Laman

Entri Populer

Jumat, Juli 29, 2011

DOA BUKA PUASA YANG SHAHIH

Masyhur, tak
selamanya jadi
jaminan.
Begitulah yang
terjadi
pada “doa berbuka puasa”. Doa yang
selama ini terkenal di
masyarakat, belum tentu
shahih derajatnya. Terkabulnya doa dan
ditetapkannya pahala di
sisi Allah ‘Azza wa Jalla
dari setiap doa yang kita
panjatkan tentunya
adalah harapan kita semua. Kali ini, mari kita
mengkaji secara ringkas,
doa berbuka puasa yang
terkenal di tengah
masyarakat, kemudian
membandingkannya dengan yang shahih.
Setelah mengetahui
ilmunya nanti, mudah-
mudahan kita akan
mengamalkannya. Amin. Doa Berbuka Puasa
yang Terkenal di
Tengah Masyarakat Lafazh pertama: َﻚَﻟ َّﻢُﻬَّﻠﻟَﺍ ﻰَﻠَﻋَﻭ ُﺖْﻤُﺻ َﻚِﻗْﺯِﺭ ﺕْﺮَﻄْﻓَﺃ ”Ya Allah, untuk-Mu aku
berpuasa dan dengan
rezeki-Mu aku berbuka.” Doa ini merupakan bagian
dari hadits dengan redaksi
lengkap sebagai berikut: ِﻦْﺑ ِﺫﺎَﻌُﻣ ْﻦَﻋ َﺓَﺮْﻫُﺯ ، ُﻪَﻐَﻠَﺑ ُﻪَّﻧَﺃ َّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ َّﻥَﺃ ُﻪﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ َﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﻥﺎَﻛ َﻢَّﻠَﺳ َﺮَﻄْﻓَﺃ ﺍَﺫِﺇ َﻝﺎَﻗ : َّﻢُﻬَّﻠﻟَﺍ ُﺖْﻤُﺻ َﻚَﻟ ، َﻭ َﻚِﻗْﺯِﺭ ﻰَﻠَﻋ ُﺕْﺮَﻄْﻓَﺃ “Dari Mu’adz bin Zuhrah,
sesungguhnya telah
sampai riwayat kepadanya
bahwa sesungguhnya jika
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berbuka puasa, beliau membaca (doa),
‘Allahumma laka shumtu
wa ‘ala rizqika afthortu-
ed’ (ya Allah, untuk-Mu
aku berpuasa dan dengan
rezeki-Mu aku berbuka) .”[1] Hadits tersebut
diriwayatkan oleh Abu
Daud, dan dinilaidhaif oleh Syekh al-Albani dalam
Shahih wa Dhaif Sunan Abi
Daud. Penulis kitab Tahdzirul
Khalan min Riwayatil Hadits
hawla Ramadhan
menuturkan, “(Hadits ini)
diriwayatkan oleh Abu
Daud dalam Sunannya (2/316, no. 358). Abu Daud
berkata, ‘Musaddad telah
menyebutkan kepada
kami, Hasyim telah
menyebutkan kepada kami
dari Hushain, dari Mu’adz bin Zuhrah, bahwasanya
dia menyampaikan,
‘Sesungguhnya jika Nabi
shallallahu ‘alaihi wa
sallam berbuka puasa,
beliau mengucapkan, ‘Allahumma laka shumtu
wa ‘ala rizqika afthartu.
’”[2] Mua’dz ini tidaklah
dianggap sebagai perawi
yang tsiqah, kecuali oleh
Ibnu Hibban yang telah
menyebutkan tentangnya
di dalam Ats-Tsiqat dan dalam At-Tabi’in min Ar-
Rawah, sebagaimana al-
Hafizh Ibnu Hajar berkata
dalam Tahdzib at-Tahdzib
(8/224).[2]
Dan seperti kita tahu bersama bahwa Ibnu
Hibban dikenal oleh para
ulama sebagai orang yang
mutasahil, yaitu
bermudah-mudahan dalam
menshohihkan hadits-ed. Keterangan lainnya
menyebutkan bahwa
Mu’adz adalah seorang
tabi’in. Sehingga hadits ini mursal (di atas tabi’in terputus). Hadits mursal
merupakan hadits dho’if
karena sebab sanad yang
terputus. Syaikh Al Albani
pun berpendapat
bahwasanya hadits ini dho’if .[3] Hadits semacam ini juga
dikeluarkan oleh Ath
Thobroni dari Anas bin
Malik. Namun sanadnya
terdapat perowi dho’if
yaitu Daud bin Az Zibriqon, di adalah seorang perowi
matruk (yang dituduh
berdusta). Berarti dari
riwayat ini juga dho’if.
Syaikh Al Albani pun
mengatakan riwayat ini dho’if .[4] Di antara ulama yang
mendho’ifkan hadits
semacam ini adalah Ibnu
Qoyyim Al Jauziyah.[5] Lafazh kedua: َﻚَﻟ َّﻢُﻬّﻠﻟﺍ َﻚِﺑَﻭ ُﺖْﻤُﺻ ﻰَﻠَﻋَﻭ ُﺖْﻨَﻣﺁ َﻚِﻗْﺯِﺭ ﺕْﺮَﻄْﻓَﺃ “Allahumma laka shumtu
wa bika aamantu wa ‘ala
rizqika afthortu” (Ya
Allah, kepada-Mu aku
berpuasa dan kepada-Mu
aku beriman, dan dengan rizki-Mu aku berbuka).” Mulla ‘Ali Al Qori
mengatakan, “Tambahan
‘wa bika aamantu‘
adalah tambahan yang tidak diketahui
sanadnya, walaupun makna do’a tersebut
shahih.”[6]
Artinya do’a dengan
lafazh kedua ini pun
adalah do’a yang dho’if
sehingga amalan tidak bisa dibangun dengan do’a
tersebut. Berbuka Puasalah
dengan Doa-doa
Berikut Ini Do’a pertama: Terdapat sebuah hadits
shahih tentang doa
berbuka puasa, yang
diriwayatkan dari
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,َﺐَﻫَﺫ ُﺄَﻤَّﻈﻟﺍ ، ِﺖَّﻠَﺘْﺑﺍﻭ ُﻕﻭُﺮُﻌْﻟﺍ ، ُﺮْﺟَﻷْﺍ َﺖَﺒَﺛﻭ ُﻪﻠﻟﺍَﺀﺎَﺷ ْﻥِﺇ “Dzahabazh zhoma’u
wabtallatil ‘uruqu wa
tsabatal ajru insya Allah-
ed.”
[Telah hilanglah dahaga,
telah basahlah kerongkongan, semoga
ada pahala yang
ditetapkan, jika Allah
menghendaki](Hadits shahih, Riwayat Abu Daud [2/306, no. 2357] dan
selainnya; lihat Shahih al-
Jami’: 4/209, no. 4678) [7] Periwayat hadits adalah
Abdullah bin Umar
radhiyallahu ‘anhuma.
Pada awal hadits terdapat
redaksi, “Abdullah bin
Umar berkata, ‘Jika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berbuka
puasa, beliau
mengucapkan ….‘” Yang dimaksud dengan ﺮﻄﻓﺃ ﺍﺫﺇ adalah setelah makan atau minum yang menandakan
bahwa orang yang
berpuasa tersebut telah
“membatalkan” puasanya
(berbuka puasa, pen)
pada waktunya (waktu berbuka, pen). Oleh
karena itu doa ini tidak
dibaca sebelum makan
atau minum saat berbuka.
Sebelum makan tetap
membaca basmalah, ucapan “bismillah”
sebagaimana sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa
sallam, َﻞَﻛَﺃ ﺍَﺫِﺇ ْﻢُﻛُﺪَﺣَﺃ ِﺮُﻛْﺬَﻴْﻠَﻓ ِﻪَّﻠﻟﺍ َﻢْﺳﺍ ْﻥِﺈَﻓ ﻰَﻟﺎَﻌَﺗ ْﻥَﺃ َﻰِﺴَﻧ َﻢْﺳﺍ َﺮُﻛْﺬَﻳ ﻰَﻟﺎَﻌَﺗ ِﻪَّﻠﻟﺍ ِﻪِﻟَّﻭَﺃ ﻰِﻓ ِﻢْﺴِﺑ ْﻞُﻘَﻴْﻠَﻓ ُﻪَﻟَّﻭَﺃ ِﻪَّﻠﻟﺍ ُﻩَﺮِﺧﺁَﻭ “Apabila salah seorang di
antara kalian makan,
maka hendaknya ia
menyebut nama Allah
Ta’ala. Jika ia lupa untuk
menyebut nama Allah Ta’ala di awal, hendaklah
ia mengucapkan:
“Bismillaahi awwalahu wa
aakhirohu (dengan nama
Allah pada awal dan
akhirnya)”. (HR. Abu Daud no. 3767 dan At Tirmidzi
no. 1858. At Tirmidzi
mengatakan hadits
tersebuthasan shahih. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits
tersebutshahih) Adapun ucapanﺖﺒﺛﻭ ﺝﻷﺍ ﺭ maksudnya “telah hilanglah kelelahan dan
telah diperolehlah
pahala”, ini merupakan
bentuk motivasi untuk
beribadah. Maka, kelelahan
menjadi hilang dan pergi, dan pahala berjumlah
banyak telah ditetapkan
bagi orang yang telah
berpuasa tersebut. Do’a kedua: Adapun doa yang lain yang
merupakan atsar dari
perkataan Abdullah bin
‘Amr bin al-’Ash
radhiyallahu ‘anhuma
adalah, ﻲِّﻧﺇ َّﻢُﻬَّﻠﻟَﺍ َﻚُﻟﺄْﺳَﺃ َﻚِﺘَﻤْﺣَﺮِﺑ ْﺖَﻌِﺳَﻭ ﻲِﺘَّﻟﺍ ٍﺀْﻲَﺷ َّﻞُﻛ ، ْﻲِﻟ َﺮِﻔْﻐَﺗ ْﻥﺃ “Allahumma inni as-aluka
bi rohmatikal latii wasi’at
kulla syain an taghfirolii-
ed”
[Ya Allah, aku memohon
rahmatmu yang meliputi segala sesuatu, yang
dengannya engkau
mengampuni aku](HR. Ibnu
Majah: 1/557, no. 1753;
dinilaihasan oleh al-Hafizh dalam takhrij beliau untuk
kitab al-Adzkar; lihat
Syarah al-Adzkar: 4/342)
[8] —
[1] Shahih wa Dhaif Sunan
Abi Daud, Kitab ash-
Shaum, Bab al-Qaul ‘inda
al-Ifthar, hadits no. 2358.
[2] Tahdzirul Khalan min Riwayatil Hadits hawla
Ramadhan, hlm. 74-75.
[3] Lihat Irwaul Gholil,
4/38-ed.
[4] Lihat Irwaul Gholil,
4/37-38-ed. [5] Lihat Zaadul Ma’ad,
2/45-ed.
[6] Mirqotul Mafatih,
6/304-ed.
[7] Syarah Hisnul Muslim,
bab Dua’ ‘inda Ifthari ash-Shaim, hadits no. 176.
[8] Syarah Hisnul Muslim,
bab Dua’ ‘inda Ifthari
ash-Shaim, hadits no. 177.

Rabu, Juli 27, 2011

JANJI BUKAN SEBATAS UCAPAN

Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. (QS. An-Nisaa: 145) DISEBUTKAN dalam sebuah hadits shahih bahwa ciri-ciri orang munafik ada tiga: pertama, apabila ia berbicara ia berdusta; kedua, apabila ia berjanji ia mengingkari; ketiga, apabila diberi amanah ia berkhianat. (HR. Muslim) Dari hadits tersebut dapat dilihat bahwa janji bukanlah perkara biasa. Meski demikian, kenyataannya janji sering muncul sebatas ucapan, yang begitu saja mudah dilupakan, seolah tiada bekas sama sekali. Padahal, kedudukan janji sangat tinggi pertanggungjawabannya di sisi Allah. Dalam hadits riwayat Muslim sendiri, orang-orang yang senang mengingkari janji dikategorikan sebagai orang- orang munafik. Selain itu, Al- Quran pun mensinyalirnya sebagai berikut, Orang-orang munafik mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak ada terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan. (QS. Ali Imran: 167). Betapa banyak wahyu Allah Swt. yang diturunkan kepada umat- Nya mengingatkan tentang bahaya orang-orang munafik dan balasan yang akan diterimanya, baik pada kehidupan dunia maupun akhirat. Salah satunya dapat kita petik dari surat An-Nisaa ayat 138 yang mengabarkan siksaan yang amat pedih bagi orang-orang munafik. Hidup manusia tidak pernah luput dari selimut janji. Sejak ruh manusia ditiupkan, manusia telah berjanji kepada Rabb-Nya, kepada Rasul-Nya dan atas konsekuensi dien-nya. Sebuah ucapan kalimat sakti dari setiap hamba sebagai bentuk janji, ikrar diri tentang keesaan Tuhannya. Kemudian, seorang anak manusia lahir ke dunia. Dalam perkembangannya, manusia akan hidup dalam lingkungan keluarga, menjalankan fungsinya sebagai bagian dari masyarakat, mengemban peran-peran. Di situlah manusia mulai akrab dengan istilah yang disebut janji. Di situ pula kesetiaan seseorang pada ucapannya diuji. Ucapan menuntut sebuah pembuktian. Pembuktian tentang jaminan kesejahteraan, dan peningkatan kesejahteraan hidup, dan yang lain. Mungkin juga pembuktian atas janji pada diri, keluarga, anak, istri, untuk melakukan perbaikan. Lisan memang menjadi godaan yang berat. Bukankah semua hal yang kita ucapkan atau bahkan hanya kita simpan dalam hati, akan dipinta pertanggungjawaban oleh Allah? Tidak dipungkiri, hati kecil sendiri sering berontak dengan pengingkaran-pengingkaran yang kita perbuat. Tapi entah, manusia lebih suka dengan dalih. Ya, segala macam alasan sering terlontar sebagai bentuk pertahanan dari kekerdilan jiwa yang ringkih. Sebagai bentuk pembenaran dari peningkatan yang dibuat sendiri. Kebohongan yang kesekian kali untuk pembenaran diri sendiri. Karena begitu seringnya terjadi atau kita dengar dalam lingkungan hidup kita, tak heran bualan- bualan janji akhirnya berkembang menjadi budaya. Budaya buruk yang terpelihara. Dalam tatanan sosial, sanksi yang diterima oleh orang-orang yang mengumbar janji, antara lain jatuhnya harga diri seseorang. Kepada orang-orang yang sering berjanji dan sering pula mengingkari, ia tidak akan dipercaya lagi dalam lingkungannya. Apapun yang diucapkan akan dianggap angin lalu yang tidak berguna sekalipun itu sangat penting. Inilah konsekuensi berat yang harus diterima bagi orang-orang yang senang "obral" janji. Orang yang senang mempermainkan janji juga akan tersisih dari lingkungannya. Lalu, apa yang akan diterima baginya sebagai balasan di akhirat nanti? Dikatakan dalam surat An-Nisaa ayat 145, Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. Ya, Allah lindungilah kami, hamba- Mu ini dari sifat ingkar janji. Semoga kita terpelihara dari sifat-sifat orang munafik, sifat yang suka mengumbar janji tanpa peduli untuk menepati. Wallahu a'lam.***

MENGENAL TANDA MUNAFIQ

Dari Abu Hurairah RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga: bila berbicara, ia berdusta; bila berjanji, ia mengingkari; dan bila diberi kepercayaan (amanah), ia berkhianat.” Muttafaqun ‘alaih. Dari hadits Abdullah bin Umar
disebutkan, “Dan bila berselisih,
ia berbuat fajir.” Pelajaran Hadits 1.Definisi Nifaq Ibn Rajab berkata: “Nifaq secara
bahasa merupakan jenis
penipuan, makar, menampakkan
kebaikan dan memendam
kebalikannya. Secara syari’at terbagi dua:
Pertama, Nifaq Akbar
(Kemunafikan Besar); yaitu
upaya seseorang menampakkan
keimanan kepada Allah SWT, para
malaikat, kitab-kitab, Rasul dan hari akhir, sebaliknya memendam
lawan dari itu semua atau
sebagiannya. Inilah bentuk nifaq
(kemunafikan) yang terjadi pada
masa Rasulullah SAW dan yang
dicela dan dikafirkan para pelakunya oleh al-Qur’an.
Rasulullah SAW menginformasikan
bahwa pelakunya kelak akan
menempati neraka paling bawah. Kedua, Nifaq Ashghar
(Kemunafikan Kecil); yaitu
kemunafikan dalam perbuatan.
Gambarannya, seseorang
menampakkan secara teranga-
terangan keshalihannya namun menyembunyikan sifat yang
berlawanan dengan itu. 2.Pokok-Pokok Nifaq Pokok-pokoknya kembali kepada
beberapa sifat yang disebutkan
dalam hadits-hadits (yang
disebutkan Ibn Rajab dalam
syarah Arba’in, termasuk hadits
yang kita kaji ini), di antaranya: 1. Seseorang berbicara mengenai
sesuatu yang dibenarkan orang
lain padahal ia berdusta. Nabi
SAW bersabda dalam kitab al-
Musnad karya Imam Ahmad,
“Amat besar pengkhianatanya manakala kamu berbicara kepada
saudaramu dengan suatu
pembicaraan di mana ia
membenarkanmu namun kamu
berdusta kepadanya.” 2. Bila berjanji, ia mengingkari. Ini
terbagi kepada dua jenis:
Pertama, seseorang berjanji
padahal di dalam niatannya tidak
ingin menepatinya. Ini merupakan
pekerti paling buruk. Kedua, Berjanji pada dirinya
untuk menepati janji, kemudian
timbul sesuatu, lalu
mengingkarinya tanpa alasan.
Dalam hadits yang dikeluarkan
Abu Daud dan at-Turmudzi dari hadits Zaid bin Arqam, dari nabi
SAW, beliau bersabda, “Bila
seorang laki-laki berjanji dan
berniat menepatinya namun
tidak dapat menepatinya, maka
tidak apa-apa baginya (ia tidak berdosa).” 3. Bila berseteru, ia berbuat fajir.
Makna fujur adalah keluar dari
kebenaran secara sengaja
sehingga kebenaran ini menjadi
kebatilan dan kebatilan menjadi
kebenaran. Dan inilah yang menyebabkannya melakukan
dusta sebagaimana sabda Nabi
SAW, “Berhati-hatilah terhadap
kedustaan, sebab kedustaan
dapat menggiring kepada ke-
fujur-an dan ke-fujur-an menggiring kepada neraka.” Di
dalam kitab ash-Shahihain dari
nabi SAW, beliau bersabda,
“Sesungguhnya laki-laki yang
paling dibenci Allah adalah yang
paling suka berseteru dalam kebatilan.” Dan di dalam sunan
Abi Daud, dari Ibnu ‘Umar, dari
nabi SAW, beliau bersabda,
“Barangsiapa yang berseteru
dalam kebatilan padahal ia
mengetahuinya, maka senantiasalah ia dalam
kemurkaan Allah hingga
menghadapi sakaratul maut.” Di
dalam riwayat lain, “Barangsiapa
yang membantu dalam
perseteruan secara zhalim, maka ia akan mendapatkan kemurkaan
dari Allah.” 4. Bila berjanji, ia mengkhianati
(mengingkari) dan tidak
menepatinya. Padahal Allah SWT
menyuruh agar menepati janji
seraya berfirman, “Dan
penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggung-jawabannya.”
(QS.al-Isra’/17:34) Dan firman-
Nya, “Dan tepatilah perjanjian
dengan Allah apabila kamu
berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah
(mu) itu, sesudah
meneguhkannya sedang kamu
telah menjadikan Allah sebagai
saksimu (terhadap sumpah-
sumpah itu).” (QS.an-Nahl/16:91) Di dalam kitab ash-Shahihain dari
Ibn ‘Umar dari Nabi SAW, beliau
bersabda, “Setiap pengkhianat
akan memiliki panji pengenal pada
hari kiamat, lalu dikatakan; inilah
pengkhianatan si fulan.” Mengkhianati setiap perjanjian
yang terjadi antara seorang
Muslim dan orang lain haram
hukumnya sekali pun orang yang
diajak berjanji itu adalah seorang
kafir. Oleh karena itu, di dalam riwayat
al-Bukhari, dari hadits ‘Abdullah
bin ‘Amr bin al-‘Ash, dari nabi
SAW, beliau bersabda, “Siapa
yang membunuh jiwa yang diberi
perjanjian tanpa hak, maka ia tidak akan mencium bau surga.
Sesungguhnya baunya terasa
dari jarak perjalanan 40 tahun.” Tentunya, perjanjian yang
terjadi di antara sesama Muslim,
harus lebih ditepati lagi dan
membatalkannya merupakan
dosa besar. Bentuk dosa paling
besar dalam hal ini adalah membatalkan perjanjian dengan
imam (pemimpin negara Islam)
yang dilakukan oleh orang-orang
yang mengikuti dan sudah rela
terhadapnya. Di dalam kitab ash-Shahihain, dari
hadits Abu Hurairah RA, dari nabi
SAW, beliau bersabda, “Tiga
orang yang tidak diajak bicara
oleh Allah pada hari Kiamat, tidak
Dia bersihkan diri mereka dan mereka malah akan mendapat
azab yang pedih…” Di dalam
hadits ini, beliau SAW
menyebutkan salah satu dari
mereka, yaitu seorang laki-laki
yang telah membai’at seorang imam, tetapi ia membai’atnya
hanya karena dunia; jika ia (sang
imam) memberinya sesuai dengan
apa yang diinginkannya, maka ia
menepatinya dan bila tidak, maka
ia tidak pernah menepatinya.” Termasuk dalam janji yang wajib
ditepati dan haram dikhianati
adalah seluruh akad seperti jual
beli, pernikahan dan akad-akad
lazim yang wajib ditepati, yang
terjadi di antara sesama Muslim bila mereka saling rela atasnya.
Demikian pula, sesuatu yang
wajib ditepati karena Allah SWT
dari perjanjian hamba dengan
Rabbnya seperti nadzar berbuat
kebajikan dan semisalnya. 5. Bila diberi amanah, ia
berkhianat. Bila seseorang diberi
amanah, maka ia wajib
mengembalikannya. Hal ini
sebagaimana firman Allah SWT,
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak
menerimanya…” (QS.an-
Nisa’/4:58) At-Turmudzi dan Abu Daud
mengeluarkan hadits dari Abu
Hurairah bahwasanya Nabi SAW
bersabda, “Tunaikanlah amanah
kepada orang yang beramanah
kepadamu dan janganlan mengkhianati orang yang
berkhianat kepadamu.” Khianat terhadap amanah
merupakan salah satu sifat
munafik sebagaimana firman Allah
SWT, “Dan di antara mereka ada
orang yang telah berikrar
kepada Allah, sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian
karunia-Nya kepada kami,
pastilah kami akan bersedekah
dan pastilah kami termasuk
orang-orang yang shaleh.[75]
Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari
karunia-Nya, mereka kikir
dengan karunia itu, dan
berpaling, dan mereka
memanglah orang-orang yang
selalu membelakangi (kebenaran). [76]Maka Allah menimbulkan
kemunafikan pada hati mereka
sampai kepada waktu mereka
menemui Allah, karena mereka
telah memungkiri terhadap Allah
apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena
mereka selalu berdusta.[77]”
(QS.at-Taubah/9:75-77) Dan firman-Nya, “Sesungguhnya
Kami telah mengemukakan
amanat (tugas-tugas
keagamaan) kepada langit, bumi
dan gunung-gunung…..” (QS.al-
Ahzab/33:72) Pokoknya, semua Nifaq Ashghar
terpulang kepada adanya
perbedaan antara perkara
tersembunyi (bathiniah) dan
terang-terangan (lahiriah). Al-
Hasan al-Bashori RAH berkata, “Sekelompok Salaf berkata,
‘Kekhusyu’an nifaq hanya
terlihat pada kehusyu’an raga
sedangkan hatinya tidak pernah
khusyu’.” ‘Umar RA berkata, “Sesuatu
yang paling aku khawatirkan dari
kalian adalah Munafiq ‘Alim
(yang berpengetahuan).” Lalu
ada yang bertanya, “Bagaimana
mungkin, seorang munafik memiliki sifat ‘alim.?” Ia
menjawab, “Ia berbicara dengan
penuh hikmah namun melakukan
kezhaliman atau kemungkaran.” Nifaq Ashghar merupakan sarana
melakukan Nifaq Akbar
sebagaimana halnya perbuatan-
perbuatan maksiat adalah
merupakan ‘kotak pos’
kekufuran. Bentuk sifat nifaq ‘amali
(praktis) yang paling besar
adalah manakala seseorang
melakukan suatu perbuatan,
tampak berniat baik namun ia
melakukan itu hanya agar dapat mencapai tujuan yang buruk.
Dengan tipuan itu, ia lantas
mencapai tujuannya, bergembira
dengan makar dan tipuannya
sementara orang-orang
memujinya atas pertunjukan (kepura-puraan) yang
membuatnya sampai kepada
tujuan buruk yang dipendamnya
itu. Manakala di kalangan shahabat
telah ditetapkan bahwa nifaq
adalah adanya perbedaan antara
perkara tersembunyi dan
terang-terangan, maka sebagian
mereka khawatir bila terjadi perubahan hati; konsentrasi,
kekhusyu’an dan
kelembutannya ketika
mendengar adz-Dzikr (al-Qur’an)
dengan menoleh dunia dan sibuk
dengan urusan keluarga, anak dan harta di mana hal itu semua
akan menjadi salah satu bentuk
kemunafikan dari mereka. Karena
itu, Rasulullah SAW sampai
berkata kepada mereka, “Hal itu
bukan termasuk kemunafikan.” 3. Perbedaan Para Ulama Para ulama berbeda pendapat
mengenai hukum menepati janji
dalam 3 pendapat:
PERTAMA, Menepati janji
hukumnya Mustahab (dianjurkan)
, bukan wajib, baik dari aspek keagamaan mau pun penunaian.
Ini adalah pendapat Jumhur
ulama, yaitu tiga imam madzhab;
Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan
Ahmad. Al-Hafizh Ibn Hajar RAH berkata,
“Meriwayatkan hal itu sebagai
ijma’ tidak dapat diterima
(ditolak) sebab perbedaan
mengenainya amat masyhur akan
tetapi yang mengatakan demikian sedikit. Mereka berdalil dengan beberapa
dalil, di antaranya:
1. Hadits yang dikeluarkan Ibn
Majah dan Abu Daud (yang
menilainya Hasan), bahwasanya
nabi SAW bersabda, “Bila salah seorang di antara kamu berjanji
kepada saudaranya sementara di
dalam niatnya akan menepatinya
namun tidak dapat menepatinya,
maka tidak ada dosa baginya.” 2. Bila seorang laki-laki berjanji,
bersumpah dan ber-
istitsna’ (bersumpah dengan
menggunakan kata; insya Allah
setelah sumpah tersebut), maka
menurut nash dan ijma’ pelanggaran terhadap
sumpahnya telah gugur (tidak
dinilai melanggar sumpah). Ini
merupakan dalil gugurnya janji
dari penjanji tersebut. KE-DUA, Tidak harus menepati
janji baik dari aspek keagamaan
mau pun penunaian. Ini adalah
pendapat Ibn Syubrumah, yaitu
madzhab sebagian ulama Salaf
seperti ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, al-Hasan al-Bashori, Ishaq bin
Rahawaih dan Zhahiriah. Pendapat ini berdalil dengan
nash-nash dari al-Qur’an dan
hadits, di antaranya:
1. Firman Allah SWT, “Hai orang-
orang yang beriman, penuhilah
aqad-aqad* itu.” (QS.al- Maa’idah:1) Dan firman-Nya,
“Hai orang-orang yang beriman,
mengapa kamu mengatakan apa
yang tidak kamu perbuat.? Amat
besar kebencian di sisi Allah
bahwa kamu mengatakan apa- apa yang tiada kamu kerjakan.”
(QS.ash-Shaff:3-4), dan ayat-
ayat lainnya. 2. Di dalam kitab ash-Shahihain
dari nabi SAW, beliau bersabda,
“Tanda orang munafiq ada
tiga…” Di antaranya disebutkan:
bila berjanji, ia berdusta. Dengan
begitu, mengingkari perjanjjan merupakan salah satu sifat
orang-orang munafik sehingga ia
diharamkan. 3. Hadits yang dikeluarkan at-
Turmudzi, bahwa nabi SAW
bersabda, “Jangan berdebat
dengan saudaramu, jangan
mencandainya dan berjanji
padanya lalu kemudian kamu mengingkari (melanggar)nya.” KE-TIGA, Merinci; wajib
menepatinya bila janji tersebut
ada sebabnya seperti bila ia
diperintahkan melakukan
pembelian barang atau
melakukan suatu proyek; bila orang yang diberi janji
melakukan tindakan kesalahan,
maka penjanji boleh menarik
janjinya. Dalam hal ini, wajib
memenuhi janji secara
keagamaan mau pun penunaian. Ada pun bila tidak terjadi hal
yang merugikan terhadap orang
yang diberi janji dengan
ditariknya janji tersebut, maka
janji itu tidak lagi menjadi
keharusan. Dalil Pendapat Ini: Bahwa nash-nash syari’at dalam
masalah ini saling bertabrakan.
Dan apa yang disebutkan di atas
adalah cara penggabungan
(sinkronisasi) paling baik. Pendapat Syaikh asy-
Syanqithi Pengarang tafsir “Adhwaa’ al-
Bayaan” di dalam tafsirnya
mengatakan, “Para ulama
berbeda pendapat mengenai
keharusan menepati janji;
sebagian mereka mengatakan, harus memenuhinya secara
mutlak. Sebagian lagi
mengatakan, tidak harus secara
mutlak. Sedangkan sebagian
yang lain, bila dengan berjanji itu
membuat orang yang diberi janji berada dalam kesulitan (bahaya),
maka harus memenuhinya tetapi
bila tidak demikian, maka menjadi
tidak harus lagi. Abu Hanifah dan para
sahabatnya, imam al-Awza’i dan
asy-Syafi’i serta seluruh ulama
fiqih mengatakan, sesungguhnya
tidak ada keharusan apa pun
terhadap janji sebab ia hanya merupakan jasa yang tidak
berada dalam pegangan, sama
seperti masalah ‘Ariyah** yang
bersifat dadakan. Pendapat yang jelas bagiku,
bahwa mengingkari janji tidak
boleh sebab ia merupakan salah
satu tanda kemunafikan akan
tetapi bila penjanji menolak
untuk memenuhi janjinya, maka tidak dapat dituntut hukuman
apa pun terhadapnya dan tidak
harus dipaksa pula. Tetapi ia
mesti diperintahkan untuk
memenuhinya, tidak dipaksa.” Pendapat Ulama
Kontemporer Di antara ulama kontemporer
yang menyatakan keharusan
memenuhi janji adalah Syaikh
Abdurrahman bin Nashir as-
Sa’di, Abdurrahman bin Qasim,
Mushthafa az-Zarqa’, Yusuf al- Qaradhawi dan ulama lainnya. Keputusan Mujamma’ Fiqih Islam Mujamma’ Fiqih Islam di Jeddah
dalam keputusan bernomor 2,
pada daurah ke-5 yang diadakan
di Kuwait periode 1-6 Jumadal
Ula 1409 H memutuskan sebagai
berikut: “Menepati janji menjadi suatu
keharusan bagi penjanji secara
keagamaan kecuali bila ada
‘udzur. Ia harus memenuhinya
dari sisi penunaian bila terkait
dengan sebab dan orang yang diberi janji menghadapi kesulitan
akibat janji tersebut. Pengaruh
komitmen terhadap kondisi ini
dapat dilakukan, baik dengan
cara melaksanakan janji tersebut
atau mengganti kerugian yang timbul secara langsung akibat
tidak dipenuhinya janji tersebut
tanpa ‘udzur.” CATATAN:
* Aqad (perjanjian) mencakup:
janji prasetia hamba kepada Allah
SSWT dan perjanjian yang dibuat
oleh manusia dalam perjanjian
sesamanya ** Ulama fiqih mendefinisikannya,
‘Tindakan pemilik barang yang
membolehkan penggunaan
barang miliknya kepada orang
lain tanpa kompensasi apa
pun.’ [Sayyid Sabiq, Fiqh as- Sunnah-red] (SUMBER: Tawdhiih al-Ahkaam Min
Buluugh al-Maraam karya Syaikh
‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-
Bassam, Jld.VI, hal.311-314)

Minggu, Juni 26, 2011

pahami jangan hanya banyak menghafal seperti burung beo


Al A'raf : 179 Dan sesungguhnya Kami
jadikan untuk isi neraka
Jahannam kebanyakan dari jin
dan manusia, mereka
mempunyaihati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami dan mereka mempunyaimata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyaitelinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu bagaikan binatang ternak,
bahkan merekalebih sesat lagi. Mereka itulah orang-
orang yanglalai. Bismillaah, adakah yang tidak
tahu seperti apakah burung
beo itu? saya kira semuanya
hampir pernah tahu dan
bahkan melihat wujud dari
burung beo. Namun, alangkah lebih baiknya jikalau saya coba
memberikan pengulangan agar
kita memiliki kesamaan
persepsi. Merujuk kepada
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi III, kata "beo" dijelaskan sebagai berikut : beo /béo/ n burung berbulu
hitam berkilau yg dapat dilatih
menirukan bunyi (kata-kata,
nyanyian, dsb); Graculla
religiosa; mem·beo v berbuat seperti
burung beo dengan meniru
saja perkataan (ucapan) orang
lain (tanpa memahami
maksudnya); pem·beo n orang yang suka
membeo atau mengikuti
(menirukan) perkataan orang
lain Bagaimana? Sekarang kita,
Insya Allaah telah memiliki
pengetahuan yang sama
tentang burung beo. Lantas
apa yang sebenarnya ingin
dibahas berkaitan dengan ayat di muka tulisan ini? Sahabat pembaca sekalian,
banyak kini kita lihat bahwa
umat lebih mirip dan bersikap
layaknya burung beo. Mereka
banyak menghafal, baik ayat-
ayat Al-Qur'an, Hadist, dan berbagai fatwa para ulama.
Apakah itu salah? Tentu saja
tidak salah, malah banyak pula
sunnah yang menganjurkan
kita sebagai umat Muhammad
untuk menghafal, khususnya menghafal Al-Qur'an. Hanya
saja, apakah menghafal itu
lebih utama dibandingkan
dengan memahami? Haruskah
menghafal dulu barulah kita
memahami? Kalau saya bicara hafalan,
saya jadi ingat masa sekolah
dulu, waktu itu kebanyakan
dari kami berusaha menghafal
materi pelajaran, sebab
dengan begitu biasanya pas ujian bisa ingat. Dan, terus
terang hanya hafal demi
mencapai kepuasaan nilai
bagus, ngerti mah kagak,
istilahnya. Apakah kita mau
seperti itu? Bukankah kita ini makhluk yang berakal?
Janganlah kita ibarat burung
beo yang begitu fasih dalam
meniru dan mudah dalam
menghafal, namun begitu, ia
sendiri tidak paham apa sebenarnya yang tengah ia
ucapkan. Apakah itu yang
dimaksud denganulul albab? Sebenarnya, saya ingin
mengajak kita semua untuk
jangan takut ketinggalan
dalam hal menghafal apa saja
yang ada dalam agama kita ini;
Islam yang kita cintai sampai mati. Sebab, agama ini mudah,
tidak sulit, dan sempurna,
semua bisa menghafalnya,
namun belum tentu bisa
memahaminya. Maka, mulailah
belajar memahami, sebagaimana muallaf yang
mana mereka itu belajar
perlahan sambil memahami
agar hati mereka benar-benar
paham dan teguh. Begitulah
kita dalam belajar agama ini, dan alangkah indahnya jika
generasi muda Islam sejak di
PAUD misalnya, diberikan tidak
hanya "menghafal" tapi juga
diupayakan agar mereka
paham, setelah paham langsung dilaksanakan. Bagi
yang tidak paham namun hafal,
terlihat jelas kok, biasanya
hanya membeo tapi tidak
mengamalkannya! Jadi,
belajarlah dengan usaha agar kita paham, yang dengan
kepahaman tersebut kita
amalkan, dan dalam proses
pengamalan itu secara tidak
langsung kita sedang
menghafalnya kok. Janganlah kita yang memiliki
akal ini, sebagaimana bahasa
Al-Qur'an, bagai binatang
ternak, bahkan lebih sesat lagi.
Sebab kita lalai dalam
memahami dan mengamalkan apa yang kita pahami! Semoga
Allah menjauhkan kita dari hal
demikian-amiin. saudaraku seaqidah, kita
harus benar-benar
menggunakan anugerah yang
hanya diberikan kepada kita
saja, tidak terdapat pada flora
dan fauna, atau jin dan malaikat. Hanya kita yang
diberikan kelebihan tersebut.
Dan dalam hal ini, Ia Maha
Berkehendak, tapi kita pun
diberikan keleluasaan untuk
berkehendak. Sebagaimana sering kita dengar, hidup
adalah pilihan. Kalau boleh saya
tambahkan, hidup adalah
pilihan yang Allah telah
memberikan berbagai pilihan
dengan kejelasan "untung- rugi"-nya. Akan tetapi, di sini,
sebagaimana kita ketahui
dalam sebuah hadits, bahwa
agama ini adalah nasihat, dan
hanya mereka yang saling
menasehati sajalah yang beruntung [baca : QS. Al Ashr],
maka sudah kewajiban saya
untuk menasehati kepada diri
saya sendiri dan pembaca
sekalian, agar berhati-hati
dalam melangkah, takutlah wahai jiwa yang hanya
"membeo" alias tidak mau
memahami akan dikuncinya hati
kalian, sebagaimana Allah
berfirman : Al Hajj : 46 maka apakah mereka tidak
berjalan di muka bumi, lalu
mereka mempunyai hati yang
dengan itu mereka dapat
memahami atau mempunyai
telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?
Karena sesungguhnya
bukanlah mata itu yang buta,
tetapi yang buta, ialah hati
yang di dalam dada. Ar Ruum : 59 Demikianlah Allah mengunci mati
hati orang-orang yang tidak
(mau) memahami. Janganlah tergesa-gesa agar
kita bisa menguasai segala
tentang ilmu agama ini. Tapi
perlahan, dengan upaya
mempelajari, memikirkan, dan
memahami sampai benar-benar paham, lantai mengamalkannya.
Sebab bagaimana pun, kita
harus beramal dengan ilmu
(dalil) yang benar. Maka,
belajarlah untuk paham bukan
untuk sekadar hafal! Hanya orang berakal yang bisa
memahami dan mengambil
pelajaran dari apa yang ia
pahami [baca : QS. 3 :7], Maka
sudah semestinya, kita
menggunakan akal kita. Namun, ketika kita menemui sesuatu
yang kurang masuk akal dalam
Al-Qur'an, atau yang biasanya
kerap ditemui hal yang kurang
masuk akal ialah dalam hadits,
maka itu bukan karena tidak masuk akal, tapi kitanyalah
yang kurang akal jadinya
seakan tidak masuk akal!
Agama ini untuk seluruh
manusia dan mudah sekali
dipahami jika saya mereka mau menggunakan hati dan akalnya
secara seimbang, dan
mengharapkan keridhaan Allah
dan menjauhi motif selain dari-
Nya. Demikianlah, maka pilihanya
hanya dua, jadi muslim yang
hanya memboe atau muslim
yang sejati? yang tidak
membeo! Kalau pesan saya,
kepada diri sendiri dan semuanya, jangan hanya
membeo! Wa Allaahu A'lam, semoga Allaah
memberikan kemudahan
kepada kita untuk mengerti
akan agama-Nya ini....

Tafsir surah al baqoroh ayat 178-179 ;tentang hukum qishas

(178) Wahai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan atas kamu hukum qishash pada orangorang yang terbunuh; orang merdeka dengan orang merdeka , dan hamba sahaya dengan hamba sahaya dan perempuan dengan perempuan. Akan tetapi barangsiapa yang diampunkan untuknya dari saudaranya seba­ hagian, maka hendaklah mengikuti dengan yang baik, dan turiaikan kepadanya dengan cara yang baik. Demikianlah keringanan daripada Tuhanmu dan rahmat. Tetapi barangsiapa yang (masih) melanggar sesudah demikian, maka untuknya adalah azab yang pedih. Qishash Dengan ajaran Agama Islam, Nabi Muhammad s.a.w. telah mempersatukan bangsa Arab yang telah beratus tahun tidak mengenal persatuan, karena tidak ada suatu cita untuk mempersatukan. Agama pusaka Nabi Muhammad sudah tinggal hanya sebutan. Yang penting bagi mereka ialah kabilah sendiri. Di antara kabilah dengan kabilah berperang. Bermusuh dan berebut tanah pengembalaan ternak atau berebut unta ternak itu sendiri. Niscaya terjadi pembunuhan, maka timbullah cakak berbelah(berbelah-belahan kampung timbul perkelahian ) di antara suku dengan suku atau kabilah dengan kabilah. Merasailah" suku yang lemah dan kecil, berleluasalah kabilah yang besar dan kuat. Menurut keterangan al-Baidhawi, ahli tafsir yang terkenal: "Di zaman Jahiliyah pernah terjadi pertumpahan darah di antara dua buah persukuan Arab. Yang satu kabilahnya kuat dan yang satu lagi lemah. Maka terbunuhlah salah seorang dari anggota kabilah kuat itu oleh kabilah yang lemah tadi. Lantaran merasa diri kuat, kabilah yang kuat itu mengeluarkan sumpah; akan mereka balas bunuh, biarpun yang terbunuh di kalangan mereka seorang budak, mereka akan meminta orang yang merdeka. Walaupun yang terbunuh di kalangan mereka seorang perempuan, mereka akan minta ganti nyawa dengan seorang laki-laki." Riwayat ini juga dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim dan Said bin Jubair. Lantaran itu maka hukum qishash,zaman jahiliyah bu_kan hukum, tetapi balas dendam, yang mereka sebut Tsar. Agama Islampun datang, yaitu di saat perdendaman masih belum habis. Islam tidak dapat membenarkan balas dendam. Islam hanya mengakui adanya hukum qishash, bukan balas dendam. Maka kalau terjadi lagi pembunuhan manusia atas manusia, tanggung jawab penuntutan hukum bukan saja lagi terletak pada keluarga yang terbunuh, tetapi terletak ke atas pundak orang yang beriman. Balas dendam harus dicegah, yang berhutang nyawa harus dibayar dengan nyawa, tetapi pintu maaf selalu terbuka; maka datanglah ayat ini: َﺐِﺘُﻛ ﺍﻮﻨﻣﺁ َﻦْﻳِﺬَّﻟﺍ ﺎﻬﻳﺃ ﺎﻳ ﻰﻠﺘﻘﻟﺍ ﻲﻓ ُﺹﺎَﺼِﻘْﻟﺍ ُﻢُﻜْﻴَﻠَﻋ َﻭ ِﺪْﺒَﻌْﻟﺎِﺑ ُﺪْﺒَﻌْﻟﺍ َﻭ ِّﺮُﺤْﻟﺎِﺑ ُّﺮُﺤْﻟﺍ ﻰﺜﻧﺄﻟﺎﺑ ﻰﺜﻧﺄﻟﺍ "Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu hukum qishosh pada orang-orang yang terbunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, dan hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan perempuan dengan perempuan." Di pangkal ayat ini kita telah mendapat dua kesan. Pertama urusan penuntutan bela kematian telah diserahkart kepada orang-orang yang beriman. Arfinya kepada masyarakat, masyarakat islam. Masyarakat Islam mempunyai SYURA (lihat Surat 42 as-Syura, ayat 38). Di zaman ayat turun yang memimpin masyarakat Islam itu ialah Rasulullah s.a.w. sendiri. Ayat ini telah menunjukkan bahwa masyarakat orang yang beriman wajib mendirikan pemerintahan untuk menegakkan keadilan, di antaranya untuk menuntutkan bela atas orang yang mati teraniaya. . Kesan yang kedua ialah bahwa bela nyawa itu mulailah diatur seadil-adilnya. Di antaranya ditunjukkan contoh-contohnya; kalau orang Iaki-laki merdeka membunuh laki-laki merdeka, wajiblah dilakukan hukum qishash kepadanya, yaitu dia dibunuh pula. Kalau seorang hamba sahaya membunuh seorang hamba sahaya, diapun akan dihukum bunuh. Kalau seorang perempuan membunuh seorang perempuan, si pembunuh itu akan dihukum bunuh pula. Dengan tiga patah kata ini mulailah ditanamkan peraturan yang adil, pengganti peraturan jahiliyah yang berdasar balas dendam. Di zaman jahiliyah, sebagai dikatakan tadi , walaupun yang terbunuh itu seorang budak, dan yang membunuh itu budak pula, wajiblah tuan dari budak yang terbunuh itu yang mambayar dengan nyawanya. Walaupun yang terbunuh perempuan, pembunuhnya perempuan pula, wajiblah yang membayar dengan nyawanya laki-laki keluarga petempuan itu. Kalau belum maka keluarga siterbunuh belumlah merasa puas. Dalam peraturan ini, adalah bahwa siapa yang membunuh, itulah yang menjalankan hukum qishash dengan dirinya sendiri. Baik yang terbunuh orang merdeka atau budak, dan yang membunuh orang merdeka pula atau budak, namun yang berhutang itulah yang membayar. Dalam hal jiwa ganti jiwa itu, dilanjutkan hukum Taurat, sebagaimana tersebut di dalam Surat al-Maidah (Surat 5, ayat 45) "Annafsa bin nafsi,"Nyawa bayar Nyawa" Ayat ini kemudian turunnya daripada Surat al-Baqarah ayat 178 ini. Dengan ayat ini nyatalah bahwa hak menuntut kepada si pembunuh supaya dia dibunuh pula masih tetap ada pada keluarga yang terbunuh. Tetapi perjalanan hukum telah mulai di bawah tilikan orang-orangyang beriman di sini ialah hakim. Sebab dia yang diserahi dan diakui oleh orang-orang yang beriman untuk menjaga perjalanan hukum. Akan tetapi ayat ini telah menimbulkan suasana yang berbeda samasekali dengan zaman jahiliyah. Panggilan untuk mencari penyelesaian jatuh ke atas pundak tiap-tiap orang- orang yang beriman. Termasuk keluarga si pembunuh dan keluarga si terbunuh. Dan orang- orang yang beriman itu adalah bersaudara: "Hanyasanya orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara." Maka kalau masih ada jalan lain, selain dari bunuh, yaitu jalan maaf, dalam suasana orang beriman, saudara dengan saudara, adalah sangat diharapkan. Sebab itu lanjutan ayat berbunyi: ٌﺀْﻲَﺷ ِﻪْﻴِﺧَﺃ ْﻦِﻣ ُﻪَﻟ َﻲِﻔُﻋ ْﻦَﻤَﻓ ٌﺀﺍَﺩَﺃ َﻭ ِﻑﻭُﺮْﻌَﻤْﻟﺎِﺑ ٌﻉﺎَﺒِّﺗﺎَﻓ ٍﻥﺎَﺴْﺣِﺈِﺑ ِﻪْﻴَﻟِﺇ "Akan tetapi barangsiapa yang diampunkan untuknya dari saudaranya sebagian, maka hendaklah mengikuti dengan yang baik, dan tunaikan kepadanya dengan cara yang baik." Artinya jika ada pernyataan maaf dari keluarga yang terbunuh itu, walaupun sebahagian, tidak semuanya menyatakan pemberian maaf, hendaklah pernyataan maaf itu disambut dengan sebaik-baiknya. Sehingga dalam susunan ayat disebutkan bahwa yang memberi maaf itu ialah saudaranya; banyak ahli loghat memberi arti yaitu si pemberi maaf itu, sebagai keluarga dari yang terbunuh ialah memandang bahwa si pembunuh itu saudara sendiri, dia berikan kepadanya maaf. Pada waktu itu hakim harus menyetujui dan menguatkan pernyataan yang mulia itu. Itulah yang dikatakan mengikuti dengan baik. Maka dengan pemberian maaf permusuhan dua keluarga telah hilang, malahan telah dianggap bersaudara. Hakim menyambut keputusan kedua keiuarga ini dengan baik. Tetapi si pembunuh dengan keluarganya sebagai orang- orang yang mu'min pula harus mengingat kelanjutan , supaya persaudaraan ini menjadi kekal dan dendam kesumat jadi habis. Di sinilah keluar peraturan yang bernama diyat. Yaitu harta ganti kerugian. Jaminan harta benda untuk keluarga yang terbunuh. Ini yang disebut diyat yang ditunaikan kepada nya dengan baik, cara yang ma'ruf. Tentu saja secara perdamaian kedua belah pihak de- ngan disaksikan hakim berapa diyat harus dibayar. Lantaran itu jelaslah bahwa dalam hukum pidana pembunuhan, Islam mempunyai tiga taraf; pertama nyawa bayar nyawa, kedua maaf, ketiga diyat. Dalam qishash perkembangan hukum dalam Islam, ada juga kejadian, diyat itupun tidak diterimanya, karena berkembangnya rasa iman. Ada bapa dari yang terbunuh berkata kepada keluarga yang membunuh: "Anak saya yang satu sudah terbunuh oleh saudaranya sendiri, saya tidak mau kehilangan dua anak." Ketika akan dibayar diyat dia berkata: "Yang hilang tidaklah dapat diganti dengan uang. Marilah kita ganti saja dengan ukhuwah yang rapat di antara kita." Apatah lagi pintu buat memberi maaf tentang diyat inipun memang ada. Tersebut di dalam Surat An- Nisa' (Surat 4, ayat 92). "Dan diyat yang (wajib) diserahkan kepada keluarganya (keluarga si terbunuh)- Kecuali jika mereka (keluarga) itu menshadaqahkan." (an-Nisa': 92) Maka berkata ayat selanjutnya: َﻭ ْﻢُﻜِّﺑَّﺭ ْﻦِّﻣ ٌﻒْﻴِﻔْﺨَﺗ َﻚِﻟَﺫ ٌﺔَﻤْﺣَﺭ "Demikianlah keringanan dari Tuhanmu dan rahmat." Moga-moga dengan cara peraturan demikian persaudaraanmu menjadi kekal, iman menjadi bertambah mendalam, dan pintu berdamai lebih terbuka daripada penuntutan hukum. Memberi ihsan lebih tinggi daripada menuntut hak. Di sini diminta sangat kebijaksanaan hakim. Tetapi ayat mempunyai ujung lagi: ُﻪَﻠَﻓ َﻚِﻟَﺫ َﺪْﻌَﺑ ﻯﺪﺘﻋﺍ ِﻦَﻤَﻓ ٌﻢْﻴِﻟَﺃ ٌﺏﺍَﺬَﻋ "Tetapi barangsiapa yang (masih) melanggar sesudah demikian, maka untuknya adalah azab yang pedih." (ujung ayat 178). Sesudah hukum diputuskan, baik secara qishash ataupun secara diyat kalau masih ada yang membunuh, misalnya ada keluarga si terbunuh merasa tidak puas, lalu dibunuhnya si pembunuh tadi, padahal sudah selesai dengan bayaran diyat, karena ada di kalangannya yang memberi maaf; atau si pembunuh itu merasa congkak karena tidak jadi dia dihukum bunuh, maka tidak pelak lagi, azab yang pedihlah yang akan diterimanya. Artinya pada waktu itu hakim bertindak melakukan hukum yang tidak mengenal ampun, demi menjaga ketenteraman bersama. Hakim dapat membunuh si pembunuh itu. Dan di akhirat tentu saja orang yang merusak perdamaian itu mendapat hukum neraka yang pedih pula. Hukum yang terperinci tentang qishash, maaf dan dyat ada di dalam kitabkitab Fiqh. Yang dapat disimpulkan di sini ialah hukum pidana Islam tentang qishash lebih banyak diserahkan Aepada jalan ishlah kedua belah p ihak; keluarga pembunuh dan yang terbunuh. Dan kalau keluarga terbunuh tidak mau menerima diyat, maka hakim tidak memaksa diyat, melainkan dibunuhlah si pembunuh itu oleh hakim. Yakni setelah diselidiki duduk perkara sedalamdalamnya. Menurut pengetahuan kita hukum qishash menurut al-Quran ini masih berjalan sepenuhnya dalam kerajaan Saudi Arabia, Yordania, Irak dait Kuwait. Kalau seorang pembunuh telah ditangkap dan diperiksa clan telah terang saiahnya, terlebih dahulu ditanya keluarga si terbunuh apakah dia mau memberi maat dan menerima diyat. Kalau mau akan diadakan penaksiran yang patut. Kalau keluarga itu tidak mau barulah dijalankan hukum bunuh: Kita yakin bahwa hukum yang diturunkan al-Quran inilah jalan yang baik: Kalau sekiranya di serata-rata negeri Islam yang berlaku sekarang ialah hukum pidana secara barat, bukanlah berarti bahwa itulah yang lebih bagus, hanyalah karena beratus, tahun lamanya hukum baratlah yang menguasai negeri-negeri Islam sebab mereka jajah. Tetapi di negeri-negeri Islam Yang telah merdeka, di zaman sekarang mulai timbul kembali peninjauan atas hukum dan pembinaan hukum yang sesuai dengan keperibadian bangsa itu sendiri, di antaranya di negeri kita Indonesia. Tidaklah mustahil bahwa perkembangan fikiran kita akan sampai juga kepada cara Islam ini; qishash dasar pertama, maaf Yang kedua dan diyat, yaitu ganti kerugian di bawah tilikan hakim, yang ketiga. (179) Dan untuk kamu di dalam hal qishash itu ada kehidupan, wahai orang-orang yang mempunyai fikiran dalam. Supaya kamu semua menjadi orang- orang yang bertakwa. ﺎﻳ ٌﺓﺎَﻴَﺣ ِﺹﺎَﺼِﻘْﻟﺍ ﻲﻓ ْﻢُﻜَﻟ َﻭ ِﺏﺎَﺒْﻟَﺄْﻟﺍ ﻲﻟﻭﺃ "Dan untuk kamu dalam hal qishash itu ada kehidupan, wahai orang orang yang mempunyai fikiran dalam." (pangkal ayat 179). Artinya, dengan adanya hukum qishash, nyawa bayar nyawa, sebagai hukum tingkat pertama, terjaminlah kehidupan masyarakat. Orang yang akan membunuh berfikir terlebih dahulu sebab diapun akan dibunuh. Lantaran itu hiduplah orang dengan aman dan damai, dan dapatlah dibendung kekacauan dalam masyarakat karena yang kuat berlantas angan kepada yang lemah. Tetapi kalau si pembunuh hanya dihukum misalnya 15 tahun, dan apabila datang hari besar, dan mungkin pula hukumannya dipotong, orang-orang yang telah rusak akhlaknya akan merasa mudah saja membunuh sesama manusia. Bahkan ada penjahat yang lebih senang masuk keluar penjara, ada yang memberi gelar bahwa penjara itu "hotel prodeo" atau pondokan gratis dan sebagainya. Sungguhpun demikian selalu juga ada terdengar ahli ahli ilmu masyarakat yang meminta supaya hukum bunuh itu ditiadakan. Tetapi apa yang dikatakan al-Quran adalah lebih tepat. Lebih baik dipegang pangkal kata, yaitu hutang nyawa bayar nyawa. Adapun membunuh dengan tidak sengaja ataupun dengan sebab-sebab yang lain, itu dapatlah diserahkan kepada penyelidikan polisi, jaksa atau hakim, sehingga menjatuhkan hukum dapat dengan seadil-adilnya. Tetapi meniadakan hukum bunuh sama sekali adalah suatu teori yang terlalu payah, sebab ahli-ahli penyakit jiwa manusia telah membuktikan memang ada kejahatan jiwa itu yang hanya dengan hukuman matilah baru dapat dibereskan. Apatah lagi orang yang telah membunuh, menjadi amat rusak jiwanya, sehingga bila bertengkar sedikit saja, mudah saja dia mencabut belati dan hendak membunuh lagi. Maka di akhir ayat dinyatakanlah kunci yang sebenarnya: َﻥﻮُﻘَّﺘَﺗ ْﻢُﻜَّﻠَﻌَﻟ "Supaya kamu semua menjadi orang-orang yang bertakwa. "(ujung ayat 179). Derigan ujung ayat yang demikian teranglah bahwa maksud masyarakat beriman ialah menegakkan keamanan, memelihara perdamaian dan mempertahankan hidup. Kalau ada yang dihukum bunuh, adalah untuk menjaga keamanan hidup masyarakat seluruhnya. Dan dalam pada itu keselamatan hidup bukanlah bergantung kepada adanya undang-undang saja. Keamanan hidup orang dan masyarakat lebih terjamin apabila tiap-tiap peribadi ada mempunyai kesadaran beragama, yaitu takwa. Sehingga bukan undang-undang yang mencegah mereka jahat, melainkan takutnya kepada hukum Tuhan. Itulah T A K W A.

Sabtu, Juni 25, 2011

adakah dalil tentang Solat hajat ?

“Barang siapa
yang
mempunyai
hajat
kepada
Allah atau
kepada
salah
seorang
dari
bani adam/manusia, maka hendaklah ia berwudhu serta membaguskan wudhunya, kemudian sholat hajat
dua rakaat. Setelah itu hendaknya ia menyanjung kepada Allah dan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam. Kemudian ia mengucapkan doa (hajat) : Laa ilaa illallahul halimul kariim, subhaanallahi robbil ‘ arsyil azhiim, alhamdulillaahi robbil ‘ aalamiin, as-aluka muujibaati rohmatik, … dst..dst” Hadits ini SANGAT DHA’ IF Dikeluarkan oleh Imam At Tirmidzi (1/477), Ibnu Majah (no. 1384) & Al Hakim (1/320), semuanya dari jalan Faa-id bin Abdurrahman dari Abdullah bin Abi Aufa, secara marfu’ . Imam Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits ini, ia berkata,”Hadits ini gharib/asing, di isnadnya ada pembicaraan, karena Faa-id bin Abdurrahman itu telah di lemahkan di dalam haditsnya. Sanad hadits ini sangat dha’ if (Dha’ ifun jiddan), Faa-id bin Abdurrahman Abdul Waruqaa’ telah di lemahkan oleh sejumlah ulama hadits : 1.Berkata Imam Ahmad bin Hambal : “Matrukul Hadits” 2.Kata Imam Ibnu Ma’ in : “Dha’ if, bukan orang yang tsiqoh”. 3.Berkata Imam Abud Daud : “Bukan apa-apa (istilah untuk rawi lemah/dha’ if)” 4.Berkata Imam an Nasaa-i : “Bukan orang/rawi yang tsiqoh, matrukul hadits”. 5.Berkata Ibnu Hibban : “Tidak boleh berhujjah dengannya” 6.Berkata Imam Bukhari : “Munkarul Hadits” Faedah : Maksud perkataan (jarh) Imam Bukhari diatas telah beliau jelaskan sendiri dengan perkataannya yang masyhur, “Setiap rawi yang telah aku katakan (jarh) sebagai munkarul hadits, maka tidak halal meriwayatkan hadits darinya”. (Al Mizaan AdzDzahabi :1/6).
7.Berkata Imam Abu Hatim : “Hadits-haditsnya dari jalan Ibnu Abi Aufa batil-batil”. 8.Berkata Imam al Hakim : “Ia telah meriwayatkan dari Ibnu Abi Aufa hadits-hadits maudhu’ (palsu)”. Adapun mengapa hadits ini di takhrij dan dikatakan sebagai hadits yang sangat lemah adalah : Pertama, Faa-id bin Abdurrahman telah di lemahkan oleh ulama-ulama dan imam-imam ahli hadits, teristimewa jarh oleh Imam Bukhari yang menunjukkan sangat lemahnya Faa-id. Kedua, Riwayat-riwayatnya dari jalan Ibnu Abi Aufa adalah bathil, bahkan menurut Imam al Hakim adalah Maudhu’ (palsu). Sedangkan hadits ini Faa-id riwayatkan dari jalannya (Ibnu Abi Aufa). Dari dua alasan inilah, maka dapat di simpulkan bahwa hadits ini adalah “Sangat Lemah”. Wallahu a’ lam. Hadits ini adalah salah satu hadits sholat sunnat hajat yang sangat masyhur sekali di kalangan kaum muslimin. Dan termasuk salah satu dari “hadits-hadits dha’ if” yang terdapat dalam kitab “Pedoman Shalat” (hal :503) yang ditulis oleh Al Ustadz Hasbi Ash Shiddiqi.
Selain itu, ada lagi satu hadits yang di jadikan dasar oleh Syaikh
Sayyid Sabiq dalam kitabnya “Fiqih Sunnah” untuk menyunnatkan sholat hajat, hadits tersebut adalah : ‘ Dari Abi Darda’ , ia berkata. “Wahai manusia! Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang berwudhu lalu ia sempurnakan, niscaya Allah akan memberikan apa saja yang ia minta cepat atau lambat”” . Hadits ini di keluarkan oleh Imam Ahmad (6/442-443) dengan sanad yang dha’ if. Di sanadnya ada seorang rawi yang majhul yaitu Maimun Abi Muhammad sebagaimana telah di jelaskan oleh al Albani dalam kitabnya “Tamamul Minnah (hal 260), yang mengambil keterangan dari para imam seperti ibnu Ma’ in, Ibnu ‘ Aidy, Adz Dzahabi dan lain-lain, mereka semua mengatakan bahwa Maimun adalah Majhul atau tidak dikenal. Adapun pernyataan Sayyid Sabiq bahwa sanad hadits diatas adalah shahih adalah merupakan “tasaahul” beliau di dalam kitabnya tersebut.

HADITS TENTANG WANITA YANG MEMAKAI PARFUM

Dari Abu Musa Al Asy’ ary bahwanya ia berkata, Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wa sallam bersabda

“Seorang perempuan yang mengenakan wewangian lalu
melalui sekumpulan laki-laki agar
mereka mencium bau harum yang
dia pakai maka perempuan
tersebut adalah seorang
pelacur.” (HR. An Nasa’ i, Abu Daud, Tirmidzi dan Ahmad. Syaikh
Al Albani dalam Shohihul Jami’ no. 323 mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Dari Yahya bin Ja’ dah, “Di masa pemerintahan Umar bin Khatab
ada seorang perempuan yang
keluar rumah dengan memakai
wewangian. Di tengah jalan, Umar
mencium bau harum dari
perempuan tersebut maka Umar pun memukulinya dengan
tongkat. Setelah itu beliau
berkata,

“Kalian, para perempuan keluar rumah dengan memakai
wewangian sehingga para laki-
laki mencium bau harum kalian?!
Sesungguhnya hati laki-laki itu
ditentukan oleh bau yang dicium
oleh hidungnya. Keluarlah kalian dari rumah dengan tidak
memakai wewangian”. (HR. Abdurrazaq dalam al Mushannaf
no 8107)

Dari Ibrahim, Umar (bin Khatab)
memeriksa shaf shalat jamaah
perempuan lalu beliau mencium
bau harum dari kepala seorang
perempuan. Beliau lantas
berkata

“Seandainya aku tahu siapa di antara kalian yang memakai
wewangian niscaya aku akan
melakukan tindakan demikian dan
demikian.
Hendaklah kalian
memakai wewangian untuk
suaminya.
Jika keluar rumah hendaknya memakai kain jelek
yang biasa dipakai oleh budak
perempuan”. Ibrahim mengatakan,

“Aku mendapatkan kabar bahwa perempuan yang
memakai wewangian itu sampai
ngompol karena takut (dengan
Umar)”. (HR. Abdur Razaq no 8118)

smga bermanfaat..

Sabtu, Juni 18, 2011

WANITA TUTUPLAH AURAT MU

Jika seorang wanita muslimah
memakai hijab (jilbab), secara
tidak langsung ia berkata
kepada semua kaum laki-laki

“Tundukkanlah pandanganmu, aku bukan milikmu serta kamu
juga bukan milikku, tetapi saya
hanya milik orang yang dihalalkan
Allah bagiku.
Aku orang yang merdeka dan tidak terikat dengan siapa pun dan aku tidak tertarik kepada siapa pun,
karena saya jauh lebih tinggi dan
terhormat dibanding mereka
yang sengaja mengumbar
auratnya supaya dinikmati oleh
banyak orang.

” Wanita yang bertabarruj atau
pamer aurat dan menampakkan
keindahan tubuh di depan kaum
laki-laki lain, akan mengundang
perhatian laki-laki hidung belang
dan serigala berbulu domba. Secara tidak langsung ia berkata,
“Silahkan anda menikmati keindahan tubuhku dan kecantikan wajahku.
Adakah orang yang mau mendekatiku?
Adakah orang yang mau
memandangiku?
Adakah orang yang mau memberi senyuman kepadaku?
Atau manakah orang
yang berseloroh
“Aduhai betapa cantiknya?”
Mereka berebut menikmati
keindahan tubuhnya dan
kecantikan wajahnya, sehingga
membuat laki-laki terfitnah,
maka jadilah ia sasaran empuk
laki-laki penggoda dan suka mempermainkan wanita.

Manakah di antara dua wanita di
atas yang lebih merdeka?
Jelas, wanita yang berhijab secara
sempurna akan memaksa setiap
laki-laki yang melihat menundukkan pandangan dan bersikap hormat. Mereka juga menyimpulkan, bahwa dia adalah wanita merdeka, bebas dan sejati,

sebagaimana firman Allah
Subhannahu wa Ta’ ala ,

“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak
diganggu.” (Al-Ahzab :59).

Wanita yang menampakkan aurat
dan keindahan tubuh serta
paras kecantikannya, laksana
pengemis yang merengek-rengek
untuk dikasihani.

Hal itu jelas mengundang perhatian laki-laki yang hobi menggoda dan
mempermainkan kaum wanita,
sehingga mereka menjadi mangsa
laki-laki bejat dan rusak
tersebut.

Dia ibarat binatang
buruan yang datang sendiri ke perangkap sang pemburu.
Akhirnya, ia menjadi wanita yang
terhina, terbuang, tersisih dan
kehilangan harga diri serta
kesucian.

Dan dia telah
menjerumuskan dirinya dalam kehancuran dan malapetaka
hidup. ==================================
================

Syarat-Syarat Hijab (pakaian
islami bagi wanita):

Pertama;

Hendaknya menutup seluruh
tubuh dan tidak menampakkan
anggota tubuh sedikit pun, selain
yang dikecualikan

karena Allah berfirman,

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka dan
janganlah menampakkan
perhiasan mereka, kecuali yang
biasa nampak.” (An-Nuur: 31)

Dan juga firman Allah
Subhannahu wa Ta’ ala,

“Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri
orang mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih
mudah untuk dikenal, karena itu
mereka tidak diganggu. Dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi
Maha Penyanyang.” (Al Ahzab :59).

Ke dua;

Hendaknya hijab tidak menarik
perhatian pandangan laki-laki
bukan mahram.
Agar hijab tidak memancing pandangan kaum laki- laki, maka harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

Hendaknya hijab terbuat dari
kain yang tebal, tidak
menampakkan warna kulit tubuh
(transfaran).

Hendaknya hijab tersebut
longgar dan tidak menampakkan
bentuk anggota tubuh.
Hendaknya hijab tersebut tidak
berwarna-warni dan tidak
bermotif.

Hijab bukan merupakan pakaian
kebanggaan dan kesombongan
karena Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Salam
bersabda,

“Barangsiapa yang mengenakan pakaian kesombongan (kebanggaan) di dunia maka Allah akan
mengenakan pakaian kehinaan
nanti pada hari kiamat kemudian
dibakar dengan Neraka.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah, dan
hadits ini hasan).

Hendaknya hijab tersebut tidak
diberi parfum atau wewangian
berdasar-kan hadits dari Abu
Musa Al-Asy’ ary, dia berkata, Bahwa Rasulullah
bersabda,

“Siapa pun wanita yang mengenakan wewangian, lalu melewati segolongan orang agar mereka mencium baunya, maka ia adalah wanita pezina” (H.R Abu Daud, Nasa’ i dan Tirmidzi, dan hadits ini
Hasan)

Ke tiga;

Hendaknya pakaian atau
hijab yang dikenakan tidak
menyerupai pakaian laki-laki atau
pakaian kaum wanita kafir,
karena

Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Salam bersabda,

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia
termasuk bagian dari
mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Dan Rasulullah mengutuk seorang
laki-laki yang mengenakan
pakaian wanita dan mengutuk
seorang wanita yang mengenakan pakaian laki-laki.(H.R. Abu Dawud an-Nasa’ i dan Ibnu Majah, dan hadits ini sahih).
Catatan : Menutup wajah
menurut syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani di dalam
kitabnya Jilbab al-Mar’ ah al- Muslimah Fil Kitab Was Sunnah,
adalah sunnah, akan tetapi yang
memakainya mendapat
keutamaan.

Semoga tulisan ini memberi
manfaat bagi seluruh kaum muslimin, terutama para wanita
muslimah agar lebih mantap/
teguh dalam menjaga hijab
mereka.

dikutip dari tulisan : Ummu Ahmad
Rifqi

AGAR AMAL IBADAH TIDAK SIA SIA

Setiap perbuatan yang kita
lakukan tidak lepas dari dua hal,
niat dan cara. Keduanya harus sama-sama baik. Islam tentu
tidak membenarkan gaya Robin
Hood si pencuri budiman, yang
mencuri harta orang-orang kaya
yang pelit kemudian
membagikannya kepada orang- orang miskin. Islam juga tidak
membenarkan orang-orang riya,
yang beramal dengan niat yang
salah. Begitupun dengan ibadah dalam
Islam. Ibadah dalam Islam
merupakan syariat Allah
Subhanahu Wa Ta’ ala yang harus memenuhi dua syarat ini,
niat dan cara yang benar.
Ibarat orang yang akan ujian,
tentu ia harus tahu terlebih
dahulu materi yang akan diujikan.
Begitu pula dengan orang yang akan beribadah, ia harus
mengilmui dulu apa yang akan ia
lakukan. Allah Subhanahu Wa
Ta’ ala berfirman yang artinya: “Ketahuilah bahwa tidak illah yang haq disembah melainkan
Allah, maka mohonlah ampunan
bagi dosamu” (Muhammad : 19). Imam Bukhari menjadikan ayat ini
pada salah satu bab dalam kitab
shahihnya. Beliau berkata “Bab Ilmu sebelum berkata dan
berbuat”, kemudian beliau mengomentari ayat tersebut :
“Maka Allah Jalla Jalaluhu telah memulai dengan ilmu sebelum
berucap dan beramal.” Salah satu ilmu yang harus kita
ketahui adalah kaidah dalam
ibadah. Allah Subhanahu Wa
Ta’ ala telah menjelaskan bahwa tujuan utama penciptaan jin dan
manusia adalah hanya untuk
beribadah kepada-Nya. Namun,
tahukah kita bahwa ibadah
tersebut tak lagi berguna alias
sia-sia jika tidak menetapi kaidahnya? Berikut kaidah-
kaidah penting yang mendasari
benarnya suatu ibadah: 1.Ibadah bersifat tauqifiyyah
(berdasarkan wahyu)
Allah Subhanahu Wa Ta’ ala berfirman yang artinya: “Dan Kami jadikan kamu berada di
atas suatu syariat (peraturan)
dari urusan agama ini, maka
ikutilah syariat itu dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu
orang-orang yang tidak mengetahui” (Al Jatsiyah : 18) Ibadah berbeda dengan
muamalah. Pada dasarnya, ibadah
adalah haram kecuali ada dalil
dalam Al Qur’ an dan As Sunnah yang memerintahkannya. Dalam
hal ini tidak ada sedikitpun peran
akal di dalamnya. Contoh
mudahnya seperti ini, kenapa
kita tidak melakukan shalat
shubuh empat raka’ at saja? Bukankah semakin banyak
raka’ at, maka akan semakin banyak ayat Al Qur’ an yang dibaca sehingga makin besar
pahala? Jawabannya adalah
karena syari’ at memerintahkan dua raka’ at, tidak kurang tidak lebih. Pasti ada hikmah besar di
balik itu, walaupun tidak semua
hikmah ibadah diketahui
hikmahnya. Seandainya
kebenaran diukur dengan
pendapat (akal) orang, maka sungguh mengusap bagian bawah
khuf (sepatu) lebih utama dari
atasnya padahal yang benar
berdasarkan dalil adalah
mengusap bagian atas sepatu. 2.Ibadah harus dilakukan dengan
ikhlas, bebas dari noda syirik
Allah Subhanahu Wa Ta’ ala berfirman yang artinya: “Maka barangsiapa yang mengharapkan
untuk bertemu dengan Rabb-
nya, maka hendaklah dia beramal
dengan amalan yang shalih dan
tidak menyekutukan (melakukan
syirik) dengan seorangpun dalam beribadah kepada Rabb-
nya” (Al-Kahfi : 110) Barangsiapa yang melakukan
syirik berarti ia meletakkan
ibadah tidak pada tempatnya
dan memberikannya kepada yang
tidak berhak, dan itu merupakan
kezhaliman yang paling besar. 3.Mengikuti sunnah Nabi
Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam Allah Subhanahu Wa Ta’ ala berfirman yang artinya:
“Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasuulullah shalallahu
alaihi wa sallam itu suri tauladan
yang baik.” (Al Ahzab : 21). Ibnu Mas’ ud Radhiyallahu ‘ anhu berkata “Banyak orang yang menginginkan kebenaran, tapi
tidak sampai kepadanya”. Ibadah tidak cukup dengan bermodalkan
niat saja. Contohnya adalah
perayaan maulid Nabi yang
dilakukan sebagian umat Islam,
yang tidak pernah dicontohkan
oleh Nabi Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam dan para sahabatnya.
Mungkin mereka akan berkata,
“Bukankah ini baik? Niat kami baik, untuk menumbuhkan
kecintaan kepada Nabi”. Maka jawabannya adalah, “Baik menurut kalian, belum tentu baik
menurut Allah”. Beribadah tanpa contoh dari Rasulullah Shallallahu
‘ Alaihi Wasallam sama saja dengan mengatakan, “Niat kami tulus, karena Allah semata. Meski
cara yang kami tempuh mungkin
salah, atau sudah jelas-jelas
keliru dalam Islam.” Risalah yang Allah Subhanahu Wa
Ta’ ala turunkan melalui Rasulullah Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam sudah sempurna, tidak
perlu ditambah. Dengan
menambahnya, berarti dengan
tidak langsung kita telah
menuduh Rasulullah Shallallahu
‘ Alaihi Wasallam tidak amanah karena masih ada amal shalih
yang belum beliau sampaikan
kepada kita. Maka tidak heran
jika Nabi Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam bersabda yang artinya,
“Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami
(dalam Islam) yang tidak
terdapat (tuntunan) padanya,
maka ia tertolak.” (Muttafaq ‘ alaih) Suatu ibadah dikatakan
mengikuti sunnah jika memenuhi
kriteria berikut: Sebab Misalkan ada seseorang yang
melaksanakan shalat dua
raka’ at setiap masuk rumah dan menjadikan hal ini sebagai
sunnah. Tentu saja perbuatan
seperti ini tertolak. Walaupun
shalat disyariatkan, akan tetapi
ketika sebabnya tidak
bersumber dari syariat, perbuatan ini tidak mempunyai
nilai ibadah. Jenis Sebagai contoh adalah bila
seseorang berkurban dengan
kuda. Padahal Allah
mensyariatkan bahwa kurban
harus dari jenis hewan ternak
tertentu, yakni kambing, sapi, atau unta. Ukuran Apabila seseorang melakukan
ibadah tidak sesuai dengan
ukuran yang telah ditetapkan
oleh syariat, maka ibadahnya
tertolak. Contohnya seseorang
yang membasuh anggota tubuhnya sebanyak empat kali
ketika berwudhu, padahal
syariat hanya menuntunkan tiga
kali. Teknis Contohnya seseorang shalat, ia
langsung bersujud sebelum
melakukan ruku’ , maka shalatnya tidak sah dan
tertolak, sebab tidak sesuai
dengan teknis tuntunan
syari’ at. Waktu Jika seseorang beramal tapi
waktunya tidak sesuai, maka
amalnya tertolak. Misalnya
seseorang yang melaksanakan
shalat tidak sesuai dengan
waktunya. Contoh: shalat tahajjud dilaksanakan pada siang
hari, tentu saja amalnya ini tidak
diterima. Tempat Contohnya adalah orang yang
beri’ tikaf di rumah atau sekolah. Padahal syariat sudah
menjelaskan bahwa tempat
i’ tikaf adalah di dalam masjid. 4. Sebagian ibadah telah dibatasi
dengan masa dan ukuran
tertentu
Allah Subhanahu Wa Ta’ ala berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya shalat itu adalah suatu kewajiban yang ditentukan
waktunya atas orang-orang
yang beriman” (An- Nisa :103). Tidak boleh bagi kita untuk
melanggarnya seperti yang telah
dijelaskan pada kaidah di atas. 5. Ibadah harus dilandasi oleh
mahabbah (rasa cinta), khauf
(takut), raja’ (harap), dan merendahkan diri hanya kepada
Allah Subhanahu Wa Ta’ ala. Allah Subhanahu Wa Ta’ ala berfirman yang artinya: “Orang- orang yang mereka seru itu ,
mereka sendiri mencari jalan
kepada Rabb mereka, siapa yang
lebih dekat (kepada Allah) dan
mengharapkan rahmat-Nya dan
takut kepada azab-Nya.” (Al Isra ‘ : 57) 6. Kewajiban ibadah itu tidak
akan berhenti (selesai) dari
seorang mukallaf semenjak baligh
dan berakal sampai akhirnya dia
wafat
Allah Subhanahu Wa Ta’ ala berfirman yang artinya: “Dan beribadahlah engkau kepada
Rabbmu sampai engkau mati” (Al Hijr : 99)
Semoga bermanfaat.