Laman

Entri Populer

Kamis, Februari 03, 2011

Larangan Duduk, Menembok dan Mencat Kuburan

Tidur di atas kuburan Meninggikan kuburan lebih
dari satu jengkal Sebagian kaum muslimin
meninggikan kubur melebihi dari
hal yang dibolehkan agama. Hal
ini mungkin disebabkan karena
mereka belum memahami
tuntunan agama atau karena ada unsur lain seperti ingin
menunjukkan bahwa orang
tersebut seorang yang mulia. “Dari Abu Hayyaaj al-Asady, ia berkata: Berkata kepadaku Ali
bin Abi Tholib radhiyallahu ‘ anhu: Maukah engkau aku utus untuk
melakukan sesuatu yang aku
juga diutus oleh Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wasallam untuk melakukannya? Jangan engkau tinggalkan sebuah
patung melainkan engkau
hancurkan. Dan tidak pula
kuburan yang ditinggikan
kecuali engkau
datarkan.” [HR.Muslim] “Dari Tsumamah bin Syufai, ia berkata: Aku pernah bersama
Fudholah bin Ubaid di negeri
Romawi ‘ Barudis’ . Lalu meninggal salah seorang teman kami. Maka
Fudholah menyuruh untuk
mendatarkan kuburannya.
Kemudian ia berkata: Aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wasallam menyuruh untuk
mendatarkannya.” [HR.Muslim] Menembok dan mencat
kuburan Di antara kebiasan buruk
yang bisa membawa kepada
sikap pengkultusan kuburan
adalah menembok dan mencat kuburan bahkan
ada yang mengkramik
atau dilapisi Marmer. Di samping hal tersebut
diharamkan dalam agama,
termasuk pula membuang
harta kepada sesuatu yang
tidak ada manfaatnya. Dan
yang lebih ditakutkan adalah akan terfitnahnya orang
awam dengan kuburan
tersebut. Sehingga mereka
menganggap kuburan
tersebut memiliki berkah dan
sakti. Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam telah melarang
dengan tegas menembok dan
mencat kuburan dalam sabda
beliau (yang artinya): “Dari Jabir radhiyallahu ‘ anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wasallam melarang mencat kubur,
duduk diatasnya dan
membangun di
atasnya.” [HR.Muslim] Yang dimaksud dengan
membangun dalam hadits
tersebut adalah umum,
sekalipun hanya berbentuk
tembok saja. Apalagi
membuatkan rumah untuk kuburan dengan biaya
banyak sebagaimana telah
dilakukan sebagian orang-
orang yang jahil. Berkata Imam asy-Syafi’ i rahimahullah: “Aku melihat para ulama di Makkah
menyuruh menghancurkan
apa yang dibangun
tersebut.” Al-Manawy berkata: “Kebanyakan ulama Syafi’ iyyah berfatwa tentang wajibnya
menghancurkan segala
bangunan di Qorofah (tanah
pekuburan) sekali pun kubah
Imam kita sendiri Syafi’ i yang dibangun oleh sebagian
penguasa. Membangun rumah untuk
kuburan. Sebagian orang ada pula
yang mambangunkan rumah
untuk kuburan. Bahkan
kadang kala biayanya cukup
besar. Ini adalah salah satu
bentuk penyia-nyiaan dalam penggunaan harta. Mungkin
orang yang melakukan hal
tersebut berasumsi bahwa si
mayat mendapat naungan
dan nyaman dalam kuburnya.
Sesungguhnya tidak ada yang dapat memberikan
kenyamanan dalam kubur
kecuali amalan sendiri, walau
seindah apa pun kuburan
seseorang tersebut. “Ibnu Umar melihat sebuah tenda di atas kubur
Abdurrahman. Maka ia
berkata: “Bukalah tenda tersebut wahai Ghulam
(anak muda), maka
sesungguhnya yang
melindunginya hanyalah
amalannya.” Duduk dan makan di
kuburan. Bentuk lain yang merupakan
jalan membawa kepada
pengkultusan kuburan
adalah kebiasaan sebagian
orang mendatangi kuburan
pada momen-momen tertentu. Seperti mau masuk
bulan suci Ramadhan,
Lebaran atau masa setelah
panen. Mereka berbondong-
bondong ke kuburan dengan
membawa tikar dan makanan. Lalu sesampai di
kuburan membentangkan
tikar dan duduk bersama-
sama. Dilanjutkan dengan
rangkaian acara tahlilan dan
do’ a setelah itu ditutup acara makan bersama. Jika
hal tersebut kita timbang
dengan ajaran Islam yang
dibawa oleh Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wasallam, maka sungguh sangat
bertolak belakang sama
sekali. Jangankan untuk
tahlilan dan makan bersama,
duduk saja tidak
diperbolehkan. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wasallam berikut ini (yang artinya): “Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘ anhu berkata: Telah bersabda Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wasallam: "Sungguh salah seorang
kalian duduk di atas
bara api lalu membakar
baju sehingga tembus
ke kulitnya lebih baik
daripada ia duduk di atas kuburan.” [HR.Muslim] Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari [seorang ulama besar
dari Banjarmasin, yang
bermazhab Syafi'i] dalam
kitabnya Sabilal Muhtadin, beliau mengatakan : "Makruh memutihkan kuburan
dengan kafur. Haram
membikin sesuatu
bangunan di atas kuburan
seperti kubah atau
bangunan seperti rumah atau pagar di atas
kuburan . [Sabilal Muhtadin, Bab Jenazah hal. 736-737] Imam Syafi'i dalam kitabnya Al Umm, berkata : "Saya menyukai bahwa tidak
ditambahkan pada
kuburan tanah yang lain.
Dan tiada mengapa bahwa
ada pada kuburan itu
tanah yang lain, apabila ditambahkan padanya
tanah yang lain, maka ia
tinggi sekali. Saya
menyukai bahwa
ditinggikan kuburan atas
permukaan bumi sejengkal atau kira-kira sejengkal.
Saya menyukai bahwa
tidak dibangun kuburan
dan tidak dikapurkan.
Karena yang demikian itu
menyerupai hiasan dan kebanggaan. Dan tidaklah
kematian itu tempat
salah satu dari keduanya.
Saya tidak melihat
kuburan orang-orang
Muhajirin dan Anshar itu dikapurkan." [Kitab Al Umm, bab "Apa Yang Akan Ada
Sesudah Dikuburkan", hal. 216] Wallahu a'lam

Apakah 3 bulanan (Telonan) , 7 bulanan (Mitoni dan Tingkepan) masa kehamilan, Memberi lampu pada Ari-ari dari Ajaran Islam ?

Seorang mantan Pandita Hindu
ditanya; [Sebelum masuk Islam beliau
bernama Pandita Budi Winarno,
setelah masuk Islam bernama
Abdul Aziz] Pertanyaan : Apakah Telonan, Mitoni dan Tingkepan dari ajaran
Islam ? [Telonan : Upacara 3 bulan masa
kehamilan, Mitoni dan Tingkepan :
Upacara 7 Bulan masa kehamilan;
biasanya dengan mandi-mandi] Jawab : Telonan, Mitoni dan Tingkepan yang sering kita
jumpai di tengah-tengah
masyarkat adalah teradisi
masyarakat Hindu. Upacara ini dilakukan dalam rangka memohon
keselamatan anak yang ada di
dalam rahim (kandungan).
Upacara ini biasa disebut Garba Wedana [garba : perut, Wedana : sedang mengandung].
Selama bayi dalam kandungan
dibuatkan tumpeng selamatan
Telonan, Mitoni, Tingkepan
[terdapat dalam Kitab Upadesa
hal. 46] Intisari dari sesajinya adalah : 1. Pengambean, yaitu upacara pemanggilan atman (urip). 2. Sambutan, yaitu upacara penyambutan atau peneguhan
letak atman (urip) si jabang bayi. 3. Janganan, yaitu upacara suguhan terhadap "Empat Saudara" [sedulur papat] yang menyertai kelahiran sang
bayi, yaitu : darah, air, barah,
dan ari-ari. [orang Jawa
menyebut : kakang kawah adi
ari-ari] Hal ini dilakukan untuk panggilan
kepada semua kekuatan-
kekuatan alam yang tidak
kelihatan tapi mempunyai
hubungan langsung pada
kehidupan sang bayi dan juga pada panggilan kepada Empat Saudara yang bersama-sama ketika sang bayi dilahirkan,
untuk bersama-sama diupacarai,
diberi pensucian dan suguhan
agar sang bayi mendapat
keselamatan dan selalu dijaga
oleh unsur kekuatan alam. Sedangkan upacara terhadap
ari-ari, ialah setelah ari-ari
terlepas dari si bayi lalu
dibersihkan dengan air yang
kemudian dimasukkan ke dalam
tempurung kelapa selanjutnya dimasukkan ke dalam kendil atau
guci. Ke dalamnya dimasukkah
tulisan "AUM" agar sang Hyang Widhi melindungi. Selain itu dimasukkan juga berbagai benda
lain sebagai persembahan kepada
Hyang Widhi. Kendil kemudian
ditanam di pekarangan, di kanan
pintu apabila bayinya laki-laki, di
kiri pintu apabila bayinya perempuan. Kendil yang berisi ari-ari ditimbun
dengan baik, dan pada malam
harinya diberi lampu, selama tiga bulan. Apa yang diperbuat
kepada si bayi maka
diberlakukan juga kepada Empat
Saudara tersebut. Kalau si bayi
setelah dimandikan, maka airnya
juga disiramkan kepada kendil tersebut. (Kitab Upadesa, tentang ajaran-ajaran
Agama Hindu, oleh : Tjok Rai
Sudharta, MA. dan Drs. Ida
Bagus Oka Punia Atmaja,
cetakan kedua 2007) Dikutip dari buku : Santri
Bertanya Mantan Pendeta
(Hindu) Menjawab ___________________________
___________________________
___________ KETERANGAN TAMBAHAN ; *1. KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA (NU) KE-5
Di Pekalongan, pada tanggal
13 Rabiul Tsani 1349 H / 7
September 1930 M. Lihat halaman : 58. Air mandi kembang 7 rupa Pertanyaan : Bagaimana hukumnya melempar
kendi yang penuh air hingga
pecah pada waktu orang-orang
yang menghadiri UPACARA
PERINGATAN BULAN KE TUJUH dari
umur kandungan pulang dengan membaca shalawat bersama-
sama, dan dengan harapan
supaya mudah kelahiran anak
kelak. Apakah hal tersebut
hukumnya haram karena
termasuk membuang-buang uang (tabzir) ? Jawab : Ya, perbuatan tersebut
hukumnya H A R A M karena termasuk tabdzir. *2. KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA (NU) KE-7
Di Bandung, pada tanggal
13 Rabiul Tsani 1351 H / 9
Agustus 1932 M. Lihat halaman : 71. Ari-ari yang diberi lampu
Menanam ari-ari (masyimah/
tembuni) hukumnya sunnah.
Adapun menyalakan lilin (lampu)
dan menaburkan bunga-bunga di
atasnya itu hukumnya H A R A M, karena membuang-buang harta (tabzir) yang tidak ada
manfa'atnya. ______________________ *Dikutip dari buku : "Masalah Keagamaan" hasil
Muktamar/Munas Ulama NU
ke I s/d XXX (yang terdiri dari 430 masalah) oleh KH. A. Aziz
Masyhuri ketua Pimpinan Pusat
Rabithah Ma'ahid Islamiyah dan
Pengasuh Ponpes Al Aziziyyah
Denanyar Jombang, Kata
Pengantar Menteri Agama Maftuh Basuni. Wallahu 'alam.

Penjelasan Dari Nahdalatul Ulama (NU), Para Ulama Salafus salih, WaliSongo, 4 Mahzab Tentang Bid'ahnya Tahlilan

Penjelasan Dari Nahdalatul
Ulama (NU), Para Ulama
Salafus salih, WaliSongo, 4
Mahzab Tentang Bid'ahnya
Tahlilan

Segala puji bagi Allah, sholawat
serta salam kita haturkan
kepada Nabi Muhammad beserta
keluarga dan sahabat-
sahabatnya. Do’ a dan shodaqoh untuk sesama muslim yang telah
meninggal menjadi ladang amal
bagi kita yang masih di dunia ini
sekaligus tambahan amal bagi
yang telah berada di alam sana.
Sebagai agama yang mencerahkan dan mencerdaskan,
Islam membimbing kita menyikapi
sebuah kematian sesuai dengan
hakekatnya yaitu amal shalih,
tidak dengan hal-hal duniawi
yang tidak berhubungan sama sekali dengan alam sana seperti
kuburan yang megah, bekal
kubur yang berharga, tangisan
yang membahana, maupun pesta
besar-besaran. Bila diantara
saudara kita menghadapi musibah kematian, hendaklah
sanak saudara menjadi penghibur
dan penguat kesabaran,
sebagaimana Rasulullah
memerintahkan membuatkan
makanan bagi keluarga yang sedang terkena musibah
tersebut, dalam hadits:

“Kirimkanlah makanan oleh kalian kepada keluarga
Ja'far, karena mereka
sedang tertimpa masalah
yang menyesakkan”.(HR Abu Dawud (Sunan Aby Dawud,
3/195), al-Baihaqy (Sunan
al-Kubra, 4/61), al-
Daruquthny (Sunan al-
Daruquthny, 2/78), al-
Tirmidzi (Sunan al-Tirmidzi, 3/323), al- Hakim (al-
Mustadrak, 1/527), dan Ibn
Majah (Sunan Ibn Majah,
1/514)

Namun ironisnya kini, justru uang
jutaan rupiah dihabiskan tiap
malam untuk sebuah selamatan
kematian yang harus ditanggung
keluarga yang terkena musibah.
Padahal ketika Rasulullah ditanya shodaqoh terbaik yang akan
dikirimkan kepada sang ibu yang
telah meninggal, Beliau menjawab
‘ air’ . Bayangkan betapa banyak orang yang mengambil manfaat
dari sumur yang dibuat itu
(menyediakan air bagi
masyarakat indonesia yang
melimpah air saja sangat
berharga, apalagi di Arab yang beriklim gurun), awet dan
menjadi amal jariyah yang terus
mengalir. Rasulullah telah
mengisyaratkan amal jariyah kita
sebisa mungkin diprioritaskan
untuk hal-hal yang produktif, bukan konsumtif; memberi kail,
bukan memberi ikan; seandainya
seorang pengemis diberi uang
atau makanan, besok dia akan
mengemis lagi; namun jika diberi
kampak untuk mencari kayu, besok dia sudah bisa mandiri.
Juga amal jariyah yang
manfaatnya awet seperti menulis
mushaf, membangun masjid,
menanam pohon yang berbuah
(reboisasi; reklamasi lahan kritis), membuat sumur/mengalirkan air
(fasilitas umum, irigasi),
mengajarkan ilmu, yang memang
benar-benar sedang dibutuhkan
masyarakat. Bilamana tidak
mampu secara pribadi, toh bisa dilakukan secara patungan.
Seandainya dana umat Islam
yang demikian besar untuk
selamatan berupa makanan
(bahkan banyak makanan yang
akhirnya dibuang sia-sia; dimakan ayam; lainnya menjadi isyrof)
dialihkan untuk memberi
beasiswa kepada anak yatim
atau kurang mampu agar bisa
sekolah, membenahi madrasah/
sekolah islam agar kualitasnya sebaik sekolah faforit (yang
umumnya milik umat lain),atau
menciptakan lapangan kerja dan
memberi bekal ketrampilan bagi
pengangguran, niscaya akan
lebih bermanfaat. Namun shodaqoh tersebut bukan suatu
keharusan, apalagi bila memang
tidak mampu. Melakukannya
menjadi keutamaan, bila tidak
mau pun tidak boleh ada celaan. Sebagian ulama menyatakan
mengirimkan pahala tidak
selamanya harus dalam bentuk
materi, Imam Ahmad dan Ibnu
Taimiyah berpendapat bacaan al-
Qur’ an dapat sampai sebagaimana puasa, nadzar, haji,
dll; sedang Imam Syafi’ i dan Imam Nawawi menyatakan bacaan al-
Qur’ an untuk si mayit tidak sampai karena tidak ada dalil
yang memerintahkan hal
tersebut, tidak dicontohkan
Rasulullah dan para shahabat.
Berbeda dengan ibadah yang
wajib atau sunnah mu’ akad seperti shalat, zakat, qurban,
sholat jamaah, i’ tikaf 10 akhir ramadhan, yang mana ada celaan
bagi mereka yang
meninggalkannya dalam keadaan
mampu. Akan tetapi di
masyarakat kita selamatan
kematian/tahlilan telah dianggap melebihi kewajiban- kewajiban
agama. Orang yang
meninggalkannya dianggap lebih
tercela daripada orang yang
meninggalkan sholat, zakat, atau
kewajiban agama yang lain. Sehingga banyak yang akhirnya
memaksakan diri karena takut
akan sanksi sosial tersebut. Mulai
dari berhutang, menjual tanah,
ternak atau barang berharga
yang dimiliki, meskipun di antara keluarga terdapat anak yatim
atau orang lemah. Padahal di
dalam al-Qur’ an telah jelas terdapat arahan untuk
memberikan perlindungan harta
anak yatim; tidak memakan
harta anak yatim secara dzalim,
tetapi menjaga sampai ia dewasa

(QS an-Nisa’ : 2, 5, 10, QS al- An’ am: 152, QS al-Isra’ : 34) serta tidak membelanjakannya secara
boros (QS an- Nisa’ : 6) Dibalik selamatan kematian
tersebut sesungguhnya juga
terkandung tipuan yang
memperdayakan.
Seorang yang
tidak beribadah/menunaikan
kewajiban agama selama hidupnya, dengan besarnya
prosesi selamatan setelah
kematiannya akan menganggap
sudah cukup amalnya, bahkan
untuk menebus kesalahan-
kesalahannya. Juga seorang anak yang tidak taat
beribadahpun akan menganggap
dengan menyelenggarakan
selamatan, telah menunaikan
kewajibannya berbakti/
mendoakan orang tuanya.
Imam Syafi'i rahimahullah dalam
kitab al-Umm berkata: "...dan aku membenci al-
ma'tam, yaitu proses
berkumpul (di tempat
keluarga mayat) walaupun
tanpa tangisan, karena hal
tersebut hanya akan menimbulkan bertambahnya
kesedihan dan
membutuhkan biaya,
padahal beban kesedihan
masih melekat." (al-Umm
(Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1393) juz I, hal 279)

Namun ketika Islam datang ke
tanah Jawa ini, menghadapi
kuatnya adat istiadat yang telah
mengakar. Masuk Islam tapi
kehilangan selamatan-selamatan,
beratnya seperti masyarakat Romawi disuruh masuk Nasrani
tapi kehilangan perayaan
kelahiran anak Dewa Matahari 25
Desember. Dalam buku yang ditulis H
Machrus Ali, mengutip naskah
kuno tentang jawa yang
tersimpan di musium Leiden,

Sunan Ampel
memperingatkan Sunan
Kalijogo yang masih
melestarikan selamatan
tersebut:“Jangan ditiru perbuatan semacam itu
karena termasuk bid'ah”. Sunan Kalijogo menjawab:
“Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam
telah tertanam di hati
masyarakat yang akan
menghilangkan budaya
tahlilan itu”.
Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali
Songo yang ditulis H. Lawrens
Rasyidi dan diterbitkan Penerbit
Terbit Terang Surabaya juga
mengupas panjang lebar
mengenai masalah ini. Dimana Sunan Kalijaga, Sunan Bonang,
Sunan Kudus, Sunan Gunungjati
dan Sunan Muria (kaum abangan)
berbeda pandangan mengenai
adat istiadat dengan Sunan
Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat (kaum putihan). Sunan
Kalijaga mengusulkan agar adat
istiadat lama seperti selamatan,
bersaji, wayang dan gamelan
dimasuki rasa keislaman.
Sunan Ampel berpandangan lain: “Apakah tidak mengkhawatirkannya di
kemudian hari bahwa adat
istiadat dan upacara lama
itu nanti dianggap sebagai
ajaran yang berasal dari
agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan
menjadi bid’ ah?”
Sunan kudus menjawabnya bahwa
ia mempunyai keyakinan
bahwa di belakang hari
akan ada yang
menyempurnakannya. (hal
41, 64)

Dalam penyebaran agama
Islam di Pulau Jawa, para
Wali dibagi menjadi tiga
wilayah garapan Pembagian wilayah tersebut
berdasarkan obyek dakwah yang
dipengaruhi oleh agama yang
masyarakat anut pada saat itu,
yaitu Hindu dan Budha. Pertama: Wilayah Timur. Di wilayah bagian timur ini ditempati
oleh lima orang wali, karena
pengaruh hindu sangat dominan.
Disamping itu pusat kekuasaan
Hindu berada di wilayah Jawa
bagian timur ini (Jawa Timur sekarang) Wilayah ini ditempati
oleh lima wali, yaitu Syaikh
Maulana Ibrahim (Sunan Demak),
Raden Rahmat (Sunan Ampel),
Raden Paku (Sunan Giri), Makdum
Ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Kasim (Sunan Drajat) Kedua : Wilayah Tengah. Di wilayah Tengah ditempati oleh
tiga orang Wali. Pengaruh Hindu
tidak begitu dominan. Namun
budaya Hindu sudah kuat. Wali
yang ditugaskan di sini adalah :
Raden Syahid (Sunan Kali Jaga), Raden Prawoto (Sunan Muria),
Ja'far Shadiq (Sunan Kudus) Ketiga : Wilayah Barat. Di wilayah ini meliputi Jawa bagian
barat, ditempati oleh seorang
wali, yaitu Sunan Gunung Jati
alias Syarief Hidayatullah. Di
wilayah barat pengaruh Hindu-
Budha tidak dominan, karena di wilayah Tatar Sunda (Pasundan)
penduduknya telah menjadi
penganut agama asli sunda,
antara lain kepercayaan "Sunda Wiwitan" Dua Pendekatan dakwah para
wali.
1. Pendekatan Sosial Budaya
2. Pendekatan aqidah Salaf Sunan Ampel, Sunan Bonang,
Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati
dan terutama Sunan Giri
berusaha sekuat tenaga untuk
menyampaikan ajaran Islam
secara murni, baik tentang aqidah maupun ibadah. Dan
mereka menghindarkan diri dari
bentuk singkretisme ajaran Hindu
dan Budha.
Tetapi sebaliknya
Sunan Kudus, Sunan Muria dan
Sunan Kalijaga mencoba menerima sisa-sisa ajaran Hindu
dan Budha di dalam
menyampaikan ajaran Islam.
Sampai saat ini budaya itu masih
ada di masyarakat kita, seperti
sekatenan, ruwatan, shalawatan, tahlilan, upacara tujuh bulanan
dll. Pendekatan Sosial budaya
dipelopori oleh Sunan Kalijaga,
putra Tumenggung Wilwatika,
Adipati Majapahit Tuban.
Pendekatan sosial budaya yang
dilakukan oleh aliran Tuban memang cukup efektif, misalnya
Sunan Kalijaga menggunakan
wayang kulit untuk menarik
masyarakat jawa yang waktu itu
sangat menyenangi wayang kulit.
Sebagai contoh dakwah Sunan kalijaga kepada Prabu Brawijaya
V, Raja Majapahit terakhir yang
masih beragama Hindu,
dapat
dilihat di serat Darmogandul, yang antara lain bunyinya; Punika sadar sarengat,
tegese sarengat niki, yen
sare wadine njegat;
tarekat taren kang osteri;
hakikat unggil kapti, kedah
rujuk estri kakung, makripat ngentos wikan,
sarak sarat laki rabi,
ngaben aku kaidenna yayan
rina" (itulah yang namanya
sahadat syariat, artinya
syariat ini, bila tidur kemaluannya tegak;
sedangkan tarekat artinya
meminta kepada istrinya;
hakikat artinya menyatu
padu , semua itu harus
mendapat persetujuan suami istri; makrifat
artinya mengenal ; jadilah
sekarang hukum itu
merupakan syarat bagi
mereka yang ingin berumah
tangga, sehingga bersenggama itu dapat
dilaksanakan kapanpun
juga). Dengan cara dan sikap Sunan Kalijaga seperti tergambar
di muka, maka ia satu-satunya
Wali dari Sembilan Wali di Jawa
yang dianggap benar-benar wali
oleh golongan kejawen (Islam
Kejawen/abangan),
karena Sunan Kalijaga adalah satu-
satunya wali yang berasal
dari penduduk asli Jawa
(pribumi).
[Sumber : Abdul Qadir Jailani ,
Peran Ulama dan Santri
Dalam Perjuangan Politik
Islam di Indonesia, hal. 22-23,
Penerbit PT. Bina Ilmu dan
Muhammad Umar Jiau al Haq, M.Ag, Syahadatain Syarat

Utama Tegaknya Syariat
Islam, hal. 51-54, Kata
Pengantar Muhammad Arifin
Ilham (Pimpinan Majlis Adz
Zikra),
Penerbit Bina Biladi Press.] Nasehat Sunan Bonang Salah satu catatan menarik yang
terdapat dalam dokumen “Het Book van Mbonang”
[1] adalah peringatan dari sunan Mbonang
kepada umat untuk selalu
bersikap saling membantu dalam
suasana cinta kasih, dan
mencegah diri dari kesesatan
dan bid’ ah. Bunyinya sebagai berikut: “Ee..mitraningsun! Karana sira iki apapasihana sami-
saminira Islam lan mitranira
kang asih ing sira lan
anyegaha sira ing dalalah
lan bid’ ah“. Artinya: “Wahai saudaraku! Karena kalian semua adalah
sama-sama pemeluk Islam maka
hendaklah saling mengasihi
dengan saudaramu yang
mengasihimu. Kalian semua
hendaklah mencegah dari perbuatan sesat dan bid’ ah.[2]
[1] Dokumen ini adalah
sumber tentang walisongo
yang dipercayai sebagai
dokumen asli dan valid, yang
tersimpan di Museum Leiden,
Belanda. Dari dokumen ini telah dilakukan beberapa
kajian oleh beberapa peneliti.
Diantaranya thesis Dr. Bjo
Schrieke tahun 1816, dan
Thesis Dr. Jgh Gunning tahun
1881, Dr. Da Rinkers tahun 1910, dan Dr. Pj Zoetmulder
Sj, tahun 1935. [2] Dari info Abu Yahta Arif
Mustaqim,
pengedit buku
Mantan Kiai NU Menggugat
Tahlilan, Istighosahan dan
Ziarah Para Wali hlm. 12-13.
Muktamar NU ke-1 di
Surabaya tanggal 13
Rabiuts Tsani 1345 H/21
Oktober 1926 mencantumkan pendapat Ibnu Hajar al-Haitami
dan menyatakan bahwa
selamatan kematian adalah bid'ah yang hina namun tidak sampai diharamkan dan merujuk
juga kepada Kitab Ianatut
Thalibin. Namun Nahdliyin generasi
berikutnya menganggap
pentingnya tahlilan tersebut
sejajar (bahkan melebihi) rukun Islam/Ahli Sunnah wal Jama’ ah. Sekalipun seseorang telah
melakukan kewajiban-kewajiban
agama, namun tidak melakukan
tahlilan, akan dianggap tercela
sekali, bukan termasuk golongan
Ahli Sunnah wal Jama’ ah. Di zaman akhir yang ini dimana
keadaan pengikut sunnah seperti
orang 'aneh' asing di negeri
sendiri, begitu banyaknya orang
Islam yang meninggalkan
kewajiban agama tanpa rasa malu, seperti meninggalkan
Sholat Jum'at, puasa
Romadhon,dll. Sebaliknya
masyarakat begitu antusias
melaksanakan tahlilan ini, hanya
segelintir orang yang berani meninggalkannya. Bahkan non-
muslim pun akan merasa kikuk
bila tak melaksanakannya.
Padahal para ulama terdahulu
senantiasa mengingat dalil-dalil
yang menganggap buruk walimah (selamatan) dalam suasana
musibah tersebut.
Dari sahabat
Jarir bin Abdullah al-Bajali: "Kami
(para sahabat) menganggap
kegiatan berkumpul di rumah
keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh
mereka merupakan bagian dari
niyahah (meratapi mayit)".
(Musnad Ahmad bin Hambal
(Beirut: Dar al-Fikr, 1994) juz II,
hal 204 & Sunan Ibnu Majah (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 514)


MUKTAMAR I NAHDLATUL
ULAMA (NU) KEPUTUSAN
MASALAH DINIYYAH NO: 18 /
13 RABI’ UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926 DI
SURABAYA

islam agama yang sempurna

Kehidupan dan Kematian Adalah
Dua Keniscayaan Kamu Muhammadiyah Ya ? PERSIS
Ya ? Al Irsyad Ya ? Salafi Ya ?
Wahabi Ya ? Kalimat itulah yang
sering dilontarkan oleh mereka
yang anti pati kepada mereka
yang tidak melakukan Tahlilan [selamatan Kematian] apabila ada
sanak keluarganya yang
meninggal dunia. Maka katakanlah kepada mereka; ْدَهْشاَو اَّنَأِب َنوُمِلْسُم Saksikanlah bahwa sesungguhnya
kami adalah Muslimun (orang-
orang yang berserah diri). [QS. Ali
Imron :52] KEMATIAN dan KELAHIRAN adalah
dua keniscayaan. Satu
kegembiraan dan satunya
kesedihan. Dan tidak mungkin
Islam tidak mengatur prosesi-
prosesi yang bersangkutan dengan kedua hal tersebut, Islam
telah mengaturnya dengan
mencontoh Rasulullah orang yang
PALING MENGERTI cara bersosialisi/
bermasyarakat. Beliau memiliki
akhlakul karimah, hati yang penyayang, paling santun dan
lembut hatinya. Beliau paling
mengerti bagaimana cara
menghibur orang dan mendo'akan
orang yang KEMATIAN dan
musibah lainnya. Bagimana cara bergembira bersama orang yang
lagi senang, baik menyambut
KELAHIRAN dan lainnya. Pada kasus
kematian, Rasulullah tidak pernah
mencontohkan TAHLILAN [dlm arti :
Selamatan Kematian]. RASULULLAH ADALAH ORANG
YANG PALING MENGERTI CARA
BERSOSIALISI DAN
BERMASYARAKAT "Lau Kaana Khairan Lasabaquuna
ilahi" [seandainya Selamatan
kematian itu baik, niscaya
Rasulullah dan para sahabatnya
paling bersegera melakukannya,
sebab perkara apapun yang bernilai baik (hasanah) dalam
rangka taqarrub kepada Allah
tidak akan pernah mereka
lewatkan] Maka sungguh na'if bagi mereka
yang berdalih untuk melakukan
Selamatan kematian hanya
berdasarkan pendapat bukan
dalil. Seandainyapun ada dalilnya : MAKA ALANGKAH NAI'FNYA
RASULULLAH TIDAK MENGERTI
BAHWA KALAU TERNYATA ADA
"DALILNYA" UNTUK MELAKUKAN
TAHLILAN, PADAHAL AL QUR'AN
TURUN DI SISI MEREKA DAN RASULULLAH MEMBIMBING MEREKA
[PARA SAHABAT] SECARA LANGSUNG.
Padahal di jaman Rasulullah para
sahabat banyak yang mati
syahid, bahkan ketika Istri beliau
Siti Khadijah dan anak beliau Al Qasim dan Ibrahim meninggal,
tidak ada keterangan Rasulullah
mentahlili mereka [red: selamatan
kematian]. Ketahuilah, pendapat seorang
ulama bukanlah SEBUAH DALIL.
Pendapat ulama, mustahil dapat
mengalahkan IJMA' SAHABAT. Begitu Sempurnanya ajaran Islam,
Mengatur Masalah Kematian dan
Kelahiran Ketahuilah, Islam adalah ad Dien
yang sempurna, sehingga tidak
perlu lagi penambahan dan
pengurangan syari'atnya. Apa-
apa yang telah menjadi syari'at
agama sejak diturunkannya QS. Al Maidah : 3, maka ia tetap menjadi
syari'at sampai sekarang dan
nantinya tanpa ada perubahan.

Sabtu, Januari 29, 2011

VALENTINE DAY (HARI BERKASIH SAYANG)

Setelah orang-orang
Romawi itu masuk agama
Nasrani(Kristian), pesta
'supercalis' kemudian
dikaitkan dengan upacara
kematian St. Valentine. Penerimaan upacara
kematian St. Valentine
sebagai 'hari kasih sayang'
juga dikaitkan dengan
kepercayaan orang Eropah
bahwa waktu 'kasih sayang' itu mulai bersemi 'bagai
burung jantan dan betina'
pada tanggal 14 Februari. Dalam bahasa Perancis
Normandia, pada abad
pertengahan terdapat kata
“Galentine” yang bererti 'galant atau cinta'.
Persamaan bunyi antara
galentine dan valentine
menyebabkan orang berfikir
bahwa sebaiknya para
pemuda dalam mencari pasangan hidupnya pada
tanggal 14 Februari. Dengan
berkembangnya zaman,
seorang 'martyr' bernama
St. Valentino mungkin akan
terus bergeser jauh pengertiannya(jauh dari
erti yang sebenarnya).
Manusia pada zaman
sekarang tidak lagi
mengetahui dengan jelas
asal usul hari Valentine. Di mana pada zaman sekarang
ini orang mengenal
Valentine lewat (melalui)
greeting card, pesta
persaudaraan, tukar kado
(bertukar-tukar memberi hadiah) dan sebagainya
tanpa ingin mengetahui
latar belakang sejarahnya
lebih dari 1700 tahun yang
lalu. Dari sini dapat diambil
kesimpulan bahwa moment
(hal/saat/waktu) ini
hanyalah tidak lebih
bercorak kepercayaan atau
animisme belaka yang berusaha merosak 'akidah'
muslim dan muslimah
sekaligus memperkenalkan
gaya hidup barat dengan
kedok percintaan
(bertopengkan percintaan), perjodohan dan kasih
sayang. PANDANGAN ISLAM Sebagai seorang muslim
tanyakanlah pada diri kita
sendiri, apakah kita akan
mencontohi begitu saja
sesuatu yang jelas bukan
bersumber dari Islam ? Mari kita renungkan firman
Allah s.w.t.: “ Dan janglah kamu megikuti apa yang kamu
tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan,
dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung
jawabnya”. (Surah Al-Isra : 36) Dalam Islam kata “tahu” berarti mampu mengindera
(mengetahui) dengan
seluruh panca indera yang
dikuasai oleh hati.
Pengetahuan yang sampai
pada taraf mengangkat isi dan hakikat sebenarnya.
Bukan hanya sekedar dapat
melihat atau mendengar.
Bukan pula sekadar tahu
sejarah, tujuannya, apa,
siapa, kapan(bila), bagaimana, dan di mana,
akan tetapi lebih dari itu. Oleh kerana itu Islam amat
melarang kepercayaan yang
membonceng(mendorong/
mengikut) kepada suatu
kepercayaan lain atau
dalam Islam disebut Taqlid. Hadis Rasulullah s.a.w:“ Barang siapa yang meniru
atau mengikuti suatu kaum
(agama) maka dia termasuk
kaum (agama) itu”. Firman Allah s.w.t. dalam
Surah AL Imran (keluarga
Imran) ayat
85 :“Barangsiapa yang mencari agama selain agama
Islam, maka sekali-sekali
tidaklah diterima (agama
itu) daripadanya, dan dia di
akhirat termasuk orang-
orang yang rugi”. HAL-HAL YANG HARUS DIBERI
PERHATIAN:- Dalam masalah Valentine itu
perlu difahami secara
mendalam terutama dari
kaca mata agama kerana
kehidupan kita tidak dapat
lari atau lepas dari agama (Islam) sebagai pandangan
hidup. Berikut ini beberapa
hal yang harus difahami di
dalam masalah 'Valentine
Day'. 1. PRINSIP / DASAR
Valentine Day adalah suatu
perayaan yang berdasarkan
kepada pesta jamuan
'supercalis' bangsa Romawi
kuno di mana setelah mereka masuk Agama
Nasrani (kristian), maka
berubah menjadi 'acara
keagamaan' yang dikaitkan
dengan kematian St.
Valentine. 2. SUMBER ASASI
Valentine jelas-jelas bukan
bersumber dari Islam,
melainkan bersumber dari
rekaan fikiran manusia
yang diteruskan oleh pihak gereja. Oleh kerana itu
lah , berpegang kepada
akal rasional manusia
semata-mata, tetapi jika
tidak berdasarkan kepada
Islam(Allah), maka ia akan tertolak. Firman Allah swt dalam
Surah Al Baqarah ayat
120 :“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan
senang kepada kamu hingga
kamu mengikuti agama
mereka. Katakanlah : “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah
petunjuk (yang
sebenarnya)”. Dan sesungguhnya jika kamu
mengikuti kemahuan mereka
setelah pengetahuan
datang kepadamu, maka
Allah tidak lagi menjadi
pelindung dan penolong bagimu”. 3. TUJUAN
Tujuan mencipta dan
mengungkapkan rasa kasih
sayang di persada bumi
adalah baik. Tetapi bukan
seminit untuk sehari dan sehari untuk setahun. Dan
bukan pula bererti kita
harus berkiblat kepada
Valentine seolah-olah
meninggikan ajaran lain di
atas Islam. Islam diutuskan kepada umatnya dengan
memerintahkan umatnya
untuk berkasih sayang dan
menjalinkan persaudaraan
yang abadi di bawah
naungan Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Bahkan Rasulullah s.a.w. bersabda :“Tidak beriman salah seorang di antara
kamu sehingga ia cinta
kepada saudaranya seperti
cintanya kepada diri
sendiri”. 4. OPERASIONAL
Pada umumnya acara
Valentine Day diadakan
dalam bentuk pesta pora
dan huru-hara.
Perhatikanlah firman Allah s.w.t.:“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu
adalah saudara-saudara
syaithon dan syaithon itu
adalah sangat ingkar
kepada Tuhannya”. (Surah Al Isra : 27) Surah Al-Anfal ayat 63
yang berbunyi : “… walaupun kamu membelanjakan semua
(kekayaan) yang berada di
bumi, niscaya kamu tidak
dapat mempersatukan hati
mereka, akan tetapi Allah
telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia
(Allah) Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana”. Sudah jelas ! Apapun
alasannya, kita tidak dapat
menerima kebudayaan
import dari luar yang
nyata-nyata bertentangan
dengan keyakinan (akidah) kita. Janganlah kita
mengotori akidah kita
dengan dalih toleransi dan
setia kawan. Kerana kalau dikata
toleransi, Islamlah yang
paling toleransi di dunia. Sudah berapa jauhkah kita
mengayunkan langkah
mengelu-elukan(memuja-
muja) Valentine Day ?
Sudah semestinya kita
menyedari sejak dini(saat ini), agar jangan sampai
terperosok lebih jauh lagi.
Tidak perlu kita irihati dan
cemburu dengan upacara
dan bentuk kasih sayang
agama lain.

Sabtu, Januari 15, 2011

CIRI LELAKI DAN WANITA AHLI NERAKA

Benarkah Lelaki Selamat
Dari Azab Neraka..? Kalau dilihat secara renungan
makrifat, terdapat satu hadis
Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam yang menceritakan
pengalaman baginda bertemu
Allah SWT di Sidratul Muntaha
malam Israk Mikraj, di mana Allah
SWT telah memperlihatkan
kepadanya keadaan wanita yang kebanyakan mereka dihumban
dalam api neraka lantaran
beberapa kesalahan semasa
berada di dunia. Namun ia bukan bermakna bahawa orang lelaki terselamat
daripada panas api neraka dan
dimasukkan dalam syurga Allah
yang penuh dengan pelbagai
nikmat yang luar biasa, yang
terkadang tidak tergambar oleh akal fikiran manusia semasa
hidup di dunia. Justeru, apabila kita lihat
beberapa istilah dalam al-Quran,
menggambarkan kepada kita
bahawa orang lelaki juga tidak kurang menjadi
penghuni neraka. Ini berdasarkan keterangan al-
Quran seperti istilah ‘Ashabun Nar’ (ahli neraka), al- Kafirun, al-Fasiqun, al-
Munafiqun, az-Zolimun dan juga istilah yang disebut oleh
baginda Rasulullah Sallallahu
‘Alaihi Wasallam seperti golongan ‘dayus’, peminum arak dan anak-anak derhaka. Apa yang menarik perhatian
dalam isu yang ingin dibangkitkan
di sini ialah golongan dayus
seperti yang ditegaskan dalam
sebuah hadis baginda. Ramai
daripada kalangan umat Islam hari ini tidak menyedari bahawa
mereka boleh termasuk golongan
yang dayus dan tempat golongan
ini di akhirat tidak lain adalah
neraka. Siapa Golongan Dayus..? Mengapa neraka bagi golongan
dayus? Golongan dayus ini sama
ada seorang ayah yang
membiarkan anak-anak gadis
mereka keluar rumah tanpa
mengenakan pakaian yang menutup aurat dengan sempurna
begitu juga seorang suami yang
membiarkan isterinya
mendedahkan aurat seperti
tidak memakai tudung kepala
hingga di bawah perhiasan mereka. Termasuklah membiarkan
pembantu rumah di kalangan
wanita asing yang dibiarkan
tidak menutup aurat, maka
suami tadi tidak berhak masuk
syurga kerana membiarkan isteri dan pembantu rumahnya tidak
menutup aurat seperti yang
ditegaskan oleh al-Quran. Peristiwa wanita ke neraka
pada malam Mikraj Sayidina Ali Karamallahuwajhah
berkata: “Saya dengan Fatimah pergi menghadap Rasulullah
Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Kami dapati beliau sedang
menangis, lalu kami bertanya
kepadanya, apakah yang
menyebabkan ayahanda
menangis, ya Rasulullah?” Baginda Sallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab: “Pada malam aku diisrak hingga ke langit, di sana aku
melihat perempuan dalam
keadaan amat dahsyat.
Dengan sebab itu aku
menangis mengenangkan
azab yang diterima mereka.” Saidina Ali Karamallahuwajhah
bertanya: “Apakah yang ayahanda lihat di sana?” Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab: “Aku lihat ada perempuan digantung rambutnya, otak
kepalanya menggelegak. Aku
lihat perempuan digantung
lidahnya, tangannya diikat
ke belakang dan timah cair
dicurah ke dalam halkumnya (tekak).
“Aku lihat perempuan yang digantung kedua-dua
kakinya terikat, tangannya
diikat ke ubun-ubunnya,
didatangkan ular dan kala.
Aku lihat perempuan yang
memakan dagingnya sendiri, di bawahnya dinyalakan api
neraka. Aku lihat perempuan
mukanya hitam dan
memakan tali perutnya
sendiri. “Aku lihat perempuan yang telinga pekak dan
matanya buta, diisikan ke
dalam peti yang diperbuat
daripada api neraka,
otaknya keluar daripada
lubang hidung, badan bau busuk kerana penyakit
kusta dan sopak. “Aku lihat perempuan yang kepalanya seperti babi,
badannya seperti himar
dengan pelbagai
kesengsaraan dihadapinya.
Aku lihat perempuan yang
rupanya seperti anjing, kala dan ular masuk ke
kemaluannya, mulut dan
pelepasnya (punggung).
Malaikat memukulnya dengan
corong api neraka.” Fatimah pun bertanya kepada
ayahandanya: “Ayahanda yang dikasihi, beritakanlah kepada
anakanda, apakah kesalahan
yang dilakukan oleh
perempuan itu?” Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab: “Fatimah, adapun perempuan tergantung rambutnya itu
adalah perempuan yang
tidak menutup rambut
daripada bukan muhrimnya.
Perempuan tergantung
lidahnya ialah perempuan yang menggunakan lidahnya
untuk memaki dan menyakiti
hati suaminya. “Perempuan yang digantung susunya adalah perempuan
yang menyusukan anak
orang lain tanpa izin
suaminya. Perempuan kedua-
dua kakinya tergantung itu
ialah perempuan yang keluar dari rumahnya tanpa izin
suaminya. “Perempuan tidak mahu mandi daripada suci haid dan
nifas ialah perempuan yang
memakan badannya sendiri,
juga kerana ia berhias untuk
lelaki bukan suaminya dan
suka mengumpat orang. “Perempuan yang memotong badannya sendiri dengan
gunting api neraka kerana ia
memperkenalkan dirinya
kepada orang asing,
bersolek dan berhias supaya
kecantikannya dilihat lelaki lain. “Perempuan diikat kedua kakinya dan tangannya ke
atas ubun-ubunnya,
disuakan ular dan kala
kepadanya kerana ia boleh
sembahyang tetapi tidak
mengerjakannya dan tidak mandi janabah. “Perempuan kepalanya seperti babi dan badannya
seperti himar ialah ahli
pengumpat dan pendusta.
Perempuan rupanya seperti
anjing ialah perempuan yang
suka membuat fitnah dan membenci suaminya. Seterusnya Rasulullah Sallallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda yang bermaksud: “Perempuan menyakit hati suami dengan lidahnya pada
hari kiamat nanti Allah
jadikan lidahnya sepanjang
70 hasta kemudian diikat di
belakang tengkoknya.” Abu Bakar as-Sidiq mengatakan,
aku dengar Rasulullah Sallallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda yang bermaksud: “Perempuan menggunakan lidah untuk menyakiti hati
suaminya ia akan dilaknat
dan kemurkaan Allah.” Usamah bin Zaid menceritakan,
bahawa Rasulullah Sallallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda yang bermaksud: “Aku berdiri di atas syurga, kebanyakan yang masuk ke
dalamnya adalah golongan
miskin dan orang kaya
tertahan di luar pintu
syurga kerana dihisab. Selain
daripada itu ahli neraka diperintahkan masuk ke
dalam neraka, dan aku
berdiri di atas pintu neraka,
aku lihat kebanyakan yang
masuk ke dalam neraka
adalah perempuan.” Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda yang
bermaksud: “Aku lihat api neraka, tidak pernah aku melihatnya
seperti hari ini, kerana ada
pemandangan yang dahsyat
di dalamnya aku saksikan
kebanyakan ahli neraka
adalah perempuan.” Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam ditanya, “Mengapa ya Rasulullah?” Baginda Sallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab: “Perempuan mengkufurkan suaminya dan mengkufurkan
ihsannya, Jika engkau
membuat baik kepadanya
seberapa banyak pun dia
belum berpuas hati dan
cukup.” (Hadis riwayat Bukhari)
Namun ia bukan bermakna
bahawa orang lelaki terselamat
daripada panas api neraka dan
dimasukkan dalam syurga Allah
yang penuh dengan pelbagai
nikmat yang luar biasa, yang terkadang tidak tergambar oleh
akal fikiran manusia semasa
hidup di dunia. Justeru, apabila kita lihat
beberapa istilah dalam al-Quran,
menggambarkan kepada kita
bahawa orang lelaki juga tidak
kurang menjadi penghuni neraka.
Ini berdasarkan keterangan al- Quran seperti istilah ‘Ashabun Nar’ (ahli neraka), al-Kafirun, al- Fasiqun, al-Munafiqun, az-Zolimun
dan juga istilah yang disebut
oleh baginda Rasulullah s.a.w.
seperti golongan ‘dayus’, peminum arak dan anak-anak
derhaka. Apa yang menarik perhatian
dalam isu yang ingin dibangkitkan
di sini ialah golongan dayus
seperti yang ditegaskan dalam
sebuah hadis baginda. Ramai
daripada kalangan umat Islam hari ini tidak menyedari bahawa
mereka boleh termasuk golongan
yang dayus dan tempat
golongan ini di akhirat tidak lain
adalah neraka. Mengapa neraka bagi golongan
dayus? Golongan dayus ini sama
ada seorang ayah yang
membiarkan anak-anak gadis
mereka keluar rumah tanpa
mengenakan pakaian yang menutup aurat dengan
sempurna begitu juga seorang
suami yang membiarkan isterinya
mendedahkan aurat seperti
tidak memakai tudung kepala
hingga di bawah perhiasan mereka. Termasuklah membiarkan
pembantu rumah di kalangan
wanita asing yang dibiarkan
tidak menutup aurat, maka
suami tadi tidak berhak masuk
syurga kerana membiarkan isteri dan pembantu rumahnya tidak
menutup aurat seperti yang
ditegaskan oleh al-Quran.

WANITA WANITA AHLI NERAKA DAN CIRI CIRINYA

Golongan Wanita Yang Di Siksa Dalam Neraka "Abdullah Bin Masud r.a. meriwayatkan bahawa Nabi s.a.w. bersabda : "Apabila seorang wanita mencucikan pakaian suaminya, maka Allah s.w.t. mencatat baginya seribu kebaikan, dan mengampuni dua ribu kesalahannya, bahkan segala sesuatu yang disinari sang
surya akan memintakan ampunan
baginya, dan Allah s.w.t. mengangkat seribu derajat untuknya." (H.R. ABU MANSUR DIDALAM KITAB MASNADIL FIRDAUS)
Ali r.a. meriwayatkan sebagai berikut : Saya bersama-sama Fathimah berkunjung kerumah Rasulullah, maka kami temui beliau sedang menangis. Kami bertanya kepada beliau: "Apakah yang menyebabkan engkau menangis wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Pada malam aku di Israkan ke langit, saya melihat orang-orang yang sedang mengalami penyiksaan, maka apabila aku teringat keadaan mereka, aku menangis."
Saya bertanya lagi, "Wahai Rasulullah apakah engkau lihat?" Beliau bersabda:
1. Wanita yang digantung dengan rambutnya dan otak kepalanya mendidih.
2. Wanita yang digantung dengan lidahnya serta tangan dicopot dari punggungnya, aspal mendidih
dari neraka dituang ke kerongkongnya.
3. Wanita yang digantung dengan buah dadanya dari balik punggungnya, sedang air getah kayu Zakum dituangkan ke kerongkongnya.
4. Wanita yang digantung, diikat kedua kaki dan tangannya kearah ubun-ubun kepalanya, serta dibelit dan dibawah kekuasaan ular dan kala jengking.
5. Wanita yang memakan badannya sendiri, serta dibawahnya tampak api yang berkobar-kobar dengan hebatnya.
6. Wanita yang memotong- motong badannya sendiri dengan gunting dari neraka.
7. Wanita yang bermuka hitam serta dia makan usus-ususnya sendiri.
8. Wanita yang tuli, buta dan bisu
didalam peti neraka, sedang darahnya mengalir dari lubang- lubang badannya (hidung, telinga,
mulut) dan badannya membusuk akibat penyakit kulit dan lepra.
9. Wanita yang berkepala seperti kepala babi dan berbadan himmar (keledai) yang mendapat berjuta macam siksaan.
10. Wanita yang berbentuk anjing, sedangkan beberapa ular dan kala jengking masuk melalui duburnya atau mulutnya dan keluar melalui duburnya, sedangkan malaikat sama-sama memukuli kepalanya dengan palu dari neraka.
Maka berdirilah Fatimah seraya berkata, "Wahai ayahku, biji mata kesayanganku, ceritakanlah kepadaku, apakah amal perbuatan wanita-wanita itu." Rasulullah s.a.w. bersabda : "Hai Fatimah, adapun tentang hal itu :
1. Wanita yang digantung dengan rambutnya kerana tidak menjaga
rambutnya (di jilbab) dikalangan laki-laki.
2. Wanita yang digantung dengan lidahnya, kerana dia menyakiti hati suaminya, dengan kata- katanya."
Kemudian Rasulullah S.A.W. bersabda : "Tidak seorang wanita
pun yang menyakiti hati suaminya melalui kata-kata, kecuali Allah s.w.t. akan membuat mulutnya kelak dihari kiamat selebar tujuh puluh dzira kemudian akan mengikatkannya dibelakang lehernya."
3. Adapun wanita yang digantung dengan buah dadanya, kerana dia menyusui anak orang lain tanpa seizin suaminya.
4. Adapun wanita yang diikat dengan kaki dan tanganya itu, kerana dia keluar rumah tanpa seizin suaminya, tidak mandi wajib dari haid dan dari nifas (keluar darah setelah melahirkan).
5. Adapun wanita yang memakan badannya sendiri, kerena dia bersolek untuk dilihat laki-laki lain serta suka membicarakan aib orang lain.
6. Adapun wanita yang memotong-motong badannya sendiri dengan gunting dari neraka, dia suka menonjolkan diri
(ingin terkenal) dikalangan orang banyak, dengan maksud supaya mereka (orang banyak) itu melihat perhiasannya, dan setiap orang yang melihatnya jatuh cinta padanya, karena melihat perhiasannya.
7. Adapun wanita yang diikat kedua kaki dan tangannya sampai keubun-ubunnya dan dibelit oleh ular dan kala jengking, kerana dia mampu untuk mengerjakan sholat dan puasa, sedangkan dia tidak mau berwudhu dan tidak sholat dan tidak mau mandi wajib.
8. Adapun wanita yang kepalanya
seperti kepala babi dan badannya seperti keledai (himmar), karena dia suka mengadu-domba serta berdusta.
9. Adapun wanita yang berbentuk seperti anjing, kerana dia ahli fitnah serta suka marah- marah pada suaminya.
Dalam sebuah hadis Rasulullah S.A.W. bersabda : empat jenis wanita yang berada di surga dan empat jenis wanita yang berada di neraka dan beliau menyebutnya di antara empat jenis perempuan yang berada di surga adalah :
1. Perempuan yang menjaga diri dari berbuat haram lagi berbakti kepada Allah dan suaminya.
2. Perempuan yang banyak keturunannya lagi penyabar serta menerima dengan senang hati dengan keadaan yang serba kekurangan (dalam kehidupan) bersama suaminya.
3. Perempuan yang bersifat pemalu, dan jika suaminya pergi maka ia menjaga dirinya dan harta suaminya, dan jika suaminya datang ia mengekang mulutnya dari perkataan yang tidak layak kepadanya.
4. Perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya dan ia mempunyai anak-anak yang masih kecil, lalu ia mengekang dirinya hanya untuk mengurusi anak-anaknya dan mendidik mereka serta memperlakukannya dengan baik kepada mereka dan tidak bersedia kawin karena khawatir anak-anaknya akan tersia-sia (terlantar).
Kemudian Rasulullah S.A.W. bersabda : Dan adapun empat jenis wanita yang berada di neraka adalah :
1. Perempuan yang jelek (jahat) mulutnya terhadap suaminya, jika suaminya pergi, maka ia tidak menjaga dirinya dan jika suaminnya datang ia memakinya (memarahinya).
2. Perempuan yang memaksa suaminya untuk memberi apa yang ia tidak mampu.
3. Perempuan yang tidak menutupi dirinya dari kaum lelaki dan keluar dari rumahnya dengan menampakkan perhiasannya dan memperlihatkan kecantikannya (untuk menarik perhatian kaum lelaki).
4. Perempuan yang tidak mempunyai tujuan hidup kecuali makan, minum dan tidur dan ia tidak senang berbakti kepada Allah, Rasul dan suaminya.
Oleh karena itu seorang perempuan yang bersifat dengan sifat-sifat (empat) ini, maka ia dilaknat termasuk ahli neraka kecuali jika ia bertaubat. Diceritakan dari isteri Khumaid As-sa-idiy bahwa ia datang kepada Rasulullah S.A.W. lalu berkata : "Hai Rasulullah sesungguhnya aku senang mengerjakan sholat bersamamu". Beliau berkata : "Aku mengerti bahwa engkau senang mengerjakan sholat bersamaku, akan tetapi sholatmu di tempat tidurmu itu lebih baik dari pada sholatmu dikamarmu dan sholatmu dikamarmu lebih baik dari solatmu dirumahmu dan sholatmu dirumahmu lebih baik daripada solatmu di mesjidku". (Bagi lelaki sangat dituntut sembahyang berjemaah di mesjid)
Rasulullah S.A.W. bersabda : "Sesungguhnya yang lebih disukai sholatnya perempuan oleh Allah ialah yang dilakukan pada tempat yang amat gelap dirumahnya".
Diceritakan dari Aisyah r.a. : "Pada suatu ketika Rasulullah S.A.W. duduk di masjid, tiba-tiba masuklah seorang perempuan dari suku Muzainah yang memakai pakaian yang terseret- seret ditanah untuk perhiasan pada dirinya di dalam masjid". Maka Rasulullah S.A.W. bersabda : "Wahai manusia laranglah isteri- isterimu dari memakai perhiasan dan memperindah gaya berjalan di dalam masjid. Kerana sesungguhnya kaum Bani Israil itu
tidak dilaknat hingga mereka memberi pakaian isteri-isteri mereka dengan pakaian perhiasan dan mereka berjalan dengan gaya sombong di dalam masjid".
Ibnu Abas r.a. meriwayatkan juga bahwa Rasulullah S.A.W. bersabda : "Apabila seorang wanita keluar rumahnya dengan mempesolek dirinya serta memakai bau-bauan (sedang suaminya redha akan berbuatan yang demikian itu), maka dibangunkan untuk suaminya pada setiap langkahnya sebuah rumah di neraka."
Sabda Rasulullah S.A.W. lagi yang bermaksud : "Jihad seorang wanita ialah taatkan suami dan menghiaskan diri untuknya."
Isteri tidak wajib taat perintah dan arahan suami, apabila perintah dan arahan itu bertentangan dengan hukum Allah S.W.T.
Imam Al-Ghazali menegaskan : "Seorang isteri wajib mentaati suami sepenuhnya dan memenuhi segala tuntutan suami dari dirinya sekiranya tuntutan itu tidak mengandungi maksiat."

FATWA IMAM SYA'FII TENTANG YASINAN

Majlis kenduri arwah lebih dikenali dengan berkumpul beramai-ramai dengan hidangan jamuan (makanan) di rumah si Mati. 

Kebiasaannya diadakan sama ada pada hari kematian, dihari kedua, ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, setahun dan lebih dari itu bagi mereka yang fanatik kepada kepercayaan ini atau kepada si Mati. 

Malangnya mereka yang mengerjakan perbuatan ini tidak menyadari bahawa terdapat banyak fatwa-fatwa dari Imam Syafie rahimahullah dan para ulama besar dari kalangan yang bermazhab Syafie telah mengharamkan dan membid’ahkan perbuatan atau amalan yang menjadi tajuk perbincangan dalam tulisan ini

Di dalam kitab ( ناعا ة طلا نیبلا ) juz 2. hlm. 146,

tercatat pengharaman Imam Syafie rahimahullah tentang perkara yang disebutkan di atas sebagaimana ketegasan beliau dalam fatwanya:


ُهَرْكَیَو ُذاَخِّتا ِماَعَّطلا ىِف ِمْوَیْلا ِلَّوَالْا ثِلاَّثلاَو َدْعَبَو ِعْوُبْسُالْا ُلْقَنَو ِماَعَّطلا ىَلِا ِرْوُبُقْلا

“Dan dilarang (ditegah/makruh) menyediakan makanan pada hari pertama kematian, hari ketiga dan seterusnnya sesudah seminggu. Dilarang juga membawa
makanan ke kuburan”. 

Imam Syafie dan jumhur ulama- ulama besar ( مئا ة ملعلا ءا شلا عفا ةی ) yang berpegang kepada mazhab Syafie, dengan berlandaskan kepada hadis-hadis sahih, mereka memfatwakan bahawa yang sewajarnya menyediakan makanan untuk keluarga si Mati adalah jiran, kerabat si Mati atau orang yang datang menziarahi mayat, bukan keluarga (ahli si Mati)
sebagaimana fatwa Imam Syafie:


ُّبِحُاَو ِناَرْیِجِل ِتِّیَمْلا ْيِذْوَا ِھِتَباَرَق ْنَا اْوُلَمْعَی ِلْھَال ِتِّیَمْلا ْىِف ِمْوَی ُتْوُمَی ِھِتَلْیَلَو اًماَعَط
اَم ْمُھُعِبْشُی َّنِاَو َكِلَذ ٌةَّنُس .

“Aku suka kalau jiran si Mati atau saudara mara si Mati menyediakan makanan untuk keluarga si Mati pada hari kematian dan malamnya sehingga mengenyangkan mereka. Sesungguhnya itulah amalan yang sunnah”. 

Fatwa Imam Syafie di atas ini adalah berdasarkan hadis sahih:


“Abdullah bin Ja’far berkata: Ketika tersebar tentang berita terbunuhnya Ja’far, 
Nabi sallallahu ‘alaihi wa-sallam bersabda: Hendaklah kamu menyediakan makanan untuk keluarga Ja’far, mereka telah ditimpa keadaan yang menyebukkan (kesusahan)”.

[1] Menurut fatwa Imam Syafie, adalah haram mengadakan kenduri arwah dengan menikmati hidangan di rumah si Mati, terutama jika si Mati termasuk keluarga yang miskin, menanggung beban hutang, meninggalkan anak-anak yatim yang masih kecil dan waris si
Mati mempunyai tanggungan perbelanjaan yang besar dan ramai. Tentunya tidak dipertikaikan bahawa makan harta anak-anak yatim hukumnya haram. Telah dinyatakan
juga di dalam kitab ( ةناعا نیبلاطلا ) jld. 2. hlm. 146:

“Imam Syafie berkata lagi: Dibenci bertetamu dengan persiapan makanan yang disediakan oleh ahli si Mati kerana ia adalah sesuatu yang keji dan ia adalah bid’ah”. Seterusnya di dalam kitab ( ناعا ة طلا نیبلا ) juz. 2. hlm. 146 – 147,


Imam Syafie rahimahullah berfatwa lagi:


َنِمِو ِعَدِبْلا ِةَرَكْنُمْلا ِهْوُرْكَمْلا ُھُلْعَف اَم ُلَعْفَی ُساَّنلا َنِم ِةَشْحَوْلا ِعْمَجْلاَو َنْیِعِبْرَالْاَو َب ْل َك ُّل َكِلَذ ٌماَرَح

1 H/R Asy-Syafie (I/317), Abu Dawud, Tirmizi, Ibnu Majah dan Ahmad I/205. Dihasankan oleh at- Turmizi dan di sahihkan oleh al- Hakim.

“Dan antara bid’ah yang mungkar ialah kebiasaan orang yang melahirkan rasa kesedihannya sambil berkumpul beramai-ramai melalui upacara (kenduri arwah) dihari keempat puluh (empat pulu harinya) pada hal semuanya ini adalah haram”. 
Ini bermakna mengadakan kenduri arwah (termasuk tahlilan dan yasinan beramairamai) dihari pertama kematian, dihari ketiga, dihari ketujuh, dihari keempat puluh, dihari keseratus, setelah setahun kematian dan dihari-hari seterusnya sebagaimana yang diamalkan oleh masyarakat Islam sekarang adalah perbuatan haram dan bid’ah menurut fatwa Imam Syafie.

 Oleh itu, mereka yang mendakwa bermazhab Syafie sewajarnya menghentikan perbuatan yang haram dan bid’ah ini sebagai mematuhi wasiat imam yang agung ini.


Seterusnya terdapat dalam kitab
yang sama
( ةناعا طلا نیبلا ) juz 2. hlm. 145-146,

 Mufti yang bermazhab Syafie al- Allamah Ahmad Zaini bin Dahlan rahimahullah menukil fatwa Imam Syafie yang menghukum bid’ah dan mengharamkan kenduri arwah:
َالَو َّكَش َّنَا َعْنَم ِساَّنلا ْنِم ِهِذَھ ِةَعْدِبْلا َكْنُمْلا ِةَر ْیِف ِھ َیْحِا ٌءا ُّسلِل ةَّن َتاَمِاَو ٌة َعْدِبْلِل ِة َفَو
ٌحْت ٍرْیِثَكِل ْنِم ِباَوْبَا ِرْیَخْلا ٌقْلَغَو ٍرْیِثَكِل ْنِم ْبَا ِباَو َّشلا ِّر ، َف َّنِا َّنلا َسا ُفَّلَكَتَی نْو ًفُّلَكَت ا ْیِثَك اًر ْيِّدَؤُی ىَلِا ْنَا َنْوُكَی َكِلَذ ُعْنُّصلا اًمَّرَحُم .

“Dan tidak boleh diragukan lagi bahawa melarang (mencegah) manusia dari perbuatan bid’ah yang mungkar demi untuk menghidupkan sunnah dan mematikan (menghapuskan) bid’ah, membuka banyak pintu- pintu kebaikan dan menutup pintu pintu keburukan dan (kalau dibiarkan bid’ah berterusan) orang-orang (awam) akan
terdedah (kepada kejahatan) sehingga memaksa diri mereka melakukan perkara yang haram”. 

Kenduri arwah atau lebih dikenali dewasa ini sebagai majlis tahlilan, selamatan atau yasinan, ia dilakukan juga di perkuburan terutama dihari khaul

Amalan ini termasuk perbuatan yang amat dibenci, ditegah, diharamkan dan dibid’ahkan oleh Imam Syafie rahimahullah sebagaimana yang telah ditegaskan oleh beliau:
 

“Apa yang diamalkan oleh manusia dengan berkumpul dirumah keluarga si mati dan menyediakan makanan adalah termasuk perbuatan bid’ah yang mungkar”.


[2] Di dalam kitab fikh ( شاح ةی یلقلا يبو ) juz. 1 hlm. 353 atau di kitab ( – یلق ىبو – یمع ةر شاح ناتی ) juz. 1 hlm. 414 
dapat dinukil ketegasan Imam ar-
Ramli rahimahullah yang mana beliau berkata:

2 Lihat: ةناعا نیبلاطلا juz 2 hlm. 145.

 َلاَق اَنُخْیَش ىِلْمَّرلا : َنِمَو ِعَدِبْلا ِةَرَكْنُمْلا ِهْوُرْكَمْلا اَھُلْعِف اَمَك ىِف ِةَضْوَّرلا اَم ُھُلَعْفَی
ُساَّنلا اَّمِم ىَّمَسُی َةَراَفِكْلا ْنِمَو ِعْنُص ِماَعَط ِعاَمَتْجِالل ِھْیَلَع َلْبَق ِتْوَمْلا ِعَبْوَا ُهَد ِمَو ن لا ِحْبَّذ َلَع
ى ِرْوُبُقْلا ، ْلَب ُّلُك َكِلَذ ٌماَرَح ْنِا َناَك ِم ْن َم ٍلا ُجْحَم ٍرْو َلَو ْو ِم َن َكرَّتلا ِة ، ْوَا ِم ْن َم ِلا ِّیَم ٍت ِھْیَلَع ٌنْیَد َبَّتَرَتَو ِھْیَلَع ٌرَرَض ْوَا ُوْحَن َكِلَذ .

“Telah berkata Syeikh kita ar- Ramli: Antara perbuatan bid’ah yang mungkar jika dikerjakan ialah sebagaimana yang dijelaskan di dalam kitab “Ar- Raudah” iaitu mengerjakan amalan yang disebut “kaffarah” secara menghidangkan makanan agar dapat berkumpul di rumah si Mati sama sebelum atau sesudah kematian, termasuklah (bid’ah yang mungkar) penyembelihan untuk si Mati, malah yang demikian itu semuanya haram terutama jika sekiranya dari harta yang masih dipersengketakan walau sudah ditinggalkan oleh si Mati atau harta yang masih dalam hutang (belum dilunas) atau seumpamanya”. 

Di dalam kitab ( ھقفلا ىلع بھاذملا ةعبرالا ) jld.1 hlm. 539, ada dijelaskan bahawa: 


“Termasuk bid’ah yang dibenci ialah apa yang menjadi amalan orang sekarang, iaitu menyembelih beberapa sembelihan ketika si Mati telah keluar dari rumah (telah dikebumikan). Ada yang melakukan sehingga kekuburan atau menyediakan makanan kepada sesiapa yang datang berkumpul untuk takziyah”. Kenduri arwah pada hakikatnya lebih merupakan tradisi dan kepercayaan untuk mengirim pahala bacaan fatihah atau menghadiahkan pahala melalui pembacaan al-Quran terutamanya surah yasin, zikir dan berdoa beramai-ramai yang ditujukan kepada arwah si
Mati.

 Mungkin persoalan ini dianggap isu yang remeh, perkara furu’, masalah cabang atau
ranting oleh sebahagian masyarakat awam dan dilebih- lebihkan oleh kalangan mubtadi’مبتد) “

pembuat atau aktivis bid’ah” sehingga amalan ini tidak mahu dipersoalkam oleh pengamalnya tentang haram dan tegahannya dari Imam Syafie rahimahullah dan para ulama yang bermazhab Syafie.


Pada hakikatnya, amalan mengirim atau menghadiahkan pahala bacaan seperti yang dinyatakan di atas adalah persoalan besar yang melibatkan akidah dan ibadah. 

Wajib diketahui oleh setiap orang yang beriman bahawa masalah akidah dan ibadah tidak boleh dilakukan secara suka-suka (tanpa ada hujjah atau dalil dari Kitab Allah dan Sunnah RasulNya),
tidak boleh berpandukan pada anggapan yang disangka baik lantaran ramainya
masyarakat yang melakukannya, kerana Allah Subhanahu wa- Ta’ala telah memberi amaran yang tegas kepada mereka yang suka bertaqlid (meniru) perbuatan orang ramai yang tidak
ada dalil atau suruhannya dari syara

 sebagaimana firmanNya:

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan (majoriti) orang- orang yang di muka bumi ini, nescaya mereka akan menyesatkan diri kamu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanya mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”. (QS. Al-An’am, 6:116)


Begitu juga sesuatu amalan yang disangkakan ibadah sama ada yang dianggap wajib atau sunnah, maka ia tidak boleh ditentukan oleh akal atau hawa nafsu, antara amalan tersebut
ialah amalan kenduri arwah (tahlilan atau yasinan) maka lantaran ramainya orang yang mengamalkan dan adanya unsur- unsur agama dalam amalan tersebut seperti bacaan al- Quran, zikir, doa dan sebagainya, maka kerananya dengan mudah diangkat dan dikategorikan sebagai ibadah. 

Sedangkan kita hanya dihalalkan mengikut dan mengamalkan apa yang benar- benar telah disyariatkan oleh al- Quran dan as-Sunnah jika ia dianggap sebagai ibadah 

sebagaimana firman Allah Azza wa-Jalla: َ

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat
(peraturan yang wajib ditaati)
dalam urusan (agamamu) itu,
maka ikutilah syariat itu dan
janganlah kamu ikuti hawa nafsu
orang-orang yang tidak mengetahui (orang jahil).
Sesungguhnya mereka sekali-kali
tidak akan dapat menolak diri
kamu sedikitpun dari siksaan
Allah”. (QS. Al-Jatsiyah, 45:18-19) 


Setiap amalan yang dianggap
ibadah jika hanya berpandukan
kepada andaian mengikut
perkiraan akal fikiran, perasaan,
keinginan hawa nafsu atau
ramainya orang yang melakukan tanpa dirujuk terlebih dahulu
kepada al-Quran, as-Sunnah dan
athar yang sahih untuk dinilai
sama ada haram atau halal,
sunnah atau bid’ah, maka perbuatan tersebutadalah suatu
kesalahan (haram dan bid’ah) menurut syara sebagaimana
yang dijelaskan oleh ayat di atas
dan difatwakan oleh Imam Syafie
rahimahullah. 

Memandangkan
polemik dan persoalan kenduri
arwah kerapkali ditimbulkan dan ditanyakan kepada penulis, maka
ia perlu ditangani dan
diselesaikan secara syarii
(menurut hukum dari al-Quran
dan as-Sunnah) serta fatwa
para ulama Ahli Sunnah wal- Jamaah dari kalangan Salaf as-
Soleh yang muktabar.


Dalam membincangkan isu ini pula,
maka penulis tumpukan kepada
kalangan para ulama dari mazhab Syafie kerana ramai mereka yang bermazhab Syafie menyangka bahawa amalan
kenduri arwah, tahlilan, yasinan
atau amalan mengirim pahala
adalah diajarkan oleh Imam
Syafie dan para ulama yang berpegang dengan mazhab
Syafie.

Insya-Allah, mudah-mudahan
tulisan ini bukan sahaja dapat
menjawab pertanyaan bagi
mereka yang bertanya, malah akan sampai kepada mereka
yang mempersoalkan isu ini,
termasuklah mereka yang masih
tersalah anggap tentang hukum
sebenar kenduri arwah (tahlilan
atau yasinan) menurut Ahli Sunnah wal-Jamaah.

YASINAN BUKANLAH SUNNAH

Bid’ah lainnya yang biasa dilakukan sebagian umat Islam adalah membaca bersama-sama surat Yasin setiap malam Jumat. Lalu mereka berkeyakinan mengirimkan pahalanya kepada arwah orang tua atau saudara yang sudah wafat. Sebenarnya, tidak ada masalah apa pun jika seseorang hendak membaca surat Yasin, bahkan itu adalah hal yang baik, sebab itu merupakan salah satu surat Al Quranul Karim. Namun, masalah mulai ada ketika membaca surat Yasin dikhususkan pada malam Jumat saja, tidak pada malam lainnya, dan tidak pula surat yang lainnya, lalu dibarengi dengan keyakinan atau fadhilah tertentu. Maka ini semua membutuhkan dalil khusus yang shahih untuk melaksanakannya. Jika, tidak ada maka tidak boleh melaksanakannya apalagi merutinkannya. Sebab, hal tersebut telah menjadi hal baru dalam agama. Ketetapan ini sesuai dengan kaidah yang ditetapkan para ulama:

لصألاف يف تادابعلا نالطبلا ىتح موقي ليلد ىلع رمألا
“Hukum asal dalam ibadah adalah batil, sampai adanya dalil yang menunjukkan
perintahnya.” (Imam Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in, 1/344. Maktabah Al Kulliyat Al Azhariyah)


Jadi, selama belum ada dalil yang mencontohkan atau memerintahkan, maka ibadah tersebut batil dan mengada- ngada. Kaidah ini berasal dari hadits berikut: نم ثدحأ يف

انرمأ اذه ام سيل هيف وهف در

“Barangsiapa yang membuat hal baru dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka itu tertolak.” (HR. Bukhari No. 2550. Muslim No. 1718)


Dalam hal yasinan setiap malam Jumat ini pun, kita tidak akan menemukan keterangannya dalam Al Quran dan As Sunnah tentang keutamaannya dibaca secara khusus pada malam Jumat. Kedudukan Hadits-Hadits Tentang Yasin
Hadits Pertama,

Dari Al Hasan Al Bashri Radhiallahu ‘Anhu: ْنَع يِبَأ َةَرْيَرُه ، َلاَق : َلاَق ُلوُسَر ِهَّللا ىَّلَص ُهَّللا ِهْيَلَع َمَّلَسَو : " ْنَم َأَرَق سي يِف ٍمْوَي ْوَأ ٍةَلْيَل َءاَغِتْبا ِهْجَو ِهَّللا َرِفُغ ُهَل"

Dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barang siapa yang membaca surat Yasin malam hari atau siang, dengan mengharapkan keridhaan Allah, maka dia akan diampuni.” (HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, 19/62/145) Hadits ini dha’if. Sebab, Al Hasan tidak mendengar langsung hadits itu dari Abu Hurairah.(Ibid)
Sementara dalam sanadnya terdapat Aghlab bin Tamim. Berkata Imam Al Haitsami tentang dia: “Dha’if.” (Imam Al Haitsami, Majma’ az Zawaw’id, 7/97. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah) Sementara Imam Bukhari berkata
tentang Aghlab bin Tamim: “Munkarul hadits (haditsnya munkar).” Imam Yahya bin Ma’in mengatakan: “Tidak ada apa- apanya.” Ibnu ‘Adi berkata: “Pada umumnya hadits-hadits darinya tidak terjaga.” Berkata Maslamah bin Qasim: “Munkarul hadits.” (Imam Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, 1/ 194). Maka jelaslah kedhaifan hadits tersebut.

Hadits Kedua. Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata: لاق لوسر هللا ىلص هللا هيلع ملسو نم ماد ىلع ةءارق سي لك ةليل مث تام تام اديهش . Dari Anas bin Malik, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barang siapa yang merutinkan membaca Yasin setiap malam, lalu dia mati, maka dia mati syahid.” Hadits ini palsu. Berkata Imam Al Haitsami tentang hadits ini: هاور يناربطلا يف ريغصلا هيفو ديعس نب ىسوم يدزالا وهو باذك Diriwayatkan oleh Ath Thabarani dalam Ash Shaghir, di dalam sanadnya terdapat Sa’id bin Musa Al Azdi, seorang pendusta. (Majma’ Az Zawaid, Ibid) Sementara Imam Ibnu Hibban menuduh Sa’id bi Musa sebagai pemalsu hadits. (Imam Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, 1/435) Maka, jelaslah kepalsuan hadits ini.

Hadits Ketiga. Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda: نم راز ربق هيدلاو لك ةعمج ، أرقف امهدنع وأ هدنع * ) سي ( * رفغ هل ددعب لك ةيآ وأ فرح “Barangsiapa yang menziarihi kubur dua orang tuanya setiap Jum’at, lalu dibacakan Yasin pada sisinya, maka akan diampunkan baginya setiap ayat atau huruf.” Hadits ini palsu. Ibnu ‘Adi berkata: “Hadits ini batil dan tidak ada asalnya sanad ini.” Ad Daruquthni mengatakan: “Hadits ini palsu, oleh karena itu Ibnul Jauzi memasukkan hadits ini kedalam kitabnya Al Maudhu’at (hadits- hadits palsu).” (Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Silsilah Adh Dha’ifah, 1/127/ 50)

Hadits Keempat. Dari Anas bin
Malik Radhiallahu ‘Anhu: َلاَق ُّيِبَّنلا ىَّلَص ُهَّللا ِهْيَلَع َمَّلَسَو َّنِإ ِّلُكِل ٍءْيَش اًبْلَق ُبْلَقَو ِنآْرُقْلا سي ْنَمَو َأَرَق سي َبَتَك ُهَّللا ُهَل اَهِتَءاَرِقِب َةَءاَرِق ِنآْرُقْلا َرْشَع ٍتاَّرَم Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya segala sesuatu memiliki hati, dan hatinya Al Quran adalah Yasin, dan barangsiapa yang membaca Yasin, maka Allah tetapkan baginya seperti membaca Al Quran sepuluh kali.” (HR. At Tirmidzi N0. 3048)
Hadits ini juga palsu. Kata Imam At Tirmidzi dalam sanadnya terdapat Harun Abu Muhammad seorang Syaikh yang majhul (tidak dikenal). (Ibid)
Syaikh Al Albany mengatakan hadits ini palsu, lantaran Harun Abu Muhammad. Selain itu dalam sanadnya terdapat Muqatil bin Sulaiman. Ibnu Abi Hatim bertanya
kepada ayahnya (Imam Abu Hatim
Ar Razi) tentang hadits ini dia menjawab: “Muqatil ini adalah Muqatil bin Sulaiman, aku pernah melihat hadits ini pada awal kitabnya yang telah dipalsukannya. Muqatil ini haditsnya batil dan tidak ada dasarnya.” Waki’ berkata: Muqatil adalah pendusta.” (Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, As Silsilah Adh Dha’ifah, 1/246/ 169)


Inilah sebagian tentang hadits- hadits keutamaan surat Yasin, semuanya masih dalam perbincangan, antara dhaif (lemah), munkar, bahkan palsu. Wallahu A’lam Ada hadits lain tentang keutamaan surat Yasin, yang agak lebih baik dibanding di atas, ini pun juga dhaif sebenarnya. Dari Ma’qil bin Yasar Radhiallahu ‘Anhu: لاق يبنلا ىلص هللا هيلع ملسو اوءرقا سي ىلع مكاتوم اذهو ظفل نبا ءالعلا . Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Bacakanlah Yasin terhadap orang yang menghadapi sakaratul maut.” Ini lafaz dari Ibnu al ‘Ala. (HR. Abu Daud No. 3121)

Para ulama berbeda pendapat dalam menilai hadits ini, tetapi umumnya mendhaifkan. Menurut Syaikh Al Albany hadits ini dha’if. (Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 3121).
Imam Ash Shan’ani menjelaskan, bahwa Imam Ibnul Al Qaththan menyatakan adanya cacat pada hadits ini yakni idhthirab (goncang), dan mauquf (hanya sampai sahabat nabi), dan terdapat rawi (periwayat) yang majhul (tidak dikenal) yakni Abu Utsman dan ayahnya. Sementara, Imam Ibnul ‘Arabi mengutip dari Imam Ad Daruquthni, yang mengatakan bahwa hadits ini sanadnya mudhtharib (goncang), majhulul matni (redaksinya tidak dikenal), dan tidak ada yang shahih satu pun hadits dalam bab ini (tentang Yasin). (Subulus Salam, 3/63. Mawqi’ Al Islam. At Talkhish Al Habir No. 734. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah) Sementara, Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Bulughul Maram mengatakan, Imam Ibnu Hibban menshahihkan hadits ini. (Imam Ibnu Hajar, Bulughul Maram, Kitabul Janaiz, no. 437. Cet.1, Darul Kutub Al Islamiyah).
Telah masyhur dikalangan muhadditsin (ahli hadits), bahwa Imam Ibnu Hibban adalah ulama yang mutasahil (terlalu memudahkan) dalam menshahihkan hadits. Oleh karena itu, penshahihan yang dilakukan kerap ditinjau ulang oleh ulama setelahnya.
Imam Ahmad dalam Musnad-nya, mengatakan, telah berkata kepada kami Abul Mughirah, telah
berkata kepada kami Shafwan, katanya: “Dahulu para masyayikh (guru) mengatakan jika dibacakan surat Yasin di sisi mayit, maka itu akan meringankannya.” Pengarang Musnad Al Firdaus telah menyandarkan riwayat ini dari Abu Darda’ dan Abu Dzar, mereka mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidaklah seorang mayit meninggal lalu dibacakan surat Yasin di sisinya, melainkan Allah Ta’ala akan memudahkannya.” Lalu, Imam Ash Shan’ani mengatakan, bahwa dua riwayat inilah yang menguatkan penshahihan yang dilakukan Imam
Ibnu Hibban, yang maknanya adalah menjelang kematian (bukan dibaca sesudah wafat, pen), dan dua riwayat ini lebih jelas dibanding riwayat yang dijadikan dalil olehnya. (Ibid)
Tertulis dalam kitab Raudhatul Muhadditsin, disebutkan bahwa Imam An Nawawi dalam Al Adzkar menyatakan hadits ini dhaif, lantaran ada dua orang yang majhul (tidak dikenal), hanya saja
–katanya- Imam Abu Daud tidak mendhaifkannya. Tetapi Imam An Nawawi berhujjah dengan hadits ini dalam kitabnya yang lain. (Imam An Nawawi, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/5)
Ibnu ‘Alan dalam Syarh Al Adzkar menerangkan bahwa Imam Ibnu Hajar juga menjadikan riwayat dari Shafwan sebagai penguat hadits ini, dan menurutnya riwayat Shafwan tersebut adalah mauquf dan sanadnya hasan. Bahkan, Al Hafizh Ibnu Hajar menghukumi riwayat tersebut adalah marfu’ (sampai kepada Rasulullah) dengan alasan para masyayikh (guru) tersebut yakni para sahabat dan tabi’in senior, tidak mungkin berkata menurut pendapat mereka sendiri. Sementara Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, dengan sanad shahih, dari jalan Abu Sya’tsa’ Jabir bin Zaid, salah seorang tabi’in terpercaya, bahwa dianjurkan dibacakan di sisi mayit surah Ar Ra’du. (Raudhatul Muhadditsin, No. 4691. Markaz Nur Al Islam. Imam An Nawawi, Al Adzkar, 1 /144. Darul Fikr)
Jadi, pada dasarnya hadits di atas adalah dhaif, namun menurut pihak yang menshahihkan, terdepat beberapa riwayat lain yang menjadi penguat (syawahid) menjadi shahih. Demikianlah pembahasan pro-kontra atas keshahihan hadits ini.

YASINNAN YANG DI ANGGAP SUNNAH

“Ayo pak kita yasinan di rumahnya pak RT!” Kegiatan yang sudah menjadi tradisi di
masyarakat kita ini biasanya diisi
dengan membaca surat Yasin
secara bersama-sama. Mereka
bermaksud mengirim pahala
bacaan tersebut kepada si mayit untuk meringankan
penderitaannya. Timbang-
timbang, daripada berkumpul
untuk bermain catur, kartu
apalagi berjudi, kan lebih baik
digunakan untuk membaca Al- Qur’an (khususnya surat Yasin). Memang sepintas jika
dipertimbangkan menurut akal
pernyataan itu benar namun
kalau dicermati lagi ternyata ini
merupakan kekeliruan. Al-Qur’an untuk Orang Hidup Al-Qur’an diturunkan Alloh Ta’ala kepada Nabi Muhammad
shollallohu’alaihi wa sallam sebagai petunjuk, rahmat,
cahaya, kabar gembira dan
peringatan. Maka kewajiban
orang-orang yang beriman untuk
membacanya, merenungkannya,
memahaminya, mengimaninya, mengamalkan dan berhukum
dengannya. Hikmah ini tidak akan
diperoleh seseorang yang sudah
mati. Bahkan mendengar saja
mereka tidak mampu.
“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang
mati itu mendengar.” (Terjemah An-Nahl: 80). Alloh Ta’ala juga berfirman di dalam surat Yasin
tentang hikmah tersebut yang
artinya, “Al Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab
yang memberi penerangan
supaya dia memberi peringatan
kepada orang-orang yang
hidup.” (Yasin: 69-70). Alloh berfirman yang artinya,
“Sesungguhnya seseorang itu tidak akan menanggung dosa
seseorang yang lain dan
bahwasanya manusia tidak akan
memperolehi ganjaran melainkan
apa yang telah ia kerjakan.” (An- Najm: 38-39). Berkata Al-Hafizh
Imam Ibnu Katsir rohimahulloh:
“Melalui ayat yang mulia ini, Imam Syafi’i rohimahulloh dan para pengikutnya menetapkan bahwa
pahala bacaan (Al-Qur’an) dan hadiah pahala tidak sampai
kepada orang yang mati, karena
bacaan tersebut bukan dari amal
mereka dan bukan usaha
mereka. Oleh karena itu
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
memerintahkan umatnya,
mendesak mereka untuk
melakukan perkara tersebut dan
tidak pula menunjuk hal tersebut
(menghadiahkan bacaan kepada orang yang mati) walaupun
hanya dengan sebuah dalil pun.” Adapun dalil-dalil yang
menunjukkan keutamaan surat
Yasin jika dibaca secara khusus
tidak dapat dijadikan hujjah.
Membaca surat Yasin pada malam
tertentu, saat menjelang atau sesudah kematian seseorang
tidak pernah dituntunkan oleh
syari’at Islam. Bahkan seluruh hadits yang menyebutkan
tentang keutamaan membaca
Yasin tidak ada yang sahih
sebagaimana ditegaskan oleh Al
Imam Ad Daruquthni. Islam telah menunjukkan hal yang
dapat dilakukan oleh mereka
yang telah ditinggal mati oleh
teman, kerabat atau
keluarganya yaitu dengan
mendo’akannya agar segala dosa mereka diampuni dan
ditempatkan di surga Alloh
subhanahu wa ta’ala. Sedangkan jika yang meninggal adalah orang
tua, maka termasuk amal yang
tidak terputus dari orang tua
adalah do’a anak yang sholih karena anak termasuk hasil
usaha seseorang semasa di
dunia. Biar Sederhana yang
Penting Ada Tuntunannya Jadi, tidak perlu repot-repot
mengadakan kenduri, yasinan
dan perbuatan lainnya yang
tidak ada tuntunannya dari
Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam. Bahkan apabila dikaitkan
dengan waktu malam Jum’at, maka ada larangan khusus dari
Rosululloh shollalohu’alaihi wa sallam yakni seperti yang
termaktub dalam sabdanya, “Dari Abu Hurairah, dari Nabi shollallohu
‘alaihi wa sallam: Janganlah kamu khususkan malam Jum’at untuk melakukan ibadah yang tidak
dilakukan pada malam-malam
yang lain.” (HR. Muslim). Bukankah lebih baik beribadah sedikit
namun ada dalilnya dan istiqomah
mengerjakannya dibanding
banyak beribadah tapi sia-sia?
Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beramal yang tidak ada
tuntunannya dari kami, maka ia
tertolak.” (HR. Muslim). Semoga Alloh subhanahu wa ta’ala melindungi kita semua dari hal-
hal yang menjerumuskan kita ke
dalam kebinasaan. Wallohu a’lam bishshowab. *** Penulis: Muhammad Ikrar Yamin
Artikel www.muslim.or.id