juga banyak mengambil manfaat dan mengutip, dari pengantar fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh para ulama tersebut. Semoga Allah menjaga mereka dan merahmati apa yang mereka usahakan. Sungguh saudaraku se-Iman se-aqidah, nikmat yang ter- besar yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada kita, para hamba-Nya, adalah nikmat Islam, dan nikmat hidayah kepada jalan-Nya yang
lurus. Dimana Allah Ta’ala mewajibkan kepada para hamba-Nya yang beriman, agar
memohon hidayah-Nya di dalam setiap shalat-shalat yang didirikan, dan kita selaku hamba-Nya memohon kepada- Allah Azza wa jalla, agar mendapatkan hidayah ke jalan yang lurus dan istiqomah di atasnya. Dan dalam hal ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan karakteristik jalan tersebut, yakni jalan orang-orang yang Allah beri nikmat, jalannya para Nabi, jalannya para shiddiqin, jalannya para syuhada dan jalannya orang- orang lurus, dan bukan jalan orang-orang yang menyimpang
darinya, yakni Yahudi, Nashrani dan seluruh orang-orang kafir dan musyrikin. Tentunya, jika nikmat-nikmat terbesar tersebut sudah diketahui dan disadari oleh setiap jiwa-jiwa kaum muslimin, maka wajib bagi seorang Muslim untuk mengenal kadar nikmat tersebut, yang dengan nikmat tersebutlah, mestinya kita bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla melalui lisan, amalan dan keyakinan kita. Selain itu tentunya kita juga hendaknya menjaga nikmat tersebut, dan memeliharanya, serta melakukan sebab-sebab yang dapat menghindarkan hilangnya nikmat tersebut dari diri kita. Dan beruntunglah, serta bersyukurlah, orang- orang yang telah diberikan pandangan yang mendalam yakni bashirah terhadap Dienullah, Bashirah terhadap Agama allah yang haq dan lurus ini dalam menjalani kehidupan, (semoga kita termasuk di dalamnya ! ). Wahai saudaraku yang membenci bid’ah, kita ketahui dan rasakan bersama, saat ini telah terjadi pen-campur- adukan antara al-haq dan al- batil atas kebanyakan orang. Maka bagi orang-orang yang diberikan Bashirah, ia akan melihat dengan jelas segala upaya yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam, untuk menghilangkan kebenarannya, dan memadamkan cahayanya, untuk menjauhkan kaum muslimin dari agamanya serta menghilangkan jalan yang memungkinkan untuk kembali pada Dienul Islam yang haq. Selain itu ikhwa fillah, marak sekarang ini propaganda, dalam upaya memperburuk citra Islam, dengan melakukan kebohongan-kebohongan
atasnya, guna menghalangi seluruh manusia dari jalan Allah dan dari beriman kepada wahyu yang diturunkan atas Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Untuk itu mari kita perhatikan firman Allah Azza wa Jalla di dalam Surah Al- Baqoroh ayat 109 : َّﺩَﻭ ٌﺮﻴِﺜَﻛ ْﻦِﻣ ِﻞْﻫَﺃ ِﺏﺎَﺘِﻜْﻟﺍ ْﻮَﻟ ْﻢُﻜَﻧﻭُّﺩُﺮَﻳ ْﻦِﻣ ِﺪْﻌَﺑ ﺍًﺭﺎَّﻔُﻛ ْﻢُﻜِﻧﺎَﻤﻳِﺇ ْﻢِﻬِﺴُﻔْﻧَﺃ ِﺪْﻨِﻋ ْﻦِﻣ ﺍًﺪَﺴَﺣْﻦِﻣ ِﺪْﻌَﺑ ﺎَﻣ َﻦَّﻴَﺒَﺗ ُﻢُﻬَﻟ ُّﻖَﺤْﻟﺍ Yang artinya : “Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.” Selanjutnya didalam Al-Qur’an Surah Ali ‘Imron ayat 69, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman : ْﺕَّﺩَﻭ ٌﺔَﻔِﺋﺎَﻃ ْﻦِﻣ ِﻞْﻫَﺃ ْﻢُﻜَﻧﻮُّﻠِﻀُﻳ ْﻮَﻟ ِﺏﺎَﺘِﻜْﻟﺍ ﺎَﻣَﻭ َﻥﻮُّﻠِﻀُﻳ َّﻻِﺇ ْﻢُﻬَﺴُﻔْﻧَﺃ َﻥﻭُﺮُﻌْﺸَﻳ ﺎَﻣَﻭ Artinya : “Segolongan dari Ahli Kitab ingin menyesatkan kamu, padahal mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak menyadarinya.” Selain itu, diayat yang lain, yakni ayat ke-149, namun masih dalam Surah yang sama, yakni Surah Ali Imron, Allah azza wa Jalla berfirman : ﺍﻮُﻨَﻣﺍَﺀ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ ﺎَﻬُّﻳَﺃﺎَﻳ ْﻥِﺇ ﺍﻮُﻌﻴِﻄُﺗ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ ﺍﻭُﺮَﻔَﻛ ْﻢُﻜِﺑﺎَﻘْﻋَﺃ ﻰَﻠَﻋ ْﻢُﻛﻭُّﺩُﺮَﻳ َﻦﻳِﺮِﺳﺎَﺧ ﺍﻮُﺒِﻠَﻘْﻨَﺘَﻓ Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menta`ati orang-orang yang kafir tu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi. Jadi telah nyata dan jelas, bahwa orang-orang kafir dalam hal ini khusunya para ahli kitab, akan menghalang- halangi kita dari jalan Allah. Namun kita janganlah bersedih atau berputus asa, karna meskipun demikian, Allah Ta'ala telah berjanji untuk menjaga Dien-Nya dan kitab-Nya, dari kejahilan dan peng-rusakan orang-orang kafir. Dimana Allah
berfirman di dalam Surah Al- Hijr ayat 9 : ﺎَّﻧِﺇ ُﻦْﺤَﻧ ﺎَﻨْﻟَّﺰَﻧ َﺮْﻛِّﺬﻟﺍ َﻥﻮُﻈِﻓﺎَﺤَﻟ ُﻪَﻟ ﺎَّﻧِﺇَﻭ Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. Dan tentunya, segala puji bagi Allah. Dimana, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kita, bahwa akan selalu muncul suatu golongan dari umatnya yang berjalan di atas al-haq, tidak membahayakan mereka orang yang menghinakan mereka, ataupun menentang mereka, hingga datangnya hari
Akhir. Sekalai lagi wahai saudaraku. Segala puji bagi Allah, dan kita memohon kepada-Nya, Yang Maha Dekat dan Mengabulkan Do’a, agar menjadikan kita dan saudara-saudara kita kaum Muslimin, termasuk dari golongan tersebut, yakni Thaifah Al-Mansyurah. Atau yang juga biasa disebut Al- Firqotun an-Najiyah. Untuk itu, selalu lah dalam ketaqwaan kepada Allah, perbanyaklah bermajelis ilmu yang didalam nya diajarkan Al- Qur’an dan as-Sunnah, dan ber-amallah sesuai dengan kemampuan kita serta bersabarlah. Sungguh apabila kita menetapi jalannya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat Ridwanallahu ‘alaihim jamian, kita akan terselamatkan di dunia dan akhirat. Insya Allah ! Karna Rasulullah telah mengabarkan bahwa yang namanya jama’ah itu yakni Ma ana alaihi wa ashabi “Yang Aku dan para Sahabatku berada diatasnya”. Jadi jangan ragu untuk mengamalkan Sunnah-sunnah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa sallam di dalam kehidupan kita. Memang kita akan terasa asing ketika mengamalkan sunnah-sunnah Rasulullah, namun memang begitulah yang digariskan. Bahwa Islam itu awalnya asing, kemudian akan kembali asing. Dimana umatnya akan merasa asing ketika ada orang yang mengamalkan sunnah. Selain itu juga ada sebagian yang berpendapat, bahwa mengamalkan sunnah sekarang ini, ibaratkan menggenggam bara api... namun tidaklah mengapa wahai saudaraku, karna barangsiapa yang menegakkan sunnah, ia akan mendapatkan kemenangan yang besar. Dan tentunya apabila kita berpegang dan menjalankan apa yang Rasulullah sampaikan, kita tidak akan dapat disesatkan oleh para ahli kitab dan kaum kufar lainnya. Karna kita telah mengetahui makar- makar serta propaganda- propaganda mereka, melalui hadits-hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa sallam, serta atsar-atsar para sahabat Ridwanallahu ‘Alaihim Jamian. Semoga Allah Azza wa Jalla selalu melimpahkan kepada kita Hidayah, dan memberikan kepada kita Ilmu yang bermanfaat, serta memberikan kita kemudahan dan kekuatan untuk mengamalkan Sunnah. Laa hau laa wa laa quata illa billah... tiada daya dan upaya kecuali atas pertolongan Allah Dan sebagaimana yang ana sampaikan diawal, bahwa pada postingan kali ini akan berisikan fatwa-fatwa Ulama yang tergabung dalam Al- Lajnah ad Daimah lil Buhuts al ‘Ilmiyyah wa al ifta. Yakni Komite Permanen untuk Penelitian Islam dan Fatwa, yang diketuai oleh Syaikh 'Abdul-'Aziz bin 'Abdullaah bin Muhammad aalus-Syaikh, dengan Wakil Ketua Syaikh 'Abdullaah Ibnu 'Abdur-Rahmaan
al-Ghudayyaan, yang beranggotakan Syaikh Saalih bin Fauzaan al-Fauzaan serta syaikh Bakar bin 'Abdullaah Abu
Zaid. Dimana Komite Permanen untuk Penelitian Islam dan Fatwa ini, setelah mendengar dan melihat adanya penyambutan yang begitu meriah, dan perhatian yang serius dari orang-orang Yahudi dan Nashrani, serta orang- orang yang menisbatkan diri kepada Islam, serta yang terpengaruh oleh mereka, berkenaan dengan berakhirnya tahun Masehi dan datangnya tahun baru Masehi, menurut kalender Eropa atau Masehi, maka tidak bisa tidak, Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiah wal Ifta merasa perlu dan berkewajiban memberikan nasehat, dan penjelasan kepada seluruh kaum Muslimin tentang makna momentum ini, serta hukum syariat Islam yang murni ini atasnya, sehingga kaum Muslimin memahami dengan baik Agama mereka, dan berhati-hati atas penyimpangan, dan kesesatan yang dimurkai Allah . Berikut petikan fatwa tersebut, dimana Dikatakan didalamfatwa pertama : Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashrani menyertakan atas millennium ini berbagai kejelekan, penderitaan, harapan- harapan, dengan begitu yakin akan terealisasinya hal itu atau paling tidak kearahnya, karena menurut anggapan mereka hal ini telah melalui riset dan penelitian. Demikian pula, mereka mengkaitkan sebagian permasalahan doktrin mereka dengan momentum ini dengan anggapan bahwa hal itu berasal dari ajaran kitab- kitab mereka yang sudah dirubah. Maka, wajib bagi seorang Muslim untuk tidak tertarik kepada hal itu dan tergoda olehnya bahkan seharusnya muslimin merasa cukup dengan Kitab - Rabbnya Ta'ala - dan Sunnah NabiNya (Shallallahu 'alaihi wasallam) dan tidak memerlukan lagi selain keduanya. Sedangkan teori-teori dan spekulasi- spekulasi dan pernyataan atau opini yang bertentangan dengan keduanya tidak lebih hanya kepalsuan belaka. Adapunfatwa yang kedua : Momentum ini (yakni perayaan tahun baru Masehi) dan semisalnya, tidak lepas dari pen-campur-adukan antara al-
haq dan al-bathil, propaganda kepada kekufuran, kesesatan, tidak bermoral dan kemurtadan yang merupakan manifestasi dari kesesatan menurut syari'at Islam. Diantaranya propaganda kepada penyatuan agama- agama atau pluralisme, penyetaraan Islam dengan aliran-aliran dan sekte-sekte sesat lainnya, penyucian terhadap salib dan penampakan simbol-simbol kekufuran, yang dilakukan oleh
orang-orang Nashrani dan Yahudi, serta perbuatan- perbuatan dan ucapan-ucapan semisalnya yang mengandung beberapa hal ; bisa jadi pernyataan bahwa syari'at Nashrani dan Yahudi yang sudah diganti dan dihapus tersebut, dapat menyampaikan
kepada Allah juga. Bisa jadi, adanya anggapan baik terhadap sebagian dari ajaran kedua agama tersebut yang bertentangan dengan Dien al- Islam. Semuanya dalam rangka penambahan atas fakta, yang merupakan bentuk kekufuran kepada Allah dan Rasul-Nya, kepada Islam dan konsensus atau ijma' umat ini. Apalagi hal itu adalah sebagai salah satu bentuk penjauhan Muslimin dari
ajaran-ajaran agama mereka. Adapun fatwa yang ketiga Berbunyi : Banyak sekali dalil-dalil dari al Kitab dan as-Sunnah, serta atsar-atsar yang shahih (dari Sahabat dan lainnya), yang melarang untuk menyerupai orang-orang kafir, di dalam hal
yang menjadi ciri dan kekhususan mereka. Diantara hal itu adalah menyerupai mereka dalam festival hari-hari
besar dan pesta-pesta mereka. Hari besar maknanya (secara terminologis) adalah sebutan bagi sesuatu, termasuk didalamnya setiap hari yang datang kembali dan berulang, yang dirayakan oleh orang-orang kafir. Atau sebutan bagi tempat orang- orang kafir dalam menyelenggarakan
perkumpulan keagamaan.
Jadi, setiap perbuatan yang mereka ada-adakan di berbagai tempat, atau waktu- waktu keagamaan mereka, maka itu termasuk hari besar atau 'Ied mereka. Karenanya, larangannya bukan hanya atas hari-hari besar yang khusus buat mereka saja, akan tetapi setiap waktu dan tempat, yang mereka rayakan atau agungkan, yang sesungguhnya tidak ada landasannya di dalam
Dienul Islam. Demikian pula termasuk larangan, perbuatan-perbuatan yang mereka ada-adakan di dalamnya, juga termasuk ke dalam hal itu. Ditambah lagi dengan hari-hari sebelum dan sesudahnya, yang nilai religiusnya bagi mereka sama saja, sebagaimana yang disinggung oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah dalam Iqtida as-Siraat al- Mustaqim.
Diantara ayat yang menyebutkan secara khusus larangan menyerupai hari-hari besar mereka adalah firman- Nya di Surah Al-Furqoon ayat 72 : َﻦﻳِﺬَّﻟﺍَﻭ َﻻ َﻥﻭُﺪَﻬْﺸَﻳ َﺭﻭُّﺰﻟﺍ Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu... Ayat ini berkaitan dengan salah satu sifat para hamba Allah yang beriman. Sekelompok Salaf seperti Ibnu Sirin, Mujahid dan Rabi' Ibnu Anas, menafsirkan bahwa kata "Az-Zuura" (di dalam ayat tersebut) diartikan sebagai hari-hari besar orang kafir. (kemudian) Dalam hadits yang shahih, yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, saat Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wa sallam) datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari besar atau 'Ied untuk bermain-main. Lalu beliau bertanya, "Dua hari untuk apa ini ?". Mereka menjawab, "Dua hari di mana kami sering bermain-main di masa Jahiliyyah". Lantas beliau bersabda (yang artinya) : “Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian untuk keduanya dua hari yang lebih baik dari keduanya : Iedul Adha dan Iedul Fithri" hadits ini derajatnya shohiih, Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra dan dalam Kanzul-'Amal. Selain itu Umar Ibn al Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata, "Janganlah kalian mengunjungi kaum musyrikin di gereja-gereja (rumah-rumah ibadah) mereka pada hari besar mereka, karena sesungguhnya kemurkaan Allah akan turun atas mereka" Umar
Ibn Al Khaththab Radiyallahu ‘anhu berkata lagi, "Hindarilah musuh-musuh Allah pada momentum hari-hari besar mereka". Hadits ini Sahih, diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam Musannaf, dan telah disahihkan oleh Ibn Taymiyyah in al-Iqtidaa. Wallahu
a’lam bish-shawab. Nah saudaraku, demikianlah beberapa fatwa dari Komite Permanen untuk Penelitian Islam dan Fatwa, atau yang dikenal dengan Al-Lajnah ad Daimah lil Buhuts al ‘Ilmiyyah wa al ifta mengenai hukum merayakan atau menghadiri perayaan Tahun baru Masehi atau sejenisnya. Dan insya Allah fatwa-fatwa mengenai hal tersebut akan kami lanjutkan pada postingan berikutnya, Semoga bermanfaat

Jumat, Juli 29, 2011

DOA BUKA PUASA YANG SHAHIH

Masyhur, tak
selamanya jadi
jaminan.
Begitulah yang
terjadi
pada “doa berbuka puasa”. Doa yang
selama ini terkenal di
masyarakat, belum tentu
shahih derajatnya. Terkabulnya doa dan
ditetapkannya pahala di
sisi Allah ‘Azza wa Jalla
dari setiap doa yang kita
panjatkan tentunya
adalah harapan kita semua. Kali ini, mari kita
mengkaji secara ringkas,
doa berbuka puasa yang
terkenal di tengah
masyarakat, kemudian
membandingkannya dengan yang shahih.
Setelah mengetahui
ilmunya nanti, mudah-
mudahan kita akan
mengamalkannya. Amin. Doa Berbuka Puasa
yang Terkenal di
Tengah Masyarakat Lafazh pertama: َﻚَﻟ َّﻢُﻬَّﻠﻟَﺍ ﻰَﻠَﻋَﻭ ُﺖْﻤُﺻ َﻚِﻗْﺯِﺭ ﺕْﺮَﻄْﻓَﺃ ”Ya Allah, untuk-Mu aku
berpuasa dan dengan
rezeki-Mu aku berbuka.” Doa ini merupakan bagian
dari hadits dengan redaksi
lengkap sebagai berikut: ِﻦْﺑ ِﺫﺎَﻌُﻣ ْﻦَﻋ َﺓَﺮْﻫُﺯ ، ُﻪَﻐَﻠَﺑ ُﻪَّﻧَﺃ َّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ َّﻥَﺃ ُﻪﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ َﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﻥﺎَﻛ َﻢَّﻠَﺳ َﺮَﻄْﻓَﺃ ﺍَﺫِﺇ َﻝﺎَﻗ : َّﻢُﻬَّﻠﻟَﺍ ُﺖْﻤُﺻ َﻚَﻟ ، َﻭ َﻚِﻗْﺯِﺭ ﻰَﻠَﻋ ُﺕْﺮَﻄْﻓَﺃ “Dari Mu’adz bin Zuhrah,
sesungguhnya telah
sampai riwayat kepadanya
bahwa sesungguhnya jika
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berbuka puasa, beliau membaca (doa),
‘Allahumma laka shumtu
wa ‘ala rizqika afthortu-
ed’ (ya Allah, untuk-Mu
aku berpuasa dan dengan
rezeki-Mu aku berbuka) .”[1] Hadits tersebut
diriwayatkan oleh Abu
Daud, dan dinilaidhaif oleh Syekh al-Albani dalam
Shahih wa Dhaif Sunan Abi
Daud. Penulis kitab Tahdzirul
Khalan min Riwayatil Hadits
hawla Ramadhan
menuturkan, “(Hadits ini)
diriwayatkan oleh Abu
Daud dalam Sunannya (2/316, no. 358). Abu Daud
berkata, ‘Musaddad telah
menyebutkan kepada
kami, Hasyim telah
menyebutkan kepada kami
dari Hushain, dari Mu’adz bin Zuhrah, bahwasanya
dia menyampaikan,
‘Sesungguhnya jika Nabi
shallallahu ‘alaihi wa
sallam berbuka puasa,
beliau mengucapkan, ‘Allahumma laka shumtu
wa ‘ala rizqika afthartu.
’”[2] Mua’dz ini tidaklah
dianggap sebagai perawi
yang tsiqah, kecuali oleh
Ibnu Hibban yang telah
menyebutkan tentangnya
di dalam Ats-Tsiqat dan dalam At-Tabi’in min Ar-
Rawah, sebagaimana al-
Hafizh Ibnu Hajar berkata
dalam Tahdzib at-Tahdzib
(8/224).[2]
Dan seperti kita tahu bersama bahwa Ibnu
Hibban dikenal oleh para
ulama sebagai orang yang
mutasahil, yaitu
bermudah-mudahan dalam
menshohihkan hadits-ed. Keterangan lainnya
menyebutkan bahwa
Mu’adz adalah seorang
tabi’in. Sehingga hadits ini mursal (di atas tabi’in terputus). Hadits mursal
merupakan hadits dho’if
karena sebab sanad yang
terputus. Syaikh Al Albani
pun berpendapat
bahwasanya hadits ini dho’if .[3] Hadits semacam ini juga
dikeluarkan oleh Ath
Thobroni dari Anas bin
Malik. Namun sanadnya
terdapat perowi dho’if
yaitu Daud bin Az Zibriqon, di adalah seorang perowi
matruk (yang dituduh
berdusta). Berarti dari
riwayat ini juga dho’if.
Syaikh Al Albani pun
mengatakan riwayat ini dho’if .[4] Di antara ulama yang
mendho’ifkan hadits
semacam ini adalah Ibnu
Qoyyim Al Jauziyah.[5] Lafazh kedua: َﻚَﻟ َّﻢُﻬّﻠﻟﺍ َﻚِﺑَﻭ ُﺖْﻤُﺻ ﻰَﻠَﻋَﻭ ُﺖْﻨَﻣﺁ َﻚِﻗْﺯِﺭ ﺕْﺮَﻄْﻓَﺃ “Allahumma laka shumtu
wa bika aamantu wa ‘ala
rizqika afthortu” (Ya
Allah, kepada-Mu aku
berpuasa dan kepada-Mu
aku beriman, dan dengan rizki-Mu aku berbuka).” Mulla ‘Ali Al Qori
mengatakan, “Tambahan
‘wa bika aamantu‘
adalah tambahan yang tidak diketahui
sanadnya, walaupun makna do’a tersebut
shahih.”[6]
Artinya do’a dengan
lafazh kedua ini pun
adalah do’a yang dho’if
sehingga amalan tidak bisa dibangun dengan do’a
tersebut. Berbuka Puasalah
dengan Doa-doa
Berikut Ini Do’a pertama: Terdapat sebuah hadits
shahih tentang doa
berbuka puasa, yang
diriwayatkan dari
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,َﺐَﻫَﺫ ُﺄَﻤَّﻈﻟﺍ ، ِﺖَّﻠَﺘْﺑﺍﻭ ُﻕﻭُﺮُﻌْﻟﺍ ، ُﺮْﺟَﻷْﺍ َﺖَﺒَﺛﻭ ُﻪﻠﻟﺍَﺀﺎَﺷ ْﻥِﺇ “Dzahabazh zhoma’u
wabtallatil ‘uruqu wa
tsabatal ajru insya Allah-
ed.”
[Telah hilanglah dahaga,
telah basahlah kerongkongan, semoga
ada pahala yang
ditetapkan, jika Allah
menghendaki](Hadits shahih, Riwayat Abu Daud [2/306, no. 2357] dan
selainnya; lihat Shahih al-
Jami’: 4/209, no. 4678) [7] Periwayat hadits adalah
Abdullah bin Umar
radhiyallahu ‘anhuma.
Pada awal hadits terdapat
redaksi, “Abdullah bin
Umar berkata, ‘Jika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berbuka
puasa, beliau
mengucapkan ….‘” Yang dimaksud dengan ﺮﻄﻓﺃ ﺍﺫﺇ adalah setelah makan atau minum yang menandakan
bahwa orang yang
berpuasa tersebut telah
“membatalkan” puasanya
(berbuka puasa, pen)
pada waktunya (waktu berbuka, pen). Oleh
karena itu doa ini tidak
dibaca sebelum makan
atau minum saat berbuka.
Sebelum makan tetap
membaca basmalah, ucapan “bismillah”
sebagaimana sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa
sallam, َﻞَﻛَﺃ ﺍَﺫِﺇ ْﻢُﻛُﺪَﺣَﺃ ِﺮُﻛْﺬَﻴْﻠَﻓ ِﻪَّﻠﻟﺍ َﻢْﺳﺍ ْﻥِﺈَﻓ ﻰَﻟﺎَﻌَﺗ ْﻥَﺃ َﻰِﺴَﻧ َﻢْﺳﺍ َﺮُﻛْﺬَﻳ ﻰَﻟﺎَﻌَﺗ ِﻪَّﻠﻟﺍ ِﻪِﻟَّﻭَﺃ ﻰِﻓ ِﻢْﺴِﺑ ْﻞُﻘَﻴْﻠَﻓ ُﻪَﻟَّﻭَﺃ ِﻪَّﻠﻟﺍ ُﻩَﺮِﺧﺁَﻭ “Apabila salah seorang di
antara kalian makan,
maka hendaknya ia
menyebut nama Allah
Ta’ala. Jika ia lupa untuk
menyebut nama Allah Ta’ala di awal, hendaklah
ia mengucapkan:
“Bismillaahi awwalahu wa
aakhirohu (dengan nama
Allah pada awal dan
akhirnya)”. (HR. Abu Daud no. 3767 dan At Tirmidzi
no. 1858. At Tirmidzi
mengatakan hadits
tersebuthasan shahih. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits
tersebutshahih) Adapun ucapanﺖﺒﺛﻭ ﺝﻷﺍ ﺭ maksudnya “telah hilanglah kelelahan dan
telah diperolehlah
pahala”, ini merupakan
bentuk motivasi untuk
beribadah. Maka, kelelahan
menjadi hilang dan pergi, dan pahala berjumlah
banyak telah ditetapkan
bagi orang yang telah
berpuasa tersebut. Do’a kedua: Adapun doa yang lain yang
merupakan atsar dari
perkataan Abdullah bin
‘Amr bin al-’Ash
radhiyallahu ‘anhuma
adalah, ﻲِّﻧﺇ َّﻢُﻬَّﻠﻟَﺍ َﻚُﻟﺄْﺳَﺃ َﻚِﺘَﻤْﺣَﺮِﺑ ْﺖَﻌِﺳَﻭ ﻲِﺘَّﻟﺍ ٍﺀْﻲَﺷ َّﻞُﻛ ، ْﻲِﻟ َﺮِﻔْﻐَﺗ ْﻥﺃ “Allahumma inni as-aluka
bi rohmatikal latii wasi’at
kulla syain an taghfirolii-
ed”
[Ya Allah, aku memohon
rahmatmu yang meliputi segala sesuatu, yang
dengannya engkau
mengampuni aku](HR. Ibnu
Majah: 1/557, no. 1753;
dinilaihasan oleh al-Hafizh dalam takhrij beliau untuk
kitab al-Adzkar; lihat
Syarah al-Adzkar: 4/342)
[8] —
[1] Shahih wa Dhaif Sunan
Abi Daud, Kitab ash-
Shaum, Bab al-Qaul ‘inda
al-Ifthar, hadits no. 2358.
[2] Tahdzirul Khalan min Riwayatil Hadits hawla
Ramadhan, hlm. 74-75.
[3] Lihat Irwaul Gholil,
4/38-ed.
[4] Lihat Irwaul Gholil,
4/37-38-ed. [5] Lihat Zaadul Ma’ad,
2/45-ed.
[6] Mirqotul Mafatih,
6/304-ed.
[7] Syarah Hisnul Muslim,
bab Dua’ ‘inda Ifthari ash-Shaim, hadits no. 176.
[8] Syarah Hisnul Muslim,
bab Dua’ ‘inda Ifthari
ash-Shaim, hadits no. 177.

Rabu, Juli 27, 2011

JANJI BUKAN SEBATAS UCAPAN

Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. (QS. An-Nisaa: 145) DISEBUTKAN dalam sebuah hadits shahih bahwa ciri-ciri orang munafik ada tiga: pertama, apabila ia berbicara ia berdusta; kedua, apabila ia berjanji ia mengingkari; ketiga, apabila diberi amanah ia berkhianat. (HR. Muslim) Dari hadits tersebut dapat dilihat bahwa janji bukanlah perkara biasa. Meski demikian, kenyataannya janji sering muncul sebatas ucapan, yang begitu saja mudah dilupakan, seolah tiada bekas sama sekali. Padahal, kedudukan janji sangat tinggi pertanggungjawabannya di sisi Allah. Dalam hadits riwayat Muslim sendiri, orang-orang yang senang mengingkari janji dikategorikan sebagai orang- orang munafik. Selain itu, Al- Quran pun mensinyalirnya sebagai berikut, Orang-orang munafik mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak ada terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan. (QS. Ali Imran: 167). Betapa banyak wahyu Allah Swt. yang diturunkan kepada umat- Nya mengingatkan tentang bahaya orang-orang munafik dan balasan yang akan diterimanya, baik pada kehidupan dunia maupun akhirat. Salah satunya dapat kita petik dari surat An-Nisaa ayat 138 yang mengabarkan siksaan yang amat pedih bagi orang-orang munafik. Hidup manusia tidak pernah luput dari selimut janji. Sejak ruh manusia ditiupkan, manusia telah berjanji kepada Rabb-Nya, kepada Rasul-Nya dan atas konsekuensi dien-nya. Sebuah ucapan kalimat sakti dari setiap hamba sebagai bentuk janji, ikrar diri tentang keesaan Tuhannya. Kemudian, seorang anak manusia lahir ke dunia. Dalam perkembangannya, manusia akan hidup dalam lingkungan keluarga, menjalankan fungsinya sebagai bagian dari masyarakat, mengemban peran-peran. Di situlah manusia mulai akrab dengan istilah yang disebut janji. Di situ pula kesetiaan seseorang pada ucapannya diuji. Ucapan menuntut sebuah pembuktian. Pembuktian tentang jaminan kesejahteraan, dan peningkatan kesejahteraan hidup, dan yang lain. Mungkin juga pembuktian atas janji pada diri, keluarga, anak, istri, untuk melakukan perbaikan. Lisan memang menjadi godaan yang berat. Bukankah semua hal yang kita ucapkan atau bahkan hanya kita simpan dalam hati, akan dipinta pertanggungjawaban oleh Allah? Tidak dipungkiri, hati kecil sendiri sering berontak dengan pengingkaran-pengingkaran yang kita perbuat. Tapi entah, manusia lebih suka dengan dalih. Ya, segala macam alasan sering terlontar sebagai bentuk pertahanan dari kekerdilan jiwa yang ringkih. Sebagai bentuk pembenaran dari peningkatan yang dibuat sendiri. Kebohongan yang kesekian kali untuk pembenaran diri sendiri. Karena begitu seringnya terjadi atau kita dengar dalam lingkungan hidup kita, tak heran bualan- bualan janji akhirnya berkembang menjadi budaya. Budaya buruk yang terpelihara. Dalam tatanan sosial, sanksi yang diterima oleh orang-orang yang mengumbar janji, antara lain jatuhnya harga diri seseorang. Kepada orang-orang yang sering berjanji dan sering pula mengingkari, ia tidak akan dipercaya lagi dalam lingkungannya. Apapun yang diucapkan akan dianggap angin lalu yang tidak berguna sekalipun itu sangat penting. Inilah konsekuensi berat yang harus diterima bagi orang-orang yang senang "obral" janji. Orang yang senang mempermainkan janji juga akan tersisih dari lingkungannya. Lalu, apa yang akan diterima baginya sebagai balasan di akhirat nanti? Dikatakan dalam surat An-Nisaa ayat 145, Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. Ya, Allah lindungilah kami, hamba- Mu ini dari sifat ingkar janji. Semoga kita terpelihara dari sifat-sifat orang munafik, sifat yang suka mengumbar janji tanpa peduli untuk menepati. Wallahu a'lam.***

MENGENAL TANDA MUNAFIQ

Dari Abu Hurairah RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga: bila berbicara, ia berdusta; bila berjanji, ia mengingkari; dan bila diberi kepercayaan (amanah), ia berkhianat.” Muttafaqun ‘alaih. Dari hadits Abdullah bin Umar
disebutkan, “Dan bila berselisih,
ia berbuat fajir.” Pelajaran Hadits 1.Definisi Nifaq Ibn Rajab berkata: “Nifaq secara
bahasa merupakan jenis
penipuan, makar, menampakkan
kebaikan dan memendam
kebalikannya. Secara syari’at terbagi dua:
Pertama, Nifaq Akbar
(Kemunafikan Besar); yaitu
upaya seseorang menampakkan
keimanan kepada Allah SWT, para
malaikat, kitab-kitab, Rasul dan hari akhir, sebaliknya memendam
lawan dari itu semua atau
sebagiannya. Inilah bentuk nifaq
(kemunafikan) yang terjadi pada
masa Rasulullah SAW dan yang
dicela dan dikafirkan para pelakunya oleh al-Qur’an.
Rasulullah SAW menginformasikan
bahwa pelakunya kelak akan
menempati neraka paling bawah. Kedua, Nifaq Ashghar
(Kemunafikan Kecil); yaitu
kemunafikan dalam perbuatan.
Gambarannya, seseorang
menampakkan secara teranga-
terangan keshalihannya namun menyembunyikan sifat yang
berlawanan dengan itu. 2.Pokok-Pokok Nifaq Pokok-pokoknya kembali kepada
beberapa sifat yang disebutkan
dalam hadits-hadits (yang
disebutkan Ibn Rajab dalam
syarah Arba’in, termasuk hadits
yang kita kaji ini), di antaranya: 1. Seseorang berbicara mengenai
sesuatu yang dibenarkan orang
lain padahal ia berdusta. Nabi
SAW bersabda dalam kitab al-
Musnad karya Imam Ahmad,
“Amat besar pengkhianatanya manakala kamu berbicara kepada
saudaramu dengan suatu
pembicaraan di mana ia
membenarkanmu namun kamu
berdusta kepadanya.” 2. Bila berjanji, ia mengingkari. Ini
terbagi kepada dua jenis:
Pertama, seseorang berjanji
padahal di dalam niatannya tidak
ingin menepatinya. Ini merupakan
pekerti paling buruk. Kedua, Berjanji pada dirinya
untuk menepati janji, kemudian
timbul sesuatu, lalu
mengingkarinya tanpa alasan.
Dalam hadits yang dikeluarkan
Abu Daud dan at-Turmudzi dari hadits Zaid bin Arqam, dari nabi
SAW, beliau bersabda, “Bila
seorang laki-laki berjanji dan
berniat menepatinya namun
tidak dapat menepatinya, maka
tidak apa-apa baginya (ia tidak berdosa).” 3. Bila berseteru, ia berbuat fajir.
Makna fujur adalah keluar dari
kebenaran secara sengaja
sehingga kebenaran ini menjadi
kebatilan dan kebatilan menjadi
kebenaran. Dan inilah yang menyebabkannya melakukan
dusta sebagaimana sabda Nabi
SAW, “Berhati-hatilah terhadap
kedustaan, sebab kedustaan
dapat menggiring kepada ke-
fujur-an dan ke-fujur-an menggiring kepada neraka.” Di
dalam kitab ash-Shahihain dari
nabi SAW, beliau bersabda,
“Sesungguhnya laki-laki yang
paling dibenci Allah adalah yang
paling suka berseteru dalam kebatilan.” Dan di dalam sunan
Abi Daud, dari Ibnu ‘Umar, dari
nabi SAW, beliau bersabda,
“Barangsiapa yang berseteru
dalam kebatilan padahal ia
mengetahuinya, maka senantiasalah ia dalam
kemurkaan Allah hingga
menghadapi sakaratul maut.” Di
dalam riwayat lain, “Barangsiapa
yang membantu dalam
perseteruan secara zhalim, maka ia akan mendapatkan kemurkaan
dari Allah.” 4. Bila berjanji, ia mengkhianati
(mengingkari) dan tidak
menepatinya. Padahal Allah SWT
menyuruh agar menepati janji
seraya berfirman, “Dan
penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggung-jawabannya.”
(QS.al-Isra’/17:34) Dan firman-
Nya, “Dan tepatilah perjanjian
dengan Allah apabila kamu
berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah
(mu) itu, sesudah
meneguhkannya sedang kamu
telah menjadikan Allah sebagai
saksimu (terhadap sumpah-
sumpah itu).” (QS.an-Nahl/16:91) Di dalam kitab ash-Shahihain dari
Ibn ‘Umar dari Nabi SAW, beliau
bersabda, “Setiap pengkhianat
akan memiliki panji pengenal pada
hari kiamat, lalu dikatakan; inilah
pengkhianatan si fulan.” Mengkhianati setiap perjanjian
yang terjadi antara seorang
Muslim dan orang lain haram
hukumnya sekali pun orang yang
diajak berjanji itu adalah seorang
kafir. Oleh karena itu, di dalam riwayat
al-Bukhari, dari hadits ‘Abdullah
bin ‘Amr bin al-‘Ash, dari nabi
SAW, beliau bersabda, “Siapa
yang membunuh jiwa yang diberi
perjanjian tanpa hak, maka ia tidak akan mencium bau surga.
Sesungguhnya baunya terasa
dari jarak perjalanan 40 tahun.” Tentunya, perjanjian yang
terjadi di antara sesama Muslim,
harus lebih ditepati lagi dan
membatalkannya merupakan
dosa besar. Bentuk dosa paling
besar dalam hal ini adalah membatalkan perjanjian dengan
imam (pemimpin negara Islam)
yang dilakukan oleh orang-orang
yang mengikuti dan sudah rela
terhadapnya. Di dalam kitab ash-Shahihain, dari
hadits Abu Hurairah RA, dari nabi
SAW, beliau bersabda, “Tiga
orang yang tidak diajak bicara
oleh Allah pada hari Kiamat, tidak
Dia bersihkan diri mereka dan mereka malah akan mendapat
azab yang pedih…” Di dalam
hadits ini, beliau SAW
menyebutkan salah satu dari
mereka, yaitu seorang laki-laki
yang telah membai’at seorang imam, tetapi ia membai’atnya
hanya karena dunia; jika ia (sang
imam) memberinya sesuai dengan
apa yang diinginkannya, maka ia
menepatinya dan bila tidak, maka
ia tidak pernah menepatinya.” Termasuk dalam janji yang wajib
ditepati dan haram dikhianati
adalah seluruh akad seperti jual
beli, pernikahan dan akad-akad
lazim yang wajib ditepati, yang
terjadi di antara sesama Muslim bila mereka saling rela atasnya.
Demikian pula, sesuatu yang
wajib ditepati karena Allah SWT
dari perjanjian hamba dengan
Rabbnya seperti nadzar berbuat
kebajikan dan semisalnya. 5. Bila diberi amanah, ia
berkhianat. Bila seseorang diberi
amanah, maka ia wajib
mengembalikannya. Hal ini
sebagaimana firman Allah SWT,
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak
menerimanya…” (QS.an-
Nisa’/4:58) At-Turmudzi dan Abu Daud
mengeluarkan hadits dari Abu
Hurairah bahwasanya Nabi SAW
bersabda, “Tunaikanlah amanah
kepada orang yang beramanah
kepadamu dan janganlan mengkhianati orang yang
berkhianat kepadamu.” Khianat terhadap amanah
merupakan salah satu sifat
munafik sebagaimana firman Allah
SWT, “Dan di antara mereka ada
orang yang telah berikrar
kepada Allah, sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian
karunia-Nya kepada kami,
pastilah kami akan bersedekah
dan pastilah kami termasuk
orang-orang yang shaleh.[75]
Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari
karunia-Nya, mereka kikir
dengan karunia itu, dan
berpaling, dan mereka
memanglah orang-orang yang
selalu membelakangi (kebenaran). [76]Maka Allah menimbulkan
kemunafikan pada hati mereka
sampai kepada waktu mereka
menemui Allah, karena mereka
telah memungkiri terhadap Allah
apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena
mereka selalu berdusta.[77]”
(QS.at-Taubah/9:75-77) Dan firman-Nya, “Sesungguhnya
Kami telah mengemukakan
amanat (tugas-tugas
keagamaan) kepada langit, bumi
dan gunung-gunung…..” (QS.al-
Ahzab/33:72) Pokoknya, semua Nifaq Ashghar
terpulang kepada adanya
perbedaan antara perkara
tersembunyi (bathiniah) dan
terang-terangan (lahiriah). Al-
Hasan al-Bashori RAH berkata, “Sekelompok Salaf berkata,
‘Kekhusyu’an nifaq hanya
terlihat pada kehusyu’an raga
sedangkan hatinya tidak pernah
khusyu’.” ‘Umar RA berkata, “Sesuatu
yang paling aku khawatirkan dari
kalian adalah Munafiq ‘Alim
(yang berpengetahuan).” Lalu
ada yang bertanya, “Bagaimana
mungkin, seorang munafik memiliki sifat ‘alim.?” Ia
menjawab, “Ia berbicara dengan
penuh hikmah namun melakukan
kezhaliman atau kemungkaran.” Nifaq Ashghar merupakan sarana
melakukan Nifaq Akbar
sebagaimana halnya perbuatan-
perbuatan maksiat adalah
merupakan ‘kotak pos’
kekufuran. Bentuk sifat nifaq ‘amali
(praktis) yang paling besar
adalah manakala seseorang
melakukan suatu perbuatan,
tampak berniat baik namun ia
melakukan itu hanya agar dapat mencapai tujuan yang buruk.
Dengan tipuan itu, ia lantas
mencapai tujuannya, bergembira
dengan makar dan tipuannya
sementara orang-orang
memujinya atas pertunjukan (kepura-puraan) yang
membuatnya sampai kepada
tujuan buruk yang dipendamnya
itu. Manakala di kalangan shahabat
telah ditetapkan bahwa nifaq
adalah adanya perbedaan antara
perkara tersembunyi dan
terang-terangan, maka sebagian
mereka khawatir bila terjadi perubahan hati; konsentrasi,
kekhusyu’an dan
kelembutannya ketika
mendengar adz-Dzikr (al-Qur’an)
dengan menoleh dunia dan sibuk
dengan urusan keluarga, anak dan harta di mana hal itu semua
akan menjadi salah satu bentuk
kemunafikan dari mereka. Karena
itu, Rasulullah SAW sampai
berkata kepada mereka, “Hal itu
bukan termasuk kemunafikan.” 3. Perbedaan Para Ulama Para ulama berbeda pendapat
mengenai hukum menepati janji
dalam 3 pendapat:
PERTAMA, Menepati janji
hukumnya Mustahab (dianjurkan)
, bukan wajib, baik dari aspek keagamaan mau pun penunaian.
Ini adalah pendapat Jumhur
ulama, yaitu tiga imam madzhab;
Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan
Ahmad. Al-Hafizh Ibn Hajar RAH berkata,
“Meriwayatkan hal itu sebagai
ijma’ tidak dapat diterima
(ditolak) sebab perbedaan
mengenainya amat masyhur akan
tetapi yang mengatakan demikian sedikit. Mereka berdalil dengan beberapa
dalil, di antaranya:
1. Hadits yang dikeluarkan Ibn
Majah dan Abu Daud (yang
menilainya Hasan), bahwasanya
nabi SAW bersabda, “Bila salah seorang di antara kamu berjanji
kepada saudaranya sementara di
dalam niatnya akan menepatinya
namun tidak dapat menepatinya,
maka tidak ada dosa baginya.” 2. Bila seorang laki-laki berjanji,
bersumpah dan ber-
istitsna’ (bersumpah dengan
menggunakan kata; insya Allah
setelah sumpah tersebut), maka
menurut nash dan ijma’ pelanggaran terhadap
sumpahnya telah gugur (tidak
dinilai melanggar sumpah). Ini
merupakan dalil gugurnya janji
dari penjanji tersebut. KE-DUA, Tidak harus menepati
janji baik dari aspek keagamaan
mau pun penunaian. Ini adalah
pendapat Ibn Syubrumah, yaitu
madzhab sebagian ulama Salaf
seperti ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, al-Hasan al-Bashori, Ishaq bin
Rahawaih dan Zhahiriah. Pendapat ini berdalil dengan
nash-nash dari al-Qur’an dan
hadits, di antaranya:
1. Firman Allah SWT, “Hai orang-
orang yang beriman, penuhilah
aqad-aqad* itu.” (QS.al- Maa’idah:1) Dan firman-Nya,
“Hai orang-orang yang beriman,
mengapa kamu mengatakan apa
yang tidak kamu perbuat.? Amat
besar kebencian di sisi Allah
bahwa kamu mengatakan apa- apa yang tiada kamu kerjakan.”
(QS.ash-Shaff:3-4), dan ayat-
ayat lainnya. 2. Di dalam kitab ash-Shahihain
dari nabi SAW, beliau bersabda,
“Tanda orang munafiq ada
tiga…” Di antaranya disebutkan:
bila berjanji, ia berdusta. Dengan
begitu, mengingkari perjanjjan merupakan salah satu sifat
orang-orang munafik sehingga ia
diharamkan. 3. Hadits yang dikeluarkan at-
Turmudzi, bahwa nabi SAW
bersabda, “Jangan berdebat
dengan saudaramu, jangan
mencandainya dan berjanji
padanya lalu kemudian kamu mengingkari (melanggar)nya.” KE-TIGA, Merinci; wajib
menepatinya bila janji tersebut
ada sebabnya seperti bila ia
diperintahkan melakukan
pembelian barang atau
melakukan suatu proyek; bila orang yang diberi janji
melakukan tindakan kesalahan,
maka penjanji boleh menarik
janjinya. Dalam hal ini, wajib
memenuhi janji secara
keagamaan mau pun penunaian. Ada pun bila tidak terjadi hal
yang merugikan terhadap orang
yang diberi janji dengan
ditariknya janji tersebut, maka
janji itu tidak lagi menjadi
keharusan. Dalil Pendapat Ini: Bahwa nash-nash syari’at dalam
masalah ini saling bertabrakan.
Dan apa yang disebutkan di atas
adalah cara penggabungan
(sinkronisasi) paling baik. Pendapat Syaikh asy-
Syanqithi Pengarang tafsir “Adhwaa’ al-
Bayaan” di dalam tafsirnya
mengatakan, “Para ulama
berbeda pendapat mengenai
keharusan menepati janji;
sebagian mereka mengatakan, harus memenuhinya secara
mutlak. Sebagian lagi
mengatakan, tidak harus secara
mutlak. Sedangkan sebagian
yang lain, bila dengan berjanji itu
membuat orang yang diberi janji berada dalam kesulitan (bahaya),
maka harus memenuhinya tetapi
bila tidak demikian, maka menjadi
tidak harus lagi. Abu Hanifah dan para
sahabatnya, imam al-Awza’i dan
asy-Syafi’i serta seluruh ulama
fiqih mengatakan, sesungguhnya
tidak ada keharusan apa pun
terhadap janji sebab ia hanya merupakan jasa yang tidak
berada dalam pegangan, sama
seperti masalah ‘Ariyah** yang
bersifat dadakan. Pendapat yang jelas bagiku,
bahwa mengingkari janji tidak
boleh sebab ia merupakan salah
satu tanda kemunafikan akan
tetapi bila penjanji menolak
untuk memenuhi janjinya, maka tidak dapat dituntut hukuman
apa pun terhadapnya dan tidak
harus dipaksa pula. Tetapi ia
mesti diperintahkan untuk
memenuhinya, tidak dipaksa.” Pendapat Ulama
Kontemporer Di antara ulama kontemporer
yang menyatakan keharusan
memenuhi janji adalah Syaikh
Abdurrahman bin Nashir as-
Sa’di, Abdurrahman bin Qasim,
Mushthafa az-Zarqa’, Yusuf al- Qaradhawi dan ulama lainnya. Keputusan Mujamma’ Fiqih Islam Mujamma’ Fiqih Islam di Jeddah
dalam keputusan bernomor 2,
pada daurah ke-5 yang diadakan
di Kuwait periode 1-6 Jumadal
Ula 1409 H memutuskan sebagai
berikut: “Menepati janji menjadi suatu
keharusan bagi penjanji secara
keagamaan kecuali bila ada
‘udzur. Ia harus memenuhinya
dari sisi penunaian bila terkait
dengan sebab dan orang yang diberi janji menghadapi kesulitan
akibat janji tersebut. Pengaruh
komitmen terhadap kondisi ini
dapat dilakukan, baik dengan
cara melaksanakan janji tersebut
atau mengganti kerugian yang timbul secara langsung akibat
tidak dipenuhinya janji tersebut
tanpa ‘udzur.” CATATAN:
* Aqad (perjanjian) mencakup:
janji prasetia hamba kepada Allah
SSWT dan perjanjian yang dibuat
oleh manusia dalam perjanjian
sesamanya ** Ulama fiqih mendefinisikannya,
‘Tindakan pemilik barang yang
membolehkan penggunaan
barang miliknya kepada orang
lain tanpa kompensasi apa
pun.’ [Sayyid Sabiq, Fiqh as- Sunnah-red] (SUMBER: Tawdhiih al-Ahkaam Min
Buluugh al-Maraam karya Syaikh
‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-
Bassam, Jld.VI, hal.311-314)