Laman

Entri Populer

Jumat, Januari 13, 2012

AWAS!!!! fanatik buta kepada habib atau kiai

Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam membacakan firman
Allah berikut ini; 

"Mereka
menjadikan para pendeta, dan
rahib-rahibnya sebagai tuhan
selain Allah...(QS. At Taubah : 31),

Adi bin Hatim berkata: "Kami dulu
orang-orang Nasrani tidak
menyembah mereka [para
pendeta dan pemuka agama
Nasrani].
Kemudian Rasulullah
berkata : 

"Bukankah mereka
menghalalkan apa yang
diharamkan Allah dan
mengharamkan apa yang
dihalalkan Allah, lalu kalian
mengikutinya ?
Jawab Adi bin Hatim : "Ya, benar.

Kata Nabi : "Itulah bentuk
penyembahan [kalian]
terhadap mereka" . (HR. Tirmidzi dari Adi bin Hatim). *Adi
bin Hatim sebelum masuk Islam,
beliau dahulunya beragama
Nasrani.

Fanatik terhadap kyai, Habib,
ulama, atau ustadz memang
telah mendarah daging dalam
tubuh umat ini. Yang jadi masalah
bukanlah sekedar mengikuti
pendapat orang yang berilmu.

 Namun yang menjadi masalah
adalah ketika pendapat para
ulama tersebut jelas-jelas
menyelisihi Al Qur’ an dan As Sunnah tetapi dibela mati-matian.

Yang penting kata mereka ‘ sami’ na wa atho’ na’ (apa yang dikatakan oleh kyai kami, tetap
kami dengar dan kami taat).

Entah pendapat kyai tersebut
merupakan perbuatan syirik
atau bid’ ah, yang penting kami tetap patuh kepada guru-guru
kami.

Fenomena Fanatik Buta Fanatik -dalam bahasa Arab
disebut ta’ ashub - adalah sikap mengikuti seseorang tanpa
mengetahui dalilnya, selalu
menganggapnya benar, dan
membelanya secara membabi
buta.


Fanatik terhadap kyai,
ustadz, atau ulama bahkan kelompok tertentu telah terjadi
sejak dahulu seperti yang terjadi
di kalangan para pengikut
madzhab (ada 4 madzhab yang
terkenal yaitu Hanafi, Hanbali,
Maliki, dan Syafi’ i).

Di mana para pengikut madzhab tersebut
mengklaim bahwa kebenaran
hanya pada pihak mereka
sendiri, sedangkan kebathilan
adalah pada pihak (madzhab)
yang lain.

Banyak contoh yang dapat
diambil dari para pengikut
madzhab tersebut.

Di antara
contoh perkataan bathil di
antara mereka adalah ucapan


Abul Hasan Al Karkhiy Al Hanafi (seorang tokoh fanatik di
kalangan Hanafiyyah). 
Beliau
mengatakan, 

“Setiap ayat dan hadits yang menyelisihi penganut
madzhab kami (Hanafiyyah),
maka harus diselewengkan
maknanya atau dihapus
hukumnya.

” Syaikh Al Albani rahimahullah juga
mengisahkan, bahwa ada
seorang bermadzhab Hanafiyah
mengharamkan pria dari
kalangan mereka menikah
dengan wanita bermadzhab Syafi’ iyah, kecuali wanita tadi diposisikan sebagai wanita ahli kitab dianalogikan dengan wanita
Yahudi dan Nasrani!!
Hal ini masih
terjadi hingga sekarang.

Seperti
ada seorang bermadzhab Hanafi
dan dia begitu takjub dengan seorang khotib masjid Bani
Umayyah di Damaskus, dia
mengatakan, 

“Andaikan khotib tadi bukan bermadzhab Syafi’ i, niscaya aku akan nikahkan dia
dengan anak perempuanku!”

Imam Adz Dzahabi dalam Siyar
A’ lam Nubala’ juga menceritakan, bahwa Abu Abdillah Muhammad
bin Fadhl Al Farra’ pernah menjadi imam sholat di masjid
Abdullah selama 60 puluh tahun
lamanya.
Beliau bermadzhab
Syafi’ i dan melakukan qunut shubuh. Setelah itu imam sholat
diambil alih oleh seseorang yang
bermadzhab Maliki dan tidak
melakukan qunut shubuh.
 Karena hal ini menyelisihi tradisi
masyarakat setempat, akhirnya mereka bubar meninggalkan imam yang tidak melakukan qunut shubuh ini, seraya
berkomentar, 

“Sholat imam tersebut tidak becus !!!”.

Inilah contoh yang terjadi di
kalangan pengikut madzhab.
Begitu juga yang terjadi pada
umat Islam sekarang ini, banyak
sekali di antara mereka membela
secara mati-matian pendapat dari ulama atau guru-guru mereka (seperti membela
kesyirikan, kebid’ ahan, atau perbuatan haram yang dilakukan
guru-guru tersebut), padahal
jelas-jelas bertentangan dengan
ayat dan hadits yang shohih.

Mempertentangkan
Perkataan Allah dan Rasul-
Nya dengan Perkataan
Kyai/Ulama. Banyak dari umat Islam saat ini,
apabila dikatakan kepada
mereka,

“Allah telah berfirman” atau kita sampaikan “Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa sallam telah bersabda …” , mereka malah menjawab, “Namun, kyai/ustadz kami berkata demikian …” .

Apakah mereka belum pernah
mendengar firman Allah (yang
artinya), 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya” (Al Hujurat : 1)

 Yaitu janganlah kalian mendahulukan
perkataan siapapun dari
perkataan Allah dan Rasul-Nya.

Dan perhatikan pula ayat
selanjutnya dari surat ini. Allah
Ta’ ala berfirman (yang artinya), 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan
suaramu melebihi suara Nabi, dan
janganlah kamu berkata
kepadanya dengan suara yang
keras, sebagaimana kerasnya
suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak
hapus (pahala) amalanmu,
sedangkan kamu tidak
menyadari.” (Al Hujurot : 2). 

Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam
I’ lamul Muwaqi’ in mengatakan, “Apabila mengeraskan suara mereka di atas suara Rasul
saja dapat menyebabkan
terhapusnya amalan
mereka.

Lantas bagaimana
kiranya dengan
mendahulukan pendapat, akal, perasaan, politik, dan
pengetahuan di atas ajaran
rasul. Bukankah ini lebih
layak sebagai penghapus
amalan mereka “ Ibnu ‘ Abbas radiyallahu ‘ anhuma mengatakan, 

“Hampir saja kalian akan dihujani hujan batu dari
langit. Aku ,‘ 
Rasulullah bersabda demikian lantas
kalian membantahnya
dengan mengatakan, ‘ Abu Bakar dan Umar berkata
demikian.’ “ (Shohih. HR. Ahmad) .

Dari perkataan ini, wajib bagi
seorang muslim jika dia
mendengar hadits Nabi shallallahu
‘ alaihi wa sallam dan dia paham maksudnya/penjelasannya dari
ahli ilmu, tidaklah boleh bagi dia
menolak hadits tersebut karena
perkataan seorang pun. 

Tidak boleh dia menentangnya karena
perkataan Abu Bakar dan Umar - radiyallahu ‘ anhuma- (yang telah kita ketahui bersama kedudukan
mereka berdua), atau sahabat
Nabi yang lain, atau orang-orang
di bawah mereka, apalagi dengan
perkataan seorang kyai atau
ustadz. 

Dan para ulama juga telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah
mendapatkan penjelasan dari
hadits Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa sallam, maka tidak boleh
baginya meninggalkan hadits
tersebut dikarenakan perkataan
seorang pun, siapa pun dia.

Dan perkataan seperti ini selaras
dengan perkataan Imam Syafi’ i - semoga Alloh merahmati beliau-.
Beliau rahimahullah mengatakan;

“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang
telah jelas baginya ajaran
Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa sallam, maka tidak halal
baginya untuk
meninggalkannya karena
perkataan yang lainnya.” (Madarijus Salikin, 2/335, Darul
Kutub Al ‘ Arobi. Lihat juga Al Haditsu Hujjatun bi Nafsihi fil
‘ Aqoid wal Ahkam, Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 79, Asy
Syamilah)

Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa sallam juga bersabda, 

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya Musa hadir di
tengah kalian dan kalian
mengikutinya dan
meninggalkanku, maka
sungguh kalian telah tersesat dari jalan yang
lurus. 
Sekiranya Musa hidup
kembali dan menjumpai
kenabianku, dia pasti
mengikutiku.” (Hasan, HR. Ad Darimi dan Ahmad).

Maksudnya apabila kita
meninggalkan sunnah Nabi dan
mengikuti Musa, seorang Nabi
yang mulia yang pernah diajak
bicara oleh Allah, maka kita akan
tersesat dari jalan yang lurus. Lantas bagaimana pendapat
saudara sekalian, apabila kita
meninggalkan sunnah Nabi dan
mengikuti para kyai, habib, tokoh
agama, ustadz, mubaligh,
cendekiawan dan sebagainya yang sangat jauh bila
dibandingkan Nabi Musa ‘ alaihis salaam??! 

Renungkanlah hal ini. Dampak Fanatik Buta Fanatik memunculkan berbagai
dampak negatif yang sangat
berbahaya bagi pribadi secara
khusus dan masyarakat secara
umum.

Berikut ini kami paparkan
beberapa dampak yang terjadi karena fanatik buta.

[1] Memejamkan mata
dari dalil yang kuat dan
berpegang dengan dalil
yang rapuh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah mengatakan,
“Mayoritas orang-orang fanatik madzhab tidak
mendalami Al Qur’ an dan As Sunnah kecuali segilintir
orang saja. 
Sandaran mereka hanyalah hadit-
hadits yang rapuh atau
hikayat-hikayat dari para
tokoh ulama yang bisa jadi benar dan bisa jadi bohong.”

[2] Merubah dalil untuk
membela pendapatnya Contohnya adalah atsar tentang qunut shubuh yang
diriwayatkan oleh Ahmad,
Ibnu Majah, Tirmidzi, dan
beliau menshahihkannya. Dari
Malik Al Asyja’ i radiyallahu ‘ anhu berkata, 

“Saya pernah bertanya kepada
ayahku,’ 

Wahai ayahku! Sesungguhnya engkau
pernah sholat di belakang
Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali di sini -di
Kufah-. Apakah mereka
melakukan qunut shubuh?’ 

Jawab beliau,’ 
Wahai anakku, itu merupakan perkara
muhdats (perkara baru yang
diada-adakan dalam agama -
pen)’ “ . 

Tetapi seorang tokoh
bermadzhab Syafi’ i di Mesir malah mengganti hadits
tersebut dengan lafadz yang
artinya, 

‘ Wahai anakku, ceritakanlah (kata muhdats diganti dengan fahaddits
yang berarti ceritakanlah-
pen) [!]‘ 

Dan tokoh ini juga mengatakan, 

“Sholatnya orang yang meninggalkan
qunut shubuh secara
sengaja, maka sholatnya
batal yaitu tidak sah.”

 Sungguh perbuatan tokoh ini
dikarenakan sikap fanatik
beliau pada madzhabnya
yang mengakar kuat pada
dirinya. 

Tetapi lihatlah
perbedaan yang sangat menonjol dengan orang yang
mengikuti kebenaran,
walaupun madzhabnya sama
dengan tokoh fanatik di
atas. 

Beliau -Abul Hasan Al
Kurjiy Asy Syafi’ i- tidak pernah melakukan qunut
shubuh dan beliau pernah
berkata,”Tidak ada hadits shohih tentang hal itu (yaitu
qunut shubuh,-pen).”

[3] Sering memalsukan
hadits Di antara hadits palsu hasil
rekayasa orang-orang yang
fanatik madzhab untuk
membela madzhabnya, yaitu
dari Ahmad bin Abdilllah bin
Mi’ dan dari Anas secara marfu’ :

 “Akan datang pada umatku seorang yang
bernama Muhammad bin Idris
(yakni Imam Syafi’ i-pen), dia lebih berbahaya bagi umatku daripada Iblis. Dan akan datang pada umatku
seorang bernama Abu
Hanifah, dia adalah pelita
umatku”.

 Hadits ini selain palsu, juga
bertentangan dengan nash
yang menyatakan bahwa
pelita umat ini adalah Nabi
Muhammad shollallohu ‘ alaihi wa sallam, sebagaimana yang
terdapat dalam surat Al
Ahzab ayat 46. 

[4] Menfatwakan bahwa
taqlid hukumnya wajib Para fanatisme madzhab atau kelompok akan
menyerukan kepada
pengikutnya tentang
kewajiban taqlid yaitu
mengambil pendapat seseorang tanpa mengetahui dalilnya.

 Hal ini sebagaimana yang
diwajibkan organisasi Islam
terbesar di Indonesia. Salah
seorang tokoh organisasi
tersebut mengatakan,
“Sejak ratusan tahun yang lalu sampai sekarang
sebagian besar umat Islam di
seluruh dunia yang termasuk
dalam golongan Ahlus Sunnah
wal Jama’ ah membenarkan adanya kewajiban taqlid bagi
orang yang tidak memenuhi
syarat untuk berijtihad …” 

Ini adalah ucapan yang bathil.
Tidak pernah ada kewajiban
seperti ini dari Allah,
Rasulullah, sampai-sampai
imam madzhab sekalipun.
Karena pendapat imam madzhab itu kadangkala
benar dan kadangkala juga
salah. 

Seringkali para imam
madzhab berpegang pada
suatu pendapat dan beliau
meralat pendapatnya tersebut. Dan para imam itu
sendiri melarang untuk taqlid
kepadanya,

sebagaimana
Imam Syafi’ i rahimahullah (imam madzhab yang
organisasi ini ikuti)
mengatakan; 

“Setiap yang aku katakan, kemudian ada
hadits shahih yang
menyelisihinya, maka
hadits Nabi tersebut
lebih utama untuk
diikuti. 

Janganlah kalian taqlid kepadaku”. Janganlah Menolak Kebenaran Sesungguhnya Allah telah
mengutus para rasul untuk
segenap manusia.

Allah mengutus
para rasul untuk mendakwahi
manusia agar mereka beribadah
dan menyembah kepada Allah semata. Akan tetapi kebanyakan
mereka mendustakan rasul-rasul
utusan Alloh itu; mereka tolak
kebenaran yang dibawanya,
yaitu ketauhidan.
Akhirnya mereka pun menemui kebinasaan. Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa sallam bersabda,

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam
hatinya ada kesombongan
meskipun sebesar biji sawi.” Kemudian beliau melanjutkan hadits ini
dengan berkata,
“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan
merendahkan orang
lain.” (HR. Muslim) 

Berdasarkan hadits di atas, tidak
diperbolehkan bagi seorang
mukmin menolak kebenaran atau
nasehat yang disampaikan
kepadanya. 
Karena jika demikian
berarti mereka telah menyerupai orang-orang kafir dan telah
menjerumuskan dirinya ke dalam
sifat sombong yang bisa
menghalanginya masuk surga.
Maka, sikap hikmah (yaitu sikap
menerima kebenaran dan tidak meremehkan siapapun yang
menyampaikannya -pen) menjadi
senjata yang ampuh bagi
seorang mukmin yang selalu siap
digunakan. Maka dari itu, kita
wajib menerima kebenaran dari siapapun datangnya, bahkan dari
setan sekalipun.

Ya Allah, tunjukilah -
dengan izin-Mu- bagi
kami pada kebenaran
dalam perkara yang
kami perselisihkan.
Sesungguhnya Engkaulah yang menunjuki siapa
yang Engkau kehendaki
ke jalan yang lurus.

[Disarikan oleh Abu Isma'il
Muhammad Abduh Tuasikal dari
Majalah Al Furqon ed.11/Th.II, At
Tamhiid li Syarhi Kitaabit Tauhid-
Syaikh Sholeh Alu Syaikh, al
Firqotun Najiyah-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu]

Penulis: Muhammad Abduh
Tuasikal Artikel http://rumaysho.com/ Tulisan di masa silam, wisma MTI,
Pogung Kidul Repost by Anwar Baru Belajar [Gambar buku di atas ; Ditulis
oleh Hartono Ahmad Jaiz dan
Abduh Zulfidar Akaha, penerbit
Pustaka Al Kautsar]


Ilustrasi :

Dialoq antara seorang Kyai
atau Habib dengan seorang
anggota jama'ah pengajian

[sebutlah si fulan].

Fulan : [si fulan berkata kepada Kyai atau Habib] Pak Yai… atau Bib… Tolong saya diberi amalan, yang dengan
amalan itu saya bisa ini… .bisa itu… ..!

Kyai / Habib : Silahkan amalkan bacaan ini…… ..dibaca sekian kali…… .[misalnya 1000 x] Seandainya perintah si Kyai
atau Habib tersebut
menyalahi tuntunan
Rasulullah dan tidak pernah
dicontohkan oleh Rasulullah,
maka si Kyai atau si Habib tersebut telah membuat syari'at baru, dan bagi si fulan yang telah menuruti
perintah si Kyai atau Habib
tersebut secara tidak sadar
telah menuhankannya.

 Yang berhak membuat
syari'at dalam agama
hanyalah Allah.

Adapun melakukan ibadah adalah
dengan cara
ittiba' (mengikuti) Rasulullah dalam beribadah kepada
Allah


Tidak ada komentar: