Laman

Entri Populer

Minggu, Mei 01, 2011

10 nasehat untuk para istri

Berikut ini sepuluh wasiat
untuk wanita, untuk istri,
untuk ibu rumah tangga
dan ibunya anak-anak yang
ingin menjadikan rumahnya
sebagai pondok yang tenang dan tempat nan aman yang dipenuhi cinta dan kasih sayang,
ketenangan dan kelembutan.

Wahai wanita mukminah! Sepuluh wasiat ini aku persembahkan untukmu, yang dengannya engkau
membuat ridla Tuhanmu,
engkau dapat membahagiakan suamimu dan engkau dapat menjaga
tahtamu.

Wasiat Pertama:

Takwa kepada Allah dan menjauhi
maksiat Sesungguhnya kemaksiatan
menghancurkan negeri dan
menggoncangkan kerajaan,
dan sudah tentu dapat
meng goncangkan rumahmu.
Wahai hamba Allah…
Jagalah Allah niscaya
Dia akan menjagamu dan menjaga
untukmu suamimu dan
rumahmu.
Sesungguhnya ketaatan akan
mengumpulkan hati dan mempersatukannya,
sedangkan kemaksiatan
akan mengoyak hati dan
mencerai-beraikan keutuhannya. Maka hati-hatilah wahai saudariku muslimah dari berbuat
maksiat,
antara lain :
- Meninggalkan shalat atau
mengakhirkannya atau
menunaikannya dengan cara
yang tidak benar.
- Duduk di majlis ghibah dan namimah,berbuat riya’ dan sum’ ah. - Menjelekkan dan
mengejek orang lain.

Allah berfirman:

“Wahai orang- orang yang beriman,
janganlah suatu kaum
mengolok-olokkan kaum
yang lain(karena) boleh jadi
mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-
olokkan) dan janganlah wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain(karena) boleh jadi wanita-
wanita (yang diperolok- olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan).” (Al Hujuraat: 11)

- Keluar menuju pasar
tanpa kepentingan yang
sangat mendesak dan tanpa
didampingi mahram.

Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam bersabda:

“Negeri yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjidnya dan negeri
yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasarnya.”

- Mendidik anak dengan
pendidikan barat atau menyerahkan pendidikan anak kepada para
pembantu dan pendidik-
pendidik yang kafir.

- Meniru wanita-wanita kafir.

Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam bersabda:

“Siapa yang menyerupai suatu
kaum maka ia termasuk
golongan mereka.”

- Membiarkan suami dalam
kemaksiatannya.

(3) - Bersahabat dengan
wanita-wantia fajir dan
fasik.

Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam bersabda: “Seseorang itu menurut agama temannya.” – Tabarruj (pamer kecantikan) dan sufur
(membuka wajah)

Wasiat kedua: Berupaya
mengenal dan memahami
suami Hendaknya seorang istri
berupaya memahami
suaminya.
Ia tahu apa yang
disukai suami maka ia berusaha memenuhinya.
Dan ia tahu apa yang dibenci suami maka ia berupaya untuk menjauhinya, dengan
catatan selama tidak dalam
perkara maksiat kepada
Allah, karena tidak ada
ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al
Khaliq (Allah Ta`ala).

Wasiat ketiga: Ketaatan
yang nyata kepada suami
dan bergaul dengan baik Sesungguhnya hak suami
atas istrinya itu besar.

Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam bersabda:

“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang
untuk sujud kepada orang
lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.

” Hak suami yang pertama
adalah ditaati dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah dan
baik dalam bergaul dengannya serta tidak mendurhakainya.

Bersabda Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam:

“Dua golongan yang shalatnya tidak akan melewati kepalanya, yaitu
budak yang lari darituannya hingga ia kembali dan istri yang durhaka kepada suaminya hingga ia kembali.”
Karena itulah Aisyah Ummul Mukminin berkata dalam
memberi nasehat kepada
para wanita:

“Wahai sekalian wanita, seandainya
kalian mengetahui hak
suami-suami kalian atas diri
kalian niscaya akan ada
seorang wanita di antara
kalian yang mengusap debu dari kedua kaki suaminya
dengan pipinya.

” Engkau termasuk sebaik-
baik wanita!! Dengan ketaatanmu kepada suamimu dan baiknya
pergaulanmu terhadapnya,
engkau akan menjadi
sebaik-baik wanita, dengan
izin Allah.

Pernah ada yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam: “Wanita bagaimanakah yang terbaik?”
Beliau menjawab: “Yang menyenangkan suami ketika dipandang, taat kepada suami jika
diperintah dan ia tidak
menyalahi pada dirinya dan
hartanya dengan yang tidak disukai suaminya.” (Isnadnya hasan)

Ketahuilah, engkau
termasuk penduduk surga
dengan izin Allah, jika
engkau bertakwa kepada
Allah dan taat kepada
suamimu, berdasarkan
sabda Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wasallam:

“Bila seorang wanita shalat lima waktu, puasa pada bulan Ramadlan, menjaga kemaluannya dan taat
kepada suaminya, ia akan
masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan.”

Wasiat keempat: Bersikap
qana’ ah (merasa cukup)

Kami menginginkan wanita
muslimah ridla dengan apa
yang diberikan (suami) untuknya baik itu sedikit ataupun banyak. Maka janganlah ia menuntut di luar kesanggupan suaminya
atau meminta sesuatu yang
tidak perlu.

Dalam riwayat disebutkan

“Wanita yang paling besar barokahnya.”
Wahai siapa gerangan
wanita itu?!
Apakah dia yang menghambur-
hamburkan harta menuruti
selera syahwatnya dan mengenyangkan keinginannya? Ataukah dia yang biasa mengenakan
pakaian termahal walau
suaminya harus berhutang
kepada teman-temannya
untuk membayar harganya?!

Sekali-kalitidak… demi Allah, namun (mereka adalah):

“Wanita yang paling besar barokahnya adalah yang
paling ringan maharnya.”

Renungkanlah wahai
suadariku muslimah adabnya
wanita salaf radliallahu
‘ anhunna…

Salah seorang dari mereka bila suaminya hendak keluar rumah ia
mewasiatkan satu wasiat
padanya. Apa wasiatnya?
Ia berkata kepada sang suami:

“Hati-hatilah engkau wahai suamiku dari penghasilan yang haram, karena kami bisa bersabar dari rasa
lapar namun kami tidak bisa
sabar dari api neraka…”

Wasiat kelima:

Baik dalam mengatur urusan rumah,
seperti mendidik anak-anak
dan tidak menyerahkannya
pada pembantu, menjaga
kebersihan rumah dan menatanya dengan baik dan
menyiapkan makan pada
waktunya.
Termasuk pengaturan yang
baik adalah istri.membelanjakan harta suaminya pada tempatnya
(dengan baik), maka ia
tidak berlebih-lebihan dalam perhiasan dan alat-alat
kecantikan.

Wasiat keenam:
Baik dalam bergaul dengan keluarga
suami dan kerabat- kerabatnya, khususnya dengan ibu suami sebagai orang yang paling dekat dengannya.

Wajib bagimu untuk
menampakkan kecintaan
kepadanya, bersikap lembut, menunjukkan rasa hormat, bersabar atas kekeliruannya dan engkau melaksanakan semua perintahnya selama tidak bermaksiat kepada Allah semampumu.

Berapa banyak rumah
tangga yang masuk padanya pertikaian dan perselisihan disebabkan buruknya sikap istri
terhadap ibu suaminya dan
tidak adanya perhatian
akan haknya..

Ingatlah wahai hamba Allah,
sesungguhnya yang bergadang dan memelihara pria yang sekarang menjadi suamimu adalah ibu ini,
maka jagalah dia atas kesungguhannya dan
hargailah apa yang telah
dilakukannya.

Semoga Allah menjaga dan memeliharamu.
Maka adakah balasan bagi
kebaikan selain kebaikan?

Wasiat ketujuh:
Menyertai suami dalam perasaannya
dan turut merasakan duka
cita dan kesedihannya.

Jika engkau ingin hidup
dalam hati suamimu maka
sertailah dia dalam duka cita dan kesedihannya.
Aku ingin mengingatkan engkau
dengan seorang wanita yang terus hidup dalam hati suaminya sampaipun ia telah meninggal dunia.

Tahun-tahun yang terus
berganti tidak dapat
mengikis kecintaan sang suami padanya dan panjangnya masa tidak
dapat menghapus kenangan
bersamanya di hati suami.
Bahkan ia terus mengenangnya dan bertutur tentang andilnya
dalam ujian,
kesulitan dan musibah yang dihadapi.

Wasiat kedelapan:
Bersyukur (berterimankasih) kepada suami atas kebaikannya dan tidak
melupakan keutamaannya.

Siapa yang tidak tahu
berterimakasih kepada
manusia, ia tidak akan
dapat bersyukur kepada
Allah.

Maka janganlah
meniru wanita yang jika suaminya berbuat kebaikan
padanya sepanjang masa
(tahun), kemudian ia
melihat sedikit kesalahan
dari suaminya, ia berkata:

“Aku sama sekali tidak melihat kebaikan darimu…”

Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam telah bersabda:

“Wahai sekalian wanita bersedekahlah karena aku
melihat mayoritas penduduk
nereka adalah kalian.” Maka mereka (para wanita)
berkata: “Ya Rasulullah kepada demikian?” Beliau menjawab: “Karena kalian banyak melaknat dan
mengkufuri kebaikan
suami.” Mengkufuri kebaikan suami
adalah menentang
keutamaan suami dan tidak
menunaikan haknya. Wahai istri yang mulia! Rasa
terima kasih pada suami
dapat engkau tunjukkan
dengan senyuman manis di
wajahmu yang menimbulkan
kesan di hatinya, hingga terasa ringan baginya
kesulitan yang dijumpai
dalam pekerjaannya. Atau
engkau ungkapkan dengan
kata-kata cinta yang
memikat yang dapat menyegarkan kembali
cintamu dalam hatinya. Atau
memaafkan kesalahan dan
kekurangannya dalam
menunaikan hakmu. Namun
di mana bandingan kesalahan itu dengan
lautan keutamaan dan
kebaikannya padamu. Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam bersabda: “Allah tidak akan melihat kepada istri yang tidak
tahu bersyukur kepada
suaminya dan ia tidak
merasa cukup darinya.” Wasiat kesembilan:
Menyimpan rahasia suami
dan menutupi
kekurangannya (aibnya). Istri adalah tempat rahasia
suami dan orang yang
paling dekat dengannya
serta paling tahu
kekhususannya (yang paling
pribadi dari diri suami). Bila menyebarkan rahasia
merupakan sifat yang
tercela untuk dilakukan
oleh siapa pun maka dari
sisi istri lebih besar dan
lebih jelek lagi. Sesungguhnya majelis (dan
pergaulan, red) sebagian
wanita tidak luput dari
membuka dan menyebarkan
aib-aib suami atau sebagian
rahasianya. Ini merupakan bahaya besar dan dosa
yang besar. Karena itulah
ketika salah seorang istri
Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam menyebarkan satu
rahasia beliau, datang
hukuman keras, Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wasallam bersumpah untuk tidak
mendekati istri tersebut
selama satu bulan penuh.
Allah Azza wa Jalla
menurunkan ayat-Nya
berkenaan dengan peristiwa tersebut. “Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara
rahasia kepada salah
seorang dari isteri-
isterinya suatu peristiwa.
Maka tatkala si istri
menceritakan peristiwa itu (kepada yang lain), dan
Allah memberitahukan hal
itu kepada Muhammad lalu
Muhammad memberitahukan
sebagian (yang diberitakan
Allah kepada beliau) dan menyembunyikan sebagian
yang lain.” (At Tahriim: 3) Oleh karena itu, wahai
saudariku muslimah,
simpanlah rahasia-rahasia
suamimu, tutuplah aibnya
dan jangan engkau
tampakkan kecuali karena maslahat yang syar’ i seperti mengadukan
perbuatan dhalim kepada
Hakim atau Mufti (ahli
fatwa) atau orang yang
engkau harapkan
nasehatnya. Sebagimana yang dilakukan Hindun
radliallahu ‘ anha di sisi Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam. Hindun berkata:
“Abu Sufyan adalah pria yang kikir, ia tidak
memberiku apa yang
mencukupiku dan anak-
anakku. Apakah boleh aku
mengambil dari hartanya
tanpa izinnya?!” Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam bersabda: “Ambillah yang mencukupimu dan anakmu
dengan cara yang ma`ruf.” Cukup bagimu wahai
saudariku muslimah sabda
Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam: “Sesungguhnya termasuk sejelek-jelek kedudukan
manusia pada hari kiamat di
sisi Allah adalah pria yang
bersetubuh dengan istrinya
dan istri yang bersetubuh
dengan suaminya, kemudian salah seorang dari
keduanya menyebarkan
rahasia pasangannya.” Wasiat terakhir: Kecerdasan
dan kecerdikan serta
berhati-hati dari
kesalahan-kesalahan. - Termasuk kesalahan
adalah: Seorang istri
menceritakan dan
menggambarkan kecantikan
sebagian wanita yang
dikenalnya kepada suaminya, padahal
Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam telah melarang
yang demikian itu dengan
sabdanya: “Janganlah seorang wanita bergaul dengan wanita lain
lalu ia mensifatkan wanita
itu kepada suaminya
sehingga seakan-akan
suaminya melihatnya.” Hikmah dari larangan itu
adalah kekhawatiran
kagumnya orang yang
diceritakan terhadap
wanita yang sedang
digambarkan, maka hatinya tergantung dengannya
(menerawang
membayangkannya)
sehingga ia jatuh kedalam
fitnah. Terkadang yang
menceritakan itu adalah istrinya -sebagaimana
dalam hadits dia atas-
maka bisa jadi hal itu
mengantarkan pada
perceraiannya.
Menceritakan kebagusan wanita lain kepada suami
mengandung kerusakan-
kerusakan yang tidak
terpuji akibatnya. - Termasuk kesalahan
adalah apa yang dilakukan
sebagian besar istri ketika
suaminya baru kembali dari
bekerja. Belum lagi si suami
duduk dengan enak, ia sudah mengingatkannya
tentang kebutuhan rumah,
tagihan, tunggakan-
tunggakan dan uang jajan
anak-anak. Dan biasanya
suami tidak menolak pembicaraan seperti ini,
akan tetapi seharusnyalah
seorang istri memilih waktu
yang tepat untuk
menyampaikannya. - Termasuk kesalahan
adalah memakai pakaian
yang paling bagus dan
berhias dengan hiasan yang
paling bagus ketika keluar
rumah. Adapun di hadapan suami, tidak ada kecantikan
dan tidak ada perhiasan. Dan masih banyak lagi
kesalahan lain yang menjadi
batu sandungan
(penghalang) bagi suami
untuk menikmati
kesenangan dengan istrinya. Istri yang cerdas
adalah yang menjauhi
semua kesalahan itu. Diringkas /disadur dengan
merujuk pada : ﻞﻛﺎﺸﻣ ﻼﺑ ﺓﺮﺳﻷﺍ karya Mazin bin Abdul Karim Al
Farih. Edisi Indonesia: Rumah
Tangga Tanpa Problema; bab
Sepuluh Wasiat untuk Istri yang
Mendambakan “Keluarga Bahagia tanpa Problema”, hal. 59-82. Penerjemah: Ummu Ishâq Zulfâ
bintu Husein.

NASEHAT UNTUK REMAJA MUSLIM

Kami persembahkan nasehat
ini untuk saudara-saudara
kami terkhusus para
pemuda dan remaja muslim.
Mudah-mudahan nasehat ini
dapat membuka mata hati mereka sehingga mereka
lebih tahu tentang siapa
dirinya sebenarnya, apa
kewajiban yang harus
mereka tunaikan sebagai
seorang muslim, agar mereka merasa bahwa masa
muda ini tidak sepantasnya
untuk diisi dengan perkara
yang bisa melalaikan
mereka dari mengingat
Allah subhanahu wata’ ala sebagai penciptanya, agar
mereka tidak terus-
menerus bergelimang ke
dalam kehidupan dunia yang
fana dan lupa akan negeri
akhirat yang kekal abadi. Wahai para pemuda muslim,
tidakkah kalian
menginginkan kehidupan
yang bahagia selamanya?
Tidakkah kalian
menginginkan jannah (surga) Allah subhanahu
wata’ ala yang luasnya seluas langit dan bumi? Ketahuilah, jannah Allah
subhanahu wata’ ala itu diraih dengan usaha yang
sungguh-sungguh dalam
beramal. Jannah itu
disediakan untuk orang-
orang yang bertaqwa yang
mereka tahu bahwa hidup di dunia ini hanyalah
sementara, mereka merasa
bahwa gemerlapnya
kehidupan dunia ini akan
menipu umat manusia dan
menyeret mereka kepada kehidupan yang sengsara di
negeri akhirat selamanya. Allah subhanahu wata’ ala berfirman (artinya) : “Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan
yang menipu.” (Ali ‘ Imran: 185) Untuk Apa Kita Hidup di Dunia? Wahai para pemuda,
ketahuilah, sungguh Allah
subhanahu wata’ ala telah menciptakan kita bukan
tanpa adanya tujuan. Bukan
pula memberikan kita
kesempatan untuk
bersenang-senang saja,
tetapi untuk meraih sebuah tujuan mulia. Allah
subhanahu wata’ ala berfirman (artinya) : “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan
agar mereka beribadah
kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56) Beribadah kepada Allah
subhanahu wata’ ala dengan menjalankan segala
perintah-Nya dan menjauhi
semua larangan-Nya. Itulah
tugas utama yang harus
dijalankan oleh setiap
hamba Allah. Dalam beribadah, kita
dituntut untuk ikhlas dalam
menjalankannya. Yaitu
dengan beribadah semata-
mata hanya mengharapkan
ridha dan pahala dari Allah subhanahu wata’ ala. Jangan beribadah karena
terpaksa, atau karena
gengsi terhadap orang-
orang di sekitar kita.
Apalagi beribadah dalam
rangka agar dikatakan bahwa kita adalah orang-
orang yang alim, kita
adalah orang-orang shalih
atau bentuk pujian dan
sanjungan yang lain. Umurmu Tidak Akan Lama Lagi Wahai para pemuda, jangan
sekali-kali terlintas di
benak kalian: beribadah
nanti saja kalau sudah tua,
atau mumpung masih muda,
gunakan untuk foya-foya. Ketahuilah, itu semua
merupakan rayuan setan
yang mengajak kita untuk
menjadi teman mereka di An
Nar (neraka). Tahukah kalian, kapan
kalian akan dipanggil oleh
Allah subhanahu wata’ ala, berapa lama lagi kalian
akan hidup di dunia ini?
Jawabannya adalah
sebagaimana firman Allah
subhanahu wata’ ala (artinya): “Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui apa
yang akan dilakukannya
besok. Dan tiada
seorangpun yang dapat
mengetahui di bumi mana
dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (Luqman: 34) Wahai para pemuda,
bertaqwalah kalian kepada
Allah subhanahu wata’ ala. Mungkin hari ini kalian
sedang berada di tengah-
tengah orang-orang yang
sedang tertawa, berpesta,
dan hura-hura menyambut
tahun baru dengan berbagai bentuk maksiat
kepada Allah subhanahu
wata’ ala, tetapi keesokan harinya kalian sudah
berada di tengah-tengah
orang-orang yang sedang
menangis menyaksikan
jasad-jasad kalian
dimasukkan ke liang lahad (kubur) yang sempit dan
menyesakkan. Betapa celaka dan ruginya
kita, apabila kita belum
sempat beramal shalih.
Padahal, pada saat itu
amalan diri kita sajalah
yang akan menjadi pendamping kita ketika
menghadap Allah subhanahu
wata’ ala. Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam bersabda: “Yang mengiringi jenazah itu ada tiga: keluarganya,
hartanya, dan amalannya.
Dua dari tiga hal tersebut
akan kembali dan tinggal
satu saja (yang
mengiringinya), keluarga dan hartanya akan kembali,
dan tinggal amalannya
(yang akan mengiringinya)
.” (Muttafaqun ‘ Alaihi) Wahai para pemuda,
takutlah kalian kepada
adzab Allah subhanahu
wata’ ala. Sudah siapkah kalian dengan timbangan
amal yang pasti akan kalian
hadapi nanti. Sudah
cukupkah amal yang kalian
lakukan selama ini untuk
menambah berat timbangan amal kebaikan. Betapa sengsaranya kita,
ketika ternyata bobot
timbangan kebaikan kita
lebih ringan daripada
timbangan kejelekan.
Ingatlah akan firman Allah subhanahu wata’ ala (artinya) : “Dan adapun orang-orang yang berat timbangan
(kebaikan)nya, maka dia
berada dalam kehidupan
yang memuaskan. Dan
adapun orang-orang yang
ringan timbangan (kebaikan)nya, maka
tempat kembalinya adalah
neraka Hawiyah. Tahukah
kamu apakah neraka
Hawiyah itu? (Yaitu) api
yang sangat panas.” (Al Qari’ ah: 6-11) Bersegeralah dalam Beramal Wahai para pemuda,
bersegeralah untuk beramal
kebajikan, dirikanlah shalat
dengan sungguh-sungguh,
ikhlas dan sesuai tuntunan
Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam. Karena shalat
adalah yang pertama kali
akan dihisab nanti pada
hari kiamat, sebagaimana
sabdanya: “Sesungguhnya amalan yang pertama kali manusia
dihisab dengannya di hari
kiamat adalah shalat.” (HR. At Tirmidzi, An Nasa`i, Abu
Dawud, Ibnu Majah dan
Ahmad. Lafazh hadits
riwayat Abu Dawud no.733) Bagi laki-laki, hendaknya
dengan berjama’ ah di masjid. Banyaklah berdzikir
dan mengingat Allah
subhanahu wata’ ala. Bacalah Al Qur’ an, karena sesungguhnya ia akan
memberikan syafaat bagi
pembacanya pada hari
kiamat nanti. Banyaklah bertaubat
kepada Allah subhanahu
wata’ ala. Betapa banyak dosa dan kemaksiatan yang
telah kalian lakukan selama
ini. Mudah-mudahan dengan
bertaubat, Allah subhanahu
wata’ ala akan mengampuni dosa-dosa kalian dan
memberi pahala yang
dengannya kalian akan
memperoleh kebahagiaan
dunia dan akhirat. Wahai para pemuda,
banyak-banyaklah beramal
shalih, pasti Allah
subhanahu wata’ ala akan memberi kalian kehidupan
yang bahagia, dunia dan
akhirat. Allah subhanahu
wata’ ala berfirman (artinya) : “Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih,
baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan
beriman, maka
sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (An Nahl: 97) Engkau Habiskan untuk Apa Masa Mudamu? Pertanyaan inilah yang
akan diajukan kepada
setiap hamba Allah
subhanahu wata’ ala pada hari kiamat nanti.
Sebagaimana yang
diberitakan oleh Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wasallam dalam salah satu haditsnya: “Tidak akan bergeser kaki anak Adam (manusia) pada
hari kiamat nanti di
hadapan Rabbnya sampai
ditanya tentang lima
perkara: umurnya untuk
apa dihabiskan, masa mudanya untuk apa
dihabiskan, hartanya dari
mana dia dapatkan dan
dibelanjakan untuk apa
harta tersebut, dan
sudahkah beramal terhadap ilmu yang telah ia
ketahui.” (HR. At Tirmidzi no. 2340) Sekarang cobalah
mengoreksi diri kalian
sendiri, sudahkah kalian
mengisi masa muda kalian
untuk hal-hal yang
bermanfaat yang mendatangkan keridhaan
Allah subhanahu wata’ ala? Ataukah kalian isi masa
muda kalian dengan
perbuatan maksiat yang
mendatangkan kemurkaan-
Nya? Kalau kalian masih saja
mengisi waktu muda kalian
untuk bersenang-senang
dan lupa kepada Allah
subhanahu wata’ ala, maka jawaban apa yang bisa
kalian ucapkan di hadapan
Allah subhanahu wata’ ala Sang Penguasa Hari
Pembalasan? Tidakkah
kalian takut akan ancaman
Allah subhanahu wata’ ala terhadap orang yang
banyak berbuat dosa dan
maksiat? Padahal Allah
subhanahu wata’ ala telah mengancam pelaku
kejahatan dalam firman-Nya
(artinya): “Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan,
niscaya akan diberi
pembalasan dengan
kejahatan itu dan ia tidak
mendapat pelindung dan
tidak (pula) penolong baginya selain dari
Allah.” (An Nisa’ : 123) Bukanlah masa tua yang
akan ditanyakan oleh Allah
subhanahu wata’ ala. Oleh karena itu, pergunakanlah
kesempatan di masa muda
kalian ini untuk kebaikan. Ingat-ingatlah selalu bahwa
setiap amal yang kalian
lakukan akan
dipertanggungjawabkan
kelak di hadapan Allah
subhanahu wata’ ala. Jauhi Perbuatan Maksiat Apa yang menyebabkan
Adam dan Hawwa
dikeluarkan dari Al Jannah
(surga)? Tidak lain adalah
kemaksiatan mereka berdua
kepada Allah subhanahu wata’ ala. Mereka melanggar larangan Allah
subhanahu wata’ ala karena mendekati sebuah pohon di
Al Jannah, mereka terbujuk
oleh rayuan iblis yang
mengajak mereka untuk
bermaksiat kepada Allah
subhanahu wata’ ala. Wahai para pemuda,
senantiasa iblis, setan, dan
bala tentaranya berupaya
untuk mengajak umat
manusia seluruhnya agar
mereka bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ ala, mereka mengajak umat
manusia seluruhnya untuk
menjadi temannya di
neraka. Sebagaimana yang
Allah subhanahu wata’ ala jelaskan dalam firman-Nya
(yang artinya): “Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka
jadikanlah ia musuh(mu),
karena sesungguhnya
setan-setan itu mengajak
golongannya supaya mereka
menjadi penghuni neraka yang menyala-
nyala.” (Fathir: 6) Setiap amalan kejelekan
dan maksiat yang engkau
lakukan, walaupun kecil
pasti akan dicatat dan
diperhitungkan di sisi Allah
subhanahu wata’ ala. Pasti engkau akan melihat akibat
buruk dari apa yang telah
engkau lakukan itu. Allah
subhanahu wata’ ala berfirman (yang artinya): “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan
sekecil apapun, niscaya dia
akan melihat (balasan)
nya.” (Az Zalzalah: Setan juga menghendaki
dengan kemaksiatan ini,
umat manusia menjadi
terpecah belah dan saling
bermusuhan. Jangan dikira
bahwa ketika engkau bersama teman-temanmu
melakukan kemaksiatan
kepada Allah subhanahu
wata’ ala, itu merupakan wujud solidaritas dan
kekompakan di antara
kalian. Sekali-kali tidak,
justru cepat atau lambat,
teman yang engkau cintai
menjadi musuh yang paling engkau benci. Allah
subhanahu wata’ ala berfirman (artinya) : “Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak
menimbulkan permusuhan
dan kebencian di antara
kamu karena (meminum)
khamr dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat,
maka berhentilah kamu
(dari mengerjakan
perbuatan itu).” (Al Maidah: 91) Demikianlah setan
menjadikan perbuatan
maksiat yang dilakukan
manusia sebagai sarana
untuk memecah belah dan
menimbulkan permusuhan di antara mereka. Ibadah yang Benar Dibangun di atas Ilmu Wahai para pemuda, setelah
kalian mengetahui bahwa
tugas utama kalian hidup di
dunia ini adalah untuk
beribadah kepada Allah
subhanahu wata’ ala semata, maka sekarang
ketahuilah bahwa Allah subhanahu wata’ ala hanya menerima amalan ibadah
yang dikerjakan dengan
benar. Untuk itulah wajib
atas kalian untuk belajar
dan menuntut ilmu agama,
mengenal Allah subhanahu wata’ ala, mengenal Rasul- Nya shallallahu ‘ alaihi wasallam, dan mengenal
agama Islam ini, mengenal
mana yang halal dan mana
yang haram, mana yang haq
(benar) dan mana yang
bathil (salah), serta mana yang sunnah dan mana
yang bid’ ah. Dengan ilmu agama, kalian
akan terbimbing dalam
beribadah kepada Allah
subhanahu wata’ ala, sehingga ibadah yang kalian
lakukan benar-benar
diterima di sisi Allah
subhanahu wata’ ala. Betapa banyak orang yang
beramal kebajikan tetapi
ternyata amalannya tidak
diterima di sisi Allah
subhanahu wata’ ala, karena amalannya tidak
dibangun di atas ilmu agama
yang benar. Oleh karena itu, wahai para
pemuda muslim, pada
kesempatan ini, kami juga
menasehatkan kepada
kalian untuk banyak
mempelajari ilmu agama, duduk di majelis-majelis
ilmu, mendengarkan Al
Qur’ an dan hadits serta nasehat dan penjelasan
para ulama. Jangan
sibukkan diri kalian dengan
hal-hal yang kurang
bermanfaat bagi diri kalian,
terlebih lagi hal-hal yang mendatangkan murka Allah
subhanahu wata’ ala. Ketahuilah, menuntut ilmu
agama merupakan
kewajiban bagi setiap
muslim, maka barangsiapa
yang meninggalkannya dia
akan mendapatkan dosa, dan setiap dosa pasti akan
menyebabkan kecelakaan
bagi pelakunya. “Menuntut ilmu agama itu merupakan kewajiban bagi
setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah no.224) Akhir Kata Semoga nasehat yang
sedikit ini bisa memberikan
manfaat yang banyak
kepada kita semua.
Sesungguhnya nasehat itu
merupakan perkara yang sangat penting dalam
agama ini, bahkan saling
memberikan nasehat
merupakan salah satu sifat
orang-orang yang
dijauhkan dari kerugian, sebagaimana yang Allah
subhanahu wata’ ala firmankan dalam surat Al
‘ Ashr (artinya): “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar
dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal
shalih dan nasehat-
menasehati dalam kebenaran dan nasehat-
menasehati supaya
menetapi kesabaran.” (Al ‘ Ashr: 1-3) Wallahu ta‘ ala a’ lam bishshowab.

sudahkah anda memahami kalimat syahadat dengan benar ?

Setiap muslim seyogyanya
mengerti dan memiliki
kepedulian terhadap
perkara agamanya. Terlebih
tatkala dia hidup dimasa
kini yang jauh dari jaman kenabian Muhammad
Shalallahu ‘ Alaihi Wasallam dan semakin dekat dengan
hari kiamat. Dia hidup di
tengah kebodohan (ilmu
agama) yang telah
menyebar sedangkan ilmu
agama yang benar semakin pudar dengan meninggalnya
para ulama (satu demi
satu). Di antara perkara yang
harus dimengerti tersebut
adalah dua kalimat
syahadat, sebuah perkara
yang Allah dan rasul-Nya
jadikan sebagai rukun terpenting dari rukun-
rukun Islam, dinding
pembatas antara iman dan
kekufuran, halal atau
haramnya darah dan harta
seseorang untuk ditumpahkan dan diambil.
Bahkan sebagai faktor
penentu seseorang menjadi
penghuni Jannah (surga)
atau Naar (neraka). Allah Subhanahu Wa Ta’ ala berfirman: “Hanyalah orang-orang yang beriman itu adalah
orang-orang yang beriman
kepada Allah dan Rasul-
Nya.” (Al Hujuraat : 15). Rasulullah Shalallahu ‘ Alaihi Wasallam bersabda : “Islam itu adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang benar
kecuali Allah dan Muhammad
itu adalah utusan Allah…” (H. R. Muslim). Beliau Shalallahu ‘ Alaihi Wasallam juga bersabda : “Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai
mereka bersaksi bahwa
tiada sesembahan yang
benar kecuali Allah dan
Muhammad adalah utusan
Allah, menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat.
Apabila mereka telah
melakukannya maka mereka
telah menjaga darah dan
hartanya dariku kecuali
dengan haknya, sedangkan hisab mereka di sisi Allah.” (Muttafaqun ‘ Alaihi). Memang, dua kalimat
syahadat merupakan
sebuah persaksian seorang
muslim tentang hak Allah
dan rasul-Nya. Namun,
hendaklah dia ketahui bahwa persaksian itu
tidaklah cukup dengan
ucapan lisannya saja,
walaupun dia fasih dalam
mengucapkannya. Tetapi ia
juga sangat membutuhkan pengetahuan dan amalan
tentang makna dan
kandungannya. Allah Subhanahu Wa Ta’ ala sendiri banyak
menyebutkan tentang
makna dan kandungan
syahadat Laa Ilaaha Illallah
di dalam kitab-Nya yang
suci. Di antaranya Allah ceritakan tentang kisah
antara nabi Ibrahim ‘ Alaihi Salam dengan kaumnya : “Dan ketika Ibrahim berkata kepada bapak dan
kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa
yang kalian sembah kecuali
Dzat yang telah
menciptakanku, Dialah yang
benar-benar menunjukiku,
dan Dia (Allah) yang telah menjadikan sikap berlepas
diri dan loyalitasnya
tersebut sebagai kalimat
yang selalu ada pada
keturunannya (Ibrahim)
agar mereka kembali kepada tauhid.” (Az Zukhruf : 26-28). Al Imam Ibnul Qayyim
rahimahullah mengatakan
tentang tafsir ayat
tersebut: “Yaitu Allah telah menjadikan sikap loyalitas
kepada-Nya dan berlepas
diri dari setiap sesembahan
selain-Nya sebagai kalimat
yang selalu ada pada
keturunannya (Ibrahim). Para nabi dan pengikut
mereka akan saling
mewarisi kalimat tersebut.
Ia adalah Laa Ilaaha Illallah
yang telah diwariskan oleh
imam para Ahlut Tauhid yaitu Ibrahim kepada para
pengikutnya sampai hari
kiamat.” Penggalan (lafadz
syahadat) “Laa Ilaaha” yang mengandung arti
peniadaan (penolakan, red)
atas segala sesuatu
sebagai (yang boleh
dijadikan, red) sesembahan.
Sedangkan (lafadz syahadat) “Illallah” yang mengandung penetapan
bahwa Allah Subhanahu Wa
Ta’ ala adalah satu-satunya sesembahan yang berhak
untuk diibadahi. Kesimpulannya bahwa
makna sekaligus kandungan
yang sebenarnya tentang
syahadat “Laa Ilaaha Illallah” adalah tiada sesembahan yang berhak
untuk diibadahi melainkan
hanya Allah saja. Uniknya makna yang sah
dari tinjauan syar’ i maupun bahasa Arab tersebut
sangat dipahami dan
diketahui orang-orang
musyrikin di jaman
Rasulullah Shalallahu ‘ Alaihi Wasallam, akan tetapi sifat
sombong dan gengsi dengan
agama nenek moyang
mereka menjadi faktor
penghalang untuk menerima
seruan dakwah Laa Ilaaha Illallah. Allah Subhanahu Wa
Ta’ ala berfirman: “Sesungguhnya bila dikatakan kepada mereka
Laa Ilaaha Illallah, mereka
menyombongkan diri.” (Ash Shaffaat: 35). Kesalahan Sebagian Orang Dalam Memaknai Syahadat Berdasar tinjauan makna
dan kandungan Laa Ilaaha
Illallah yang sedemikian
rupa maka sangatlah tidak
tepat bila ada sebagian
orang yang memberikan makna syahadat tersebut
dengan berbagai makna
misalnya: “Tidak ada pencipta, pengatur, dan pemberi rizki
kecuali Allah.” “Tidak ada Tuhan kecuali Allah.” Atau yang lebih tragis lagi
bila seorang “cendekiawan muslim” memberikan makna yang nyeleneh: “Tidak ada tuhan kecuali Tuhan.” Subhanallah !! Semua
pendapat yang semata-
mata dari akal pikiran dan
jauh dari petunjuk Al
Qur’ an dan As Sunnah di atas, sesungguhnya masih
meninggalkan adanya
kemungkinan pengakuan
terhadap sesembahan selain
Allah. Tidaklah mengherankan
akibat kesalahan di dalam
memahami makna dan
kandungan syahadat Laa
Ilaaha Illallah, banyak di
antara kaum muslimin yang terjatuh ke dalam berbagai
bentuk kesyirikan yang
sebenarnya pernah, atau
bahkan belum pernah
dipraktekkan kaum
musyrikin jahiliyyah meskipun mereka
mengucapkan syahadat di
dalam dzikir, shalat dan
do’ a mereka. Wallahul Musta’ an. Syahadat Rasul Muhammadur- Rasulullah Para pembaca yang mulia,
manakala seseorang telah
mengerti dan meyakini
bahwasanya tidak ada
sesembahan yang benar
kecuali Allah saja maka dia tidak akan mampu
mengetahui cara dan
bentuk ibadah yang akan
dia persembahkan kepada-
Nya kecuali hanya dengan
petunjuk utusan-Nya yaitu Rasulullah Muhammad
Shalallahu ‘ Alaihi Wasallam. Di sinilah letak pentingnya
mengetahui makna dan
kandungan syahadat rasul
Muhammadur- rasulullah
terlebih dahulu sebelum
berbicara tentang syari’ at dan sunnah-sunnahnya.
Tidaklah sah dan diterima
syahadat Laa Ilaaha Illallah
tanpa adanya syahadat ini. Sangatlah banyak dalil-dalil
baik dari Al Qur’ an dan As Sunnah yang menunjukkan
makna syahadat ini yang
pada akhirnya para ulama
menyebutkannya secara
ringkas sebagai berikut: 1. Mentaati Rasul Shalallahu
‘ Alaihi Wasallam dalam apa yang beliau perintahkan. 2. Membenarkan segala apa
yang beliau beritakan. 3. Menjauhi apa yang beliau
larang. 4. Tidaklah Allah diibadahi
melainkan dengan apa yang
Rasul Shalallahu ‘ Alaihi Wasallam tersebut ajarkan. 5. Bahwa Muhammad
Shalallahu ‘ Alaihi Wasallam adalah seorang rasul yang
tidak boleh didustai
sekaligus sebagai seorang
hamba yang tidak boleh
diibadahi. Oleh karena itu seseorang
yang mengaku cinta dan
sebagai pengikut Rasul
Shalallahu ‘ Alaihi Wasallam tidaklah pantas untuk
mendahulukan (=lebih
membenarkan, red) ucapan
seorang guru, ustadz
ataupun kyainya daripada
ucapan Rasul tersebut. Tidaklah layak seorang
yang telah bersyahadat
bahwa Muhammad adalah
utusan Allah untuk menolak
atau ragu terhadap sebuah
hadits karena – menurut anggapan dia – tidak sesuai dengan perkembangan
jaman, penelitian para
ilmuwan atau akal
pikirannya. Dan masih
banyak lagi bentuk-bentuk
pelanggaran terhadap hak Rasul Shalallahu ‘ Alaihi Wasallam atau syahadat
Muhamadurrasulullah. Syarat-syarat Agar Seorang Muslim Mampu Memahami Syahadat Kedua syahadat ini
sebagaimana rukun Islam
yang lainnya memiliki
beberapa syarat yang
seseorang tidak akan
mendapatkan manfaat dengan persaksiannya
kecuali menyempurnakan
dan berpegang teguh
dengan syarat-syaratnya. Alhamdulillah, Allah telah
mudahkan kita untuk
mengetahuinya melalui para
ulama – semoga Allah merahmati kita dan mereka
semuanya. Mereka (para
ulama) telah kumpulkan
beberapa syarat yakni: 1. Al Ilmu, yaitu mengetahui tentang kandungan dan
konsekuensi dua kalimat
syahadat dengan ilmu yang
benar. Allah Subhanahu Wa
Ta’ ala berfirman (artinya): “Kecuali orang-orang yang bersaksi kebenaran (Laa
Ilaaha Illallah) dalam
keadaan mereka berilmu.” (Az Zukhruf : 86). 2. Al Yaqin, yaitu keyakinan yang mantap tentang
konsekuensi dari dua
kalimat syahadat tersebut.
Allah Subhanahu Wa Ta’ ala berfirman (artinya): “Hanyalah orang-orang yang beriman itu adalah
orang-orang yang beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya
kemudian tidak ragu
(dengan keimanannya).” (Al Hujuraat : 15). 3. Al Qabul, yaitu menerima kandungan dua kalimat
syahadat dengan hati dan
mengikrarkan dengan
lisannya. Dalilnya adalah
setiap firman Allah
Subhanahu Wa Ta’ ala yang memberitakan tentang
keselamatan dan
keutamaan bagi siapa saja
yang menerima Laa Ilaaha
Illallah. Sebaliknya
kecelakaan dan adzab bagi siapa saja yang menolak
kalimat agung tersebut. 4. Al Inqiyad, yakni tunduk terhadap kandungan dan
makna dua kalimat
syahadat. Allah Subhanahu
Wa Ta’ ala berfirman (artinya): “Dan barangsiapa yang menundukkan
wajahnya kepada Allah dan
berbuat baik maka dia
telah berpegang teguh
dengan tali yang kuat (Laa
Ilaaha Illallah).” (Luqman : 22). 5. Ash Shidq, adalah jujur di dalam mengikrarkannya
baik dengan lisan maupun
hatinya. Rasulullah
Shalallahu ‘ Alaihi Wasallam bersabda: “Tidaklah seseorang yang bersaksi
Laa Ilaaha Illallah wa anna
Muhammadar-rasulullah
dengan jujur dari hatinya
kecuali Allah haramkan Naar
baginya.” (Muttafaqun ‘ Alaihi). 6. Al Ikhlas, maknanya membersihkan amalan
dengan niat yang benar
dan bersih dari noda-noda
kesyirikan. Rasulullah
Shalallahu ‘ Alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah mengharamkan (Naar)
bagi seseorang yang
mengucapkan Laa Ilaaha
Illallah dalam keadaan dia
mengharap wajah Allah
‘ Azza Wa Jalla (ikhlas) .” (Muttafaqun ‘ Alaihi). 7. Al Mahabbah, artinya mencintai dua kalimat
syahadat ini, kandungannya
dan orang-orang yang
berpegang teguh dengan
dua kalimat syahadat
tersebut. Sebaliknya membenci terhadap siapa
saja yang menentang dan
menolak dua kalimat
syahadat. Rasulullah
Shalallahu ‘ Alaihi Wasallam bersabda: “Tiga perkara yang barangsiapa
memilikinya maka dia akan
mendapatkan manisnya
iman: Allah dan Rasul-Nya
lebih dia cintai daripada
selain keduanya, mencintai seseorang tidaklah dia
mencintainya kecuali karena
Allah, dan benci untuk
kembali kepada kekufuran
setelah Allah selamatkan
darinya sebagaimana ia benci apabila dilemparkan
ke dalam api.” (Muttafaqun ‘ Alaihi). Wallahu A’ lam Bish Shawab. TAMBAHAN (Tanya – Jawab) Tanya: Apakah cukup bagi seseorang mengucapkan
dua kalimat syahadat tanpa
mengamalkan
kandungannya ? Jawab: Asy Syaikh Shalih Al Fauzan Hafizhahullah di
dalam Al Muntaqa 1/9
memberikan jawaban
tentang pertanyaan yang
hampir mirip dengan
pertanyaan tersebut: - Barangsiapa yang
mengucapkan syahadat Laa
Ilaaha Illallah wa Anna
Muhammadar Rasulullah
maka ia dihukumi sebagai
muslim terlebih dahulu, dan dijaga darahnya. - Bila dia mengamalkan
kandungan dan
konsekuensinya baik secara
dhohir maupun batin maka
dia adalah muslim yang
sebenar-benarnya. Baginya kabar gembira di kehidupan
dunia dan akhirat. - Jika dia beramal secara
dhohir saja maka dia
dihukumi sebagai muslim
secara dhohir saja dan
diajak bergaul sebagaimana
pergaulan antara sesama muslimin. Adapun secara
batin dia adalah seorang
munafiq yang Allah saja
yang berhak terhadap
hisabnya. - Adapun bila dia tidak
beramal dengan kandungan
Laa Ilaaha Illallah, sekedar
mengucapkannya atau
justru beramal dengan
lawan syahadat tersebut maka dia dihukumi sebagai
murtad. Dia diperlakukan
sebagaimana orang-orang
murtad (tentunya setelah
disampaikan kepadanya
keterangan, hujjah dan dalil tentang perkara tersebut
[pen]). - Namun bila dia
mengamalkan salah satu
dari konsekuensi syahadat
tersebut tanpa konsekuensi
yang lainnya maka dia perlu
dirinci. Jika dia meninggalkan sesuatu yang
memang mengakibatkan
dirinya murtad maka dia
dihukumi sebagai murtad
seperti meninggalkan shalat
secara sengaja atau memberikan sebuah ibadah
kepada selain Allah. Akan
tetapi kalau dia
meninggalkan sesuatu yang
tidak menyebabkan murtad
maka dia dianggap sebagai mukmin yang kurang
imannya sesuai apa yang
dia tinggalkan, seperti
halnya pelaku dosa besar di
bawah kesyirikan.”

Selasa, April 19, 2011

Menuju keluarga sakinah

Merupakan satu anugerah dari Allah, ketika seorang wanita dipertemukan dengan pasangan hidupnya dalam satu jalinan kasih yang suci.

Hal ini sebagai satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Sang Khaliq.

  “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian pasangan hidup dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir“. (Ar-Rum: 21)

Apa lagi bila pendamping hidup
itu seorang yang shalih, yang akan memuliakan istrinya bila bersemi cinta di hatinya, namun kalau toh cinta itu tak kunjung datang maka ia tak akan menghinakan istrinya.

Merajut dan menjalin tali pernikahan agar selalu berjalan baik tidak bisa dikatakan mudah bak membalik kedua telapak tangan, karena dibutuhkan ilmu dan ketakwaan untuk menjalaninya.

Seorang suami butuh bekal ilmu agar ia tahu bagaimana menahkodai rumah tangganya.

Istripun demikian, ia harus tahu bagaimana menjadi seorang istri yang baik dan bagaimana kedudukan seorang suami dalam syariat ini.

Masing- masing punya hak dan kewajiban yang harus ditunaikan agar jalinan itu tidak goncang ataupun terputus.

Syariat menetapkan seorang suami memiliki hak yang sangat besar terhadap istrinya, sampai- sampai bila diperkenankan oleh Allah, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam akan memerintahkan seorang istri sujud kepada suaminya.

Abdullah ibnu Abi Aufa bertutur: Tatkala Mu’ adz datang ke negeri Yaman atau Syam, ia melihat orang-orang Nashrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka.

Maka ia memandang dan memastikan dalam hatinya bahwa Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam adalah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu.

Ketika ia kembali ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam, ia berkata:

“Ya Rasulullah, aku melihat orang-orang Nashrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka, maka aku memandang dan memastikan dalam hatiku bahwa engkaulah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu.”

Mendengar ucapan Mu’ adz ini, bersabdalah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam:

  “Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain (sesama makhluk) niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.
Dan tidaklah seorang istri dapat menunaikan seluruh hak Allah Azza wa Jalla terhadapnya hingga ia menunaikan seluruh hak suaminya terhadapnya.
Sampai-sampai jika suaminya meminta dirinya (mengajaknya bersenggama) sementara ia sedang berada di atas pelana (yang dipasang di atas unta) maka ia harus memberikannya (tidak boleh menolak).” (HR. Ahmad 4/381. Dihasankan Asy- Syaikh Albani dalam Ash-Shahihul Jami’ no. 5295 dan Irwa Al-Ghalil no. 1998)

Satu dari sekian hak suami terhadap istrinya adalah disyukuri akan kebaikan yang diperbuatnya dan tidak dilupakan keutamaannya. Namun disayangkan, di kalangan para istri banyak yang melupakan atau tidak tahu hak yang satu ini, hingga kita dapatkan mereka sering mengeluhkan suaminya, melupakan kebaikan yang telah diberikan dan tidak ingat akan keutamaannya.

Yang lebih disayangkan, ucapan dan penilaian miring terhadap suami ini kadang menjadi bahan obrolan di antara para wanita dan menjadi bahan keluhan sesama mereka.

Padahal perbuatan seperti ini menghadapkan si istri kepada kemurkaan Allah dan adzab yang pedih.

Perbuatan tidak tahu syukur ini merupakan satu sebab wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, sebagaimana diberitakan Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam seselesainya beliau dari Shalat Kusuf (Shalat Gerhana):

“Diperlihatkan neraka kepadaku. Ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita yang kufur .”
Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?”
Beliau menjawab: “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami).
Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka satu masa, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata:
Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu.” (HR. Al- Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907)
Al-Qadhi Ibnul ‘ Arabi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini disebutkan secara khusus dosa kufur/ingkar terhadap suami di antara sekian dosa lainnya karena Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam telah menyatakan:

Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain (sesama makluk) niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.

Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam menggandengkan hak suami terhadap istri dengan hak Allah, maka bila seorang istri mengkufuri/mengingkari hak suaminya, sementara hak suami terhadapnya telah mencapai puncak yang sedemikian besar, hal itu sebagai bukti istri tersebut meremehkan hak Allah.

Karena itulah diberikan istilah kufur terhadap perbuatannya akan tetapi kufurnya tidak sampai mengeluarkan dari agama.” (Fathul Bari, 1/106)

Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam juga mengisahkan:

“Aku berdiri di depan pintu surga, ternyata kebanyakan yang masuk ke dalamnya adalah orang-orang miskin, sementara orang kaya lagi terpandang masih tertahan (untuk dihisab) namun penghuni neraka telah diperintah untuk masuk ke dalam neraka , ternyata mayoritas yang masuk ke dalam neraka adalah kaum wanita.” (HR. Al- Bukhari no. 5196 dan Muslim no. 2736)

Pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam keluar menuju lapangan untuk melaksanakan shalat. Setelahnya beliau berkhutbah dan ketika melewati para wanita beliau bersabda:

“Wahai sekalian wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar (meminta ampun) karena sungguh diperlihatkan kepadaku mayoritas kalian adalah penghuni neraka.” Berkata salah seorang wanita yang cerdas: “Apa sebabnya kami menjadi mayoritas penghuni neraka, wahai Rasulullah?
” Beliau menjawab: “Kalian banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan suami.
Aku belum pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya namun dapat menundukkan lelaki yang memiliki akal yang sempurna daripada kalian.”
Wanita itu bertanya lagi: “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan kurang akal dan kurang agama?“.
“Adapun kurangnya akal wanita ditunjukkan dengan persaksian dua orang wanita sama dengan persaksian seorang lelaki.
Sementara kurangnya agama wanita ditunjukkan dengan ia tidak mengerjakan shalat dan meninggalkan puasa di bulan Ramadhan selama beberapa malam (yakni saat ditimpa haidh).” (HR. Al-Bukhari no. 304 dan Muslim no. 79)

Karena mayoritas kaum wanita adalah ahlun nar (penghuni neraka) maka mereka menjadi jumlah yang minoritas dari ahlul jannah. Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam nyatakan hal ini dalam sabdanya:

“Minoritas penghuni surga adalah kaum wanita.” (HR. Muslim no. 2738)

Bila demikian adanya tidak pantas bagi seorang wanita yang mencari keselamatan dari adzab untuk menyelisihi suaminya dengan mengkufuri kenikmatan dan kebaikan yang telah banyak ia curahkan ataupun banyak mengeluh hanya karena sebab sepele yang tak sebanding dengan apa yang telah ia persembahkan untuk anak dan istrinya.

Sepatutnya bila seorang istri melihat dari suaminya sesuatu yang tidak ia sukai atau tidak pantas dilakukan maka ia jangan mengkufuri dan melupakan seluruh kebaikannya.

Sungguh, bila seorang istri tidak mau bersyukur kepada suami, sementara suaminya adalah orang yang paling banyak dan paling sering berbuat kebaikan kepadanya, maka ia pun tidak akan pandai bersyukur kepada Allah ta`ala, Dzat yang terus mencurahkan kenikmatan dan menetapkan sebab-sebab tersampaikannya kenikmatan pada setiap hamba

. Abu Hurairah radhiyallahu ‘ anhu menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam:

ْ “Siapa yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia maka ia tidak akan bersyukur kepada Allah.” (HR. Abu Dawud no. 4177 dan At- Tirmidzi no. 2020, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil di atas syarat Muslim, dalam Ash- Shahihul Musnad, 2/338)

Al-Khaththabi berkata: “Hadits ini dapat dipahami dari dua sisi.

Pertama: orang yang tabiat dan kebiasaannya suka mengingkari kenikmatan yang diberikan kepadanya dan enggan untuk mensyukuri kebaikan mereka maka menjadi kebiasaannya pula mengkufuri nikmat Allah ta`ala dan tidak mau bersyukur kepada-Nya.

Sisi kedua: Allah tidak menerima rasa syukur seorang hamba atas kebaikan yang Dia curahkan apabila hamba tersebut tidak mau bersyukur (berterima kasih) terhadap kebaikan manusia dan mengingkari kebaikan mereka, karena berkaitannya dua perkara ini.” (‘ Aunul Ma’ bud, 13/114)

Adapun Al-Qadhi mengatakan tentang hadits ini: “(Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam menyatakan demikian) bisa jadi karena mensyukuri Allah ta`ala hanya bisa sempurna dengan patuh kepada-Nya dan melaksanakan perintah-Nya.

Sementara di antara perkara yang Dia perintahkan adalah berterima kasih kepada manusia yang menjadi perantara tersampaikannya nikmat-nikmat Allah kepadanya.

Maka orang yang tidak patuh kepada Allah dalam hal ini, ia tidak menunaikan kesyukuran atas kenikmatan- Nya.

Atau bisa pula maknanya, orang yang tidak berterima kasih kepada manusia yang telah memberikan dan menyampaikan kenikmatan kepadanya, padahal ia tahu sifat manusia itu sangat senang mendapatkan pujian, ia menyakiti si pemberi kebaikan dengan berpaling dan mengingkari apa yang telah diberikan, maka orang seperti ini akan lebih berani meremehkan sikap syukur kepada Allah, yang sebenarnya sama saja bagi-Nya antara kesyukuran dan kekufuran .” (Tuhfatul Ahwadzi, 6/74).

Sepantasnya bagi seorang istri yang mencari keselamatan dari adzab Allah untuk mencurahkan seluruh kemampuannya dalam menunaikan hak-hak suami, karena suaminya adalah jembatan untuk meraih kenikmatan surga atau malah sebaliknya membawa dirinya ke jurang neraka.

Al-Hushain bin Mihshan radliallahu anhu menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam karena satu keperluan dan setelah selesai dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam bertanya kepadanya:

َ “Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab: “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?” tanya Rasulullah lagi. Ia menjawab: “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah bersabda: “Lihatlah di mana keberadaanmu saat bergaul dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4/341 Berkata penulis Jami’ Ahkamin Nisa: hadits ini hasan, 3/430)

Saudariku, janganlah engkau sakiti suamimu dengan tidak mensyukuri apa yang telah diberikannya.

Ingatlah, suamimu hanya sementara waktu menemanimu di dunia, kemudian dia akan berpisah denganmu dan berkumpul dengan para bidadari surga yang murka kala engkau menyakitinya.

Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam menyatakan hal ini dalam sabdanya:

  “Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia kecuali berkata hurun `in (bidadari- bidadari surga) yang menjadi istri si suami di surga: “Jangan engkau menyakitinya qatalakillah , karena dia di sisimu hanyalah sebagai tamu dan sekedar singgah, hampir-hampir dia akan berpisah denganmu untuk bertemu dengan kami.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah no. 204. Berkata penulis Bahjatun Nazhirin: Sanad hadits ini shahih, 1/372) .

Wallahu ta`ala a`lam bishawwab.

Tanamkan dalam dirimu rasa malu ! wahai muslimah

Tak sedikit wanita di masa ini yang telah menanggalkan rasa malunya. Dari caranya berbusana, bergaul, dan gaya hidup ‘ modern’ lainnya, setidaknya memberikan gambaran fenomena dimaksud. Padahal, Islam telah menjadikan sifat malu ini sebagai sifat mulia, bahkan merupakan salah satu cabang keimanan. Sifat malu memang identik dengan wanita karena merekalah
yang dominan memilikinya. Namun sebenarnya sifat ini bukan hanya milik kaum hawa. Laki-laki pun disukai bila memiliki sifat malu. Bahkan sifat mulia ini termasuk salah satu cabang keimanan dan menjadi salah satu faktor kebahagiaan seorang insan. Karena dengan sifat ini, hanya kebaikanlah yang bakal diraupnya, sebagaimana beritanya tercatat dalam lembaran sunnah Rasul shallallahu ‘ alaihi wasallam: ٍﺮْﻴَﺨِﺑ َّﻻِﺇ ﻲﺗﺄﻳ َﻻ ُﺀﺎَﻴَﺤْﻟﺍ “Malu itu tidaklah datang kecuali dengan kebaikan.” Dalam satu riwayat: ُﻪُّﻠُﻛ ٌﺮْﻴَﺧ ُﺀﺎَﻴَﺤْﻟﺍ “Malu itu baik seluruhnya.” (Shahih, HR. Al- Bukhari dan Muslim) Saudariku muslimah… Adanya sifat malu pada diri seseorang akan mendorongnya kepada kebaikan dan mencegahnya dari kejelekan. Bila malu ini hilang dari diri seseorang, ia akan jatuh dalam perbuatan maksiat dan dosa, ketika sendirian maupun di hadapan kerabat dan tetangga. Karena itulah bersabda Rasul shallallahu ‘ alaihi wasallam: ِﻡَﻼَﻛ ْﻦِﻣ ُﺱﺎَّﻨﻟﺍ َﻙَﺭْﺩَﺃ ﺎﻤﻣ َّﻥِﺇ ﻰﻟﻭﻷﺍ ِﺓَّﻮُﺒُّﻨﻟﺍ : ِﺢَﺘْﺴَﺗ ْﻢَﻟ ﺍﺫﺇ َﺖْﺌِﺷ ﺎﻣ ْﻞَﻌْﻓﺎَﻓ “Termasuk yang diperoleh manusia dari ucapan kenabian yang pertama adalah: jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu.” (Shahih, HR. Al- Bukhari) Adalah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam sangat pemalu sehingga shahabat yang mulia Abu Sa’ id Al-Khudri radhiallahu ‘ anhu berkata: َﻥﺎَﻛ ُﻝْﻮُﺳَﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ُﻪﻠﻟﺍ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﻢَّﻠَﺳَﻭ ًﺀﺎَﻴَﺣ ُّﺪَﺷَﺃ ﻲِﻓ ِﺀﺍَﺭَﺬُﻌْﻟﺍ َﻦِﻣ ﺎَﻫِﺭْﺪِﺧ “Adalah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam sangat pemalu dibandingkan dengan gadis perawan yang berada dalam pingitannya.” (Shahih, HR. Al- Bukhari dan Muslim) Semoga Allah merahmati Abu Sa’ id Al-Khudri, di mana beliau membuat permisalan untuk kita dengan gadis perawan. Lalu apa gerangan yang akan beliau katakan bila melihat pada hari ini gadis perawan itu telah menanggalkan rasa malunya dan meninggalkan tempat pingitannya? Ia pergi keluar rumahnya dengan hanya ditemani sopir pribadi. Ia pergi ke pasar, berbincang-bincang akrab dengan para pedagang dan penjahit, dan sebagainya. Demikian kenyataan pahit yang ada. Sebagian kaum muslimin juga membiarkan putri-putri mereka bercampur baur dengan laki-laki di sekolah-sekolah dan di tempat kerja. Karena telah tercabut dari
mereka rasa malu dan sedikit ghirah (kecemburuan) yang tertinggal. Bila malu ini telah hilang dari diri seorang insan, ia akan melangkah dari satu kejelekan kepada yang lebih jelek lagi, dari satu kerendahan kepada yang lebih rendah lagi. Karena malu pada hakekatnya adalah menjauhkan diri dari hal-hal yang Allah ta`ala haramkan dan menjaga anggota tubuh agar tidak digunakan untuk bermaksiat kepada-Nya. Apakah pantas seseorang disifati malu sementara matanya digunakan untuk melihat perkara yang Allah haramkan? Apakah pantas dikatakan malu, bila lidah masih digunakan untuk ghibah, mengadu domba, dusta, mencerca, dan mengumpat? Apakah pantas digelari malu, bila nikmat berupa pendengaran digunakan untuk menikmati musik
dan nyanyian? Saudariku muslimah… wajib bagi kita untuk terus merasakan pengawasan Allah dan malu kepada-Nya di setiap waktu dan tempat. Kala dikau sendiri dalam kegelapan Sedang jiwa mengajakmu tuk berbuat nista Maka malulah dikau dari pandangan Al-Ilah Dan katakan pada jiwamu: Dzat yang menciptakan kegelapan ini senantiasa melihatku Seorang muslim yang jujur dalam keimanannya akan merasa malu kepada Allah jika melanggar kehormatan orang lain dan mengambil harta yang tidak halal baginya. Sementara orang yang telah dicabik tirai malu dari wajahnya, ia akan berani kepada Allah dan berani melanggar larangan-Nya. Saudariku muslimah… bila engkau telah mengetahui pentingnya sifat malu, maka berupayalah untuk menumbuhkannya di hati keluarga dan anak-anak. Karena ketika malu ini masih ada, maka akan terasa betapa besar dan jelek perbuatan yang mungkar, sementara kebaikan senantiasa mereka agungkan. Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam pernah melewati seseorang yang tengah mencela saudaranya karena sifat malunya, maka beliau bersabda: ِﻥﺎَﻤْﻳِﻹﺍ َﻦِﻣ َﺀﺎَﻴَﺤْﻟﺍ َّﻥِﺈَﻓ ُﻪْﻋَﺩ “Biarkan dia, karena malu itu termasuk keimanan.” (HR. Al- Jama`ah) Saudariku muslimah… perlu engkau ketahui bahwa Allah tidaklah malu dari kebenaran. Maka bukan termasuk sifat malu bila engkau diam ketika melihat kebatilan, engkau enggan menolong orang yang terzalimi, dan berat untuk mengingkari kemungkaran. Dan bukan pula termasuk sifat malu bila engkau tidak mau bertanya tentang perkara agama yang samar bagimu, karena Allah ta`ala berfirman: ﺍﻮﻟﺄﺴﻓ ْﻢُﺘْﻨُﻛ ْﻥِﺇ ِﺮْﻛِّﺬﻟﺍ َﻞْﻫَﺃ َﻥْﻮُﻤَﻠْﻌَﺗ َﻻ “Maka tanyakanlah kepada ahlu dzikr (orang yang memiliki ilmu), jika kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43) Ummu Sulaim radhiallahu ‘ anha pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam. Ia berkata ketika itu: “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran. Apakah wajib bagi wanita untuk mandi bila ia ihtilam (mimpi bersetubuh)?” Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam menjawab: ْﻢَﻌَﻧ , َﺀﺎَﻤْﻟﺍ ِﺕَﺃَﺭ ﺍﺫﺇ “Ya, jika ia melihat keluarnya air mani.” (Shahih, HR. Al-Bukhari) Apakah tidak sepantasnya Ummu Sulaim menjadi contoh bagi para wanita dalam bertanya tentang perkara agamanya? Terkadang pemahaman ini menjadi terbalik. Wanita malu untuk bertanya hal- hal yang berkaitan dengan agamanya, akan tetapi ia tidak malu untuk berdua-duaan dengan sopir dan berbincang- bincang dengan pedagang, ataupun memperlihatkan auratnya di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya. Ketahuilah wahai saudariku… tidak sepantasnya kita malu dari suatu
perkara yang bisa membawa kepada kebaikan. Anas bin Malik radhiallahu ‘ anhu menceritakan: “Datang seorang wanita menemui Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam guna menawarkan dirinya kepada beliau agar diperistri oleh
beliau. Wanita itu berkata: “Apakah engkau, wahai Rasulullah, punya keinginan terhadap diriku?” Seorang putri Anas, ketika mendengar kisah ini, berkomentar tentang wanita itu: “Alangkah sedikit rasa malunya!” Anas berkata: “Wanita itu lebih baik darimu, dia menawarkan diri kepada orang yang paling mulia dan paling baik (Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam) .” (Shahih, HR. Al-Bukhari secara makna) Semoga Allah senantiasa menganugerahkan kepada kita sifat malu yang membawa kita untuk selalu berbuat baik dan mencegah dari kejahatan dan kerendahan akhlak. Amin…! Wallahu ta`ala a`lam bish-shawab

adakah bid'ah hasanah ?

Banyak alasan yang dipakai orang-orang untuk ‘ melegalkan’ perbuatan bid’ ah.

Salah satunya, tidak semua bid’ ah itu jelek.
Menurut mereka, bid’ ah ada pula yang baik (hasanah).
Mereka pun memiliki dalil untuk mendukung pendapatnya tersebut.

Bagaimana kita menyikapinya ?

Di antara sebab-sebab tersebarnya bid’ ah di negeri kaum muslimin adalah adanya keyakinan pada kebanyakan kaum muslimin bahwa di dalam kebid’ ahan ini ada yang boleh diterima yang dinamakan bid’ ah hasanah.

Pandangan ini berangkat dari pemahaman bahwa bid’ ah itu ada dua: hasanah (baik) dan sayyiah (jelek).

Berikut ini kami paparkan apa yang diterangkan oleh Asy- Syaikh As-Suhaibani dalam kitab Al-Luma’ :

Bantahan terhadap Syubhat Pendapat yang Menyatakan Adanya Bid’ ah Hasanah Syubhat pertama: Pemahaman mereka yang salah terhadap hadits:

“Barangsiapa membuat satu sunnah (cara atau jalan) yang baik di dalam Islam maka dia mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun. Dan barangsiapa yang membuat satu sunnah yang buruk di dalam Islam, dia mendapat dosanya dan dosa orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” (Shahih, HR. Muslim no. 1017).

Bantahannya Pertama:

Sesungguhnya makna dari (barangsiapa yang membuat satu sunnah) adalah menetapkan suatu amalan yang sifatnya tanfidz (pelaksanaan), bukan amalan tasyri’ (penetapan hukum).

Maka yang dimaksud dalam hadits ini adalah amalan yang ada tuntunannya dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam .

Makna ini ditunjukkan pula oleh sebab keluarnya hadits tersebut, yaitu sedekah yang disyariatkan.

Kedua: Rasul yang mengatakan:

“Barangsiapa yang membuat satu sunnah (cara atau jalan) yang baik di dalam Islam.” Adalah juga yang mengatakan: “Semua bid’ ah itu adalah sesat.” Dan tidak mungkin muncul dari Ash-Shadiqul Mashduq (Rasul yang benar dan dibenarkan) ?
suatu perkataan yang mendustakan ucapannya yang lain.
Tidak mungkin pula perkataan beliau ?
saling bertentangan.
Dengan alasan ini, maka tidak boleh kita mengambil satu hadits dan mempertentangkannya dengan hadits yang lain.
Karena sesungguhnya ini adalah seperti perbuatan orang yang beriman kepada sebagian Al-Kitab tetapi kafir kepada sebagian yang lain.

Ketiga:
Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘ alaihi wassalam mengatakan (barangsiapa membuat sunnah) bukan mengatakan (barangsiapa yang membuat bid’ ah). Juga mengatakan (dalam Islam).
Sedangkan bid’ ah bukan dari ajaran Islam.

Beliau juga mengatakan (yang baik). Dan perbuatan bid’ ah itu bukanlah sesuatu yang hasanah (baik).
Tidak ada persamaan antara As Sunnah dan bid’ ah, karena sunnah itu adalah jalan yang diikuti, sedangkan bid’ ah adalah perkara baru yang diada-adakan di dalam agama.

Keempat: Tidak satupun kita dapatkan keterangan yang dinukil dari salafus shalih menyatakan bahwa mereka menafsirkan Sunnah Hasanah itu sebagai bid’ ah yang dibuat-buat sendiri oleh manusia.

Syubhat kedua:
Pemahaman mereka yang salah terhadap perkataan ‘ Umar bin Al- Khaththab :

“Sebaik-baik bid’ ah adalah ini (tarawih berjamaah)”.

Jawaban atas syubhat ini:

1. Anggaplah kita terima dalalah (pendalilan) ucapan beliau seperti yang mereka maukan – bahwa bid’ ah itu ada yang baik, namun sesungguhnya, kita kaum muslimin mempunyai satu pedoman;
kita tidak boleh mempertentangkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam dengan pendapat siapapun juga (selain beliau).

Tidak dibenarkan kita membenturkan sabda beliau dengan ucapan Abu Bakar, meskipun dia adalah orang terbaik di umat ini sesudah Nabi Muhammad Shallallahu ‘ alaihi wassalam atau dengan perkataan ‘ Umar bin Al- Khaththab ataupun yang lainnya.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ ala :

“(Kami mengutus mereka) sebagai rasul-rasul pemberi berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya para Rasul itu.” (An- Nisa`: 165)

Sehingga tidak tersisa lagi bagi manusia satu alasan pun untuk membantah Allah dengan telah diutusnya para rasul ini.

Merekalah yang telah menjelaskan urusan agama mereka serta apa yang diridhai oleh Allah.
Merekalah hujjah Allah terhadap kita manusia, bukan selain mereka.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)

Asy-Syaikh ‘ Abdurrahman As- Sa’ di (secara ringkas) mengatakan:

“Ayat ini mengajarkan kepada kita bagaimana beradab terhadap Allah dan Rasul-Nya, hendaknya kita berjalan (berbuat dan beramal) mengikuti perintah Allah dan Sunnah Rasul-Nya, jangan mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam segenap urusan.

Dan inilah tanda-tanda kebahagiaan dunia dan akhirat.” Ibnu ‘ Abbas mengatakan:

“Hampir-hampir kalian ditimpa hujan batu dari langit. Aku katakan: Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam bersabda demikian… demikian, (tapi) kalian mengatakan: Kata Abu Bakr dan ‘ Umar begini… begini… .” ‘ Umar bin ‘ Abdul ‘ Aziz mengatakan: “Tidak ada (hak) berpendapat bagi siapapun dengan (adanya) sunnah yang telah ditetapkan Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam .

” Al-Imam Asy-Syafi’ i mengatakan:

“Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam , tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena pendapat (pemikiran) seseorang.”

Al-Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan:

“Barangsiapa yang menolak hadits Nabi, berarti dia (sedang) berada di tepi jurang kehancuran.”

2. Bahwa ‘ Umar mengatakan kalimat ini tatkala beliau mengumpulkan kaum muslimin untuk shalat tarawih berjamaah. Padahal shalat tarawih berjamaah ini bukanlah suatu bid’ ah.

Bahkan perbuatan tersebut termasuk sunnah dengan dalil yang diriwayatkan oleh ‘ Aisyah,

bahwa Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam pada suatu malam shalat di masjid, kemudian orang-orang mengikuti beliau. Kemudian keesokan harinya jumlah mereka semakin banyak. Setelah itu malam berikutnya (ketiga atau keempat) mereka berkumpul (menunggu Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam ).
Namun beliau tidak keluar.
Pada pagi harinya, beliau bersabda: “Saya telah melihat apa yang kalian lakukan.
Dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar (shalat bersama kalian) kecuali kekhawatiran (kalau- kalau) nanti (shalat ini) diwajibkan atas kalian.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 1129)

Secara tegas beliau menyatakan di sini alasan mengapa beliau meninggalkan shalat tarawih berjamaah.

Maka tatkala ‘ Umar melihat alasan ini (kekhawatiran Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam ) sudah tidak ada lagi, beliau menghidupkan kembali shalat tarawih berjamaah ini.

Dengan demikian, jelaslah bahwa tindakan khalifah ‘ Umar ini mempunyai landasan yang kuat yaitu perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam sendiri.

Jadi jelas bahwa bid’ ah yang dimaksudkan oleh ‘ Umar bin Al- Khaththab adalah bid’ ah dalam pengertian secara bahasa, bukan
menurut istilah syariat.

Dan jelas pula tidak mungkin ‘ Umar berani melanggar atau menentang sabda Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam yang telah menyatakan bahwa: “Semua bid’ ah itu sesat.”

Syubhat ketiga: Pemahaman yang salah tentang atsar dari Ibnu Mas’ ud
“Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka dia adalah baik di sisi Allah.” (Dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad, 1/379)

Bantahan:
- Atsar ini tidak shahih jika di- rafa’ -kan (disandarkan) kepada Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam , tetapi ini adalah ucapan Ibnu Mas’ ud semata.

Dan diriwayatkan dari Anas tetapi sanadnya gugur, yang shahih adalah mauquf (hanya sampai) kepada Ibnu Mas’ ud .

- pada kata menunjukkan kepada sesuatu yang sudah diketahui.

Dan tentunya yang dimaksud dengan kata Al- Muslimun di sini adalah para shahabat.

Dan tidak ada satupun riwayat yang dinukil dari mereka yang menyatakan adanya bid’ ah yang hasanah. -

Kalaulah dianggap bahwa ini menunjukkan keumuman (maksudnya seluruh kaum muslimin), maka artinya adalah ijma’ . Dan ijma’ adalah hujjah.

Maka sanggupkah mereka menunjukkan adanya satu perbuatan bid’ ah yang disepakati berdasarkan ijma’ kaum muslimin bahwa perbuatan itu adalah bid’ ah hasanah?

Tentunya ini adalah perkara yang mustahil.

- Bagaimana mereka berani berdalil dengan ucapan beliau seperti ini, padahal beliau sendiri adalah orang yang paling keras kebenciannya terhadap bid’ ah, di mana beliau pernah mengatakan:

“Ikutilah! Dan jangan berbuat bid’ ah. Sungguh kalian telah dicukupkan. Dan sesungguhnya setiap bid’ ah itu adalah sesat. ”(Shahih, HR. Ad-Darimi 1/69).

Secara ringkas, semua keterangan di atas yang menunjukkan betapa buruknya bid’ ah.
Kami simpulkan dalam beberapa hal berikut ini,  yang kami nukil dari sebagian tulisan Asy-Syaikh Salim Al-Hilali:

Cukuplah semua akibat buruk yang dialami pelaku bid’ ah itu sebagai kejelekan di dunia dan akhirat, yakni:

1. Amalan mereka tertolak, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam :

“Barangsiapa yang membuat- buat sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami yang bukan berasal daripadanya, maka semua itu tertolak.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘ Aisyah)

2. Terhalangnya taubat mereka selama masih terus melakukan kebid’ ahan itu. Rasulullah bersabda:

“Allah menghalangi taubat setiap pelaku bid’ ah sampai dia meninggalkan bid’ ahnya.” (HR. Ibnu Abi Ashim dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam As Shahihah no. 1620 dan As Sunnah Ibnu Abi Ashim hal. 21)

3. Pelaku bid’ ah akan mendapat laknat karena Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wassalam bersabda:

“Barangsiapa yang berbuat bid’ ah, atau melindungi kebid’ ahan, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘ Ali bin Abi Thalib)

. Akhirnya, wahai kaum muslimin, hendaklah kita menjauhi semua kebid’ ahan ini setelah mengetahui betapa besar bahayanya bid’ ah.

Selain kita menjauhi bid’ ah itu sendiri, juga kita diperintah untuk menjauhi para pelakunya apalagi juru-juru dakwah yang mengajak kepada pemikiran-pemikiran bid’ ah ini.

Seandainya ada yang mengatakan:

Bukankah mereka orang yang baik dan apa yang mereka sampaikan itu adalah baik juga?

Hendaklah kita ingat firman Allah Subhanahu wa Ta’ ala :

“Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri.” (Al-Anfal: 23)

Perlu pula kita ketahui bahwa bid’ ah itu lebih berbahaya dari kemaksiatan.
Seseorang yang bermaksiat dia akan merasa takut dan melakukannya dengan sembunyi-sembunyi atau melarikan diri setelah berbuat.

Sedangkan pelaku bid’ ah semakin tenggelam dalam kebid’ ahannya dia akan semakin merasa yakin bahwa dia di atas kebenaran.

Satu lagi, bid’ ah itu adalah posnya (pengantar kepada) kekufuran.

Wallahu a’ lam. Semoga Allah tetap membimbing kita mendapatkan hidayah dan taufik-Nya serta menyelamatkan diri dan keluarga kita dari bid’ ah ini.

Sumber Bacaan:
1 Al-Qaulul Mufid
(2), Asy-Syaikh Ibnu ‘ Utsaimin,
2 Al-Qaulul Mufid, Asy-Syaukani,
3 Al-I’ tisham
(1), Asy-Syathibi,
4 Al-Luma’ , As-Sahibani,
5 Al-Bid’ ah wa Atsaruhas Sayyi‘ , Salim Al- Hilali,
6 Al-Bid’ ah wa Atsaruha, ‘ Ali Al-Faqihi,
7 Riyadhul Jannah, Asy-Syaikh Muqbil,
8 Taisir Al- Karimir Rahman, As-Sa’

Senin, April 18, 2011

Mengenal Tentang Tabarruj?

Allah Subhanahu wa Ta’ ala menyinggung kata ini dalam firman-Nya dalam Surat Al-Ahzab: 33

Wanita adalah makhluk yang kerap menjadi korban komoditi dan mode. Beragam kosmetik, parfum bermerek, hingga model pakaian yang lagi tren, dengan mudah menjajah tubuh mereka.

Malangnya, dengan segala yang dikenakan itu, mereka tampil di jalan-jalan, mal-mal, atau ruang publik lainnya.

Alhasil, bukan pesona yang mereka tebar tapi justru fitnah.

Pernah dengar kata tabarruj?
Apa sih maknanya?

Allah Subhanahu wa Ta’ ala menyinggung kata ini dalam firmanNya

“Janganlah kalian (wahai istri- istri Nabi) bertabarruj sebagaimana tabarruj orang- orang jahiliah yang awal.” (Al- Ahzab: 33)

ُDan perempuan-perempuan tua yang terhenti dari haid dan mengandung, yang tidak memiliki keinginan untuk menikah lagi, maka tidak ada dosa bagi mereka untuk menanggalkan pakaian luar1 mereka dengan tidak bermaksud tabarruj dengan perhiasan yang dikenakan … .” (An-Nur: 60)

Az-Zajjaj Abu Ishaq Ibrahim bin As-Sirri2 rahimahullahu berkata:

“Tabarruj adalah menampakkan perhiasan dan segala yang dapat mengundang syahwat laki-laki.” Adapun jahiliah yang awal, ada yang mengatakan masanya dari mulai Nabi Adam ‘ alaihissalam sampai zaman Nuh ‘ alaihissalam.

Ada yang mengatakan dari zaman Nuh ‘ alaihissalam sampai zaman Idris ‘ alaihissalam.
Ada pula yang berpendapat dari zaman ‘ Isa ‘ alaihissalam sampai zaman Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam.

Pendapat yang lebih mendekati adalah dari zaman Isa ‘ alaihissalam sampai zamannya Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam, karena merekalah orang- orang jahiliah yang dikenal.

Disebut jahiliah yang awal, karena mereka telah ada lebih dahulu sebelum umat Muhammad Shallallahu ‘ alaihi wa sallam. (Ma’ anil Qur`an wa I’ rabuha, 4/171)

Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu juga menyebutkan hal ini dalam tafsirnya. (Jami’ ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an, 10/294) Mujahid rahimahullahu berkata:

“Seorang wanita berjalan di hadapan orang-orang, itulah yang dinamakan tabarruj jahiliah.”

Qatadah rahimahullahu menambahkan bahwa wanita yang bertabarruj adalah wanita yang keluar rumah dengan berjalan lenggak-lenggok dan genit. (Tafsir Ath-Thabari, 10/294)

Al-Imam Majdudin Abus Sa’ adat Al-Mubarak bin Muhammad Al- Jazari atau yang lebih dikenal dengan Ibnul Atsir rahimahullahu menjelaskan makna tabarruj dari hadits

“Nabiyullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam membenci sepuluh perangai (perbuatan)… (kemudian disebutkan satu persatunya, di antaranya adalah:) tabarruj dengan perhiasan tidak pada tempatnya.” (HR. Abu Dawud no. 4222. Namun hadits ini mungkar3 kata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Dha’ if Sunan Abi Dawud)

Ibnul Atsir rahimahullahu berkata:

“Tabarruj adalah menampakkan perhiasan kepada laki-laki yang bukan mahram (ajnabi).

Perbuatan seperti ini jelas tercela. Adapun menampakkan perhiasan kepada suami, tidaklah tercela. Inilah makna dari lafaz hadits, ‘ (menampakkan perhiasan) tidak pada tempatnya’ .” (An-Nihayah fi Gharibil Hadits)

Dengan keterangan di atas insya Allah menjadi jelas bagi kita apa yang dimaukan dengan tabarruj.
Hukumnya pun tampak bagi kita, yakni seorang muslimah dilarang keluar rumah dengan tabarruj.

Namun sangat disesalkan kenyataan yang kita dapatkan di
sekitar kita.
Berseliwerannya wanita dengan dandanan aduhai, ditambah wangi yang semerbak di jalan-jalan dan pusat keramaian, sudah dianggap sesuatu yang lazim di negeri ini.

Bahkan kita akan dianggap aneh ketika mengingkarinya.

Tidak usahlah kita membicarakan para wanita yang berpakaian “telanjang” di jalan-jalan, karena keadaan mereka sudah sangat parah, membuat orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ ala dan hari akhir bergidik dan terus beristighfar.

Cukup yang kita tuju para muslimah yang masih punya kesadaran berislam walaupun mungkin setipis kulit ari, hingga mereka menutup rambut mereka dengan kerudung dan membalut tubuh mereka dengan pakaian sampai mata kaki dengan berbagai model.

Sangat disesalkan para muslimah yang berkerudung ini ikut berlomba-lomba memperindah penampilannya di depan umum dengan model ‘ busana muslimah’ terkini dan kerudung ‘ gaul’ yang penuh pernak-pernik, pendek, dan transparan. Sehingga, berbusana yang sejatinya bertujuan menutup aurat dan keindahan seorang muslimah di hadapan lelaki selain mahramnya, malah justru menonjolkan keindahan.

Belum lagi wajah dan bibir yang dipoles warna-warni. Tangan yang dihiasi gelang, jari-jemari yang diperindah dengan cincin-cincin, dan parfum yang dioleskan ke tubuh dan pakaian.

Semuanya dipersembahkan di hadapan umum, seolah si wanita berkata,

“Lihatlah aku, pandangilah aku…” .

Wallahul musta’ an… Semua ini jelas merupakan perbuatan tabarruj yang dilarang dalam Al-Qur`anul Karim. Namun betapa jauhnya manusia dari bimbingan Al-Qur`an!!!

Allah Subhanahu wa Ta’ ala melarang para wanita bertabarruj. Namun mereka justru bangga melakukannya, mungkin karena ketidaktahuan atau memang tidak mau tahu.

Bisa jadi ada yang menganggap bahwa larangan tabarruj ini hanya ditujukan kepada istri-istri
Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam karena mereka yang menjadi sasaran pembicaraan dalam ayat 33 dari surat Al-Ahzab di atas.

Jawabannya sederhana saja. Bila wanita-wanita shalihah, wanita- wanita yang diberitakan nantinya akan tetap mendampingi Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam di surga, para Ummahatul Mukminin yang suci itu dilarang ber-tabarruj sementara mereka jauh sekali dari perbuatan demikian, apatah lagi wanita-wanita selain mereka yang hatinya dipenuhi syahwat dunia.

Siapakah yang lebih suci, istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam ataukah mereka?

Bila istri-istri Rasul Shallallahu ‘ alaihi wa sallam yang merupakan cerminan shalihah bagi wanita-wanita yang bertakwa itu diperintah untuk menjaga diri, jangan sampai jatuh ke dalam fitnah4 dan membuat fitnah, apalagi wanita-wanita yang lain…

Kalau ada yang menganggap larangan tabarruj itu hukumnya khusus bagi istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam karena mereka adalah pendamping manusia pilihan, kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ ala,
sementara wanita-wanita selain mereka tidak memiliki keistimewaan demikian,
maka kita tanyakan: Dari sisi mana penetapan hukum khusus tersebut, sementara alasan dilarangnya tabarruj karena akan menimbulkan fitnah bagi laki-laki?

5 Laki-laki yang memang diciptakan
punya ketertarikan terhadap wanita, tentunya akan tergoda melihat si wanita keluar dengan keindahannya. Bila tidak ada iman yang menahannya dari kenistaan, niscaya ia akan berpikir macam-macam yang pada akhirnya akan menyeretnya dan menyeret si wanita pada kekejian.

Bila tabarruj dilarang karena alasan seperti ini, lalu apa manfaatnya hukum larangan tersebut hanya khusus bagi para istri Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam?

Apakah bisa diterima kalau dikatakan para istri Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam dilarang tabarruj karena mereka wanita mulia yang harus dijaga, tidak boleh menimbulkan fitnah, sementara wanita selain mereka tidak perlu dijaga dan kalaupun bertabarruj tidak akan membuat fitnah???

Di manakah orang- orang yang katanya berakal itu meletakkan pikirannya?
Wallahul musta’ an.
Al-Imam Abu Bakr Ahmad bin ‘ Ali Ar-Razi Al-Jashshash rahimahullahu menyatakan bahwa beberapa perkara yang disebutkan dalam ayat ini (Al- Ahzab: 33) dan ayat-ayat sebelumnya merupakan pengajaran adab dari Allah Subhanahu wa Ta’ ala terhadap istri-istri Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam sebagai penjagaan terhadap mereka dan seluruh wanitanya kaum mukminin juga dituju oleh ayat-ayat ini7. (Ahkamul Qur`an, 3/471)

Surat An-Nur ayat 60 juga menunjukkan bahwa larangan tabarruj tidak hanya khusus bagi
ummahatul mukminin, namun berlaku umum bagi seluruh mukminah.

Bila wanita yang sudah tua dan sudah mengalami menopause saja dilarang tabarruj sebagaimana dalam ayat:

“Dengan tidak bermaksud tabarruj dengan perhiasan yang dikenakan…” (An-Nur: 60)

tentunya larangan kepada wanita yang masih muda lebih utama lagi. Wanita yang keluar rumah dengan tabarruj hendaknya berhati-hati dengan ancaman yang dinyatakan

Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam dalam sabdanya berikut ini:

  “Ada dua golongan dari penduduk neraka yang keduanya
belum pernah aku lihat, pertama: satu kaum yang memiliki cemeti- cemeti seperti ekor sapi yang dengannya mereka memukul manusia. Kedua: para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka menyimpangkan lagi menyelewengkan orang dari kebenaran. Kepala-kepala mereka seperti punuk unta yang miring/condong. Mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium wanginya surga padahal wanginya surga sudah tercium dari jarak perjalanan sejauh ini dan itu.” (HR. Muslim no. 5547)

Kata Asy-Syaikh Ibnu ‘ Utsaimin rahimahullahu: “Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam mencirikan wanita ahlun nar itu dengan  maksudnya mereka mengenakan pakaian, akan tetapi mereka itu  “telanjang”, karena pakaian yang mereka kenakan tidaklah menutupi aurat mereka dengan semestinya.

Bisa jadi karena pakaian itu tipis, ketat, atau pendek. Mereka itu  menyimpang dari jalan yang benar. menyimpangkan orang lain dari kebenaran karena fitnah yang dimunculkan dari mereka. َ“rambut/kepala mereka seperti punuk unta yang miring”, karena rambut mereka ditinggikan hingga menyerupai punuk unta yang miring.” (Taujihat lil Mu`minat Haulat Tabarruj was Sufur, hal. 18)

Kedua golongan di atas belum ada di zaman Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam, namun sekarang telah kita dapatkan.

Hal ini termasuk mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam, di mana apa yang beliau kabarkan pasti terjadi. (Al- Minhaj, 14/336)

Yang perlu diingat, tidaklah satu dosa diancam dengan keras melainkan menunjukkan bahwa dosa tersebut termasuk dosa besar.

Sementara wanita yang keluar rumah dengan berpakaian namun hakikatnya telanjang, yang bertabarruj, berjalan berlenggak lenggok di hadapan kaum lelaki hingga menjatuhkan mereka ke dalam fitnah, dinyatakan tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium bau surga.

Nah, tersisalah pertanyaan: apakah dosa yang diancam seperti ini bisa dianggap remeh?

Maka berhati-hatilah!!!
catatan kaki:

1 Maksudnya pakaian luar yang kalau dibuka tidak menampakkan aurat.

2 Wafat tahun 311 H.

3 Hadits mungkar termasuk dalam hadits yang lemah.

4 Yang dimaksud dengan fitnah di sini adalah sesuatu yang membawa kepada ujian, bala, dan
adzab.

5 Terlebih lagi ada hadits yang berbunyi:
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnahnya wanita.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

6 Wafat tahun 370 H.

7 Yakni ayat ini tidak berlaku secara khusus bagi istri-istri Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam namun juga berlaku bagi wanita muslimah lainnya.
Walaupun konteks pembicaraannya memang ditujukan kepada istri- istri Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam, namun hukum yang disebutkan di dalam ayat berlaku umum.

adab bicara wanita muslimah

Berhati-hatilah dari terlalu banyak berceloteh dan terlalu banyak berbicara, Allah Ta’ ala berfirman: ” ﻻ ﺮﻴﺧ ﻲﻓ ﺮﻴﺜﻛ ﻦﻣ ﻢﻫﺍﻮﺠﻧ ﻻﺇ ﻦﻣ ﺮﻣﺃ ﺔﻗﺪﺼﺑ ﻭﺃ ﻑﻭﺮﻌﻣ ﻭﺃ ﺡﻼﺻﺇ ﻦﻴﺑ ﺱﺎﻨﻟﺍ ” ) ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ : ﺔﻳﻵﺍ 114 ). Artinya: “Dan tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau
berbuat ma’ ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia “. (An nisa:114) Dan ketahuilah wahai saudariku,semoga Allah ta’ ala merahmatimu dan menunjukimu kepada jalan kebaikan, bahwa disana ada yang senantiasa mengamati dan mencatat perkataanmu. “ ﻦﻋ ﻦﻴﻤﻴﻟﺍ ﻦﻋﻭ ﻝﺎﻤﺸﻟﺍ ﺪﻴﻌﻗ . ﺎﻣ ﻆﻔﻠﻳ ﻦﻣ ٍﻝﻮﻗ ﻻﺇ ﻪﻳﺪﻟ ﺐﻴﻗﺭ ﺪﻴﺘﻋ ” ) ﻕ : ﺔﻳﻵﺍ 17 - 18 ) Artinya: “Seorang duduk disebelah kanan,dan yang lain duduk disebelah kiri.tiada satu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (Qaaf:17-18). Maka jadikanlah ucapanmu itu menjadi perkataan yang ringkas, jelas yang tidak bertele-tele yang dengannya akan memperpanjang pembicaraan. 1) Bacalah Al qur’ an karim dan bersemangatlah untuk menjadikan itu sebagai wirid keseharianmu, dan senantiasalah berusaha untuk menghafalkannya sesuai kesanggupanmu agar engkau bisa mendapatkan pahala yang besar dihari kiamat nanti. ﻦﻋ ﺪﺒﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻦﺑ ﻭﺮﻤﻋ ﻲﺿﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﺎﻤﻬﻨﻋ - ﻦﻋ ﻲﺒﻨﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺳﻭ ﻝﺎﻗ : ” ﻝﺎﻘﻳ ﺐﺣﺎﺼﻟ ﻥﺁﺮﻘﻟﺍ : ﺃﺮﻗﺍ ﻖﺗﺭﺍﻭ ﻞﺗﺭﻭ ﺎﻤﻛ ﺖﻨﻛ ﻞﺗﺮﺗ ﻲﻓ ﺎﻴﻧﺪﻟﺍ ﻥﺈﻓ ﻚﺘﻟﺰﻨﻣ ﺪﻨﻋ ﺮﺧﺁ ﺔﻳﺁ ﺎﻫﺅﺮﻘﺗ ﻮﺑﺃ ﻩﺍﻭﺭ ﻱﺬﻣﺮﺘﻟﺍﻭ ﺩﻭﺍﺩ Dari abdullah bin ‘ umar radiyallohu ‘ anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, beliau bersabda: “dikatakan pada orang yang senang membaca alqur’ an: bacalah dengan tartil sebagaimana engkau dulu sewaktu di dunia membacanya dengan tartil, karena sesungguhnya kedudukanmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca. (HR.abu daud dan attirmidzi) 2) Tidaklah terpuji jika engkau selalu menyampaikan setiap apa yang engkau dengarkan, karena kebiasaan ini akan menjatuhkan dirimu kedalam kedustaan. ﻦﻋ ﻲﺑﺃ ﺓﺮﻳﺮﻫ ﻲﺿﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻨﻋ ﻥﺃ ﻲﺒﻨﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻝﺎﻗ ﻢﻠﺳﻭ : ” ًﺎﺑﺬﻛ ﺀﺮﻤﻟﺎﺑ ﻰﻔﻛ ﻊﻤﺳ ﺎﻣ ﻞﻜﺑ ﺙﺪﺤﺘﻳ ﻥﺃ “ Dari Abu hurairah radiallahu ‘ anhu,sesungguhnya Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam bersabda: “Cukuplah seseorang itu dikatakan sebagai pendusta ketika dia menyampaikan setiap apa yang dia dengarkan.” (HR.Muslim dan Abu Dawud) 3) jauhilah dari sikap menyombongkan diri (berhias diri) dengan sesuatu yang tidak ada pada dirimu, dengan tujuan membanggakan diri dihadapan manusia. ﻦﻋ ﺔﺸﺋﺎﻋ – ﻲﺿﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﺎﻬﻨﻋ - ﻥﺃ ﺓﺃﺮﻣﺍ ﺖﻟﺎﻗ : ﺎﻳ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ ، ﻝﻮﻗﺃ ﻥﺇ ﻲﺟﻭﺯ ﻲﻧﺎﻄﻋﺃ ﺎﻣ ﻢﻟ ؟ﻲﻨﻄﻌﻳ ﻝﺎﻗ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺳﻭ : ” ﻊﺒﺸﺘﻤﻟﺍ ﺎﻤﺑ ﻢﻟ ﻂﻌﻳ ﺭﻭﺯ ﻲﺑﻮﺛ ﺲﺑﻼﻛ “. Dari aisyah radiyallohu ‘ anha, ada seorang wanita yang mengatakan:wahai Rasulullah, aku
mengatakan bahwa suamiku memberikan sesuatu kepadaku yang sebenarnya tidak diberikannya.berkata Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam,: orang yang merasa memiliki sesuatu yang ia tidak diberi, seperti orang yang memakai dua pakaian kedustaan.” (muttafaq alaihi) 4) Sesungguhnya dzikrullah memberikan pengaruh yang kuat didalam kehidupan ruh seorang muslim, kejiwaannya, jasmaninya dan kehidupan masyarakatnya. maka bersemangatlah wahai saudariku muslimah untuk senantiasa berdzikir kepada Allah ta’ ala, disetiap waktu dan keadaanmu. Allah ta’ ala memuji hamba-hambanya yang mukhlis dalam firman-Nya: ” ﻦﻳﺬﻟﺍ ﻥﻭﺮﻛﺬﻳ ﻪﻠﻟﺍ ًﺎﻣﺎﻴﻗ ًﺍﺩﻮﻌﻗﻭ ﻰﻠﻋﻭ ﻢﻬﺑﻮﻨﺟ … ” ) ﻥﺍﺮﻤﻋ ﻝﺁ : ﺔﻳﻵﺍ 191 ). Artinya: “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring…” (Ali imran:191). 5) Jika engkau hendak berbicara,maka jauhilah sifat merasa kagum dengan diri sendiri, sok fasih dan terlalu memaksakan diri dalam bertutur kata, sebab ini merupakan sifat yang sangat dibenci Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, dimana Beliau bersabda: ” ﻥﺇﻭ ﻢﻜﻀﻐﺑﺃ ّﻲﻟﺇ ﻢﻛﺪﻌﺑﺃﻭ ﻲﻨﻣ ًﺎﺴﻠﺠﻣ ﻡﻮﻳ ﺔﻣﺎﻴﻘﻟﺍ ﻥﻭﺭﺎﺛﺮﺜﻟﺍ ﻥﻮﻗﺪﺸﺘﻤﻟﺍﻭ ﻥﻮﻘﻬﻴﻔﺘﻤﻟﺍﻭ “. “sesungguhnya orang yang paling aku benci diantara kalian dan yang paling jauh majelisnya dariku pada hari kiamat : orang yang berlebihan dalam berbicara, sok fasih dengan ucapannya dan merasa ta’ ajjub terhadap ucapannya.” (HR.Tirmidzi,Ibnu Hibban dan yang lainnya dari hadits Abu Tsa’ labah Al-Khusyani radhiallahu anhu) 6) Jauhilah dari terlalu banyak tertawa,terlalu banyak berbicara
dan berceloteh.jadikanlah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, sebagai teladan bagimu, dimana beliau lebih banyak diam dan banyak berfikir beliau Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, menjauhkan diri dari terlalu banyak tertawa dan menyibukkan diri dengannya.bahkan jadikanlah setiap apa yang engkau ucapkan itu adalah perkataan yang mengandung kebaikan, dan jika tidak, maka diam itu lebih utama bagimu. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, bersabda: ” ﻦﻣ ﻡﻮﻴﻟﺍﻭ ﻪﻠﻟﺎﺑ ﻦﻣﺆﻳ ﻥﺎﻛ ﺮﺧﻵﺍ ﻞﻘﻴﻠﻓ ًﺍﺮﻴﺧ ﻭﺃ ﺖﻤﺼﻴﻟ “. ” Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,maka hendaknya dia berkata dengan perkataan yang baik,atau hendaknya dia diam.” (muttafaq alaihi dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu) 8 ) jangan kalian memotong pembicaraan seseorang yang sedang berbicara atau membantahnya, atau meremehkan ucapannya. Bahkan jadilah pendengar yang baik dan itu lebih beradab bagimu, dan ketika harus membantahnya, maka jadikanlah bantahanmu dengan cara yang paling baik sebagai syi’ ar kepribadianmu. 9) berhati-hatilah dari suka mengolok-olok terhadap cara berbicara orang lain, seperti orang yang terbata-bata dalam berbicara atau seseorang yang kesulitan berbicara . Alah Ta’ ala berfirman: ” ﺎﻳ ﺎﻬﻳﺃ ﻦﻳﺬﻟﺍ ﺍﻮﻨﻣﺁ ﻻ ﺮﺨﺴﻳ ﻡﻮﻗ ﻡﻮﻗ ﻦﻣ ﻥﺃ ﻰﺴﻋ ﺍﻮﻧﻮﻜﻳ ًﺍﺮﻴﺧ ﻢﻬﻨﻣ ﻻﻭ ﺀﺎﺴﻧ ﻦﻣ ًﺍﺮﻴﺧ ﻦﻜﻳ ﻥﺃ ﻰﺴﻋ ﺀﺎﺴﻧ ﻦﻬﻨﻣ ” ) ﺕﺍﺮﺠﺤﻟﺍ : ﺔﻳﻵﺍ 11 ). “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki- laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.” (QS.Al-Hujurat:11) 10) jika engkau mendengarkan bacaan Alqur’ an, maka berhentilah dari berbicara, apapun yang engkau bicarakan, karena itu merupakan adab terhadap kalamullah dan juga sesuai dengan perintah-Nya, didalam firman-Nya: : ” ﺍﺫﺇﻭ ﺀﻯﺮﻗ ﻥﺁﺮﻘﻟﺍ ﺍﻮﻌﻤﺘﺳﺎﻓ ﻪﻟ ﺍﻮﺘﺼﻧﺃﻭ ﻢﻜﻠﻌﻟ ﻥﻮﻤﺣﺮﺗ ” ) ﻑﺍﺮﻋﻷﺍ : ﺔﻳﻵﺍ 204 ). Artinya: “dan apabila dibacakan Alqur’ an,maka dengarkanlah dengan baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kalian diberi rahmat“. Qs.al a’ raf :204 11) bertakwalah kepada Allah wahai saudariku muslimah,bersihkanlah majelismu dari ghibah dan namimah (adu domba) sebagaimana yang Allah ‘ azza wajalla perintahkan kepadamu untuk menjauhinya. bersemangatlah engkau untuk menjadikan didalam majelismu itu adalah perkataan-perkataan yang baik,dalam rangka menasehati,dan petunjuk kepada kebaikan. perkataan itu adalah sebuah perkara yang besar, berapa banyak dari perkataan seseorang yang dapat menyebabkan kemarahan dari Allah ‘ azza wajalla dan menjatuhkan pelakunya kedalam jurang neraka. Didalam hadits Mu’ adz radhiallahu anhu tatkala Beliau bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam: apakah kami akan disiksa dengan apa yang kami ucapkan? Maka jawab Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: ” ﻚﺘﻠﻜﺛ ﻚﻣﺃ ﺎﻳ ﺫﺎﻌﻣ . ﻞﻫﻭ ّﺐﻜﻳ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﻲﻓ ﺭﺎﻨﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﻢﻬﻫﻮﺟﻭ ﻻﺇ ُﺪﺋﺎﺼﺣ ﻢﻬﺘﻨﺴﻟﺃ ” ) ﻱﺬﻣﺮﺘﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ ). “engkau telah keliru wahai Mu’ adz, tidaklah manusia dilemparkan ke Neraka diatas wajah-wajah mereka melainkan disebabkan oleh ucapan-ucapan mereka.” (HR.Tirmidzi,An-Nasaai dan Ibnu Majah) 12) berhati-hatilah -semoga Allah menjagamu- dari menghadiri majelis yang buruk dan berbaur dengan para pelakunya, dan bersegeralah-semoga Allah menjagamu- menuju majelis yang penuh dengan keutamaan, kebaikan dan keberuntungan. 13) jika engkau duduk sendiri dalam suatu majelis, atau bersama dengan sebagian saudarimu, maka senantiasalah untuk berdzikir mengingat Allah ‘ azza wajalla dalam setiap keadaanmu sehingga engkau kembali dalam keadaan mendapatkan kebaikan dan mendapatkan pahala. Allah ‘ azza wajalla berfirman: ” ﻦﻳﺬﻟﺍ ﻥﻭﺮﻛﺬﻳ ﻪﻠﻟﺍ ًﺎﻣﺎﻴﻗ ًﺍﺩﻮﻌﻗﻭ ﻰﻠﻋﻭ ﻢﻬﺑﻮﻨﺟ “ . ) ﻥﺍﺮﻤﻋ ﻝﺁ : ﺔﻳﻵﺍ 191 ) Artinya: “(yaitu) orang – orang yang mengingat Allah sambil berdiri,atau duduk,atau dalam keadaan berbaring” (QS..ali ‘ imran :191) 14) jika engkau hendak berdiri keluar dari majelis, maka ingatlah untuk selalu mengucapkan: ” ﻚﻧﺎﺤﺒﺳ ﻙﺪﻤﺤﺑﻭ ﻪﻠﻟﺍ ﺪﻬﺷﺃ ﻥﺃ ﻻ ﻪﻟﺇ ﻻﺇ ﺖﻧﺃ ، ﻚﻴﻟﺇ ﺏﻮﺗﺃﻭ ﻙﺮﻔﻐﺘﺳﺃ “. “Maha suci Engkau ya Allah dan bagimu segala pujian,aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak untuk disembah kecuali Engkau, aku memohon ampun kepada-Mu, dan aku bertaubat kepada-Mu“. Sehingga diampuni bagimu segala kesalahanmu di dalam majelis tersebut.

menyentuh wanita,batalkah wudhu ??

1. Menyentuh wanita Ahlul ilmi terbagi dalam dua pendapat dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ ala: َﺀﺂﺴِّﻨﻟﺍ ُﻢُﺘْﺴَﻣَﻻ ْﻭَﺃ “Atau kalian menyentuh wanita …” (An-Nisa: 43) Pertama: sebagian mereka menafsirkan “menyentuh” dengan jima’ (senggama), seperti pendapat Ibnu ‘ Abbas, ‘ Ali, ‘ Ubay bin Ka’ b, Mujahid, Thawus, Al- Hasan, ‘ Ubaid bin ‘ Umair, Sa’ id bin Jubair, Asy-Sya’ bi, Qatadah dan Muqatil bin Hayyan. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227) Kedua: ahlul ilmi yang lain berpendapat “menyentuh” di sini lebih luas/ umum daripada jima’ sehingga termasuk di dalamnya menyentuh dengan tangan, mencium, bersenggolan, dan semisalnya. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Mas’ ud dan Ibnu ‘ Umar dari kalangan shahabat. Abu ‘ Utsman An-Nahdi, Abu ‘ Ubaidah bin Abdillah bin Mas’ ud, ‘ Amir Asy- Sya’ bi, Tsabit ibnul Hajjaj, Ibrahim An-Nakha’ i dan Zaid bin Aslam. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227) Adapun pendapat pertama, bila seseorang menyentuh wanita dengan tangannya atau dengan seluruh tubuhnya selain jima’ maka tidaklah membatalkan wudhu. Sedangkan pendapat kedua menunjukkan sekedar menyentuh wanita, walaupun tidak sampai jima’ , membatalkan wudhu. Dari dua penafsiran di atas yang rajih adalah penafsiran yang pertama bahwa yang dimaksud dengan menyentuh dalam ayat di atas adalah jima’ sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam Al- Qur’ an sendiri1 dan juga dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa semata- mata bersentuhan dengan wanita (tanpa jima’) tidaklah membatalkan wudhu. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Yang dimaukan (oleh ayat Allah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam ini) adalah jima’ , sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘ Abbas radhiallahu ‘ anhuma dan selainnya dari kalangan Arab. Dan
diriwayatkan hal ini dari ‘ Ali radhiallahu ‘ anhu dan selainnya. Inilah yang shahih tentang makna
ayat ini. Sementara menyentuh wanita (bukan jima’) sama sekali tidak ada dalilnya dari Al-Qur’ an maupun As-Sunnah yang menunjukkan bahwa hal itu membatalkan wudhu. Adalah kaum muslimin senantiasa bersentuhan dengan istri-istri mereka namun tidak ada seorang muslim pun yang menukilkan dari Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan kepada seseorang untuk berwudhu karena menyentuh para wanita (istri).” Beliau juga berkata: “Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘ Umar dan Al-Hasan bahwa menyentuh di sini dengan tangan dan ini merupakan pendapat sekelompok
salaf. Adapun apabila menyentuh wanita tersebut dengan syahwat, tidaklah wajib berwudhu karenanya, namun apabila dia berwudhu, perkara tersebut baik dan disenangi (yang tujuannya) untuk memadamkan syahwat sebagaimana disenangi berwudhu dari marah untuk memadamkannya. Adapun menyentuh wanita tanpa syahwat maka aku sama sekali tidak mengetahui adanya pendapat dari salaf bahwa hal itu membatalkan wudhu.” (Majmu’ Al-Fatawa, 21/410) Asy-Syaikh Ibnu ‘ Utsaimin rahimahullah berkata: “Pendapat yang rajih adalah menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu
secara mutlak, sama saja baik dengan syahwat atau tidak dengan syahwat kecuali bila keluar sesuatu darinya (madzi atau mani). Bila yang keluar mani maka wajib baginya mandi sementara kalau yang keluar madzi maka wajib baginya mencuci dzakar-nya dan berwudhu.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail, 4/201, 202) Dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan bahwa bersentuhan dengan wanita (selain jima’) tidaklah membatalkan wudhu di antaranya: Aisyah radhiallahu ‘ anha berkata: ُﺖْﻨُﻛ ُﻡَﺎﻧَﺃ َﻦْﻴَﺑ ﻱَﺪَﻳ ِﻝْﻮُﺳَﺭ ِﻪﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ُﻪﻠﻟﺍ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﻢَّﻠَﺳَﻭ َﻱَﻼْﺟِﺭَﻭ ﻲِﻓ ِﻪِﺘَﻠْﺒِﻗ ، ﺍَﺫِﺈَﻓ َﺪَﺠَﺳ ﻲِﻧَﺰَﻤَﻏ ُﺖْﻀَﺒَﻘَﻓ َّﻲَﻠْﺟِﺭ ، ﺎَﻬُﺘْﻄَﺴَﺑ َﻡﺎَﻗ ﺍَﺫِﺈَﻓ “Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam dalam keadaan kedua kaki di arah kiblat beliau (ketika itu beliau sedang shalat, pen) maka bila beliau sujud, beliau menyentuhku (dengan ujung jarinya) hingga aku pun menekuk kedua kakiku. Bila beliau berdiri, aku kembali membentangkan kedua kakiku.” (HR. Al-Bukhari no. 382 dan Muslim no. 512) Aisyah radhiallahu ‘ anha juga mengabarkan: ُﺕْﺪَﻘَﻓ َﻝْﻮُﺳَﺭ ِﻪﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ُﻪﻠﻟﺍ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﻢَّﻠَﺳَﻭ ًﺔَﻠْﻴَﻟ َﻦِﻣ ِﺵﺍَﺮِﻔْﻟﺍ ُﻪُﺘْﺴَﻤَﺘْﻠَﻓ ْﺖَﻌَﻗَﻮَﻓ ﻱِﺪَﻳ ﻰَﻠَﻋ ِﻦْﻄَﺑ ِﻪْﻴَﻣَﺪَﻗ َﻮُﻫَﻭ ﻲِﻓ ِﺪِﺠْﺴَﻤْﻟﺍ ﺎَﻤُﻫَﻭ ِﻥﺎَﺘَﺑﻮُﺼْﻨَﻣ َﻮُﻫَﻭ ُﻝْﻮُﻘَﻳ : ْﻦِﻣ َﻙﺎَﺿِﺮِﺑ ُﺫْﻮُﻋَﺃ ﻲِّﻧِﺇ َّﻢُﻬّﻠﻟﺍ َﻚِﻄَﺨَﺳ َﻚِﺗﺎَﻓﺎَﻌُﻤِﺑَﻭ ْﻦِﻣ َﻚِﺘَﺑْﻮُﻘُﻋ ، ُﺫْﻮُﻋَﺃَﻭ َﻚِﺑ َﻚْﻨِﻣ َﻻ ﻲِﺼْﺣُﺃ ًﺀﺎَﻨَﺛ َﻚِﺴْﻔَﻧ ﻰَﻠَﻋ َﺖْﻴَﻨْﺛَﺃ ﺎَﻤَﻛ َﺖْﻧَﺃ َﻚْﻴَﻠَﻋ “Suatu malam, aku pernah kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam dari tempat tidurku. Maka aku pun meraba- raba mencari beliau hingga kedua
tanganku menyentuh bagian dalam kedua telapak kaki beliau yang sedang ditegakkan. Ketika itu beliau di tempat shalatnya (dalam keadaan sujud) dan sedang berdoa: Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu dan dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari- Mu, aku tidak dapat menghitung pujian atas-Mu, Engkau sebagaimana yang Engkau puji terhadap diri-Mu.” (HR. Muslim no. 486) 2. Muntah Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa muntah mengharuskan seseorang untuk berwudhu dengan dalil hadits Ma’ dan bin Abi Thalhah dari Abu Ad-Darda bahwasanya Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam pernah muntah, lalu beliau berbuka dan berwudhu. Kata Ma’ dan: “Aku berjumpa dengan Tsauban di masjid Damaskus, maka aku sebutkan hal itu padanya, Tsauban pun berkata: “Abu Ad-Darda benar, akulah yang menuangkan air wudhu beliau Shallallahu ‘ alaihi wa sallam.” (HR. At-Tirmidzi no. 87) Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Al-Baihaqi mengatakan bahwa hadits ini diperselisihkan (mukhtalaf) pada sanadnya. Kalaupun hadits ini shahih maka dibawa pemahamannya pada muntah yang sengaja.” Di tempat lain Al- Baihaqi berkata: “Isnad hadits ini mudhtharib (goncang), tidak bisa ditegakkan hujjah dengannya.” (Nailul Authar, 1/268). Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah di dalam ta’ liq beliau terhadap kitab Ar-Raudhatun Nadiyyah mengatakan: “Hadits- hadits yang diriwayatkan dalam masalah batalnya wudhu karena muntah adalah lemah semuanya, tidak dapat dijadikan hujjah.” (ta’ liq beliau dinukil dari Ta’ liqat Ar-Radhiyyah, 1/174)2 Ulama berselisih pendapat dalam masalah muntah ini: - Di antara mereka ada yang berpendapat muntah itu membatalkan wudhu seperti Abu Hanifah dan pengikut mazhab Abu Hanifah, dengan syarat muntah itu berasal dari dalam perut, memenuhi mulut dan keluar sekaligus. (Nailul Authar, 1/268) Al-Imam At-Tirmidzi t berkata: “Sebagian ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam dan selain mereka dari kalangan tabi’ in berpandangan untuk berwudhu disebabkan muntah dan mimisan. Demikian pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad dan Ishaq. Sementara sebagian ahlul ilmi yang lainnya berpendapat tidak ada keharusan berwudhu karena muntah dan mimisan, demikian pendapat Malik dan Asy-Syafi’ i. (Sunan At-Tirmidzi, 1/59) - Adapun ulama yang lain seperti 7 imam yang faqih dari Madinah, Asy-Syafi‘ i dan orang-orang yang mengikuti mazhab Asy- Syafi’ i, juga satu riwayat dari Al- Imam Ahmad menunjukkan bahwa keluar sesuatu dari tubuh selain qubul dan dubur tidaklah membatalkan wudhu, baik sedikit ataupun banyak, kecuali bila yang keluar dari tubuh itu kencing ataupun tahi. (Nailul Authar, 1/268, Asy-Syarhul Mumti’ , 1/234). Inilah pendapat yang rajih dan menenangkan bagi kami. Mereka berdalil sebagai berikut: 1. Hukum asal perkara ini tidaklah membatalkan wudhu. Sehingga barangsiapa yang menyatakan suatu perkara menyelisihi hukum asalnya maka hendaklah ia membawakan dalil. 2. Sucinya orang yang berwudhu dinyatakan dengan pasti oleh kandungan dalil syar‘ i, maka apa yang telah pasti tidaklah mungkin mengangkat kesuciannya (menyatakan hilang/ membatalkannya) kecuali dengan dalil syar‘ i. 3. Hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama telah dilemahkan oleh mayoritas ulama. 4. Apa yang ditunjukkan dalam hadits ini adalah semata-mata fi‘ il (perbuatan) sedangkan yang semata-mata fi‘ il tidaklah menunjukkan suatu yang wajib. (Asy-Syarhul Mumti‘ , 1/224-225) Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Tidaklah batal wudhu dengan keluarnya sesuatu dari selain dua jalan (qubul dan dubur) seperti pendarahan, darah yang keluar karena berbekam, muntah dan mimisan, sama saja baik keluarnya banyak ataupun sedikit.3 Demikian pendapat Ibnu ‘ Abbas, Ibnu ‘ Umar, Ibnu Abi Aufa, Jabir, Abu Hurairah, ‘ Aisyah, Ibnul Musayyab, Salim bin Abdillah bin ‘ Umar, Al-Qasim bin Muhammad, Thawus, ‘ Atha, Mak-hul, Rabi’ ah, Malik, Abu Tsaur dan Dawud. Al- Baghawi berkata: “Ini merupakan pendapat mayoritas shahabat dan tabi`in.” (Al-Majmu’ , 2/63) Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ atur Rasail Al-Kubra, beliau berpendapat hukumnya di sini adalah sunnah sebagaimana dinukilkan oleh Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah. Demikian juga beliau menyatakan sunnahnya berwudhu setelah muntah. (Tamamul Minnah, hal. 111, 112) Sementara hadits ‘ Aisyah radhiallahu ‘ anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam bersabda: ْﻦَﻣ َﻪَﺑﺎَﺻَﺃ ٌﺀْﻲَﻗ ْﻭَﺃ ٌﻑﺎَﻋُﺭ ْﻭَﺃ ْﻑِﺮَﺼْﻨَﻴْﻠَﻓ ٌﻱِﺬَﻣ ْﻭَﺃ ٌﺲَﻠَﻗ ، ْﺄَّﺿَﻮَﺘَﻴْﻠَﻓ … “Siapa yang ditimpa (mengeluarkan) muntah, mimisan, qalas4 atau madzi (di dalam shalatnya) hendaklah ia berpaling
dari shalatnya lalu berwudhu.” (HR. Ibnu Majah no. 1221) Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Hadits ini dinyatakan cacat oleh sebagian Ahlul Hadits karena setiap periwayatan Isma’ il ibnu ‘ Iyasy dari orang-orang Hijaz semuanya dinilai lemah. Sementara dalam hadits ini Isma’ il meriwayatkan dari Ibnu Juraij yang dia itu orang Hijaz. Juga karena para perawi yang meriwayatkan dari Ibnu Juraij – yang mereka itu adalah para tokoh penghapal– meriwayatkannya secara mursal (menyelisihi periwayatan Isma’ il yang meriwayatkannya secara ittishal (bersambung) – pen.), sebagaimana hal ini dikatakan oleh penulis kitab Muntaqal Akhbar. Terlebih lagi riwayat yang mursal ini dinyatakan shahih oleh Adz-Dzuhli, Ad- Daruquthni dalam kitab Al-’ Ilal, begitu pula Abu Hatim dan beliau mengatakan telah terjadi kesalahan dalam periwayatan Isma’ il. Ibnu Ma’ in berkata hadits ini dha’ if. (Nailul Authar, 1/269) Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa Al-Imam Ahmad dan selain beliau men- dha’ if-kan hadits ini (Bulughul Maram hal. 36) 3. Darah yang keluar dari tubuh Darah yang keluar dari tubuh seseorang, selain kemaluannya tidaklah membatalkan wudhu, sama saja apakah darah itu sedikit ataupun banyak. Demikian pendapat Ibnu ‘ Abbas, Ibnu Abi Aufa, Abu Hurairah, Jabir bin Zaid, Ibnul Musayyab, Mak-hul, Rabi’ ah, An-Nashir, Malik dan Asy-Syafi’ i. (Nailul Authar, 1/269-270). Dan ini pendapat yang rajih menurut penulis. Wallahu ta’ ala a’ lam bish- shawab. Dari kalangan ahlul ilmi ada yang membedakan antara darah sedikit dengan yang banyak. Bila keluarnya sedikit tidak membatalkan wudhu namun bila keluarnya banyak akan membatalkan wudhu. Hal ini seperti pendapat Abu Hanifah, Al-Imam Ahmad dan Ishaq. (Nailul Authar, 1/269) Adapun dalil bahwa darah tidak membatalkan wudhu adalah hadits tentang seorang shahabat Al-Anshari yang tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus mengalir karena luka akibat tikaman anak panah pada tubuhnya (HR. Al-Bukhari secara mu‘ allaq dan secara maushul oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Sunan Abi Dawud no. 193) Seandainya darah yang banyak itu membatalkan wudhu niscaya shahabat Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam itu dilarang untuk mengerjakan shalat dan akan disebutkan teguran dari Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam atas shalat yang ia kerjakan tersebut dan akan diterangkan kepadanya atau siapa yang bersamanya. Karena mengakhirkan penjelasan/ penerangan pada saat dibutuhkan penerangannya tidaklah diperbolehkan. Mereka para shahabat radhiallahu ‘ anhum sering terjun ke dalam medan pertempuran hingga badan dan pakaian mereka berlumuran darah. Namun tidak dinukilkan dari mereka bahwa mereka berwudhu karenanya dan tidak didengar dari mereka bahwa perkara ini membatalkan wudhu. (Sailul Jarar, 1/262, Tamamul Minnah, hal. 51-52) Wallahu ta‘ ala a‘ lam bish-shawab wal ilmu ‘ indallah. 1 Seperti dalam ayat: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi wanita- wanita mukminah kemudian kalian
menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh mereka, maka tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menjalani iddah.” (Al-Ahzab: 49) Ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa menyentuh yang dikaitkan dengan wanita maka yang dimaksudkan adalah jima’ . 2 Di antara imam ahlul hadits ada juga yang menguatkan hadits ini seperti Ibnu Mandah dan Asy- Syaikh Al-Albani di Tamamul Minnah, beliau mengatakan sanadnya shahih (hal. 111) 3 Adapun permasalahan yang disebutkan di sini juga merupakan perkara yang diperselisihkan ahlul ilmi sebagaimana disebutkan sendiri oleh Al-Imam An-Nawawi dalam Al-
Majmu‘ (2/63). 4 Qalas adalah muntah yang keluar dari tenggorokan, bukan dari perut. (Subulus Salam, 1/105)