Laman

Entri Populer

Rabu, Juli 27, 2011

MENGENAL TANDA MUNAFIQ

Dari Abu Hurairah RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga: bila berbicara, ia berdusta; bila berjanji, ia mengingkari; dan bila diberi kepercayaan (amanah), ia berkhianat.” Muttafaqun ‘alaih. Dari hadits Abdullah bin Umar
disebutkan, “Dan bila berselisih,
ia berbuat fajir.” Pelajaran Hadits 1.Definisi Nifaq Ibn Rajab berkata: “Nifaq secara
bahasa merupakan jenis
penipuan, makar, menampakkan
kebaikan dan memendam
kebalikannya. Secara syari’at terbagi dua:
Pertama, Nifaq Akbar
(Kemunafikan Besar); yaitu
upaya seseorang menampakkan
keimanan kepada Allah SWT, para
malaikat, kitab-kitab, Rasul dan hari akhir, sebaliknya memendam
lawan dari itu semua atau
sebagiannya. Inilah bentuk nifaq
(kemunafikan) yang terjadi pada
masa Rasulullah SAW dan yang
dicela dan dikafirkan para pelakunya oleh al-Qur’an.
Rasulullah SAW menginformasikan
bahwa pelakunya kelak akan
menempati neraka paling bawah. Kedua, Nifaq Ashghar
(Kemunafikan Kecil); yaitu
kemunafikan dalam perbuatan.
Gambarannya, seseorang
menampakkan secara teranga-
terangan keshalihannya namun menyembunyikan sifat yang
berlawanan dengan itu. 2.Pokok-Pokok Nifaq Pokok-pokoknya kembali kepada
beberapa sifat yang disebutkan
dalam hadits-hadits (yang
disebutkan Ibn Rajab dalam
syarah Arba’in, termasuk hadits
yang kita kaji ini), di antaranya: 1. Seseorang berbicara mengenai
sesuatu yang dibenarkan orang
lain padahal ia berdusta. Nabi
SAW bersabda dalam kitab al-
Musnad karya Imam Ahmad,
“Amat besar pengkhianatanya manakala kamu berbicara kepada
saudaramu dengan suatu
pembicaraan di mana ia
membenarkanmu namun kamu
berdusta kepadanya.” 2. Bila berjanji, ia mengingkari. Ini
terbagi kepada dua jenis:
Pertama, seseorang berjanji
padahal di dalam niatannya tidak
ingin menepatinya. Ini merupakan
pekerti paling buruk. Kedua, Berjanji pada dirinya
untuk menepati janji, kemudian
timbul sesuatu, lalu
mengingkarinya tanpa alasan.
Dalam hadits yang dikeluarkan
Abu Daud dan at-Turmudzi dari hadits Zaid bin Arqam, dari nabi
SAW, beliau bersabda, “Bila
seorang laki-laki berjanji dan
berniat menepatinya namun
tidak dapat menepatinya, maka
tidak apa-apa baginya (ia tidak berdosa).” 3. Bila berseteru, ia berbuat fajir.
Makna fujur adalah keluar dari
kebenaran secara sengaja
sehingga kebenaran ini menjadi
kebatilan dan kebatilan menjadi
kebenaran. Dan inilah yang menyebabkannya melakukan
dusta sebagaimana sabda Nabi
SAW, “Berhati-hatilah terhadap
kedustaan, sebab kedustaan
dapat menggiring kepada ke-
fujur-an dan ke-fujur-an menggiring kepada neraka.” Di
dalam kitab ash-Shahihain dari
nabi SAW, beliau bersabda,
“Sesungguhnya laki-laki yang
paling dibenci Allah adalah yang
paling suka berseteru dalam kebatilan.” Dan di dalam sunan
Abi Daud, dari Ibnu ‘Umar, dari
nabi SAW, beliau bersabda,
“Barangsiapa yang berseteru
dalam kebatilan padahal ia
mengetahuinya, maka senantiasalah ia dalam
kemurkaan Allah hingga
menghadapi sakaratul maut.” Di
dalam riwayat lain, “Barangsiapa
yang membantu dalam
perseteruan secara zhalim, maka ia akan mendapatkan kemurkaan
dari Allah.” 4. Bila berjanji, ia mengkhianati
(mengingkari) dan tidak
menepatinya. Padahal Allah SWT
menyuruh agar menepati janji
seraya berfirman, “Dan
penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggung-jawabannya.”
(QS.al-Isra’/17:34) Dan firman-
Nya, “Dan tepatilah perjanjian
dengan Allah apabila kamu
berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah
(mu) itu, sesudah
meneguhkannya sedang kamu
telah menjadikan Allah sebagai
saksimu (terhadap sumpah-
sumpah itu).” (QS.an-Nahl/16:91) Di dalam kitab ash-Shahihain dari
Ibn ‘Umar dari Nabi SAW, beliau
bersabda, “Setiap pengkhianat
akan memiliki panji pengenal pada
hari kiamat, lalu dikatakan; inilah
pengkhianatan si fulan.” Mengkhianati setiap perjanjian
yang terjadi antara seorang
Muslim dan orang lain haram
hukumnya sekali pun orang yang
diajak berjanji itu adalah seorang
kafir. Oleh karena itu, di dalam riwayat
al-Bukhari, dari hadits ‘Abdullah
bin ‘Amr bin al-‘Ash, dari nabi
SAW, beliau bersabda, “Siapa
yang membunuh jiwa yang diberi
perjanjian tanpa hak, maka ia tidak akan mencium bau surga.
Sesungguhnya baunya terasa
dari jarak perjalanan 40 tahun.” Tentunya, perjanjian yang
terjadi di antara sesama Muslim,
harus lebih ditepati lagi dan
membatalkannya merupakan
dosa besar. Bentuk dosa paling
besar dalam hal ini adalah membatalkan perjanjian dengan
imam (pemimpin negara Islam)
yang dilakukan oleh orang-orang
yang mengikuti dan sudah rela
terhadapnya. Di dalam kitab ash-Shahihain, dari
hadits Abu Hurairah RA, dari nabi
SAW, beliau bersabda, “Tiga
orang yang tidak diajak bicara
oleh Allah pada hari Kiamat, tidak
Dia bersihkan diri mereka dan mereka malah akan mendapat
azab yang pedih…” Di dalam
hadits ini, beliau SAW
menyebutkan salah satu dari
mereka, yaitu seorang laki-laki
yang telah membai’at seorang imam, tetapi ia membai’atnya
hanya karena dunia; jika ia (sang
imam) memberinya sesuai dengan
apa yang diinginkannya, maka ia
menepatinya dan bila tidak, maka
ia tidak pernah menepatinya.” Termasuk dalam janji yang wajib
ditepati dan haram dikhianati
adalah seluruh akad seperti jual
beli, pernikahan dan akad-akad
lazim yang wajib ditepati, yang
terjadi di antara sesama Muslim bila mereka saling rela atasnya.
Demikian pula, sesuatu yang
wajib ditepati karena Allah SWT
dari perjanjian hamba dengan
Rabbnya seperti nadzar berbuat
kebajikan dan semisalnya. 5. Bila diberi amanah, ia
berkhianat. Bila seseorang diberi
amanah, maka ia wajib
mengembalikannya. Hal ini
sebagaimana firman Allah SWT,
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak
menerimanya…” (QS.an-
Nisa’/4:58) At-Turmudzi dan Abu Daud
mengeluarkan hadits dari Abu
Hurairah bahwasanya Nabi SAW
bersabda, “Tunaikanlah amanah
kepada orang yang beramanah
kepadamu dan janganlan mengkhianati orang yang
berkhianat kepadamu.” Khianat terhadap amanah
merupakan salah satu sifat
munafik sebagaimana firman Allah
SWT, “Dan di antara mereka ada
orang yang telah berikrar
kepada Allah, sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian
karunia-Nya kepada kami,
pastilah kami akan bersedekah
dan pastilah kami termasuk
orang-orang yang shaleh.[75]
Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari
karunia-Nya, mereka kikir
dengan karunia itu, dan
berpaling, dan mereka
memanglah orang-orang yang
selalu membelakangi (kebenaran). [76]Maka Allah menimbulkan
kemunafikan pada hati mereka
sampai kepada waktu mereka
menemui Allah, karena mereka
telah memungkiri terhadap Allah
apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena
mereka selalu berdusta.[77]”
(QS.at-Taubah/9:75-77) Dan firman-Nya, “Sesungguhnya
Kami telah mengemukakan
amanat (tugas-tugas
keagamaan) kepada langit, bumi
dan gunung-gunung…..” (QS.al-
Ahzab/33:72) Pokoknya, semua Nifaq Ashghar
terpulang kepada adanya
perbedaan antara perkara
tersembunyi (bathiniah) dan
terang-terangan (lahiriah). Al-
Hasan al-Bashori RAH berkata, “Sekelompok Salaf berkata,
‘Kekhusyu’an nifaq hanya
terlihat pada kehusyu’an raga
sedangkan hatinya tidak pernah
khusyu’.” ‘Umar RA berkata, “Sesuatu
yang paling aku khawatirkan dari
kalian adalah Munafiq ‘Alim
(yang berpengetahuan).” Lalu
ada yang bertanya, “Bagaimana
mungkin, seorang munafik memiliki sifat ‘alim.?” Ia
menjawab, “Ia berbicara dengan
penuh hikmah namun melakukan
kezhaliman atau kemungkaran.” Nifaq Ashghar merupakan sarana
melakukan Nifaq Akbar
sebagaimana halnya perbuatan-
perbuatan maksiat adalah
merupakan ‘kotak pos’
kekufuran. Bentuk sifat nifaq ‘amali
(praktis) yang paling besar
adalah manakala seseorang
melakukan suatu perbuatan,
tampak berniat baik namun ia
melakukan itu hanya agar dapat mencapai tujuan yang buruk.
Dengan tipuan itu, ia lantas
mencapai tujuannya, bergembira
dengan makar dan tipuannya
sementara orang-orang
memujinya atas pertunjukan (kepura-puraan) yang
membuatnya sampai kepada
tujuan buruk yang dipendamnya
itu. Manakala di kalangan shahabat
telah ditetapkan bahwa nifaq
adalah adanya perbedaan antara
perkara tersembunyi dan
terang-terangan, maka sebagian
mereka khawatir bila terjadi perubahan hati; konsentrasi,
kekhusyu’an dan
kelembutannya ketika
mendengar adz-Dzikr (al-Qur’an)
dengan menoleh dunia dan sibuk
dengan urusan keluarga, anak dan harta di mana hal itu semua
akan menjadi salah satu bentuk
kemunafikan dari mereka. Karena
itu, Rasulullah SAW sampai
berkata kepada mereka, “Hal itu
bukan termasuk kemunafikan.” 3. Perbedaan Para Ulama Para ulama berbeda pendapat
mengenai hukum menepati janji
dalam 3 pendapat:
PERTAMA, Menepati janji
hukumnya Mustahab (dianjurkan)
, bukan wajib, baik dari aspek keagamaan mau pun penunaian.
Ini adalah pendapat Jumhur
ulama, yaitu tiga imam madzhab;
Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan
Ahmad. Al-Hafizh Ibn Hajar RAH berkata,
“Meriwayatkan hal itu sebagai
ijma’ tidak dapat diterima
(ditolak) sebab perbedaan
mengenainya amat masyhur akan
tetapi yang mengatakan demikian sedikit. Mereka berdalil dengan beberapa
dalil, di antaranya:
1. Hadits yang dikeluarkan Ibn
Majah dan Abu Daud (yang
menilainya Hasan), bahwasanya
nabi SAW bersabda, “Bila salah seorang di antara kamu berjanji
kepada saudaranya sementara di
dalam niatnya akan menepatinya
namun tidak dapat menepatinya,
maka tidak ada dosa baginya.” 2. Bila seorang laki-laki berjanji,
bersumpah dan ber-
istitsna’ (bersumpah dengan
menggunakan kata; insya Allah
setelah sumpah tersebut), maka
menurut nash dan ijma’ pelanggaran terhadap
sumpahnya telah gugur (tidak
dinilai melanggar sumpah). Ini
merupakan dalil gugurnya janji
dari penjanji tersebut. KE-DUA, Tidak harus menepati
janji baik dari aspek keagamaan
mau pun penunaian. Ini adalah
pendapat Ibn Syubrumah, yaitu
madzhab sebagian ulama Salaf
seperti ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, al-Hasan al-Bashori, Ishaq bin
Rahawaih dan Zhahiriah. Pendapat ini berdalil dengan
nash-nash dari al-Qur’an dan
hadits, di antaranya:
1. Firman Allah SWT, “Hai orang-
orang yang beriman, penuhilah
aqad-aqad* itu.” (QS.al- Maa’idah:1) Dan firman-Nya,
“Hai orang-orang yang beriman,
mengapa kamu mengatakan apa
yang tidak kamu perbuat.? Amat
besar kebencian di sisi Allah
bahwa kamu mengatakan apa- apa yang tiada kamu kerjakan.”
(QS.ash-Shaff:3-4), dan ayat-
ayat lainnya. 2. Di dalam kitab ash-Shahihain
dari nabi SAW, beliau bersabda,
“Tanda orang munafiq ada
tiga…” Di antaranya disebutkan:
bila berjanji, ia berdusta. Dengan
begitu, mengingkari perjanjjan merupakan salah satu sifat
orang-orang munafik sehingga ia
diharamkan. 3. Hadits yang dikeluarkan at-
Turmudzi, bahwa nabi SAW
bersabda, “Jangan berdebat
dengan saudaramu, jangan
mencandainya dan berjanji
padanya lalu kemudian kamu mengingkari (melanggar)nya.” KE-TIGA, Merinci; wajib
menepatinya bila janji tersebut
ada sebabnya seperti bila ia
diperintahkan melakukan
pembelian barang atau
melakukan suatu proyek; bila orang yang diberi janji
melakukan tindakan kesalahan,
maka penjanji boleh menarik
janjinya. Dalam hal ini, wajib
memenuhi janji secara
keagamaan mau pun penunaian. Ada pun bila tidak terjadi hal
yang merugikan terhadap orang
yang diberi janji dengan
ditariknya janji tersebut, maka
janji itu tidak lagi menjadi
keharusan. Dalil Pendapat Ini: Bahwa nash-nash syari’at dalam
masalah ini saling bertabrakan.
Dan apa yang disebutkan di atas
adalah cara penggabungan
(sinkronisasi) paling baik. Pendapat Syaikh asy-
Syanqithi Pengarang tafsir “Adhwaa’ al-
Bayaan” di dalam tafsirnya
mengatakan, “Para ulama
berbeda pendapat mengenai
keharusan menepati janji;
sebagian mereka mengatakan, harus memenuhinya secara
mutlak. Sebagian lagi
mengatakan, tidak harus secara
mutlak. Sedangkan sebagian
yang lain, bila dengan berjanji itu
membuat orang yang diberi janji berada dalam kesulitan (bahaya),
maka harus memenuhinya tetapi
bila tidak demikian, maka menjadi
tidak harus lagi. Abu Hanifah dan para
sahabatnya, imam al-Awza’i dan
asy-Syafi’i serta seluruh ulama
fiqih mengatakan, sesungguhnya
tidak ada keharusan apa pun
terhadap janji sebab ia hanya merupakan jasa yang tidak
berada dalam pegangan, sama
seperti masalah ‘Ariyah** yang
bersifat dadakan. Pendapat yang jelas bagiku,
bahwa mengingkari janji tidak
boleh sebab ia merupakan salah
satu tanda kemunafikan akan
tetapi bila penjanji menolak
untuk memenuhi janjinya, maka tidak dapat dituntut hukuman
apa pun terhadapnya dan tidak
harus dipaksa pula. Tetapi ia
mesti diperintahkan untuk
memenuhinya, tidak dipaksa.” Pendapat Ulama
Kontemporer Di antara ulama kontemporer
yang menyatakan keharusan
memenuhi janji adalah Syaikh
Abdurrahman bin Nashir as-
Sa’di, Abdurrahman bin Qasim,
Mushthafa az-Zarqa’, Yusuf al- Qaradhawi dan ulama lainnya. Keputusan Mujamma’ Fiqih Islam Mujamma’ Fiqih Islam di Jeddah
dalam keputusan bernomor 2,
pada daurah ke-5 yang diadakan
di Kuwait periode 1-6 Jumadal
Ula 1409 H memutuskan sebagai
berikut: “Menepati janji menjadi suatu
keharusan bagi penjanji secara
keagamaan kecuali bila ada
‘udzur. Ia harus memenuhinya
dari sisi penunaian bila terkait
dengan sebab dan orang yang diberi janji menghadapi kesulitan
akibat janji tersebut. Pengaruh
komitmen terhadap kondisi ini
dapat dilakukan, baik dengan
cara melaksanakan janji tersebut
atau mengganti kerugian yang timbul secara langsung akibat
tidak dipenuhinya janji tersebut
tanpa ‘udzur.” CATATAN:
* Aqad (perjanjian) mencakup:
janji prasetia hamba kepada Allah
SSWT dan perjanjian yang dibuat
oleh manusia dalam perjanjian
sesamanya ** Ulama fiqih mendefinisikannya,
‘Tindakan pemilik barang yang
membolehkan penggunaan
barang miliknya kepada orang
lain tanpa kompensasi apa
pun.’ [Sayyid Sabiq, Fiqh as- Sunnah-red] (SUMBER: Tawdhiih al-Ahkaam Min
Buluugh al-Maraam karya Syaikh
‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-
Bassam, Jld.VI, hal.311-314)

Minggu, Juni 26, 2011

pahami jangan hanya banyak menghafal seperti burung beo


Al A'raf : 179 Dan sesungguhnya Kami
jadikan untuk isi neraka
Jahannam kebanyakan dari jin
dan manusia, mereka
mempunyaihati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami dan mereka mempunyaimata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyaitelinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu bagaikan binatang ternak,
bahkan merekalebih sesat lagi. Mereka itulah orang-
orang yanglalai. Bismillaah, adakah yang tidak
tahu seperti apakah burung
beo itu? saya kira semuanya
hampir pernah tahu dan
bahkan melihat wujud dari
burung beo. Namun, alangkah lebih baiknya jikalau saya coba
memberikan pengulangan agar
kita memiliki kesamaan
persepsi. Merujuk kepada
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi III, kata "beo" dijelaskan sebagai berikut : beo /béo/ n burung berbulu
hitam berkilau yg dapat dilatih
menirukan bunyi (kata-kata,
nyanyian, dsb); Graculla
religiosa; mem·beo v berbuat seperti
burung beo dengan meniru
saja perkataan (ucapan) orang
lain (tanpa memahami
maksudnya); pem·beo n orang yang suka
membeo atau mengikuti
(menirukan) perkataan orang
lain Bagaimana? Sekarang kita,
Insya Allaah telah memiliki
pengetahuan yang sama
tentang burung beo. Lantas
apa yang sebenarnya ingin
dibahas berkaitan dengan ayat di muka tulisan ini? Sahabat pembaca sekalian,
banyak kini kita lihat bahwa
umat lebih mirip dan bersikap
layaknya burung beo. Mereka
banyak menghafal, baik ayat-
ayat Al-Qur'an, Hadist, dan berbagai fatwa para ulama.
Apakah itu salah? Tentu saja
tidak salah, malah banyak pula
sunnah yang menganjurkan
kita sebagai umat Muhammad
untuk menghafal, khususnya menghafal Al-Qur'an. Hanya
saja, apakah menghafal itu
lebih utama dibandingkan
dengan memahami? Haruskah
menghafal dulu barulah kita
memahami? Kalau saya bicara hafalan,
saya jadi ingat masa sekolah
dulu, waktu itu kebanyakan
dari kami berusaha menghafal
materi pelajaran, sebab
dengan begitu biasanya pas ujian bisa ingat. Dan, terus
terang hanya hafal demi
mencapai kepuasaan nilai
bagus, ngerti mah kagak,
istilahnya. Apakah kita mau
seperti itu? Bukankah kita ini makhluk yang berakal?
Janganlah kita ibarat burung
beo yang begitu fasih dalam
meniru dan mudah dalam
menghafal, namun begitu, ia
sendiri tidak paham apa sebenarnya yang tengah ia
ucapkan. Apakah itu yang
dimaksud denganulul albab? Sebenarnya, saya ingin
mengajak kita semua untuk
jangan takut ketinggalan
dalam hal menghafal apa saja
yang ada dalam agama kita ini;
Islam yang kita cintai sampai mati. Sebab, agama ini mudah,
tidak sulit, dan sempurna,
semua bisa menghafalnya,
namun belum tentu bisa
memahaminya. Maka, mulailah
belajar memahami, sebagaimana muallaf yang
mana mereka itu belajar
perlahan sambil memahami
agar hati mereka benar-benar
paham dan teguh. Begitulah
kita dalam belajar agama ini, dan alangkah indahnya jika
generasi muda Islam sejak di
PAUD misalnya, diberikan tidak
hanya "menghafal" tapi juga
diupayakan agar mereka
paham, setelah paham langsung dilaksanakan. Bagi
yang tidak paham namun hafal,
terlihat jelas kok, biasanya
hanya membeo tapi tidak
mengamalkannya! Jadi,
belajarlah dengan usaha agar kita paham, yang dengan
kepahaman tersebut kita
amalkan, dan dalam proses
pengamalan itu secara tidak
langsung kita sedang
menghafalnya kok. Janganlah kita yang memiliki
akal ini, sebagaimana bahasa
Al-Qur'an, bagai binatang
ternak, bahkan lebih sesat lagi.
Sebab kita lalai dalam
memahami dan mengamalkan apa yang kita pahami! Semoga
Allah menjauhkan kita dari hal
demikian-amiin. saudaraku seaqidah, kita
harus benar-benar
menggunakan anugerah yang
hanya diberikan kepada kita
saja, tidak terdapat pada flora
dan fauna, atau jin dan malaikat. Hanya kita yang
diberikan kelebihan tersebut.
Dan dalam hal ini, Ia Maha
Berkehendak, tapi kita pun
diberikan keleluasaan untuk
berkehendak. Sebagaimana sering kita dengar, hidup
adalah pilihan. Kalau boleh saya
tambahkan, hidup adalah
pilihan yang Allah telah
memberikan berbagai pilihan
dengan kejelasan "untung- rugi"-nya. Akan tetapi, di sini,
sebagaimana kita ketahui
dalam sebuah hadits, bahwa
agama ini adalah nasihat, dan
hanya mereka yang saling
menasehati sajalah yang beruntung [baca : QS. Al Ashr],
maka sudah kewajiban saya
untuk menasehati kepada diri
saya sendiri dan pembaca
sekalian, agar berhati-hati
dalam melangkah, takutlah wahai jiwa yang hanya
"membeo" alias tidak mau
memahami akan dikuncinya hati
kalian, sebagaimana Allah
berfirman : Al Hajj : 46 maka apakah mereka tidak
berjalan di muka bumi, lalu
mereka mempunyai hati yang
dengan itu mereka dapat
memahami atau mempunyai
telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?
Karena sesungguhnya
bukanlah mata itu yang buta,
tetapi yang buta, ialah hati
yang di dalam dada. Ar Ruum : 59 Demikianlah Allah mengunci mati
hati orang-orang yang tidak
(mau) memahami. Janganlah tergesa-gesa agar
kita bisa menguasai segala
tentang ilmu agama ini. Tapi
perlahan, dengan upaya
mempelajari, memikirkan, dan
memahami sampai benar-benar paham, lantai mengamalkannya.
Sebab bagaimana pun, kita
harus beramal dengan ilmu
(dalil) yang benar. Maka,
belajarlah untuk paham bukan
untuk sekadar hafal! Hanya orang berakal yang bisa
memahami dan mengambil
pelajaran dari apa yang ia
pahami [baca : QS. 3 :7], Maka
sudah semestinya, kita
menggunakan akal kita. Namun, ketika kita menemui sesuatu
yang kurang masuk akal dalam
Al-Qur'an, atau yang biasanya
kerap ditemui hal yang kurang
masuk akal ialah dalam hadits,
maka itu bukan karena tidak masuk akal, tapi kitanyalah
yang kurang akal jadinya
seakan tidak masuk akal!
Agama ini untuk seluruh
manusia dan mudah sekali
dipahami jika saya mereka mau menggunakan hati dan akalnya
secara seimbang, dan
mengharapkan keridhaan Allah
dan menjauhi motif selain dari-
Nya. Demikianlah, maka pilihanya
hanya dua, jadi muslim yang
hanya memboe atau muslim
yang sejati? yang tidak
membeo! Kalau pesan saya,
kepada diri sendiri dan semuanya, jangan hanya
membeo! Wa Allaahu A'lam, semoga Allaah
memberikan kemudahan
kepada kita untuk mengerti
akan agama-Nya ini....

Tafsir surah al baqoroh ayat 178-179 ;tentang hukum qishas

(178) Wahai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan atas kamu hukum qishash pada orangorang yang terbunuh; orang merdeka dengan orang merdeka , dan hamba sahaya dengan hamba sahaya dan perempuan dengan perempuan. Akan tetapi barangsiapa yang diampunkan untuknya dari saudaranya seba­ hagian, maka hendaklah mengikuti dengan yang baik, dan turiaikan kepadanya dengan cara yang baik. Demikianlah keringanan daripada Tuhanmu dan rahmat. Tetapi barangsiapa yang (masih) melanggar sesudah demikian, maka untuknya adalah azab yang pedih. Qishash Dengan ajaran Agama Islam, Nabi Muhammad s.a.w. telah mempersatukan bangsa Arab yang telah beratus tahun tidak mengenal persatuan, karena tidak ada suatu cita untuk mempersatukan. Agama pusaka Nabi Muhammad sudah tinggal hanya sebutan. Yang penting bagi mereka ialah kabilah sendiri. Di antara kabilah dengan kabilah berperang. Bermusuh dan berebut tanah pengembalaan ternak atau berebut unta ternak itu sendiri. Niscaya terjadi pembunuhan, maka timbullah cakak berbelah(berbelah-belahan kampung timbul perkelahian ) di antara suku dengan suku atau kabilah dengan kabilah. Merasailah" suku yang lemah dan kecil, berleluasalah kabilah yang besar dan kuat. Menurut keterangan al-Baidhawi, ahli tafsir yang terkenal: "Di zaman Jahiliyah pernah terjadi pertumpahan darah di antara dua buah persukuan Arab. Yang satu kabilahnya kuat dan yang satu lagi lemah. Maka terbunuhlah salah seorang dari anggota kabilah kuat itu oleh kabilah yang lemah tadi. Lantaran merasa diri kuat, kabilah yang kuat itu mengeluarkan sumpah; akan mereka balas bunuh, biarpun yang terbunuh di kalangan mereka seorang budak, mereka akan meminta orang yang merdeka. Walaupun yang terbunuh di kalangan mereka seorang perempuan, mereka akan minta ganti nyawa dengan seorang laki-laki." Riwayat ini juga dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim dan Said bin Jubair. Lantaran itu maka hukum qishash,zaman jahiliyah bu_kan hukum, tetapi balas dendam, yang mereka sebut Tsar. Agama Islampun datang, yaitu di saat perdendaman masih belum habis. Islam tidak dapat membenarkan balas dendam. Islam hanya mengakui adanya hukum qishash, bukan balas dendam. Maka kalau terjadi lagi pembunuhan manusia atas manusia, tanggung jawab penuntutan hukum bukan saja lagi terletak pada keluarga yang terbunuh, tetapi terletak ke atas pundak orang yang beriman. Balas dendam harus dicegah, yang berhutang nyawa harus dibayar dengan nyawa, tetapi pintu maaf selalu terbuka; maka datanglah ayat ini: َﺐِﺘُﻛ ﺍﻮﻨﻣﺁ َﻦْﻳِﺬَّﻟﺍ ﺎﻬﻳﺃ ﺎﻳ ﻰﻠﺘﻘﻟﺍ ﻲﻓ ُﺹﺎَﺼِﻘْﻟﺍ ُﻢُﻜْﻴَﻠَﻋ َﻭ ِﺪْﺒَﻌْﻟﺎِﺑ ُﺪْﺒَﻌْﻟﺍ َﻭ ِّﺮُﺤْﻟﺎِﺑ ُّﺮُﺤْﻟﺍ ﻰﺜﻧﺄﻟﺎﺑ ﻰﺜﻧﺄﻟﺍ "Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu hukum qishosh pada orang-orang yang terbunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, dan hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan perempuan dengan perempuan." Di pangkal ayat ini kita telah mendapat dua kesan. Pertama urusan penuntutan bela kematian telah diserahkart kepada orang-orang yang beriman. Arfinya kepada masyarakat, masyarakat islam. Masyarakat Islam mempunyai SYURA (lihat Surat 42 as-Syura, ayat 38). Di zaman ayat turun yang memimpin masyarakat Islam itu ialah Rasulullah s.a.w. sendiri. Ayat ini telah menunjukkan bahwa masyarakat orang yang beriman wajib mendirikan pemerintahan untuk menegakkan keadilan, di antaranya untuk menuntutkan bela atas orang yang mati teraniaya. . Kesan yang kedua ialah bahwa bela nyawa itu mulailah diatur seadil-adilnya. Di antaranya ditunjukkan contoh-contohnya; kalau orang Iaki-laki merdeka membunuh laki-laki merdeka, wajiblah dilakukan hukum qishash kepadanya, yaitu dia dibunuh pula. Kalau seorang hamba sahaya membunuh seorang hamba sahaya, diapun akan dihukum bunuh. Kalau seorang perempuan membunuh seorang perempuan, si pembunuh itu akan dihukum bunuh pula. Dengan tiga patah kata ini mulailah ditanamkan peraturan yang adil, pengganti peraturan jahiliyah yang berdasar balas dendam. Di zaman jahiliyah, sebagai dikatakan tadi , walaupun yang terbunuh itu seorang budak, dan yang membunuh itu budak pula, wajiblah tuan dari budak yang terbunuh itu yang mambayar dengan nyawanya. Walaupun yang terbunuh perempuan, pembunuhnya perempuan pula, wajiblah yang membayar dengan nyawanya laki-laki keluarga petempuan itu. Kalau belum maka keluarga siterbunuh belumlah merasa puas. Dalam peraturan ini, adalah bahwa siapa yang membunuh, itulah yang menjalankan hukum qishash dengan dirinya sendiri. Baik yang terbunuh orang merdeka atau budak, dan yang membunuh orang merdeka pula atau budak, namun yang berhutang itulah yang membayar. Dalam hal jiwa ganti jiwa itu, dilanjutkan hukum Taurat, sebagaimana tersebut di dalam Surat al-Maidah (Surat 5, ayat 45) "Annafsa bin nafsi,"Nyawa bayar Nyawa" Ayat ini kemudian turunnya daripada Surat al-Baqarah ayat 178 ini. Dengan ayat ini nyatalah bahwa hak menuntut kepada si pembunuh supaya dia dibunuh pula masih tetap ada pada keluarga yang terbunuh. Tetapi perjalanan hukum telah mulai di bawah tilikan orang-orangyang beriman di sini ialah hakim. Sebab dia yang diserahi dan diakui oleh orang-orang yang beriman untuk menjaga perjalanan hukum. Akan tetapi ayat ini telah menimbulkan suasana yang berbeda samasekali dengan zaman jahiliyah. Panggilan untuk mencari penyelesaian jatuh ke atas pundak tiap-tiap orang- orang yang beriman. Termasuk keluarga si pembunuh dan keluarga si terbunuh. Dan orang- orang yang beriman itu adalah bersaudara: "Hanyasanya orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara." Maka kalau masih ada jalan lain, selain dari bunuh, yaitu jalan maaf, dalam suasana orang beriman, saudara dengan saudara, adalah sangat diharapkan. Sebab itu lanjutan ayat berbunyi: ٌﺀْﻲَﺷ ِﻪْﻴِﺧَﺃ ْﻦِﻣ ُﻪَﻟ َﻲِﻔُﻋ ْﻦَﻤَﻓ ٌﺀﺍَﺩَﺃ َﻭ ِﻑﻭُﺮْﻌَﻤْﻟﺎِﺑ ٌﻉﺎَﺒِّﺗﺎَﻓ ٍﻥﺎَﺴْﺣِﺈِﺑ ِﻪْﻴَﻟِﺇ "Akan tetapi barangsiapa yang diampunkan untuknya dari saudaranya sebagian, maka hendaklah mengikuti dengan yang baik, dan tunaikan kepadanya dengan cara yang baik." Artinya jika ada pernyataan maaf dari keluarga yang terbunuh itu, walaupun sebahagian, tidak semuanya menyatakan pemberian maaf, hendaklah pernyataan maaf itu disambut dengan sebaik-baiknya. Sehingga dalam susunan ayat disebutkan bahwa yang memberi maaf itu ialah saudaranya; banyak ahli loghat memberi arti yaitu si pemberi maaf itu, sebagai keluarga dari yang terbunuh ialah memandang bahwa si pembunuh itu saudara sendiri, dia berikan kepadanya maaf. Pada waktu itu hakim harus menyetujui dan menguatkan pernyataan yang mulia itu. Itulah yang dikatakan mengikuti dengan baik. Maka dengan pemberian maaf permusuhan dua keluarga telah hilang, malahan telah dianggap bersaudara. Hakim menyambut keputusan kedua keiuarga ini dengan baik. Tetapi si pembunuh dengan keluarganya sebagai orang- orang yang mu'min pula harus mengingat kelanjutan , supaya persaudaraan ini menjadi kekal dan dendam kesumat jadi habis. Di sinilah keluar peraturan yang bernama diyat. Yaitu harta ganti kerugian. Jaminan harta benda untuk keluarga yang terbunuh. Ini yang disebut diyat yang ditunaikan kepada nya dengan baik, cara yang ma'ruf. Tentu saja secara perdamaian kedua belah pihak de- ngan disaksikan hakim berapa diyat harus dibayar. Lantaran itu jelaslah bahwa dalam hukum pidana pembunuhan, Islam mempunyai tiga taraf; pertama nyawa bayar nyawa, kedua maaf, ketiga diyat. Dalam qishash perkembangan hukum dalam Islam, ada juga kejadian, diyat itupun tidak diterimanya, karena berkembangnya rasa iman. Ada bapa dari yang terbunuh berkata kepada keluarga yang membunuh: "Anak saya yang satu sudah terbunuh oleh saudaranya sendiri, saya tidak mau kehilangan dua anak." Ketika akan dibayar diyat dia berkata: "Yang hilang tidaklah dapat diganti dengan uang. Marilah kita ganti saja dengan ukhuwah yang rapat di antara kita." Apatah lagi pintu buat memberi maaf tentang diyat inipun memang ada. Tersebut di dalam Surat An- Nisa' (Surat 4, ayat 92). "Dan diyat yang (wajib) diserahkan kepada keluarganya (keluarga si terbunuh)- Kecuali jika mereka (keluarga) itu menshadaqahkan." (an-Nisa': 92) Maka berkata ayat selanjutnya: َﻭ ْﻢُﻜِّﺑَّﺭ ْﻦِّﻣ ٌﻒْﻴِﻔْﺨَﺗ َﻚِﻟَﺫ ٌﺔَﻤْﺣَﺭ "Demikianlah keringanan dari Tuhanmu dan rahmat." Moga-moga dengan cara peraturan demikian persaudaraanmu menjadi kekal, iman menjadi bertambah mendalam, dan pintu berdamai lebih terbuka daripada penuntutan hukum. Memberi ihsan lebih tinggi daripada menuntut hak. Di sini diminta sangat kebijaksanaan hakim. Tetapi ayat mempunyai ujung lagi: ُﻪَﻠَﻓ َﻚِﻟَﺫ َﺪْﻌَﺑ ﻯﺪﺘﻋﺍ ِﻦَﻤَﻓ ٌﻢْﻴِﻟَﺃ ٌﺏﺍَﺬَﻋ "Tetapi barangsiapa yang (masih) melanggar sesudah demikian, maka untuknya adalah azab yang pedih." (ujung ayat 178). Sesudah hukum diputuskan, baik secara qishash ataupun secara diyat kalau masih ada yang membunuh, misalnya ada keluarga si terbunuh merasa tidak puas, lalu dibunuhnya si pembunuh tadi, padahal sudah selesai dengan bayaran diyat, karena ada di kalangannya yang memberi maaf; atau si pembunuh itu merasa congkak karena tidak jadi dia dihukum bunuh, maka tidak pelak lagi, azab yang pedihlah yang akan diterimanya. Artinya pada waktu itu hakim bertindak melakukan hukum yang tidak mengenal ampun, demi menjaga ketenteraman bersama. Hakim dapat membunuh si pembunuh itu. Dan di akhirat tentu saja orang yang merusak perdamaian itu mendapat hukum neraka yang pedih pula. Hukum yang terperinci tentang qishash, maaf dan dyat ada di dalam kitabkitab Fiqh. Yang dapat disimpulkan di sini ialah hukum pidana Islam tentang qishash lebih banyak diserahkan Aepada jalan ishlah kedua belah p ihak; keluarga pembunuh dan yang terbunuh. Dan kalau keluarga terbunuh tidak mau menerima diyat, maka hakim tidak memaksa diyat, melainkan dibunuhlah si pembunuh itu oleh hakim. Yakni setelah diselidiki duduk perkara sedalamdalamnya. Menurut pengetahuan kita hukum qishash menurut al-Quran ini masih berjalan sepenuhnya dalam kerajaan Saudi Arabia, Yordania, Irak dait Kuwait. Kalau seorang pembunuh telah ditangkap dan diperiksa clan telah terang saiahnya, terlebih dahulu ditanya keluarga si terbunuh apakah dia mau memberi maat dan menerima diyat. Kalau mau akan diadakan penaksiran yang patut. Kalau keluarga itu tidak mau barulah dijalankan hukum bunuh: Kita yakin bahwa hukum yang diturunkan al-Quran inilah jalan yang baik: Kalau sekiranya di serata-rata negeri Islam yang berlaku sekarang ialah hukum pidana secara barat, bukanlah berarti bahwa itulah yang lebih bagus, hanyalah karena beratus, tahun lamanya hukum baratlah yang menguasai negeri-negeri Islam sebab mereka jajah. Tetapi di negeri-negeri Islam Yang telah merdeka, di zaman sekarang mulai timbul kembali peninjauan atas hukum dan pembinaan hukum yang sesuai dengan keperibadian bangsa itu sendiri, di antaranya di negeri kita Indonesia. Tidaklah mustahil bahwa perkembangan fikiran kita akan sampai juga kepada cara Islam ini; qishash dasar pertama, maaf Yang kedua dan diyat, yaitu ganti kerugian di bawah tilikan hakim, yang ketiga. (179) Dan untuk kamu di dalam hal qishash itu ada kehidupan, wahai orang-orang yang mempunyai fikiran dalam. Supaya kamu semua menjadi orang- orang yang bertakwa. ﺎﻳ ٌﺓﺎَﻴَﺣ ِﺹﺎَﺼِﻘْﻟﺍ ﻲﻓ ْﻢُﻜَﻟ َﻭ ِﺏﺎَﺒْﻟَﺄْﻟﺍ ﻲﻟﻭﺃ "Dan untuk kamu dalam hal qishash itu ada kehidupan, wahai orang orang yang mempunyai fikiran dalam." (pangkal ayat 179). Artinya, dengan adanya hukum qishash, nyawa bayar nyawa, sebagai hukum tingkat pertama, terjaminlah kehidupan masyarakat. Orang yang akan membunuh berfikir terlebih dahulu sebab diapun akan dibunuh. Lantaran itu hiduplah orang dengan aman dan damai, dan dapatlah dibendung kekacauan dalam masyarakat karena yang kuat berlantas angan kepada yang lemah. Tetapi kalau si pembunuh hanya dihukum misalnya 15 tahun, dan apabila datang hari besar, dan mungkin pula hukumannya dipotong, orang-orang yang telah rusak akhlaknya akan merasa mudah saja membunuh sesama manusia. Bahkan ada penjahat yang lebih senang masuk keluar penjara, ada yang memberi gelar bahwa penjara itu "hotel prodeo" atau pondokan gratis dan sebagainya. Sungguhpun demikian selalu juga ada terdengar ahli ahli ilmu masyarakat yang meminta supaya hukum bunuh itu ditiadakan. Tetapi apa yang dikatakan al-Quran adalah lebih tepat. Lebih baik dipegang pangkal kata, yaitu hutang nyawa bayar nyawa. Adapun membunuh dengan tidak sengaja ataupun dengan sebab-sebab yang lain, itu dapatlah diserahkan kepada penyelidikan polisi, jaksa atau hakim, sehingga menjatuhkan hukum dapat dengan seadil-adilnya. Tetapi meniadakan hukum bunuh sama sekali adalah suatu teori yang terlalu payah, sebab ahli-ahli penyakit jiwa manusia telah membuktikan memang ada kejahatan jiwa itu yang hanya dengan hukuman matilah baru dapat dibereskan. Apatah lagi orang yang telah membunuh, menjadi amat rusak jiwanya, sehingga bila bertengkar sedikit saja, mudah saja dia mencabut belati dan hendak membunuh lagi. Maka di akhir ayat dinyatakanlah kunci yang sebenarnya: َﻥﻮُﻘَّﺘَﺗ ْﻢُﻜَّﻠَﻌَﻟ "Supaya kamu semua menjadi orang-orang yang bertakwa. "(ujung ayat 179). Derigan ujung ayat yang demikian teranglah bahwa maksud masyarakat beriman ialah menegakkan keamanan, memelihara perdamaian dan mempertahankan hidup. Kalau ada yang dihukum bunuh, adalah untuk menjaga keamanan hidup masyarakat seluruhnya. Dan dalam pada itu keselamatan hidup bukanlah bergantung kepada adanya undang-undang saja. Keamanan hidup orang dan masyarakat lebih terjamin apabila tiap-tiap peribadi ada mempunyai kesadaran beragama, yaitu takwa. Sehingga bukan undang-undang yang mencegah mereka jahat, melainkan takutnya kepada hukum Tuhan. Itulah T A K W A.

Sabtu, Juni 25, 2011

adakah dalil tentang Solat hajat ?

“Barang siapa
yang
mempunyai
hajat
kepada
Allah atau
kepada
salah
seorang
dari
bani adam/manusia, maka hendaklah ia berwudhu serta membaguskan wudhunya, kemudian sholat hajat
dua rakaat. Setelah itu hendaknya ia menyanjung kepada Allah dan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam. Kemudian ia mengucapkan doa (hajat) : Laa ilaa illallahul halimul kariim, subhaanallahi robbil ‘ arsyil azhiim, alhamdulillaahi robbil ‘ aalamiin, as-aluka muujibaati rohmatik, … dst..dst” Hadits ini SANGAT DHA’ IF Dikeluarkan oleh Imam At Tirmidzi (1/477), Ibnu Majah (no. 1384) & Al Hakim (1/320), semuanya dari jalan Faa-id bin Abdurrahman dari Abdullah bin Abi Aufa, secara marfu’ . Imam Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits ini, ia berkata,”Hadits ini gharib/asing, di isnadnya ada pembicaraan, karena Faa-id bin Abdurrahman itu telah di lemahkan di dalam haditsnya. Sanad hadits ini sangat dha’ if (Dha’ ifun jiddan), Faa-id bin Abdurrahman Abdul Waruqaa’ telah di lemahkan oleh sejumlah ulama hadits : 1.Berkata Imam Ahmad bin Hambal : “Matrukul Hadits” 2.Kata Imam Ibnu Ma’ in : “Dha’ if, bukan orang yang tsiqoh”. 3.Berkata Imam Abud Daud : “Bukan apa-apa (istilah untuk rawi lemah/dha’ if)” 4.Berkata Imam an Nasaa-i : “Bukan orang/rawi yang tsiqoh, matrukul hadits”. 5.Berkata Ibnu Hibban : “Tidak boleh berhujjah dengannya” 6.Berkata Imam Bukhari : “Munkarul Hadits” Faedah : Maksud perkataan (jarh) Imam Bukhari diatas telah beliau jelaskan sendiri dengan perkataannya yang masyhur, “Setiap rawi yang telah aku katakan (jarh) sebagai munkarul hadits, maka tidak halal meriwayatkan hadits darinya”. (Al Mizaan AdzDzahabi :1/6).
7.Berkata Imam Abu Hatim : “Hadits-haditsnya dari jalan Ibnu Abi Aufa batil-batil”. 8.Berkata Imam al Hakim : “Ia telah meriwayatkan dari Ibnu Abi Aufa hadits-hadits maudhu’ (palsu)”. Adapun mengapa hadits ini di takhrij dan dikatakan sebagai hadits yang sangat lemah adalah : Pertama, Faa-id bin Abdurrahman telah di lemahkan oleh ulama-ulama dan imam-imam ahli hadits, teristimewa jarh oleh Imam Bukhari yang menunjukkan sangat lemahnya Faa-id. Kedua, Riwayat-riwayatnya dari jalan Ibnu Abi Aufa adalah bathil, bahkan menurut Imam al Hakim adalah Maudhu’ (palsu). Sedangkan hadits ini Faa-id riwayatkan dari jalannya (Ibnu Abi Aufa). Dari dua alasan inilah, maka dapat di simpulkan bahwa hadits ini adalah “Sangat Lemah”. Wallahu a’ lam. Hadits ini adalah salah satu hadits sholat sunnat hajat yang sangat masyhur sekali di kalangan kaum muslimin. Dan termasuk salah satu dari “hadits-hadits dha’ if” yang terdapat dalam kitab “Pedoman Shalat” (hal :503) yang ditulis oleh Al Ustadz Hasbi Ash Shiddiqi.
Selain itu, ada lagi satu hadits yang di jadikan dasar oleh Syaikh
Sayyid Sabiq dalam kitabnya “Fiqih Sunnah” untuk menyunnatkan sholat hajat, hadits tersebut adalah : ‘ Dari Abi Darda’ , ia berkata. “Wahai manusia! Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang berwudhu lalu ia sempurnakan, niscaya Allah akan memberikan apa saja yang ia minta cepat atau lambat”” . Hadits ini di keluarkan oleh Imam Ahmad (6/442-443) dengan sanad yang dha’ if. Di sanadnya ada seorang rawi yang majhul yaitu Maimun Abi Muhammad sebagaimana telah di jelaskan oleh al Albani dalam kitabnya “Tamamul Minnah (hal 260), yang mengambil keterangan dari para imam seperti ibnu Ma’ in, Ibnu ‘ Aidy, Adz Dzahabi dan lain-lain, mereka semua mengatakan bahwa Maimun adalah Majhul atau tidak dikenal. Adapun pernyataan Sayyid Sabiq bahwa sanad hadits diatas adalah shahih adalah merupakan “tasaahul” beliau di dalam kitabnya tersebut.

HADITS TENTANG WANITA YANG MEMAKAI PARFUM

Dari Abu Musa Al Asy’ ary bahwanya ia berkata, Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wa sallam bersabda

“Seorang perempuan yang mengenakan wewangian lalu
melalui sekumpulan laki-laki agar
mereka mencium bau harum yang
dia pakai maka perempuan
tersebut adalah seorang
pelacur.” (HR. An Nasa’ i, Abu Daud, Tirmidzi dan Ahmad. Syaikh
Al Albani dalam Shohihul Jami’ no. 323 mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Dari Yahya bin Ja’ dah, “Di masa pemerintahan Umar bin Khatab
ada seorang perempuan yang
keluar rumah dengan memakai
wewangian. Di tengah jalan, Umar
mencium bau harum dari
perempuan tersebut maka Umar pun memukulinya dengan
tongkat. Setelah itu beliau
berkata,

“Kalian, para perempuan keluar rumah dengan memakai
wewangian sehingga para laki-
laki mencium bau harum kalian?!
Sesungguhnya hati laki-laki itu
ditentukan oleh bau yang dicium
oleh hidungnya. Keluarlah kalian dari rumah dengan tidak
memakai wewangian”. (HR. Abdurrazaq dalam al Mushannaf
no 8107)

Dari Ibrahim, Umar (bin Khatab)
memeriksa shaf shalat jamaah
perempuan lalu beliau mencium
bau harum dari kepala seorang
perempuan. Beliau lantas
berkata

“Seandainya aku tahu siapa di antara kalian yang memakai
wewangian niscaya aku akan
melakukan tindakan demikian dan
demikian.
Hendaklah kalian
memakai wewangian untuk
suaminya.
Jika keluar rumah hendaknya memakai kain jelek
yang biasa dipakai oleh budak
perempuan”. Ibrahim mengatakan,

“Aku mendapatkan kabar bahwa perempuan yang
memakai wewangian itu sampai
ngompol karena takut (dengan
Umar)”. (HR. Abdur Razaq no 8118)

smga bermanfaat..

Sabtu, Juni 18, 2011

WANITA TUTUPLAH AURAT MU

Jika seorang wanita muslimah
memakai hijab (jilbab), secara
tidak langsung ia berkata
kepada semua kaum laki-laki

“Tundukkanlah pandanganmu, aku bukan milikmu serta kamu
juga bukan milikku, tetapi saya
hanya milik orang yang dihalalkan
Allah bagiku.
Aku orang yang merdeka dan tidak terikat dengan siapa pun dan aku tidak tertarik kepada siapa pun,
karena saya jauh lebih tinggi dan
terhormat dibanding mereka
yang sengaja mengumbar
auratnya supaya dinikmati oleh
banyak orang.

” Wanita yang bertabarruj atau
pamer aurat dan menampakkan
keindahan tubuh di depan kaum
laki-laki lain, akan mengundang
perhatian laki-laki hidung belang
dan serigala berbulu domba. Secara tidak langsung ia berkata,
“Silahkan anda menikmati keindahan tubuhku dan kecantikan wajahku.
Adakah orang yang mau mendekatiku?
Adakah orang yang mau
memandangiku?
Adakah orang yang mau memberi senyuman kepadaku?
Atau manakah orang
yang berseloroh
“Aduhai betapa cantiknya?”
Mereka berebut menikmati
keindahan tubuhnya dan
kecantikan wajahnya, sehingga
membuat laki-laki terfitnah,
maka jadilah ia sasaran empuk
laki-laki penggoda dan suka mempermainkan wanita.

Manakah di antara dua wanita di
atas yang lebih merdeka?
Jelas, wanita yang berhijab secara
sempurna akan memaksa setiap
laki-laki yang melihat menundukkan pandangan dan bersikap hormat. Mereka juga menyimpulkan, bahwa dia adalah wanita merdeka, bebas dan sejati,

sebagaimana firman Allah
Subhannahu wa Ta’ ala ,

“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak
diganggu.” (Al-Ahzab :59).

Wanita yang menampakkan aurat
dan keindahan tubuh serta
paras kecantikannya, laksana
pengemis yang merengek-rengek
untuk dikasihani.

Hal itu jelas mengundang perhatian laki-laki yang hobi menggoda dan
mempermainkan kaum wanita,
sehingga mereka menjadi mangsa
laki-laki bejat dan rusak
tersebut.

Dia ibarat binatang
buruan yang datang sendiri ke perangkap sang pemburu.
Akhirnya, ia menjadi wanita yang
terhina, terbuang, tersisih dan
kehilangan harga diri serta
kesucian.

Dan dia telah
menjerumuskan dirinya dalam kehancuran dan malapetaka
hidup. ==================================
================

Syarat-Syarat Hijab (pakaian
islami bagi wanita):

Pertama;

Hendaknya menutup seluruh
tubuh dan tidak menampakkan
anggota tubuh sedikit pun, selain
yang dikecualikan

karena Allah berfirman,

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka dan
janganlah menampakkan
perhiasan mereka, kecuali yang
biasa nampak.” (An-Nuur: 31)

Dan juga firman Allah
Subhannahu wa Ta’ ala,

“Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri
orang mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih
mudah untuk dikenal, karena itu
mereka tidak diganggu. Dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi
Maha Penyanyang.” (Al Ahzab :59).

Ke dua;

Hendaknya hijab tidak menarik
perhatian pandangan laki-laki
bukan mahram.
Agar hijab tidak memancing pandangan kaum laki- laki, maka harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

Hendaknya hijab terbuat dari
kain yang tebal, tidak
menampakkan warna kulit tubuh
(transfaran).

Hendaknya hijab tersebut
longgar dan tidak menampakkan
bentuk anggota tubuh.
Hendaknya hijab tersebut tidak
berwarna-warni dan tidak
bermotif.

Hijab bukan merupakan pakaian
kebanggaan dan kesombongan
karena Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Salam
bersabda,

“Barangsiapa yang mengenakan pakaian kesombongan (kebanggaan) di dunia maka Allah akan
mengenakan pakaian kehinaan
nanti pada hari kiamat kemudian
dibakar dengan Neraka.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah, dan
hadits ini hasan).

Hendaknya hijab tersebut tidak
diberi parfum atau wewangian
berdasar-kan hadits dari Abu
Musa Al-Asy’ ary, dia berkata, Bahwa Rasulullah
bersabda,

“Siapa pun wanita yang mengenakan wewangian, lalu melewati segolongan orang agar mereka mencium baunya, maka ia adalah wanita pezina” (H.R Abu Daud, Nasa’ i dan Tirmidzi, dan hadits ini
Hasan)

Ke tiga;

Hendaknya pakaian atau
hijab yang dikenakan tidak
menyerupai pakaian laki-laki atau
pakaian kaum wanita kafir,
karena

Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Salam bersabda,

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia
termasuk bagian dari
mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Dan Rasulullah mengutuk seorang
laki-laki yang mengenakan
pakaian wanita dan mengutuk
seorang wanita yang mengenakan pakaian laki-laki.(H.R. Abu Dawud an-Nasa’ i dan Ibnu Majah, dan hadits ini sahih).
Catatan : Menutup wajah
menurut syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani di dalam
kitabnya Jilbab al-Mar’ ah al- Muslimah Fil Kitab Was Sunnah,
adalah sunnah, akan tetapi yang
memakainya mendapat
keutamaan.

Semoga tulisan ini memberi
manfaat bagi seluruh kaum muslimin, terutama para wanita
muslimah agar lebih mantap/
teguh dalam menjaga hijab
mereka.

dikutip dari tulisan : Ummu Ahmad
Rifqi

AGAR AMAL IBADAH TIDAK SIA SIA

Setiap perbuatan yang kita
lakukan tidak lepas dari dua hal,
niat dan cara. Keduanya harus sama-sama baik. Islam tentu
tidak membenarkan gaya Robin
Hood si pencuri budiman, yang
mencuri harta orang-orang kaya
yang pelit kemudian
membagikannya kepada orang- orang miskin. Islam juga tidak
membenarkan orang-orang riya,
yang beramal dengan niat yang
salah. Begitupun dengan ibadah dalam
Islam. Ibadah dalam Islam
merupakan syariat Allah
Subhanahu Wa Ta’ ala yang harus memenuhi dua syarat ini,
niat dan cara yang benar.
Ibarat orang yang akan ujian,
tentu ia harus tahu terlebih
dahulu materi yang akan diujikan.
Begitu pula dengan orang yang akan beribadah, ia harus
mengilmui dulu apa yang akan ia
lakukan. Allah Subhanahu Wa
Ta’ ala berfirman yang artinya: “Ketahuilah bahwa tidak illah yang haq disembah melainkan
Allah, maka mohonlah ampunan
bagi dosamu” (Muhammad : 19). Imam Bukhari menjadikan ayat ini
pada salah satu bab dalam kitab
shahihnya. Beliau berkata “Bab Ilmu sebelum berkata dan
berbuat”, kemudian beliau mengomentari ayat tersebut :
“Maka Allah Jalla Jalaluhu telah memulai dengan ilmu sebelum
berucap dan beramal.” Salah satu ilmu yang harus kita
ketahui adalah kaidah dalam
ibadah. Allah Subhanahu Wa
Ta’ ala telah menjelaskan bahwa tujuan utama penciptaan jin dan
manusia adalah hanya untuk
beribadah kepada-Nya. Namun,
tahukah kita bahwa ibadah
tersebut tak lagi berguna alias
sia-sia jika tidak menetapi kaidahnya? Berikut kaidah-
kaidah penting yang mendasari
benarnya suatu ibadah: 1.Ibadah bersifat tauqifiyyah
(berdasarkan wahyu)
Allah Subhanahu Wa Ta’ ala berfirman yang artinya: “Dan Kami jadikan kamu berada di
atas suatu syariat (peraturan)
dari urusan agama ini, maka
ikutilah syariat itu dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu
orang-orang yang tidak mengetahui” (Al Jatsiyah : 18) Ibadah berbeda dengan
muamalah. Pada dasarnya, ibadah
adalah haram kecuali ada dalil
dalam Al Qur’ an dan As Sunnah yang memerintahkannya. Dalam
hal ini tidak ada sedikitpun peran
akal di dalamnya. Contoh
mudahnya seperti ini, kenapa
kita tidak melakukan shalat
shubuh empat raka’ at saja? Bukankah semakin banyak
raka’ at, maka akan semakin banyak ayat Al Qur’ an yang dibaca sehingga makin besar
pahala? Jawabannya adalah
karena syari’ at memerintahkan dua raka’ at, tidak kurang tidak lebih. Pasti ada hikmah besar di
balik itu, walaupun tidak semua
hikmah ibadah diketahui
hikmahnya. Seandainya
kebenaran diukur dengan
pendapat (akal) orang, maka sungguh mengusap bagian bawah
khuf (sepatu) lebih utama dari
atasnya padahal yang benar
berdasarkan dalil adalah
mengusap bagian atas sepatu. 2.Ibadah harus dilakukan dengan
ikhlas, bebas dari noda syirik
Allah Subhanahu Wa Ta’ ala berfirman yang artinya: “Maka barangsiapa yang mengharapkan
untuk bertemu dengan Rabb-
nya, maka hendaklah dia beramal
dengan amalan yang shalih dan
tidak menyekutukan (melakukan
syirik) dengan seorangpun dalam beribadah kepada Rabb-
nya” (Al-Kahfi : 110) Barangsiapa yang melakukan
syirik berarti ia meletakkan
ibadah tidak pada tempatnya
dan memberikannya kepada yang
tidak berhak, dan itu merupakan
kezhaliman yang paling besar. 3.Mengikuti sunnah Nabi
Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam Allah Subhanahu Wa Ta’ ala berfirman yang artinya:
“Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasuulullah shalallahu
alaihi wa sallam itu suri tauladan
yang baik.” (Al Ahzab : 21). Ibnu Mas’ ud Radhiyallahu ‘ anhu berkata “Banyak orang yang menginginkan kebenaran, tapi
tidak sampai kepadanya”. Ibadah tidak cukup dengan bermodalkan
niat saja. Contohnya adalah
perayaan maulid Nabi yang
dilakukan sebagian umat Islam,
yang tidak pernah dicontohkan
oleh Nabi Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam dan para sahabatnya.
Mungkin mereka akan berkata,
“Bukankah ini baik? Niat kami baik, untuk menumbuhkan
kecintaan kepada Nabi”. Maka jawabannya adalah, “Baik menurut kalian, belum tentu baik
menurut Allah”. Beribadah tanpa contoh dari Rasulullah Shallallahu
‘ Alaihi Wasallam sama saja dengan mengatakan, “Niat kami tulus, karena Allah semata. Meski
cara yang kami tempuh mungkin
salah, atau sudah jelas-jelas
keliru dalam Islam.” Risalah yang Allah Subhanahu Wa
Ta’ ala turunkan melalui Rasulullah Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam sudah sempurna, tidak
perlu ditambah. Dengan
menambahnya, berarti dengan
tidak langsung kita telah
menuduh Rasulullah Shallallahu
‘ Alaihi Wasallam tidak amanah karena masih ada amal shalih
yang belum beliau sampaikan
kepada kita. Maka tidak heran
jika Nabi Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam bersabda yang artinya,
“Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami
(dalam Islam) yang tidak
terdapat (tuntunan) padanya,
maka ia tertolak.” (Muttafaq ‘ alaih) Suatu ibadah dikatakan
mengikuti sunnah jika memenuhi
kriteria berikut: Sebab Misalkan ada seseorang yang
melaksanakan shalat dua
raka’ at setiap masuk rumah dan menjadikan hal ini sebagai
sunnah. Tentu saja perbuatan
seperti ini tertolak. Walaupun
shalat disyariatkan, akan tetapi
ketika sebabnya tidak
bersumber dari syariat, perbuatan ini tidak mempunyai
nilai ibadah. Jenis Sebagai contoh adalah bila
seseorang berkurban dengan
kuda. Padahal Allah
mensyariatkan bahwa kurban
harus dari jenis hewan ternak
tertentu, yakni kambing, sapi, atau unta. Ukuran Apabila seseorang melakukan
ibadah tidak sesuai dengan
ukuran yang telah ditetapkan
oleh syariat, maka ibadahnya
tertolak. Contohnya seseorang
yang membasuh anggota tubuhnya sebanyak empat kali
ketika berwudhu, padahal
syariat hanya menuntunkan tiga
kali. Teknis Contohnya seseorang shalat, ia
langsung bersujud sebelum
melakukan ruku’ , maka shalatnya tidak sah dan
tertolak, sebab tidak sesuai
dengan teknis tuntunan
syari’ at. Waktu Jika seseorang beramal tapi
waktunya tidak sesuai, maka
amalnya tertolak. Misalnya
seseorang yang melaksanakan
shalat tidak sesuai dengan
waktunya. Contoh: shalat tahajjud dilaksanakan pada siang
hari, tentu saja amalnya ini tidak
diterima. Tempat Contohnya adalah orang yang
beri’ tikaf di rumah atau sekolah. Padahal syariat sudah
menjelaskan bahwa tempat
i’ tikaf adalah di dalam masjid. 4. Sebagian ibadah telah dibatasi
dengan masa dan ukuran
tertentu
Allah Subhanahu Wa Ta’ ala berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya shalat itu adalah suatu kewajiban yang ditentukan
waktunya atas orang-orang
yang beriman” (An- Nisa :103). Tidak boleh bagi kita untuk
melanggarnya seperti yang telah
dijelaskan pada kaidah di atas. 5. Ibadah harus dilandasi oleh
mahabbah (rasa cinta), khauf
(takut), raja’ (harap), dan merendahkan diri hanya kepada
Allah Subhanahu Wa Ta’ ala. Allah Subhanahu Wa Ta’ ala berfirman yang artinya: “Orang- orang yang mereka seru itu ,
mereka sendiri mencari jalan
kepada Rabb mereka, siapa yang
lebih dekat (kepada Allah) dan
mengharapkan rahmat-Nya dan
takut kepada azab-Nya.” (Al Isra ‘ : 57) 6. Kewajiban ibadah itu tidak
akan berhenti (selesai) dari
seorang mukallaf semenjak baligh
dan berakal sampai akhirnya dia
wafat
Allah Subhanahu Wa Ta’ ala berfirman yang artinya: “Dan beribadahlah engkau kepada
Rabbmu sampai engkau mati” (Al Hijr : 99)
Semoga bermanfaat.

Sabtu, Juni 11, 2011

BERAMAL DENGAN PENDAPAT SESEORANG ATAU GOLONGAN TANPA DIDASARI DALIL


“Kiai-ku lebih pintar dari kamu!”, “Imamku-lah yang paling benar!”, ungkapan-ungkapan seperti ini sering kita dengar ketika ada nasehat disampaikan. Inilah antara lain gambaran taqlid dan fanatisme golongan, penyakit yang telah lama menjangkiti umat. Hancurnya kaum muslimin dan jatuhnya mereka ke dalam kehinaan tidak lain disebabkan kebodohan mereka terhadap Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘ alaihi wasallam, serta tidak memahami pengertian dan pelajaran yang terdapat pada keduanya. Demikian pula yang menjatuhkan umat Islam ke dalam perbuatan bid’ ah serta khurafat. Bahkan kebodohan terhadap agamanya ini merupakan faktor utama yang menumbuhnsuburkan taqlid. Berbagai kebid’ ahan tumbuh dengan subur di atas ketaqlidan dan kebodohan yang ada di tengah-tengah kaum muslimin. Hal ini juga disebabkan adanya para dajjal (pembohong besar) dari berbagai golongan (sempalan) yang menyandarkan dirinya kepada imam-imam madzhab yang telah dikenal. Padahal pengakuan mereka yang menyebutkan bahwa mereka adalah pengikut para imam tersebut adalah pengakuan dusta. Kita dapati dalam kitab-kitab tentang tafsir, fiqih, tasawwuf ataupun syarh hadits Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam berbagai kebid’ ahan bahkan khurafat yang ditulis oleh mereka yang menyatakan dirinya
bermadzhab Fulani. Innaa lillah wa Innaa ilaihi raji’ un. Begitu hebatnya penyakit ini melanda kaum muslimin seakan- akan sudah menjadi wabah yang tidak ada obatnya di dunia ini. Dan akibat taqlid ini, muncullah sikap-sikap fanatik terhadap apa
yang ada pada dirinya atau kelompoknya. Sampai-sampai seorang yang bermadzhab dengan satu madzhab tertentu tidak mau menikahkan puterinya dengan orang dari madzhab lain, tidak mau pula shalat di belakang
imam yang berbeda madzhab, dan sebagainya. Bahkan yang ironis, di antara penganut madzhab ada yang saling mengkafirkan. Inilah sesungguhnya penyakit yang mula-mula menimpa makhluk
ciptaan Allah. Iblis yang terkutuk, makhluk pertama yang mendurhakai Allah, tidak lain disebabkan oleh sikap fanatiknya, di mana dia merasa unggul karena unsur yang menjadi asal dia diciptakan. Allah subhanahu wa ta’ ala menerangkan hal ini: “Aku lebih baik daripadanya. Engkau menciptakanku dari api sedangkan dia Kau ciptakan dari tanah.” (Al A’ raf: 12) Definisi Taqlid Taqlid secara bahasa bermakna mengikatkan sesuatu di leher. Jadi orang yang taqlid kepada seorang tokoh, ibarat diberi tali yang mengikat lehernya untuk ditarik seakan-akan hewan ternak. Sedangkan menurut istilah, taqlid artinya beramal dengan pendapat seseorang atau golongan tanpa didasari oleh dalil atau hujjah yang jelas. Dari pengertian ini, jelaslah bahwa taqlid bukanlah ilmu dan ini hanyalah kebiasaan orang yang awam (tidak berilmu) dan jahil. Dan Allah subhanahu wa ta’ ala telah mencela sikap taqlid ini dalam beberapa tempat dalam Al Qur’ an. Firman Allah subhanahu wa ta’ ala: “Atau adakah Kami memberikan sebuah kitab kepada mereka sebelum Al Qur’ an lalu mereka berpegang dengan kitab itu? Bahkan mereka berkata: ‘ Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.’ Dan demikianlah, kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: ‘ Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’ (Rasul itu) berkata: ‘ Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang
lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapak kalian menganutnya?’ Mereka menjawab: ‘ Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.’ Maka Kami binasakan mereka, maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” (Az-Zukhruf: 21-25) Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah sebagaimana dinukil oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah, mengatakan: “Ayat-ayat ini adalah dalil terbesar tentang batil dan jeleknya taqlid. Karena sesungguhnya orang-orang yang taqlid ini, mengamalkan ajaran agama mereka hanyalah dengan pendapat para pendahulu mereka yang diwarisi secara turun temurun. Dan apabila datang seorang juru dakwah yang mengajak mereka keluar dari kesesatan, kembali kepada al-haq, atau menjauhkan mereka dari kebid’ ahan yang mereka yakini dan warisi dari para pendahulu mereka itu tanpa didasari dalil yang jelas –hanya berdasarkan katanya dan katanya-, mereka mengatakan kalimat yang sama dengan orang-orang yang biasa bermewah-mewah:
‘ Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’ Atau ungkapan lain yang semakna dengan ini.” Firman Allah subhanahu wa ta’ ala: “Mereka menjadikan pendeta- pendeta dan ahli-ahli ibadah mereka sebagai Rabb selain Allah.” (At-Taubah: 31) Maksudnya, mereka menjadikan para ulama dan ahli ibadah di kalangan mereka sebagai Rabb selain Allah. Artinya, ketika para ulama dan ahli ibadah itu menghalalkan untuk mereka apa yang diharamkan oleh Allah, mereka mengikuti penghalalan tersebut. Dan ketika mereka mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah mereka juga mengikuti pengharaman tersebut. Bahkan ketika para ulama dan ahli ibadah tersebut menetapkan suatu syariat yang baru dalam agama mereka yang bertentangan dengan ajaran para Rasul itu, mereka juga mengikutinya. Allah subhanahu wa ta’ ala berfirman: “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya? Mereka menjawab: ‘ Kami dapati bapak-bapak kami menyembahnya’ .” (Al-Anbiya’ : 52-53) Dan perhatikanlah bagaimana jawaban yang mereka berikan. Walhasil, taqlid ini menghalangi mereka untuk menerima kebenaran, sebagaimana disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ ala: “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” (Az-Zukhruf: 24) Dan para ulama menjadikan ayat-ayat ini dan yang semakna dengannya sebagai hujjah (pedoman hukum) tentang batilnya taqlid. Tidaklah menjadi halangan bagi mereka untuk berhujjah dengan ayat ini meskipun ayat ini berbicara tentang orang-orang kafir, karena kesamaan yang terjadi bukan pada kekufuran satu golongan atau keimanan yang lain, akan tetapi kesamaannya adalah bahwa taqlid itu terjadi karena keduanya sama-sama mengikuti suatu keyakinan atau pendapat tanpa hujjah atau dalil yang jelas. Demi Allah Yang Maha Agung, sesungguhnya kaum muslimin itu, ketika benar-benar sebagai kaum muslimin yang sempurna dan benar keislaman mereka, keadaan mereka senantiasa mendapat pertolongan dan menjadi pahlawan-pahlawan yang membebaskan berbagai negara dan menundukkannya di bawah kedaulatan muslimin. Akan tetapi ketika mereka mengubah-ubah perintah-perintah Allah, maka Allah-pun memberi balasan kepada mereka dengan mengganti nikmat-Nya kepada mereka, dan menghentikan kekhalifahan yang ada di tangan mereka. Dan inilah kenyataan yang kita saksikan dan kita rasakan. Al-‘ Allamah Al-Ma’ shumi mengatakan bahwa termasuk yang berubah adalah adanya prinsip dan kewajiban harusnya seorang muslim bermadzhab dengan satu madzhab tertentu dan bersikap fanatik meskipun dengan alasan yang batil. Padahal madzhab-madzhab ini baru muncul sesudah berakhirnya masa tiga generasi terbaik umat ini. Dan akhirnya dengan bid’ ah ini tercapailah tujuan Iblis memecah-belah kaum muslimin. Kita berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ ala dari hal itu. Beliau juga menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan harusnya seseorang bermadzhab dengan satu madzhab tertentu sesungguhnya dibangun di atas satu kepentingan politik tertentu, dan ambisi-ambisi atau tujuan pribadi. Dan sesungguhnya
madzhab yang haq dan wajib diyakini dan diikuti adalah madzhab junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘ alaihi wasallam yang merupakan Imam yang Agung yang wajib diikuti, kemudian para Al-Khulafa’ Ar- Rasyidin. Allah subhanahu wa ta’ ala berfirman: “Dan apa-apa yang datang dari Rasul kepada kamu maka ambillah
dia, dan apa yang kamu dilarang mengerjakannya maka jauhilah!” (Al-Hasyr: 7) Dan adapun yang dimaksud dengan Sunnah Al-Khulafa’ Ar- Rasyidin yang harus diikuti tidak lain adalah jalan hidup mereka yang sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam. Wallahu a’ lam bish- shawab. Daftar bacaan 1 Jami’ Bayanil ‘ Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu ‘ Abdil Barr, 2 Riyadhul Jannah, Asy- Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’ i, 3 Hadiyyatus Sulthan, Muhammad Sulthan Al-Ma’ shumi, 4 Al-Hadits Hujjatun Binafsihi, Asy-Syaikh Al- Albani, 5 Ma’ na Qaulil Imam Al- Muththalibi, As-Subki, 6 Irsyadun Nuqqad, Al-Imam Ash-Shan’ ani, 7 Al-Mudzakkirah, Asy-Syinqithi, 8 Al-Ihkam, Ibnu Hazm, 9 Al-Ihkam, Al-Amidi Dikutip dari http:// www.asysyariah.com, Penulis : Al- Ustadz Idral Harits , Judul asli: Taqlid Dan Fanatisme Golongan

Senin, Juni 06, 2011

Karakter manusia di zaman jahiliah modern

Dalam sejarah Islam dijelaskan bahwa Rasulullah diturunkan oleh Allah ke dalam suatu komunitas masyarakat yang dikenal dengan istilah masyarakat Arab Jahiliah. Secara lingustik istilah jahiliah berasal dari kata Bahasa Arab jahala yang berarti bodoh dan tidak mengetahui atau tidak mempunyai pengetahuan. Namun dalam realitas yang sesungguhnya, secara faktual saat itu masyarakat Arab yang dihadapi oleh Rasulullah bukanlah masyarakat yang bodoh atau tidak mempunyai pengetahuan. Buktinya pada saat itu sastra dan syair berkembang dengan pesat di kalangan mereka. Setiap tahun diadakan festival-festival pembacaan puisi dan syair, ini membuktikan bahwa orang- orang Arab ketika itu sudah banyak yang mengetahui baca dan tulis. Selain itu mereka juga mampu membuat tata kota dan tata niaga yang sangat baik. Hal ini semakin menguatkan bahwa mereka kaum Quraisy bukanlah orang-orang bodoh dan tidak berpengetahuan. Dapat dipahami, bahwa sebenarnya mereka adalah masyarakat yang sedang berkembang peradabannya. Dari berbagai kajian yang pernah penulis lakukan dapat disimpulkan
bahwa masyarakat yang dihadapi
oleh Nabi Muhammad diistilahkan dengan jahiliah bukan karena bodoh atau tidak berpengetahuan, atau dalam istilah lain lemah dalam aspek intelektualnya. Penulis berkeyakinan bahwa yang dimaksud dengan ”kejahilan” (ketidaktahuan) mereka ada pada dua aspek utama, pertama aspek akidah. Pada saat Rasulullah diutus oleh Allah, khurafat dan mitos-mitos yang berkembang pada saat itu telah menyeret manusia untuk menjauh dari kehidupan yang alami dan manusiawi. Dalam kondisi seperti itulah, Allah mengutus duta terakhirnya, yaitu Nabi Muhammad SAW. Beliau membawa agama Islam sebagai hadiah bagi umat manusia sedunia serta memberikan penafsiran baru terhadap kehidupan manusia, selain itu beliau juga datang dengan membawa misi untuk memberantas akar kebodohan dalam masyarakat, yakni syirik kepada Allah. Sedangkan yang kedua adalah aspek akhlak. Pada masa itu, akhlak atau moral sama sekali tidak mendapat tempat dalam masyarakat jahiliah. Pada saat itu mereka melakukan berbagai perbuatan keji tanpa merasa takut atau bersalah, di antaranya kebiasaan mengubur bayi perempuan hidup-hidup, minum-minuman keras, berzina, membunuh, dan lain sebagainya. Rasulullah diturunkan oleh Allah untuk memperbaiki akhlak. Beliau menyeru masyarakat agar berpegang teguh kepada nilai- nilai moral. Selain itu beliau juga mengajarkan kepada mereka akhlak yang mulia. Jadi dapat dikatakan bahwa masyarakat jahiliah yang dimaksud di sini adalah masyarakat yang jahil dalam segi akidah dan akhlak. Kejahilan yang
terjadi ribuan tahun itu ternyata
juga kembali terjadi di zaman sekarang, sehingga zaman globalisasi ini sering pula disebut dengan istilah jahiliah modern. Terjadinya berbagai dekadensi moral di berbagai bidang merupakan karakteristik utama yang menjadikan masyarakat modern ini kembali ke kehidupan jahiliah. Untuk lebih memahami apa yang disebut masyarakat jahiliah ini perlu kiranya kita mengkaji lebih dalam apa saja karakteristik dan perilaku dari masyarakat tersebut. Al-Qur’ an sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia telah memberikan tuntunan bagi manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Al- Qur’ an juga telah menjelaskan 4 karakteristik utama dari masyarakat jahiliah. 4 Karakteristik itu adalah : 1. Hukmul Jahiliah (Hukum Jahiliah) Masyarakat jahiliah menggunakan hukum jahiliah sebagai undang-undang dan peraturan dalam kehidupan mereka. Yang dimaksud dengan hukum jahiliah adalah hukum yang memihak kepada yang lebih kuat. Para pengambilan keputusan hukum lebih memihak kepada pihak yang bisa membayar dengan mahal, sementara kaum miskin semakin tertindas dengan berlakunya hukum jahiliah ini. Hukum begitu mudah dibeli dengan uang dan berbagai iming-iming materi. Wajar kiranya jika kiranya sekarang pun di sebut dengan zaman jahiliah modern, sebab supremasi hukum juga sudah tidak ada. Para koruptor, pengeruk harta kekayaan negara dengan mudahnya membebaskan dirinya dari jeratan hukum. Mereka mampu membeli para hakim dan jaksa. Para punggawa peradilan menjadi
sangat mandul karena mereka sudah disuap dan disogok dengan
duit jutaan bahkan milyaran. Inilah yang diisyaratkan Allah dalam sinyalemennya : ”Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah : 50). Karakteristik demikian ternyata juga muncul di zaman sekarang, hukum begitu mudah dibeli. Supremasi hukum hanya slogan belaka, sebab dalam kenyataannya siapa yang kuat, yang berkuasa, yang punya uang, maka dialah yang berhak ”memiliki” hukum. 2. Dzhonnul Jahiliah (Prasangka Jahiliah) Orang-orang musyrik jahiliah berakidah syirik (menyekutukan Allah). Mereka merasakan Tuhan itu jauh dari mereka karena tidak nampak (immateri) hingga mereka mangambil patung- patung orang suci dari kalangan mereka untuk dijadikan wasilah beribadah kepada Tuhan. Mereka pada hakekatnya tahu Tuhan mereka adalah Allah SWT. terbukti nama ayah Rasulullah sendiri bernama Abdullah (hamba Allah). Itulah prasangka jahiliah, sangkaan yang tidak benar tentang eksistensi Tuhannya. Allah SWT berfirman : ” .......mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah...... ” (Ali Imran : 154). Sikap demikian ternyata juga ada di masyarakat
modern sekarang ini, banyak di antara mereka yang syirik kepada Allah. Di antara mereka ada yang menjadikan harta, jabatan, ilmu pengetahuan, keelokan wajah sebagai Tuhan mereka. Waktu yang berikan oleh
Allah telah mereka habiskan untuk ”menyembah” Tuhan- tuhan mereka. Prasangka yang tidak benar lainnya dari masyarakat jahiliiah adalah menganggap bahwa kehidupan ini akan kekal selamanya, bahkan sebagian lainnya mempercayai bahwa hidup ini tidak akan pernah berakhir, mereka tidak percaya dengan adanya hari kiamat. Prasangka demikian juga terjadi di dmasyarakat modern ini, bahkan kebanyakan dari mereka mempercayai konsep ”reinkarnasi”, naudzu billlahi min dzalik. 3. Hamiyatul Jahiliyah (Kesombongan Jahiliah) Allah SWT berfirman : ”Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan, (yaitu) kesombongan jahiliah, lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mu’ min dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat taqwa .......” (Al-Fath : 26) ). Allah SWT. mempersamakan perilaku sombong sebagai penyakit jahiliah. Mengapa? Sebab kesombongan senantiasa melupakan eksistensi Tuhan sebagai penentu segalanya. Sebagai seorang Muslim, banyaknya musibah di negara ini jangan sekadar hanya disikapi sebagai fenomena alam biasa, tapi coba lihat dalam konteks Al- Qur’ an yang berbicara tentang penyebab musibah. Sikap kesombongan kita kepada Allah SWT. yang menyebabkan bencana
silih berganti datang kepada kita karena tidak bersyukur dengan nikmat Allah yang banyak kita peroleh. Orang yang sombong akhirnya akan terjerumus menjadi manusia yang berani melanggar dan menentang perintah Allah SWT. Iblis saja terusir dari surga karena tidak taat pada perintah Allah. Dengan demikian, Jika ada masyarakat Muslim kita yang tidak taat pada perintah Allah dalam skup sempit misalnya ingkar melaksanakan ibadah sholat dan zakat, maka diapun sebenarnya telah mengidap penyakit kesombongan jahiliah. 4. Tabarrujul Jahiliah (Hiasan/Dandanan Jahiliah) Allah SWT berfirman : ”Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang
dahulu” (Al-Ahzab : 33) Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa budaya mengekspoitasi kemolekan tubuh wanita menjadi karakteristik utama masyarakat jahiliah. Arti tabarruj yang sebenarnya ialah: ”membuka dan menampakkan sesuatu untuk dilihat mata”. Az-Zamakhsyari berkata: "Bahwa tabarruj itu ialah memaksa diri untuk membuka sesuatu yang seharusnya disembunyikan." Namun tabarruj dalam ayat di atas adalah khusus untuk perempuan terhadap laki-laki lain, yaitu mereka nampakkan perhiasannya dan kecantikannya. Dalam mengartikan tabarruj ini, Az-Zamakhsyari menggunakan unsur baru, yaitu: takalluf (memaksa) dan qashad (sengaja) untuk menampakkan sesuatu perhiasan yang seharusnya disembunyikan. Sesuatu yang harus disembunyikan itu ada kalanya suatu tempat di badan, atau gerakan anggota, atau cara berkata dan berjalan, atau perhiasan yang biasa dipakai berhias oleh orang-orang perempuan dan lain-lain. Tabarruj
ini mempunyai bentuk dan corak yang bermacam-macam yang sudah dikenal oleh orang-orang banyak sejak zaman dahulu sampai sekarang. Karakteristik kehidupan tabarruj tampak jelas dalam keseharian kita. Maraknya ekploitasi kemolekan tubuh wanita terjadi dimana-mana, dan makin hari ini semakin parah. Di berbagai media hal ini sudah biasa kita saksikan. Sayangnya hal ini diperparah dengan adanya penyakit eksibisionisme (Suka pamer aurat) di antara kita, terlebih lagi kalangan selebritis. Banyaknya acara infotainment tentang selebritis menyebabkan banyak sensasi yang dilakukan walau harus menjual harga dirinya. Gampang saja, kalau mau terkenal dan ingin dikejar-kejar media agar rating bayaran berlipat-lipat, terkadang mereka berpose seronok dan disebarluaskan melalui internet dan hand phone. Kebiasaan ini akhirnya banyak diikuti generasi muda mudi kita dikarenakan selebritis adalah publik figur yang
dididolakan. Akhirnya budaya malu menjadi barang langka di negeri ini. Dalam hadis Rasulullah Saw. Bersabda, ”jika Allah hendak menghancurkan suatu negeri, maka terlebih dahulu dilepaskannya rasa malu dari kaum itu” (HR.Bukhari Muslim). Demikianlah empat karakteristik utama kehidupan jahiliah yang secara rinci dan gamblang telah Allah jelaskaan di dalam kitab suci-Nya. Mudah-mudahan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang selamat dari cengkraman ”budaya” kehidupan jahiliah, amin.

PERGAULAN "JAHILIYAH" MODERN

Dewasa ini kita hidup di era jahiliyah
materialis yang dengan segala gerakan dan adat istiadatnya telah jauh dari
tatanan syariat yang dibawa oleh Rasulullah saw. Nilai-nilai agama dan
keruhaniannya telah dicampakkan begitu saja. Akibatnya, kerusakan dan
kebobrokan moral dan etika melanda kebanyakan manusia akhir-akhir ini. Memang kita sadar bahwa zaman
jahiliyah modern ini berkembang
begitu pesat karena didukung dengan adanya
media dan perangkat penyebar informasi canggih yang setiap saat siap
menyebarkan ‘ kuman-kuman’ perusak akhlak yang mampu bergerak melebihi kecepatan
sinar dan menerobos masuk ke rumah-rumah bahkan menyelinap ke kamar-kamar tidur
melalui layar kaca (televisi). Hidup di abad dan era seperti ini -
dimana godaan nafsu dan syahwat mengepung kita dari segala penjuru dan
pergaulan bebas meliputi anak mudanya – sungguh tidak mudah. Diperlukan adanya
ketahanan diri dan kekuatan iman serta keyakinan bahwa diri kita pasti akan
dimintai pertanggung jawaban kelak oleh Allah Ta’ ala terhadap semua yang kita
lakukan. Kita sangat butuh dengan keberadaan para penyeru kebaikan, para da’ I dan ulama’ yang dengan fatwa serta pendidikannya akan mengarahkan dan
meluruskan jalan kehidupan kita. Kita harus selalu waspada, sebab akhir-akhir
ini banyak para penyeru kebathilan (Ulama Su’ / Ulama yang buruk) berdiri
dimana-mana untuk mencampakkan kita ke jurang kehinaan dan kesengsaraan. Kita
harus pandai memilih dan memilah, mana figur yang harus kita ikuti dan
teladani, tidak asal cinta dan fanatik. Maka daripada itu diperlukan aturan
dan undang-undang yang mampu menata kehidupan manusia dalam bergaul dan
bermasyarakat. Apa saja yang hendaknya kita jalankan untuk mendapatkan kawan
yang baik, yang mampu membawa kita ke jalan yang penuh hidayah. Sebab kalau
kita tidak mau berhati-hati dalam bergaul, maka kehinaan dan penyesalan di
ambang pintu. Berapa banyak orang binasa karena teman. Dan berapa banyak orang
hancur hidupnya juga karena pergaulan dengan kawan yang rusak. Kita sendiri telah menyaksikan
bagaimana kerusakan pergaulan modern pada zaman ini. Berapa banyak wanita harus
menutup-nutupi rasa malunya karena ‘ kecelakaan’ dengan laki-laki yang bejat.
Berapa banyak pula pemuda harus menghabiskan masa mudanya di terali besi karena
terjerembab dalam kriminalitas. Dan berapa banyak anak-anak bayi tidak berdosa
terlahirkan tidak mempunyai ayah dan tidak mengetahui siapa ayah mereka. Semua
karena kebejatan si wanita dan
laki-laki yang terjatuh dalam pergaulan bebas. Inilah yang diinginkan oleh syaitan,
musuh kita. Mereka selalu berusaha menjatuhkan kehormatan dan kemuliaan manusia
lewat kemaksiatan dan kemungkaran. Mereka senantiasa mencari kawannya kelak di
neraka. Alangkah rugi orang yang berjalan di belakang iblis dan anteknya.
Alangkah sengsara orang yang tunduk kepada mereka. Al Habib Abdullah bin Alawi Al Haddad
RA dalam kitabnya ‘ An Nashoih Ad Diniyyah Wal Washoya Al Imaniyyah’ telah menyebutkan bagaimana etika kita bergaul dan berkawan. Agar perkawanan dan
pertalian cinta tersebut dapat mengantarnya pada kebahagiaan dunia akhirat,
beliau berkata : “Jangan sekali-kali kamu mencintai dan
bersahabat dengan selain orang-orang yang bertakwa kepada Allah, jangan pula
mengawani selain orang yang berilmu dan zuhud di dunia. Sebab seseorang akan dikumpulkan
bersama orang yang dicintainya
di dunia dan akhirat”. Dalam satu riwayat, Rasulullah SAW
bersabda (yang artinya): “Seseorang itu dinilai dengan siapa
dia berkawan. Dan seseorang itu tergantung pada agama kawannya, maka hendaknya
kalian melihat siapa yang hendak dijadikan kawan”. Dalam hadits yang lain beliau SAW
bersabda (yang artinya): “Kawan yang baik (sholeh) lebih baik
daripada menyendiri dan menyendiri lebih baik (selamat) daripada kawan yang
buruk (jahat)”