Laman

Entri Populer

Senin, April 18, 2011

4 NASEHAT UNTUK SAUDARI MUSLIMAH

Dunia telah menawarkan gemerlap perhiasannya. Di sana ada sisi-sisi kehidupan yang mengancam kehormatan kaum wanita. Tak layak kita lalai menelaah ancaman itu melalui untaian nasihat untuk mengingatkan setiap wanita muslimah yang menginginkan keselamatan. Saudariku muslimah, hendaknya engkau waspada akan bahaya hubungan yang haram dan segala yang berselubung “cinta” namun menyembunyikan sesuatu yang nista. Engkau pun hendaknya berhati-hati terhadap pergaulan bebas dengan para pemuda ataupun laki-laki tak bermoral yang ingin merampas kehormatanmu di balik kedok “cinta”. Duhai saudariku muslimah – semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya padamu – ada hal- hal yang semestinya engkau waspadai : Pertama, tabarruj1. Hati- hatilah, jangan sampai dirimu terjatuh dalam perangkapnya dan janganlah kecantikan yang Allah anugerahkan kepadamu membuatmu terpedaya. Sesungguhnya akhir dari sebuah kecantikan hanyalah bangkai yang menjijikkan dalam kegelapan kubur dan secarik kain kafan, beserta cacing-cacing
yang merasa iri padamu dan merampas kecantikan itu darimu. Ingatlah Saudariku, wanita yang bertabarruj berhak mendapatkan laknat, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘ alaihi wassalam2 : “Laknatilah mereka (wanita yang bertabarruj), karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang terlaknat”. Bahkan Beliau Shallallahu ‘ alaihi wassalam telah bersabda3: “Dan wanita-wanita yang berpakaian namun (pada hakekatnya) telanjang, mereka berlenggak-lenggok, kepala- kepala mereka seperti punuk- punuk unta yang miring, mereka tidak akan masuk ke dalam surga, bahkan mereka tidak akan dapat mencium harumnya surga, padahal wanginya dapat tercium dari jarak sekian- sekian”. Tidakkah engkau ketahui, duhai Saudariku, saat ini wanita telah menjadi barang dagangan yang murah. Buktinya adalah iklan- iklan televisi. Tidaklah engkau melihat iklan sepatu atau alat- alat olahraga, bahkan iklan kolam
renang, pasti di sana ditayangkan sosok wanita. Di manakah gerangan orang- orang yang menuntut kebebasan kaum wanita? Sesungguhnya mereka menuntut kebebasan wanita bukanlah karena simpati atau iba terhadap wanita, justru mereka menuntut kebebasan itu agar dapat menikmati wanita! Satu bukti bahwa wanita itu tidak berharga di sisi mereka adalah ucapan salah seorang dari
“serigala” tak bermoral. Ia menyatakan: ”Gelas (khamar) dan perempuan cantik lebih banyak menghancurkan umat Muhammad daripada seribu senjata. Maka tenggelamkanlah mereka dalam cinta syahwat”. Tahukah dirimu, bagaimana para wanita diperdagangkan oleh orang-orang yang menuntut kebebasannya? Seakan-akan mereka berkata: Janganlah kau tertipu dengan senyumanku Karena kata-kataku membuatmu tertawa, Namun sesungguhnya perbuatanku membuatmu menangis Kedua, telepon. Berapa banyak sudah pemudi yang direnggut kesuciannya dan ditimpa kehancuran dalam kehidupannya? Bahkan sebagian di antara mereka bunuh diri. Semua itu tidak lain disebabkan oleh telepon. Coba engkau simak kisah ini! Sungguh, di dalamnya tersimpan pelajaran berharga. Ada seorang gadis berkenalan dengan seorang pemuda melalui telepon, kemudian mereka menjalin hubungan akrab. Seiring berlalunya waktu tumbuhlah benih-benih asmara di antara mereka. Suatu hari “serigala” itu mengajaknya pergi. Tatkala ia berada di atas mobil, lelaki itu menghisap rokok. Ternyata asap rokok itu membiusnya. Setelah sadar ia temukan dirinya berada di depan pintu rumahnya dalam keadaan telah dilecehkan kehormatannya. Ia mendapati dirinya mengandung anak hasil zina. Akhirnya gadis itu
bunuh diri, karena ingin lari dari aib dan cela. Sungguh lelaki itu ibarat seekor serigala yang memangsa kambing betina. Setelah puas mengambil apa yang ia kehendaki, ia pergi dan meninggalkannya. Ketiga, khalwat.4 Semestinya engkau jauhi khalwat, karena khalwat adalah awal bencana yang akan menimpamu, sebagaimana ucapan Nabi Shallallahu ‘ alaihi wassalam5 : “Tidaklah seorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan seorang perempuan kecuali yang ketiganya adalah syaitan”. Apabila syaitan datang padamu, ia akan menjerumuskanmu dalam musibah. Berapa banyak gadis yang diperdaya oleh lelaki tak bermoral, hingga terjadilah perkara yang keji. Semuanya dikemas dengan label “cinta”. Ada seorang gadis pergi berdua bersama pasangannya, lalu lelaki itu merayunya dengan kata-kata
yang manis. Dikatakannya pada gadis itu, yang mereka lakukan itu adalah sesuatu yang indah dan menyenangkan. Akhirnya lelaki itu pun mengajaknya pergi ke tempat yang sunyi. Ketika sang gadis meminta untuk pulang, lelaki itu menolaknya, kemudian… Keempat, pergaulan yang jelek. Nabi Shallallahu ‘ alaihi wassalam bersabda6 : “Seseorang itu ada diatas agama temannya, maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat siapa yang ia jadikan teman” Wahai saudariku, ambillah pelajaran dari selainmu, sebelum engkau mengalami apa yang ia alami. Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah orang yang dapat memetik nasihat dari peristiwa yang menimpa orang lain, dan orang yang celaka adalah orang yang hanya bisa mendapat nasihat dari sesuatu yang menimpa dirinya sendiri. Akhirnya, segala puji hanyalah bagi Allah Rabb seluruh alam. (diterjemahkan dari kitabUkhti Al Muslimah Ihdzari Adz Dzi’ ab karya Salim Al ‘ Ajmi oleh Ummu ‘ Affan Nafisah bintu Abi Salim) Catatan Kaki: 1. Tabarruj adalah berhias di depan selain mahramnya 2. Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad nomor 7083 dengan tahqiq Ahmad Syakir. Beliau mengatakan :”Sanad hadits ini shahih”. 3. Diriwayatkan Imam Muslim nomor 2128. 4. Khalwat adalah berdua-duaan dengan selain mahram. 5. Shahih Sunan At-Tirmidzi karya
Syaikh Al Albani : 1187 dan dalam Silsilah Ash-Shahihah karya beliau juga nomor hadits 430. 6. Diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Dawud, lihatlah Silsilah Ash- Shahihah Imam Al-Albani nomor 927

Minggu, April 17, 2011

yasinan dan history nya

Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’ an, dzikir-dzikir, dan disertai do’ a-do’ a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan
kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”. Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan “lebih dari sekedarnya” cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah
kenyataannya. Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: “wajib”) untuk dikerjakan dan sebaliknya, bid’ ah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan. Para pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar berpikir lebih jernih dan dewasa bahwa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al Qur’ an dan As Sunnah. Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Qur’ an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar- benar beriman kepada Allah subhanahu wata’ ala dan Rasul- Nya. Bukankah Allah subhanahu wata’ ala telah berfirman (artinya): “Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’ an) dan Ar Rasul (As Sunnah) , jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’ : 59) Historis Upacara Tahlilan Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam, di masa para sahabatnya dan para Tabi’ in maupun Tabi’ ut tabi’ in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’ i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan? Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan
(baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’ akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan do’ a-do’ a ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur’ an, maupun dzikir-dzikir dan do’ a-do’ a ala Islam menurut mereka. Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain. Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam Acara tahlilan – paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu: Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat Al Qur’ an, dzikir- dzikir dan disertai dengan do’ a- do’ a tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit. Kedua: Penyajian hidangan makanan. Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam. Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’ an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah. 1. Bacaan Al Qur’ an, dzikir- dzikir, dan do’ a-do’ a yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit. Memang benar Allah subhanahu wata’ ala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Qur’ an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur’ an, dzikir-dzikir, dan do’ a-do’ a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarkan. Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata’ ala dan Rasul- Nya. Allah subhanahu wata’ ala berfirman (artinya): “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3) Juga Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam bersabda: ﺎﻣ َﻲِﻘَﺑ ٌﺀْﻲَﺷ ُﺏِّﺮَﻘُﻳ َﻦِﻣ ِﺔَّﻨَﺠْﻟﺍ ُﺪِﻋﺎَﺒُﻳَﻭ َﻦِﻣ ِﺭﺎَّﻨﻟﺍ َّﻻِﺇ ْﺪَﻗ َﻦِّﻴُﺑ ْﻢُﻜَﻟ “Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.” (H.R Ath Thabrani) Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang
agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam. Suatu ketika Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka,
saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi) Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ ala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ ala menyatakan dalam Al Qur’ an (artinya): “Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2) Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam. Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam. Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -
seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wata’ ala (artinya): “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling
merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104) Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘ Aisyah radhiAllahu ‘ anha, Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam bersabda: ْﻦَﻣ ًﻼَﻤَﻋ َﻞِﻤَﻋ ﺎﻧﺮﻣﺃ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﺲْﻴَﻟ ٌّﺩَﺭ َﻮُﻬَﻓ “Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim) Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi: ُﻞْﺻَﻷﺎَﻓ ُﻥَﻼْﻄُﺒﻟﺍ ِﺕﺍَﺩﺎَﺒِﻌْﻟﺍ ﻲﻓ ِﺮْﻣَﻷﺍ ﻰﻠﻋ ٌﻞْﻴِﻟَﺩ َﻡْﻮُﻘَﻳ ﻰﺘﺣ “Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.” Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata’ ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata’ ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’ I: َﻉَﺮَﺷ ْﺪَﻘَﻓ َﻦَﺴْﺤَﺘْﺳﺍ ِﻦَﻣ “Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah – pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’ at) sendiri”. Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’ i tentang hukum bacaan Al Qur’ an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’ an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata’ ala (artinya): “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329). 2. Penyajian hidangan makanan. Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiAllahu ‘ anhum. Jarir bin Abdillah radhiAllahu ‘ anhu– salah seorang sahabat Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya) Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’ i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’ i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’ i. Al Imam Asy Syafi’ i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘ Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit – pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211) Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’ i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’ i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid’ ah – pent). Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi’ i? Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalAllahu ‘ alaihi wasallam dalam hadistnya: ﺍﻮﻌﻨﺻﺍ ِﻝﻵ َﺮَﻔْﻌَﺟ ْﺪَﻘَﻓ ﺎﻣﺎﻌﻃ ْﻢُﻬُﻠِﻐْﺸُﻳ ٌﺮْﻣَﺃ ْﻢُﻫﺎَﺗَﺃ “Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’ far, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya) Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu ‘ a’ lam

Sabtu, April 16, 2011

Al Qur`an Turun Tidaklah Untuk Dipajang

Banyak sekarang kita dapati di rumah-rumah kaum muslimin, di masjid- masjid ataupun dimajelis- majelis ukiran-ukiran atau kaligrafi-kaligrafi yang bertuliskan ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam ataupun Asmaul Husna yang digantungkan padanya.

Pemandangan semacam ini bukanlah hal yang asing lagi ditengah-tengah kaum muslimin, wallahua`lam.

apa tujuan dilakukan hal tersebut?. Mungkin mereka menganggap yang demikian itu merupakan bentuk ibadah ataukah tujuannya untuk sebagai hiasan saja atau untuk menolak bahaya atau sebagai bentuk pengagungan mereka terhadap ayat-ayat Allah Subhanahu Wa Ta’ ala ataupun untuk mencari barakah dan yang lainya.

Maka berikut ini kita akan sampaikan penjelasan ulama dalam permasalahan ini.

Berkata Syaikh Ibnu `Utsaimin Rahimahullah Ta`ala ;

” Setelah memuji Allah Subhanahu Wa Ta’ ala … ( dalam khutbah ini ) saya akan memperingatkan dua perkara yang berkaitan dengan Al Qur`anul Karim ;
1) Sesungguhnya sebagian besar mereka biasa menggantungkan tulisan-tulisan yang berisikan Al Qur`an didinding tempat duduk mereka/pertemuan mereka, saya
tidak tahu mengapa mereka melakukan tersebut .
Apakah mereka melakukannya dalam rangka ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ ala?
Jika demikian maka ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ ala dengan perbuatan tersebut adalah bid`ah yang tidak pernah dilakukan para shahabat dan orang – orang yang mengikuti mereka dengan baik .

Ataukah mereka menggantungkan ayat – ayat tersebut dalam rangka
menolak kejelekan ?
Maka perbuatan ini bukanlah perantara untuk menolak kejelekan dari mereka karena menolak kejelekan adalah dengan
membaca Al Qur`an tersebut dengan lisannya sebagaimana
sabda Nabi Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam ;

“Barang siapa yang membaca ayat kursi pada malam hari maka senantiasa dia akan mendapatkan penjagaan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ ala dan syaithan tidak akan mendekatinya sampai pagi hari “. ( HR . Imam Bukhari dan An Nasai dari shahabat Abi Hurairah )

Jadi menggantungkan ayat kursi / yang lainnya dari ayat- ayat Allah tidak akan bermanfaat bagi mereka sedikitpun .
Ataukah mereka
melakukannya dengan tujuan
untuk mencari berkah dengan
Al Qur`an dengan cara seperti
itu ?
Maka cara semacam ini tidaklah disyari`atkan bahkan merupakan perkara baru yang diada – adakan , telah bersabda Nabi Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam

Artinya ; dan setiap bid`ah adalah kesesatan .

Sesungguhnya cara bertabaruk dengan Al Qur`an adalah dengan membacanya dengan sebenar- benarnya , melafadzkan dengan lisannya ,mengimani dalam hatinya dan mengamalkan dengan anggota tubuhnya,

sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ ala :

Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi”. (QS , Al Baqarah 121 )

Inilah jalannya orang-orang mukmin , membaca Kitabullah dan tidak menggantungkannya didinding dan didalam museum.

Ataukah mereka yang
menggantungkannya tersebut
mengnginkan untuk
mengingatkan manusia
terhadap Al Qur`an apabila
mengangkat kepala kearahnya ?

Akan tetapi apabila engkau lihat dalam kenyataannya maka tidaklah engkau dapatkan pengaruhnya karena mungkin dalam majelis-majelis itu tidak ada seorangpun yang mengangkat kepalanya membaca ayat tersebut atau untuk memikirkan apa yang terkandung
di dalamnya dari hokum-hukum dan rahasia-rahasia .

Ataukah mereka yang
menggantungkan ayat-ayat
yang mulia itu sekedar
menggantungkan saja (tanpa
maksud apa-apa ) atau untuk
tujuan keindahan pandangan ?

Sesungguhnya tidaklah pantas menjadikan Al Qur`an sebagai sesuatu yang sia-sia .

Tidak pantas pula hanya sebagai hiasan saja , Al Qur`an terlalu mulia dan terlalu agung kedudukannya antuk dijadikan semua itu .

Kemudian sesungguhnya menggantungkan Al Qur`an tersebut adalah perkara yang dilarang Aku tidak menyangka ada seorangpun yang tidak mengetahuinya
.Sesungguhnya majelis-majelis yang digantung didalamnya Al Qur`an terkadang merupakan majelis sia-sia yang diharamkan , karena terkadang didalamnya dilakukan ghibah ,kedustaan , caci-maki dan perbuatan haram yang lainnya .

Terkadang pula engkau dengar suara musik dan nyanyian yang haram dimajelis- majelis tersebut .Maka perbuatan-perbuatan ini jelas merupakan sikap mengolok-olok terhadap Kitab Allah Subhanahu Wa Ta’ ala karena digantungkan di atas kepala-kepala hadirin dalam keadaan mereka berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ ala dihadapan ayat-ayat Kitabullah .

Kita memohon ampun dari Allah Subhanahu Wa Ta’ ala terhadap hal yang demikian ini .
Karena itu Aku menyeru kepada segenap saudara kita yang mengantungkan ayat-ayat Al Qur`an untuk melepaskannya karena perbuatan seperti ini tidaklah pantas untuk dilakukan apapun tujuannya .

2) Adapun perkara yang kedua yang ingin saya peringatkan dan saya khususkan hal ini kepada para penulis yang biasa menulis ayat-ayat Al Qur`an yang mulia untuk orang lain di kertas- kertas atau yang lainnya .
Para penulis itu biasa menggunakan bentuk khat (tulisan) selain khat `Utsmani .
Mereka menjadikan tulisan-tulisan ini dalam bentuk seni lukis / ukir ( kaligrafi ), sampai-sampai saya mendengar sebagian dari mereka ingin menulis firman Allah Subhanahu Wa Ta’ ala

Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas
malam … ( QR.Az Zumar: 5 )

Maka dia menulis huruf wawu(ﻭ) seolah-olah seperti lingkaran sementara dia menginginkan menulis Al Qur`an sesuai dengan apa yang ditunjukan dari maknanya.

Hal ini jelas keharamannya tanpa keraguan .
Karena lafadz-lafadz Al Qur`anul Karim tidak pantas untuk dijadikan bentuk yang samar yang mana pada sisi ini ingin ditampakkan sisi kejeniusan penulisnya atau dibuat dengan bentuk yang akan memalingkan pandangan pada seninya ( bukan pada ayat-ayat Al Qur`an ) karena Al Qur`an bukanlah untuk dijadikan hiasan dan lukisan / ukiran.

Dan siapa yang padanya ada tulisan yang demikian maka hendaklah dia membakar atau menghapusnya agar supaya ayat-ayat Allah Subhanahu Wa Ta’ ala tidak dijadikan sebagai bahan permainan / olok-olokan .

Para `ulama Rahimahumullah telah
berselisih dalam tiga pendapat tentang boleh tidaknya menulis Al Qur`an dengan selain khat `Utsmani sekalipun untuk anak- anak .

Adapun menulis Al Qur`an dengan bentuk seni lukis / ukir kaligrafi ( sehingga sulit di baca atau dapat menyebabkan keliru dalam membacanya ) tidak ragu lagi keharamannya .

Maka wajib bagi kita, wahai saudara-saudara sekalian untuk menghormati kitabullah, mengagungkannya dan menjadikannya sesuai dengan tujuan diturunkannya yakni sebagai nasehat, obat penyembuh bagi penyakit dalam dada ,petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman .

Dengarkan hikmah diturunkannya Al Qur`an dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ ala ;

“ Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran “(QS. Shad 29 )

Tidaklah Al Qur`an turun untuk dipajang di dinding dan tidaklah turun untuk dijadikan lukisan / ukiran dalam penulisanya .
Ketahuilah, semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ ala merahmati kalian, bahwasannya sebaik-baik ucapan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam .

Sedangkan sejelek-jelek perkara adalah bid`ah, Ketahuilah setiap biid`ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya adalah neraka.

Taqlid, Beramal Dengan Pendapat Seseorang atau Golongan Tanpa Didasari Dalil

“Kiai-ku lebih pintar dari kamu!”, “Imamku-lah yang paling benar!”, ungkapan-ungkapan seperti ini sering kita dengar ketika ada nasehat disampaikan. Inilah antara lain gambaran taqlid dan fanatisme golongan, penyakit yang telah lama menjangkiti umat. Hancurnya kaum muslimin dan jatuhnya mereka ke dalam kehinaan tidak lain disebabkan kebodohan mereka terhadap Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘ alaihi wasallam, serta tidak memahami pengertian dan pelajaran yang terdapat pada keduanya. Demikian pula yang menjatuhkan umat Islam ke dalam perbuatan bid’ ah serta khurafat. Bahkan kebodohan terhadap agamanya ini merupakan faktor utama yang menumbuhnsuburkan taqlid. Berbagai kebid’ ahan tumbuh dengan subur di atas ketaqlidan dan kebodohan yang ada di tengah-tengah kaum muslimin. Hal ini juga disebabkan adanya para dajjal (pembohong besar) dari berbagai golongan (sempalan) yang menyandarkan dirinya kepada imam-imam madzhab yang telah dikenal. Padahal pengakuan mereka yang menyebutkan bahwa mereka adalah pengikut para imam tersebut adalah pengakuan dusta. Kita dapati dalam kitab-kitab tentang tafsir, fiqih, tasawwuf ataupun syarh hadits Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam berbagai kebid’ ahan bahkan khurafat yang ditulis oleh mereka yang menyatakan dirinya
bermadzhab Fulani. Innaa lillah wa Innaa ilaihi raji’ un. Begitu hebatnya penyakit ini melanda kaum muslimin seakan- akan sudah menjadi wabah yang tidak ada obatnya di dunia ini.
Dan akibat taqlid ini, muncullah sikap-sikap fanatik terhadap apa
yang ada pada dirinya atau kelompoknya. Sampai-sampai seorang yang bermadzhab dengan satu madzhab tertentu tidak mau menikahkan puterinya dengan orang dari madzhab lain, tidak mau pula shalat di belakang
imam yang berbeda madzhab, dan sebagainya. Bahkan yang ironis, di antara penganut madzhab ada yang saling mengkafirkan. Inilah sesungguhnya penyakit yang mula-mula menimpa makhluk
ciptaan Allah.
Iblis yang terkutuk, makhluk pertama yang mendurhakai Allah, tidak lain disebabkan oleh sikap fanatiknya, di mana dia merasa unggul karena unsur yang menjadi asal dia diciptakan. Allah subhanahu wa ta’ ala menerangkan hal ini:
“Aku lebih baik daripadanya. Engkau menciptakanku dari api sedangkan dia Kau ciptakan dari tanah.” (Al A’ raf: 12)
Definisi Taqlid Taqlid secara bahasa bermakna mengikatkan sesuatu di leher. Jadi orang yang taqlid kepada seorang tokoh, ibarat diberi tali yang mengikat lehernya untuk ditarik seakan-akan hewan ternak. Sedangkan menurut istilah, taqlid artinya beramal dengan pendapat seseorang atau golongan tanpa didasari oleh dalil atau hujjah yang jelas. Dari pengertian ini, jelaslah bahwa taqlid bukanlah ilmu dan ini hanyalah kebiasaan orang yang awam (tidak berilmu) dan jahil.
Dan Allah subhanahu wa ta’ ala telah mencela sikap taqlid ini dalam beberapa tempat dalam Al Qur’ an. Firman Allah subhanahu wa ta’ ala:

“Atau adakah Kami memberikan sebuah kitab kepada mereka sebelum Al Qur’ an lalu mereka berpegang dengan kitab itu? Bahkan mereka berkata: ‘ Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.’ Dan demikianlah, kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: ‘ Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’ (Rasul itu) berkata: ‘ Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang
lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapak kalian menganutnya?’ Mereka menjawab: ‘ Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.’ Maka Kami binasakan mereka, maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” (Az-Zukhruf: 21-25)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah sebagaimana dinukil oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah, mengatakan: “Ayat-ayat ini adalah dalil terbesar tentang batil dan jeleknya taqlid. Karena sesungguhnya orang-orang yang taqlid ini, mengamalkan ajaran agama mereka hanyalah dengan pendapat para pendahulu mereka yang diwarisi secara turun temurun. Dan apabila datang seorang juru dakwah yang mengajak mereka keluar dari kesesatan, kembali kepada al-haq, atau menjauhkan mereka dari kebid’ ahan yang mereka yakini dan warisi dari para pendahulu mereka itu tanpa didasari dalil yang jelas – hanya berdasarkan katanya dan katanya-, mereka mengatakan kalimat yang sama dengan orang-orang yang biasa bermewah-mewah:


‘ Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’ Atau ungkapan lain yang semakna dengan ini.” Firman Allah subhanahu wa ta’ ala: “Mereka menjadikan pendeta- pendeta dan ahli-ahli ibadah mereka sebagai Rabb selain Allah.” (At-Taubah: 31)

Maksudnya, mereka menjadikan para ulama dan ahli ibadah di kalangan mereka sebagai Rabb selain Allah. Artinya, ketika para ulama dan ahli ibadah itu menghalalkan untuk mereka apa yang diharamkan oleh Allah, mereka mengikuti penghalalan tersebut. Dan ketika mereka mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah mereka juga mengikuti pengharaman tersebut. Bahkan ketika para ulama dan ahli ibadah tersebut menetapkan suatu syariat yang baru dalam agama mereka yang bertentangan dengan ajaran para Rasul itu, mereka juga mengikutinya. Allah subhanahu wa ta’ ala berfirman:

“Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya? Mereka menjawab: ‘ Kami dapati bapak-bapak kami menyembahnya’ .” (Al-Anbiya’ : 52-53)

Dan perhatikanlah bagaimana jawaban yang mereka berikan. Walhasil, taqlid ini menghalangi mereka untuk menerima kebenaran, sebagaimana disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ ala: “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” (Az-Zukhruf: 24)

Dan para ulama menjadikan ayat-ayat ini dan yang semakna dengannya sebagai hujjah (pedoman hukum) tentang batilnya taqlid. Tidaklah menjadi halangan bagi mereka untuk berhujjah dengan ayat ini meskipun ayat ini berbicara tentang orang-orang kafir, karena kesamaan yang terjadi bukan pada kekufuran satu golongan atau keimanan yang lain, akan tetapi kesamaannya adalah bahwa taqlid itu terjadi karena keduanya sama-sama mengikuti suatu keyakinan atau pendapat tanpa hujjah atau dalil yang jelas. Demi Allah Yang Maha Agung, sesungguhnya kaum muslimin itu, ketika benar-benar sebagai kaum muslimin yang sempurna dan benar keislaman mereka, keadaan mereka senantiasa mendapat pertolongan dan menjadi pahlawan-pahlawan yang membebaskan berbagai negara dan menundukkannya di bawah kedaulatan muslimin. Akan tetapi ketika mereka mengubah-ubah perintah-perintah Allah, maka Allah-pun memberi balasan kepada mereka dengan mengganti nikmat-Nya kepada mereka, dan menghentikan kekhalifahan yang ada di tangan mereka. Dan inilah kenyataan yang kita saksikan dan kita rasakan. Al-‘ Allamah Al-Ma’ shumi mengatakan bahwa termasuk yang berubah adalah adanya prinsip dan kewajiban harusnya seorang muslim bermadzhab dengan satu madzhab tertentu dan bersikap fanatik meskipun dengan alasan yang batil. Padahal madzhab-madzhab ini baru muncul sesudah berakhirnya masa tiga generasi terbaik umat ini. Dan akhirnya dengan bid’ ah ini tercapailah tujuan Iblis memecah-belah kaum muslimin. Kita berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ ala dari hal itu. Beliau juga menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan harusnya seseorang bermadzhab dengan satu madzhab tertentu sesungguhnya dibangun di atas satu kepentingan politik tertentu, dan ambisi-ambisi atau tujuan pribadi. Dan sesungguhnya
madzhab yang haq dan wajib diyakini dan diikuti adalah madzhab junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘ alaihi wasallam yang merupakan Imam yang Agung yang wajib diikuti, kemudian para Al-Khulafa’ Ar- Rasyidin. Allah subhanahu wa ta’ ala berfirman:

“Dan apa-apa yang datang dari Rasul kepada kamu maka ambillah
dia, dan apa yang kamu dilarang mengerjakannya maka jauhilah!” (Al-Hasyr: 7)

Dan adapun yang dimaksud dengan Sunnah Al-Khulafa’ Ar- Rasyidin yang harus diikuti tidak lain adalah jalan hidup mereka yang sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam.
Wallahu a’ lam bish- shawab.

Daftar bacaan
1 Jami’ Bayanil ‘ Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu ‘ Abdil Barr,
2 Riyadhul Jannah, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’ i,
3 Hadiyyatus Sulthan, Muhammad Sulthan Al-Ma’ shumi,
4 Al-Hadits Hujjatun Binafsihi, Asy-Syaikh Al- Albani,
5 Ma’ na Qaulil Imam Al- Muththalibi, As-Subki,
6 Irsyadun Nuqqad, Al-Imam Ash-Shan’ ani,
7 Al-Mudzakkirah, Asy-Syinqithi,
8 Al-Ihkam, Ibnu Hazm,
9 Al-Ihkam, Al-Amidi

banyak macam sholawat yg tidak di ajarkan rosulullah

Sudah bukan rahasia lagi kalau di tengah-tengah kaum muslimin, banyak tersebar berbagai jenis shalawat yang sama sekali tidak berdasarkan dalil dari sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Shalawat-shalawat itu biasanya dibuat oleh pemimpin tarekat sufi tertentu yang dianggap baik oleh sebagian umat Islam kemudian disebarkan hingga diamalkan secara turun temurun. Padahal jika shalawat- shalawat semacam itu diperhatikan secara cermat, akan nampak berbagai penyimpangan berupa kesyirikan, bid’ ah, ghuluw terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan sebagainya. A. Shalawat Nariyah Shalawat jenis ini banyak tersebar dan diamalkan di kalangan kaum muslimin. Bahkan ada yang menuliskan lafadznya di sebagian dinding masjid. Mereka berkeyakinan, siapa yang membacanya 4444 kali, hajatnya akan terpenuhi atau akan dihilangkan kesulitan yang dialaminya. Berikut nash shalawatnya: َّﻢُﻬَّﻠﻟﺍ ِّﻞَﺻ ًﺓَﻼَﺻ ًﺔَﻠِﻣﺎَﻛ ْﻢِّﻠَﺳَﻭ ﺎﻣَﻼَﺳ ﺎّﻣﺎَﺗ ﺎَﻧِﺪِّﻴَﺳ َﻰﻠَﻋ ْﻱِﺬَّﻟﺍ ٍﺪَّﻤَﺤُﻣ َﻪِﺑ ُﻞَﺤْﻨُﺗ ُﺪَﻘُﻌْﻟﺍ ُﺝِﺮَﻔْﻨَﺗَﻭ ِﻪِﺑ ُﺏَﺮُﻜْﻟﺍ ﻰَﻀْﻘُﺗَﻭ ِﻪِﺑ ُﺞِﺋﺍَﻮَﺤْﻟﺍ ُﻝﺎَﻨُﺗَﻭ ِﻪِﺑ ُﺐِﺋﺎَﻏَّﺮﻟﺍ ُﻦْﺴُﺣَﻭ ِﻢْﻴِﺗﺍَﻮَﺨْﻟﺍ ﻰَﻘْﺴَﺘْﺴُﻳَﻭ ُﻡﺎَﻤَﻐْﻟﺍ ِﻪِﻬْﺟَﻮِﺑ ِﻢْﻳِﺮَﻜْﻟﺍ َﻰﻠَﻋَﻭ ِﻪِﻟﺁ َﻚَﻟ ٍﻡْﻮُﻠْﻌَﻣ ِّﻞُﻛ َﺩَﺪَﻋ ِﻪِﺒْﺤَﺻَﻭ “Ya Allah, berikanlah shalawat yang sempurna dan salam yang sempurna kepada Baginda kami Muhammad yang dengannya terlepas dari ikatan (kesusahan) dan dibebaskan dari kesulitan. Dan dengannya pula ditunaikan hajat dan diperoleh segala keinginan dan kematian yang baik, dan memberi siraman (kebahagiaan) kepada orang yang sedih dengan wajahnya yang mulia, dan kepada keluarganya, para shahabatnya, dengan seluruh ilmu yang engkau miliki.” Ada beberapa hal yang perlu dijadikan catatan kaitannya dengan shalawat ini: 1- Sesungguhnya aqidah tauhid yang diseru oleh Al Qur’ anul Karim dan yang diajarkan kepada
kita dari Rasulullah shallallahu laiahi wasallam, mengharuskan setiap muslim untuk berkeyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya yang melepaskan ikatan (kesusahan), membebaskan dari kesulitan, yang menunaikan hajat, dan memberikan manusia apa yang mereka minta. Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim berdo’ a kepada selain Allah untuk menghilangkan kesedihannya atau menyembuhkan penyakitnya, walaupun yang diminta itu seorang malaikat yang dekat ataukah nabi yang diutus. Telah disebutkan dalam berbagai ayat dalam Al Qur’ an yang menjelaskan haramnya meminta pertolongan, berdo’ a, dan semacamnya dari berbagai jenis ibadah kepada selain Allah Azza wajalla. Firman Allah: ِﻞُﻗ ﺍﻮُﻋْﺩﺍ َﻦْﻳِﺬَّﻟﺍ ْﻢُﺘْﻤَﻋَﺯ ْﻦِﻣ ِﻪِﻧْﻭُﺩ ْﻢُﻜْﻨَﻋ ِّﺮُّﻀﻟﺍ َﻒْﺸَﻛ َﻥْﻮُﻜِﻠْﻤَﻳ َﻼَﻓ ًﻼْﻳﻮِْﺤَﺗ َﻻَﻭ “Katakanlah: ‘ Panggillah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah. Maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula memindahkannya.” (Al-Isra: 56) Para ahli tafsir menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan segolongan kaum yang berdo’ a kepada Al Masih ‘ Isa, atau malaikat, ataukah sosok- sosok yang shalih dari kalangan jin. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/47-48) 2- Bagaimana mungkin Rasulullah shallallahu alaihi wasallam rela dikatakan bahwa dirinya mampu melepaskan ikatan (kesulitan), menghilangkan kesusahan, dsb, sedangkan Al Qur’ an menyuruh beliau untuk berkata: ْﻞُﻗ َﻻ ُﻚِﻠْﻣَﺃ ﻲِﺴْﻔَﻨِﻟ ًﺎﻌْﻔَﻧ َﻻَﻭ ﺍّﺮَﺿ َّﻻِﺇ ﺎَﻣ َﺀﺎَﺷ ُﻪﻠﻟﺍ ْﻮَﻟَﻭ ُﺖْﻨُﻛ ُﻢَﻠْﻋَﺃ َﺐْﻴَﻐْﻟﺍ ُﺕْﺮَﺜْﻜَﺘْﺳَﻻ َﻦِﻣ ِﺮْﻴَﺨْﻟﺍ ﺎَﻣَﻭ َﻲِﻨَّﺴَﻣ ُﺀْﻮُّﺴﻟﺍ ْﻥِﺇ ﺎَﻧَﺃ َّﻻِﺇ ٌﺮْﻳِﺬَﻧ َﻥْﻮُﻨِﻣْﺆُﻳ ٍﻡْﻮَﻘِﻟ ٌﺮْﻴِﺸَﺑَﻭ “Katakanlah: ‘ Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan
pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman’ .” (Al- A’ raf: 188) Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu mengatakan, “Berdasarkan kehendak Allah dan kehendakmu”. Maka beliau bersabda: ْﻲِﻨَﺘْﻠَﻌَﺟَﺃ ِﻪﻠﻟ ؟ﺍًّﺪِﻧ ْﻞُﻗ ﺎَﻣ ُﻪﻠﻟﺍ َﺀﺎَﺷ ُﻩَﺪْﺣَﻭ “Apakah engkau hendak menjadikan bagi Allah sekutu? Ucapkanlah: Berdasarkan kehendak Allah semata.” (HR. An- Nasai dengan sanad yang hasan) (Lihat Minhaj Al-Firqatin Najiyah 227-228, Muhammad Jamil Zainu) B. Shalawat Al-Fatih (Pembuka) Lafadznya adalah sebagai berikut: َّﻢُﻬَّﻠﻟﺍ ِّﻞَﺻ َﻰﻠَﻋ ﺎَﻧِﺪِّﻴَﺳ ٍﺪَّﻤَﺤُﻣ ِﺢِﺗﺎَﻔْﻟﺍ ﺎَﻤِﻟ َﻖَﻠْﻏَﺃ ِﻢِﺗﺎَﺨْﻟﺍَﻭ ﺎَﻤِﻟ َﻖَﺒَﺳ , ِﺮِﺻﺎَﻧ ِّﻖَﺤْﻟﺍ ِّﻖَﺤْﻟﺎِﺑ ﻱِﺩﺎَﻬْﻟﺍ ﻰَﻟِﺇ َﻚِﻃﺍَﺮِﺻ ِﻢْﻴِﻘَﺘْﺴَﻤْﻟﺍ َﻰﻠَﻋَﻭ ِﻪِﻟﺁ َّﻖَﺣ ِﻩِﺭْﺪَﻗ ٌﻢْﻴِﻈَﻋ ُﻩُﺭﺍَﺪْﻘِﻣَﻭ “Ya Allah berikanlah shalawat kepada Baginda kami Muhammad yang membuka apa yang tertutup dan yang menutupi apa-apa yang terdahulu, penolong kebenaran dengan kebenaran yang memberi petunjuk ke arah jalan yang lurus. Dan kepada keluarganya, sebenar-benar pengagungan padanya dan kedudukan yang agung.” Berkata At-Tijani tentang shalawat ini – dan dia pendusta dengan perkataannya-: “… .Kemudian (Nabi shallallahu alaihi wasallam) memerintah aku untuk kembali kepada shalawat Al-Fatih ini. Maka ketika beliau memerintahkan aku dengan hal tersebut, akupun bertanya kepadanya tentang keutamaannya. Maka beliau mengabariku pertama kalinya bahwa satu kali membacanya menyamai membaca Al Qur’ an enam kali. Kemudian beliau mengabarkan kepadaku untuk kedua kalinya bahwa satu kali membacanya menyamai setiap tasbih yang terdapat di alam ini dari setiap dzikir, dari setiap do’ a yang kecil maupun besar, dan dari Al Qur’ an 6.000 kali, karena ini termasuk dzikir.” Dan ini merupakan kekafiran yang nyata karena mengganggap perkataan manusia
lebih afdhal daripada firman Allah Azza Wajalla. Sungguh merupakan suatu kebodohan apabila seorang yang berakal apalagi dia seorang muslim berkeyakinan seperti perkataan ahli bid’ ah yang sangat bodoh ini. (Minhaj Al-Firqah An-Najiyah 225 dan Mahabbatur Rasul 285, Abdur Rauf Muhammad Utsman) Telah bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: ُﻪَﻤَّﻠَﻋَﻭ َﻥﺁْﺮُﻘْﻟﺍ َﻢَّﻠَﻌَﺗ ْﻦَﻣ ْﻢُﻛُﺮْﻴَﺧ “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al Qur’ an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari dan Tirmidzi dari Ali bin Abi Thalib. Dan datang dari hadits’ Utsman bin ‘ Affan riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah) Dan juga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: ْﻦَﻣ َﺃَﺮَﻗ ْﻦِﻣ ﺎﻓْﺮَﺣ ِﻪﻠﻟﺍ ِﺏﺎَﺘِﻛ ِﻪِﺑ ُﻪَﻠَﻓ ٌﺔَﻨَﺴَﺣ ُﺔَﻨَﺴَﺤْﻟﺍَﻭ ِﺮْﺸَﻌِﺑ ﺎَﻬِﻟﺎَﺜْﻣَﺃ َﻻ ُﻝْﻮُﻗَﺃ : } ﻢﻟﺃ { ٌﻑْﺮَﺣ ، ْﻦِﻜَﻟَﻭ ٌﻒِﻟَﺃ ٌﻑْﺮَﺣ ٌﻢْﻴِﻣَﻭ ٌﻑْﺮَﺣ ٌﻡَﻻَﻭ ٌﻑْﺮَﺣ “Barangsiapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, maka baginya satu kebaikan. Dan satu kebaikan menjadi sepuluh kali semisal (kebaikan) itu. Aku tidak mengatakan: alif lam mim itu satu huruf, namun alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim itu satu huruf.” (HR.Tirmidzi dan yang lainnya dari Abdullah bin Mas’ ud dan dishahihkan oleh Al-Albani rahimahullah) C. Shalawat yang disebutkan salah seorang sufi dari Libanon dalam kitabnya yang membahas tentang keutamaan shalawat, lafadznya sebagai berikut: َّﻢُﻬَّﻠﻟﺍ ِّﻞَﺻ َﻰﻠَﻋ ٍﺪَّﻤَﺤُﻣ ﻰَّﺘَﺣ َﻞَﻌْﺠَﺗ َﺔَّﻴِﻣْﻮُّﻴَﻘْﻟﺍ َﺔَّﻳِﺪَﺣَﻷْﺍ ُﻪْﻨِﻣ “Ya Allah berikanlah shalawat kepada Muhammad sehingga engkau menjadikan darinya keesaan dan qoyyumiyyah (maha berdiri sendiri dan yang mengurusi makhluknya).” Padahal sifat Al-Ahadiyyah dan Al-Qayyumiyyah, keduanya termasuk sifat-sifat Allah Azza wajalla. Maka, bagaimana mungkin kedua sifat Allah ini diberikan kepada salah seorang dari makhluk-Nya padahal Allah Ta’ ala berfirman: َﺲْﻴَﻟ ِﻪِﻠْﺜِﻤَﻛ ٌﺀْﻲَﺷ َﻮُﻫَﻭ ُﻊْﻴِﻤَّﺴﻟﺍ ُﺮْﻴِﺼَﺒْﻟﺍ “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11) D. Shalawat Sa’ adah (Kebahagiaan) Lafadznya sebagai berikut: َّﻢُﻬَّﻠﻟﺍ ِّﻞَﺻ َﻰﻠَﻋ ﺎَﻧِﺪِّﻴَﺳ ٍﺪَّﻤَﺤُﻣ ﺎَﻣ َﺩَﺪَﻋ ﻲِﻓ ِﻢْﻠِﻋ ِﻪﻠﻟﺍ ًﺓَﻼَﺻ ًﺔَﻤِﺋﺍَﺩ ِﻡﺍَﻭَﺪِﺑ ِﻪﻠﻟﺍ ِﻚْﻠُﻣ “Ya Allah, berikanlah shalawat kepada baginda kami Muhammad sejumlah apa yang ada dalam ilmu Allah, shalawat yang kekal seperti kekalnya kerajaan Allah.” Berkata An-Nabhani As-Sufi setelah menukilkannya dari Asy- Syaikh Ahmad Dahlan: ”Bahwa pahalanya seperti 600.000 kali shalat. Dan siapa yang rutin membacanya setiap hari Jum’ at 1.000 kali, maka dia termasuk orang yang berbahagia dunia akhirat.” (Lihat Mahabbatur Rasul 287-288) Cukuplah keutamaan palsu yang disebutkannya, yang menunjukkan kedustaan dan kebatilan shalawat ini. E. Shalawat Al-In’ am Lafadznya sebagai berikut: َّﻢُﻬَّﻠﻟﺍ ِّﻞَﺻ ْﻢِّﻠَﺳَﻭ ْﻙِﺭﺎَﺑَﻭ ﺎَﻧِﺪِّﻴَﺳ َﻰﻠَﻋ ٍﺪَّﻤَﺤُﻣ َﻰﻠَﻋَﻭ ِﻪِﻟﺁ َﺩَﺪَﻋ ِﻡﺎَﻌْﻧِﺇ ِﻪﻠﻟﺍ ِﻪِﻟﺎَﻀْﻓِﺇَﻭ “Ya Allah berikanlah shalawat, salam dan berkah kepada baginda kami Muhammad dan kepada keluarganya, sejumlah kenikmatan Allah dan keutamaan-Nya.” Berkata An-Nabhani menukil dari Syaikh Ahmad Ash-Shawi: “Ini adalah shalawat Al-In’ am. Dan ini termasuk pintu-pintu kenikmatan dunia dan akhirat, dan pahalanya tidak terhitung.” (Mahabbatur Rasul 288) F. Shalawat Badar Lafadz shalawat ini sebagai berikut: shalatullah salamullah ‘ ala thoha rosulillah shalatullah salamullah ‘ ala yaasiin habibillah tawasalnaa bibismillah wa bil hadi rosulillah wa kulli majahid fillah bi ahlil badri ya Allah Shalawat Allah dan salam-Nya semoga tercurah kepada Thaha Rasulullah Shalawat Allah dan salam-Nya semoga tercurah kepada Yasin Habibillah Kami bertawassul dengan nama Allah dan dengan pemberi petunjuk, Rasulullah Dan dengan seluruh orang yang berjihad di jalan Allah, serta dengan ahli Badr, ya Allah Dalam ucapan shalawat ini terkandung beberapa hal: 1. Penyebutan Nabi dengan habibillah 2. Bertawassul dengan Nabi 3. Bertawassul dengan para mujahidin dan ahli Badr Point pertama telah diterangkan kesalahannya secara jelas pada rubrik Tafsir. Pada point kedua, tidak terdapat satu dalilpun yang shahih yang membolehkannya. Allah Idan Rasul-Nya tidak pernah mensyariatkan. Demikian pula para shahabat (tidak pernah mengerjakan). Seandainya disyariatkan, tentu Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam telah menerangkannya dan para shahabat melakukannya. Adapun hadits: “Bertawassullah kalian dengan kedudukanku karena sesungguhnya kedudukan ini besar di hadapan Allah”, maka hadits ini termasuk hadits maudhu’ (palsu) sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah dan Asy-Syaikh Al-Albani. Adapun point ketiga, tentunya lebih tidak boleh lagi karena bertawassul dengan Nabi shallallhu ‘ alaihi wa sallam saja tidak diperbolehkan. Yang dibolehkan adalah bertawassul dengan nama Allah di mana Allah Subhanahu wa Ta’ ala berfirman: َﻭ ِﻪﻠﻟ ُﺀﺂﻤْﺳَﻷﺍ َﻦْﺴُﺤْﻟﺍ ُﻩْﻮُﻋْﺩﺎَﻓ َﺎﻬِﺑ “Dan hanya milik Allah-lah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu.” (Al-A’ raf: 180) Demikian pula di antara doa Nabi: “Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan segala nama yang Engkau miliki yang Engkau namai diri-Mu dengannya. Atau Engkau ajarkan kepada salah seorang hamba-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau simpan di sisi-Mu dalam ilmu yang ghaib.” (HR. Ahmad, Abu Ya’ la dan lainnya, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 199) Bertawassul dengan nama Allah seperti ini merupakan salah satu dari bentuk tawassul yang diperbolehkan. Tawassul lain yang
juga diperbolehkan adalah dengan amal shalih dan dengan doa orang shalih yang masih hidup (yakni meminta orang shalih agar mendoakannya). Selain itu yang tidak berdasarkan dalil, termasuk tawassul terlarang. Jenis-jenis shalawat di atas banyak dijumpai di kalangan sufiyah. Bahkan dijadikan sebagai materi yang dilombakan di antara para tarekat sufi. Karena setiap tarekat mengklaim bahwa mereka memiliki do’ a, dzikir, dan shalawat-shalawat yang menurut
mereka mempunyai sekian pahala. Atau mempunyai keutamaan bagi yang membacanya yang akan menjadikan mereka dengan cepat kepada derajat para wali yang shaleh. Atau menyatakan bahwa termasuk keutamaan wirid ini karena syaikh tarekatnya telah mengambilnya dari Nabi shallallahu alaihi wasallam secara langsung dalam keadaan sadar atau mimpi. Di mana, katanya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menjanjikan bagi yang membacanya kedekatan dari beliau, masuk jannah (surga) ,dan yang lainnya dari sekian propaganda yang tidak bernilai sedikitpun dalam timbangan syariat. Sebab, syariat ini tidaklah diambil dari mimpi-mimpi. Dan karena Rasul tidak memerintahkan kita dengan perkara-perkara tersebut sewaktu beliau masih hidup. Jika sekiranya ada kebaikan untuk kita, niscaya beliau telah menganjurkannya kepada kita. Apalagi apabila model shalawat tersebut sangat bertentangan dengan apa yang beliau bawa, yakni menyimpang dari agama dan sunnahnya. Dan yang semakin menunjukkan kebatilannya, dengan adanya wirid-wirid bid’ ah ini menyebabkan terhalangnya mayoritas kaum muslimin untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah yang justru disyari’ atkan yang telah Allah jadikan sebagai jalan mendekatkan diri kepada-Nya dan memperoleh keridhaannya. Berapa banyak orang yang berpaling dari Al Qur’ an dan mentadabburinya disebabkan tenggelam dan ‘ asyik’ dengan wirid bid’ ah ini? Dan berapa banyak dari mereka yang sudah tidak peduli lagi untuk menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena tergiur dengan pahala ‘ instant’ yang berlipat ganda. Berapa banyak yang lebih mengutamakan majelis-majelis dzikir bid’ ah semacam buatan Arifin Ilham daripada halaqah yang di dalamnya membahas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Laa haula walaa quwwata illaa billah.

melafazkan niat ketika shalat

Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi`i rahimahullah ditanya : “Apakah melafazkan niat termasuk perkara yang diada-adakan dalam agama (bid`ah), sementara di dalam kitab al-Umm disebutkan keterangan hal ini secara samar (yakni niat harus dilafazkan) ? Jelaskan pada kami tentang permasalahan ini, Jawab : Melafazkan niat teranggap sebagai perbuatan yang diada-adakan dalam agama (bid`ah), sementara Allah telah berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia : Katakanlah: Apakah kalian akan memberitahukan kepada Allah tentang agama kalian? Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam bersabda kepada orang yang jelek shalatnya : Apabila engkau berdiri untuk shalat, maka bertakbirlah. Di sini beliau tidak mengatakan kepada orang tersebut: “Katakanlah aku berniat” (sebelum mengucapkan takbir). Ketahuilah ibadah shalat, wudhu’ , dan juga ibadah-ibadah yang lainnya memang tidak sah kecuali dengan niat. Oleh karena itu dalam pelaksanaan ibadah seluruhnya haruslah ada niat, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam : Sesungguhnya setiap amalan itu harus disertai dengan niat. Namun perlu diketahui niat itu tempatnya di hati dan keliru bila dikatakan bahwa di dalam kitab Al-Umm disebutkan tentang melafazkan niat. Ini salah, bahkan hal ini tidak ada di dalam kitab Al-Umm tersebut.(Ijabatus Sa-il hal. 27) Berkata Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahullah : Nabi Shallallahu ‘ alaihi wasallam bila berdiri untuk shalat, beliau langsung mengucapkan Allahu Akbar dan tidak mengucapkan apa pun sebelumnya, juga tidak melafazkan niat sama sekali. Beliau juga tidak mengatakan : Aku tunaikan untuk Allah shalat ini dengan menghadap kiblat empat rakaat sebagai imam atau makmum. Melafazkan niat ini termasuk perbuatan yang diada-adakan dalam agama (bid’ ah). Tidak ada seorang pun yang menukilkan hal tersebut dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam baik dengan sanad yang sahih, dha’ if, musnad (bersambung sanadnya) atau pun mursal (terputus sanadnya). Bahkan tidak ada nukilan dari para sahabat. Begitu pula tidak ada salah seorang pun dari kalangan tabi’ in maupun imam yang empat yang menganggap baik hal ini. Hanya saja sebagian mutaakhirin (orang-orang sekarang) keliru dalam memahami ucapan Imam Syafi’ i – semoga Allah meridhainya – tentang shalat. Beliau mengatakan: “Shalat itu tidak seperti zakat. Tidak boleh seorang pun memasuki shalat ini kecuali dengan zikir”. Mereka menyangka bahwa zikir yang dimaksud adalah ucapan niat seorang yang shalat. Padahal yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’ i – semoga Allah merahmatinya – dengan zikir ini tidak lain adalah takbiratul ihram.
Bagaimana mungkin Imam Syafi’ i menyukai perkara yang tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam dalam satu shalat pun, begitu pula oleh para khalifah beliau dan para sahabat yang lain. Inilah petunjuk dan jalan hidup mereka. Kalau ada seseorang yang bisa menunjukkan kepada kita satu huruf dari mereka tentang perkara ini, maka kita akan menerimanya dan menyambutnya dengan ketundukan dan penerimaan. Karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk mereka, dan tidak ada sunnah kecuali yang diambil dari pemilik syari’ at Shallallahu ‘ alaihi wasallam. (Zaadul Ma`ad : 1/201)

Mengucapkan “Sodaqollahul Adzim” Setelah Membaca Al Qur’ an

Dasar agama Islam ialah hanya beramal dengan Kitabullah dan Sunnah rasulNya. Keduanya adalah sebagai marja’ – rujukan- setiap perselisihan yang ada di tengah-tengah kaum muslimin. Siapa yang tidak mengembalikan kepada keduanya maka dia bukan seorang mukmin. Allah berfirman, “Maka demi Rabmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS An Nisa : 65). Telah mafhum bersama bahwa Allah menciptakan manusia bukan untuk suatu urusan yang sia-sia, tetapi untuk satu tujuan agung yang kemaslahatannya kembali kepada manusia yaitu agar beribadah kepadaNya. Kemudian tidak hanya itu saja, tetapi Allah juga mengutus rasulNya untuk menerangkan kepada manusia jalan yang lurus dan memberikan hidayah – dengan izin Allah- kepada sirotil azizil hamid. Allah berfirman, “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS An Nahl : 64). Sungguh, betapa besar rahmat Allah kepada kita, dengan diutusnya Rasulullah, Allah telah menyempurnakan agama ini. Allah telah berfirman, “… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni’ matKu dan telah Kuridhoi islam itu jadi agama bagimu…” (QS Al Maidah : 3). Tak ada satu syariatpun yang
Allah syariatkan kepada kita melainkan telah disampaikan oleh rasulNya. Aisyah berkata kepada Masyruq, “Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa Muhammad itu telah menyembunyikan sesuatu yang Allah telah turunkan padanya, maka sungguh ia talah berdusta !” (HR. Bukhori Muslim). Berkat Al Imam As Syatibi, “Tidaklah Nabi meninggal kecuali beliau telah menyampaikan seluruh apa yang dibutuhkan dari urusan dien dan dunia…” Berkat Ibnu Majisyun, “Aku telah mendengar Malik berkata, “Barang siapa yang membuat bid’ ah (perkara baru dalam Islam), kemudian menganggapnya baik, maka sungguh dia telah mengira bahwa Muhammad telah menghianati risalah, karena Allah telah berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan unutukmu agamamu…””” (QS Al Maidah : 3). Kaum muslimin – rahimakumullah-, sahabat Ibnu Mas’ ud telah berkata, “Ikutilah, dan jangan kalian membuat perkara baru !”. Suatu peringatan tegas dimana kita tidak perlu untuk menambah– nambah sesuatu yang baru atau bahkan mengurangi sesuatu dalam hal agama. Banyak
ide atau atau anggapan– anggapan baik dalam agama yang tidak ada contohnya bukanlah perbuatan terpuji yang akan mendatangkan pahala, tetapi justru yang demikian itu berarti menganggap kurang atas syariat yang telah dibawa oleh rasulullah, dan bahkan yang demikian itu dianggap telah membuat syariat baru. Seperti perkataan Iman Syafi’ i, ”Siapa yang membuat anggapan- anggapan baik dalam agama sungguh ia telah membuat syariat baru.” Ucapan “sodaqollahul adzim” setelah membaca Al Quran atau satu ayat darinya bukanlah hal yang asing di kalangan kita kaum muslimin -sangat disayangkan-. Dari anak kecil sampai orang tua , pria atau wanita sudah biasa mengucapkan itu. Tak ketinggalan pula – sayangnya- para qori Al Quran dan para khotib di mimbar-mimbar juga mengucapkannya bila selesai membaca satu atau dua ayat AlQuran. Ada apa memangnya dengan kalimat itu ? Kaum muslimin – rahimakumullah-, mengucapkan “sodaqollahul adzim” setelah selasai membaca Al Quran baik satu ayat atau lebih adalah bid’ ah, perhatikanlah keterangan- keterangan berikut ini. Pertama Dalam shahih Bukhori no. 4582 dan shahih Muslim no. 800, dari hadits Abdullah bin Mas’ ud berkata, “Berkata Nabi kepadaku, “Bacakanlah padaku.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku bacakan kepadamu sedangkan kepadamu telah diturunkan?” beliau menjawab, “ya”. Maka aku membaca surat An Nisa hingga ayat “Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu) .” (QS An Nisa : 41) beliau berkata, “cukup”. Lalu aku (Ibnu Masud) menengok kepadanya ternyata kedua mata beliau berkaca-kaca.” Sahabat Ibnu Mas’ ud dalam hadits ini tidak menyatakan “sodaqollahul adzim” setelah membaca surat An Nisa tadi. Dan tidak pula Nabi memerintahkannya untuk menyatakan “sodaqollahul adzim”, beliau hanya mengatakan kepada Ibnu Mas’ ud “cukup”. Kedua Diriwayatkan oleh Bukhori dalam shahihnya no. 6 dan Muslim no. 2308 dari sahabat Ibnu Abbas beliau berkata, “Adalah Rasulullah orang yang paling giat dan beliau lebih giat lagi di bulan ramadhan, sampai saat Jibril menemuinya – Jibril selalu menemuinya tiap malam di Bulan Ramadhan- bertadarus Al Quran bersamanya”. Tidak dinukil satu kata pun bahawa Jibril atau Nabi Muhammad ketika selesai qiroatul
Quran mengucapkan “sodaqollahul adzim”. Ketiga Diriwayatkan oleh Bukhori dalam shahihnya no. 3809 dan Muslim no. 799 dari hadits Anas bin Malik – radiyallahu anhuma-, “Nabi berkata kepada Ubay, “Sesungguhnya Allah menyuruhku untuk membacakan kepadamu “lam yakunil ladzina kafaru min ahlil kitab” (“Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya)…”) (QS Al Bayyinah : 1). Ubay berkata , ”menyebutku ?” Nabi menjawab, “ya”, maka Ubay pun menangis”. Nabi tidak mengucapkan “sodaqollahul adzim” setelah membaca ayat itu. Keempat Diriwayatkan oleh Bukhori dalam shahihnya no. 4474 dari hadits Raafi’ bin Al Ma’ la – radiyallahu anhuma- bahwa Nabi bersabda, “Maukah engkau kuajari surat yang paling agung dalam Al Quran
sebelum aku pergi ke masjid ?” Kemudian beliau (Nabi) pergi ke masjid, lalu aku mengingatkannya dan beliau berkata, “Alhamdulillah, ia (surat yang agung itu) adalah As Sab’ ul Matsaani dan Al Quranul Adzim yang telah diberikan kepadaku.” Beliau tidak mengatakan “sodaqollahul adzim”. Kelima Terdapat dalam Sunan Abi Daud no. 1400 dan Sunan At Tirmidzi no. 2893 dari hadits Abi Hurairah dari Nabi, beliau bersabda, “Ada satu surat dari Al Quran banyaknya 30 ayat akan memberikan syafaat bagi pemiliknya – yang membacanya/ mengahafalnya- hingga ia akan diampuni, “tabaarokalladzii biyadihil mulk” (“Maha Suci Allah yang ditanganNyalah segala kerajaan…”) (QS Al Mulk : 1). Nabi tidak mengucapkan “sodaqollahul adzim” setelah membacanya. Keenam Dalam Shahih Bukhori no. 4952 dan Muslim no. 494 dari hadits Baro’ bin ‘ Ajib berkata, “Aku mendengar Rasulullah membaca di
waktu Isya dengan “attiini waz zaituun” , aku tidak pernah mendengar seorangpun yang lebih indah suaranya darinya”. Dan beliau tidak mengatakan setelahnya “sodaqollahul adzim”. Ketujuh Diriwatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya no. 873 dari hadits Ibnat Haritsah bin An Nu’ man berkata, “Aku tidak mengetahui/hafal “qaaf wal qur’ aanil majiid” kecuali dari lisan rasulullah, beliau berkhutbah dengannya pada setiap Jumat”. Tidak dinukil beliau mengucapkan setelahnya “sodaqollahul adzim” dan tidak dinukil pula ia (Ibnat Haritsah) saat membaca surat “qaaf” mengucapkan “sodaqollahul adzim”. Jika kita mau menghitung surat dan ayat-ayat yang dibaca oleh Rasulullah dan para sahabatnya serta para tabiin dari generasi terbaik umat ini, dan nukilan bahwa tak ada satu orangpun dari mereka yang mengucapkan “sodaqollahul adzim” setelah membacanya maka akan sangat banyak dan panjang. Namun cukuplah apa yang kami nukilkan dari mereka yang menunjukkan bahwa mengucapkan “sodaqollahul adzim” setelah membaca Al Quran atau satu ayat darinya adalah bid’ ah – perkara yang baru- yang tidak pernah ada dan di dahului oleh genersi pertama. Kaum muslimin – rahimakumullah-, satu hal lagi yang perlu dan penting untuk diperhatikan bahwa meskipun ucapan “sodaqollahul adzim” setelah qiroatul Quran adalah bid’ ah, namun kita wajib meyakini dalam hati perihal maknanya bahwa Allah maha benar dengan seluruh firmannya, Allah berfirman, “Dan siapa lagi yang lebih baik perkataanya daripada Allah”, dan Allah berfirman, “Dan siapa lagi yang lebih baik perkataanya dari pada Allah”. Barang siapa yang mendustakanya – firman Allah- maka ia kafir atau munafiq. Semoga Allah senantiasa mengokohkan kita diatas Al Kitab dan Sunnah dan Istiqomah diatasnya. Wal ilmu indallah

Selasa, April 05, 2011

JADIKAN AL QURAN DAN SUNNAH DI DEPAN MU !

Allah Subhanahu wa Ta’ ala berfirman dalam Al-Qur`an Al-
Karim, “Takutlah kalian kepada fitnah yang tidak hanya menimpa
orang-orang yang zhalim
diantara kalian secara
khusus.” [ Al-Anfal: 25 ] Ayat ini merupakan pokok
penjelasan dalam fitnah. Karena
itu Imam Al-Bukhary dalam Shahih -nya memulai Kitabul Fitan (kitab penjelasan tentang
fitnah-fitnah) dengan
penyebutan ayat ini. Firman Allah Ta’ ala, “Takutlah kalian kepada fitnah … ,” menunjukkan kewajiban seorang
muslim untuk berhati-hati
menghadapi fitnah dan
menjauhinya dan tentunya
seseorang tidak bisa menjauhi
fitnah itu kecuali dengan mengetahui dua perkara: 1. Apa-apa saja yang
dianggap fitnah di dalam
syariat Islam. 2. Pijakan, cara atau langkah
dalam meredam atau
menjauhi fitnah tersebut. Kemudian Ibnu Katsir
rahimahullah berkata dalam
menafsirkan ayat ini, “Ayat ini, walaupun merupakan
pembicaraan yang ditujukan
kepada para shahabat Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam, akan tetapi ayat ini
berlaku umum pada setiap muslim
karena Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam men-tahdzir
(memperingatkan) dari fitnah.” Kata fitnah dalam konteks ayat
datang dalam bentuk nakirah
(umum), sehingga mempunyai
makna yang umum, menyangkut
segala sesuatu yang merupakan
fitnah bagi manusia. Imam Al-Alusy, ketika
menafsirkan kata fitnah dalam
ayat ini, berkata, “Fitnah ditafsirkan (oleh para ulama
salaf) dengan beberapa perkara,
di antaranya Mudahanah dalam
amar ma’ ruf dan nahi mungkar, dan diantaranya perselisihan dan
perpecahan, dan diantaranya
meninggalkan pengingkaran
terhadap bid’ ah-bid’ ah yang muncul dan lain-lainnya.” Kemudian beliau berkata, “Setiap makna tergantung dari
konsekuensi keadaannya.” Dan dikatakan di dalam ayat,
“takutlah kalian … ,” menunjukkan bahwa fitnah itu buta dan tuli,
tidak pandang bulu, serta dapat
menimpa siapa saja. Berkata
Imam Asy-Syaukany dalam Tafsir -nya, “Yaitu takutlah kalian kepada fitnah yang
melampaui orang-orang yang
zhalim sehingga menimpa orang
shalih dan orang thalih ‘ tidak shalih’ dan timpahan fitnah itu tidak khusus bagi orang yang
langsung berbuat kezhaliman
tersebut di antara kalian.” Definisi Fitnah Fitnah dalam syariat Islam
mempunyai beberapa makna: Pertama, Bermakna syirik, seperti dalam firman Allah Ta’ ala, “Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah dan sampai
agama semuanya untuk
Allah.” [ Al-Baqarah: 193 ] Yaitu hingga tidak ada lagi
kesyirikan. Juga Allah berfirman, “Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.” [ Al-Baqarah: 217 ] Kedua, Bermakna siksaan dan adzab, seperti dalam firman Allah
Ta’ ala, “ (Dikatakan kepada mereka), ‘ Rasakanlah fitnahmu itu. Inilah
fitnah yang dahulu kamu minta
supaya disegerakan. ’ .” [ Adz- Dzariyat: 14 ] Dan Allah Jalla Jalaluhu berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan fitnah
kepada orang-orang yang mu k
min laki-laki dan perempuan
kemudian mereka tidak
bertaubat, maka bagi mereka
adzab Jahannam dan bagi mereka adzab (neraka) yang
membakar.” [ Al-Buruj: 10 ] Makna fitnah dalam dua ayat ini
adalah siksaan dan adzab. Ketiga , Bermakna ujian dan cobaan, seperti dalam firman
Allah Ta’ ala, “Dan kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan
sebagai fitnah (yang sebenar-
benarnya).” [ Al-Anbiya`: 35 ] Allah Jalla Wa ’ Ala menyatakan pula dalam firman-Nya, “Sesungguhnya harta-harta kalian dan anak-anak kalian itu
hanyalah merupakan
fitnah.” [ Al-Anfal: 28 ] Keempat , Bermakna musibah dan balasan, sebagaimana
tafsiran para ulama dalam surah
Al-Anfal ayat 25 di atas, “Takutlah kalian kepada fitnah yang tidak hanya menimpa
orang-orang yang zhalim
diantara kalian secara khusus.” (Lihat Mauqiful Mu’ min Minal Fitan Karya Syaikh ‘ Abdul ‘ Aziz bin Baz dan Mufradat Al- Qur`an karya Ar-Raghib Al- Ashbahany) Demikianlah def i nisi fitnah,
tetapi harus diketahui oleh
setiap muslim bahwa fitnah yang
ditimpakan oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ ala itu mempunyai hikmah di belakangnya. Allah ‘ Azza wa Jalla berfirman, “ Alif Lam Mim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka
dibiarkan (saja) mengatakan,
‘ Kami telah beriman,’ sedang mereka tidak diuji lagi? Dan
sesungguhnya Kami telah menguji
orang-orang yang sebelum
mereka, maka sesungguhnya
Allah mengetahui orang-orang
yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang
yang dusta.” [ Al-‘ Ankabut: 1-3 ] Berikut ini kami akan
menyebutkan beberapa kaidah-
kaidah pokok yang harus
dipegang oleh setiap muslim
dalam menghadapi fitnah. Kaidah Pertama, Pada setiap perselisihan merujuk pada Al-
Qur`an dan Sunnah sesuai
dengan pemahaman para ulama
salaf. Allah Subhanahu Wa Ta’ ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara
kalian. Kemudian jika kalian
berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.” [ An- Nisa`: 59 ] Dan Allah Jalla Tsana`uhu
berfirman, “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan
janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya.
Amat sedikitlah kamu mengambil
pelajaran (darinya).” [ Al-A’ raf: 3 ] Kemudian di dalam hadits Abu
Hurairah, Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda, ﺍﻮﻠﻀﺗ ﻦﻟ ﻦﻴﺌﻴﺷ ﻢﻜﻴﻓ ﺖﻛﺮﺗ ﻲﺘﻨﺳﻭ ﻪﻠﻟﺍ ﺏﺎﺘﻛ ﺎﻤﻫﺪﻌﺑ “Saya tinggalkan pada kalian dua perkara, yang kalian tidak akan
sesat di belakang keduanya,
(yaitu) kitab Allah dan
Sunnahku.” (HR. Malik dan Al- Hakim dan dihasankan oleh
Syaikh Al-Albany dalam Al- Misykah ) Kemudian Allah Ta’ ala menyatakan, “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu
hakim dalam perkara yang
mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan
dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan
sepenuhnya”. [ An-Nisa`: 65 ] Ingatlah bahwa menentang Allah
dan Rasul-Nya adalah sebab
kehinaan. Allah Subhanahu wa
Ta’ ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-
Nya, mereka termasuk orang-
orang yang sangat hina.” [ Al- Mujadilah: 20 ] Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam juga mengingatkan
dalam hadits Ibnu ‘ Umar, ﻢﺗﺬﺧﺃﻭ ﺔﻨﻴﻌﻟﺎﺑ ﻢﺘﻌﻳﺎﺒﺗ ﺍﺫﺇ ﻉﺭﺰﻟﺎﺑ ﻢﺘﻴﺿﺭﻭ ﺮﻘﺒﻟﺍ ﺏﺎﻧﺫﺃ ﻪﻠﻟﺍ ﻂﻠﺳ ﺩﺎﻬﺠﻟﺍ ﻢﺘﻛﺮﺗﻭ ﻰﺘﺣ ﻪﻋﺰﻨﻳ ﻻ ﻻﺫ ﻢﻜﻴﻠﻋ ﻢﻜﻨﻳﺩ ﻰﻟﺇ ﺍﻮﻌﺟﺮﺗ “Apabila kalian telah berjual beli dengan cara `inah ‘ menjual barang dengan cara kredit
kepada seseorang kemudian ia
kembali membelinya dari orang
itu dengan harga kontan lebih
murah dari harga kredit tadi-
pent’ dan kalian telah ridha dengan perkebunan dan kalian
telah mengambil ekor-ekor (sibuk
beternak?) sapi dan kalian
meninggalkan jihad, maka Allah
akan menimpakan kepada kalian
suatu kehinaan yang tidak akan diangkat sampai kalian kembali
kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawuddan lain-lainnya dan
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany
dalam Ash-Shahihah no. 11) Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam juga mengingatkan
dalam hadits beliau, ﻰﻠﻋ ﺭﺎﻐﺼﻟﺍﻭ ﻝﺬﻟﺍ ﻞﻌﺟﻭ ﻱﺮﻣﺃ ﻒﻟﺎﺧ ﻦﻣ “Dan telah dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi orang yang
menyelisihi perintahku.” (Hadits hasan dari seluruh jalan-jalannya.
Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany
dalam Al-Irwa` no. 1269) Ketahuilah bahwa menyelisihi
Allah dan Rasul-Nya adalah sebab
turunnya musibah dan siksaan
dan sebab kehancuran dan
kesesatan. Allah Al-Wahid Al-
Qahhar menegaskan dalam firman-Nya, “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul
takut akan ditimpa cobaan atau
ditimpa azab yang pedih.” [ An- Nur: 63 ] Juga dalam hadits Abu Hurairah
riwayat Bukhary-Muslim,
Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam menyatakan, ﺎﻣﻭ ﻩﻮﺒﻨﺘﺟﺎﻓ ﻪﻨﻋ ﻢﻜﺘﻴﻬﻧ ﺎﻣ ﺎﻣ ﻪﻨﻣ ﺍﻮﻠﻌﻓﺎﻓ ﻪﺑ ﻢﻜﺗﺮﻣﺃ ﻦﻳﺬﻟﺍ ﻚﻠﻫﺃ ﺎﻤﻧﺈﻓ ﻢﺘﻌﻄﺘﺳﺍ ﻢﻬﻠﺋﺎﺴﻣ ﺓﺮﺜﻛ ﻢﻜﻠﺒﻗ ﻦﻣ ﻢﻬﺋﺎﻴﺒﻧﺃ ﻰﻠﻋ ﻢﻬﻓﻼﺘﺧﺍﻭ “Apapun yang saya melarang kalian darinya maka jauhilah hal
tersebut dan apapun yang saya
perintahkan kepada kalian maka
laksanakanlah semampu kalian.
Sesungguhnya yang
menghancurkan orang-orang sebelum kalian hanyalah
banyaknya pertanyaan mereka
dan penyelisihan mereka
terhadap para Nabinya.” Kemudian Abu Bakr Ash-Shiddiq
radhiyallahu ‘ anhu berkata, ﻝﻮﺳﺭ ﻥﺎﻛ ﺎﺌﻴﺷ ﺎﻛﺭﺎﺗ ﺖﺴﻟ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻲﻧﺇ ﻪﺑ ﺖﻠﻤﻋ ﻻﺇ ﻪﺑ ﻞﻤﻌﻳ ﻦﻣ ﺎﺌﻴﺷ ﺖﻛﺮﺗ ﻥﺇ ﻰﺸﺧﺃ ﻎﻳﺯﺃ ﻥﺃ ﻩﺮﻣﺃ “Tidaklah saya meninggalkan sesuatu apapun yang Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wa ‘ alihi wa sallam mengerjakannya kecuali
saya kerjakan karena saya
takut kalau saya meninggalkan
sesuatu dari perintah beliau saya
akan menyimpang.” (HSR. Bukhary-Muslim) Memahami Al-Qur`an dan As-
Sunnah harus dengan
pemahaman para ulama Salaf.
Allah Jalla Fi ‘ Ulahu berfirman, “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, Kami
biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam,
dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali”. [ An-Nisa`: 115 ] Juga dalam hadits yang
mutawatir, Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda, ﻦﻳﺬﻟﺍ ﻢﺛ ﻲﻧﺮﻗ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﺮﻴﺧ ﻢﻬﻧﻮﻠﻳ ﻦﻳﺬﻟﺍ ﻢﺛ ﻢﻬﻧﻮﻠﻳ “Sebaik-baik manusia adalah
zamanku, kemudian zaman setelahnya kemudian zaman setelahnya.” Beliau menyatakan pula, ﻯﺪﺣﺇ ﻰﻠﻋ ﺩﻮﻬﻴﻟﺍ ﺖﻗﺮﺘﻓﺍ ﺖﻗﺮﺘﻓﺍﻭ ﺔﻗﺮﻓ ﻦﻴﻌﺒﺳﻭ ﻦﻴﻌﺒﺳﻭ ﻦﻴﺘﻨﺛ ﻰﻠﻋ ﻯﺭﺎﺼﻨﻟﺍ ﻕﺮﺘﻔﺘﺳ ﻲﺘﻣﺃ ﻥﺇﻭ ﺔﻗﺮﻓ ﺎﻬﻠﻛ ﺔﻗﺮﻓ ﻦﻴﻌﺒﺳﻭ ﺙﻼﺛ ﻰﻠﻋ ﻲﻫﻭ ﺓﺪﺣﺍﻭ ﻻﺇ ﺭﺎﻨﻟﺍ ﻲﻓ ﺔﻋﺎﻤﺠﻟﺍ “Telah terpecah orang– orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu
firqah ‘ golongan ’ dan telah terpecah orang-orang Nashara
menjadi tujuh puluh dua firqah
dan sesungguhnya umatku akan
terpecah menjadi tujuh puluh
tiga firqah. Semuanya dalam
neraka kecuali satu dan ia adalah Al-Jama’ ah.” (Hadits shahih, dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albany dalam Zhilalul Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash- Shahih Al-Musnad Mimma
Laisa Fi Ash-Shahihain - rahimahumallahu-) Karena itulah, Imam Ahmad
rahimahullah berkata, “Pokok sunnah di sisi kami adalah
berpegang teguh di atas apa
yang para shahabat berada di
atasnya dan mengikuti mereka.” Lihat Syarh Ushul I’ tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ ah 1/176. Allahu Akbar …! Betapa kuatnya pijakan seorang muslim bila ia
berpegang teguh dengan Al
Qur`an dan Sunnah sesuai
dengan pemahaman para ulama
salaf. Ini merupakan senjata yang
paling ampuh dan tameng yang paling kuat dalam menghadapi
dan menangkis setiap fitnah
yang datang. Sejarah telah
membuktikan bagaimana orang-
orang yang berpegang teguh
kepada Al Qur`an dan Sunnah selamat dari fitnah dan mereka
tetap kokoh di atas jalan yang
lurus. Lihatlah kisah Abu Bakar Ash-
Shiddiq radhiyallahu ‘ anhu , ketika Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wa alihi wa sallam mengirim Usamah bin Zaid untuk memimpin
700 orang dalam menggempur
kerajaan Rum. Ketika pasukan
tersebut tiba di suatu tempat
yang bernama Dzu Khasyab,
Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam meninggal. Maka
mulailah orang-orang Arab di
sekitar Madinah murtad dari
agama sehingga para shahabat
mengkhawatirkan keadaan kota
Madinah. Lalu para shahabat berkata kepada Abu Bakar,
“Wahai Abu Bakar, kembalikan pasukan yang dikirim ke
kerajaan Rum itu, apakah
mereka diarahkan ke Rum
sedang orang-orang Arab di
sekitar Madinah telah murtad?” Maka Abu Bakar radhiyallahu
‘ anhu berkata, “Demi yang tidak ada sesembahan yang berhak
selain-Nya, andaikata anjing-
anjing telah berlari di kaki-kaki
para istri Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wa alihi wa sallam , saya tidak akan menarik suatu
pasukan pun yang dikirim oleh
Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dan saya tidak
akan melepaskan bendera yang
diikat oleh Rasulullah.” Lihat bagaimana gigihnya Abu
Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu
‘ anhu berpegang dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dalam kondisi yang
sangat genting seperti ini dan
betapa kuatnya keyakinan beliau
akan kemenangan orang yang
menjalankan perintah-Nya. Maka yang terjadi setelah itu,
setiap kali pasukan Usamah bin
Zaid melewati suatu suku yang
murtad, suku yang murtad itu
berkata, “Andaikata mereka itu tidak mempunyai kekuatan,
tentu tidak akan keluar pasukan
sekuat ini dari mereka. Tetapi
kita tunggu sampai mereka
bertempur melawan kerajaan
Rum.” Lalu bertempurlah pasukan Usamah bin Zaid menghadapi
kerajaan Rum dan pasukan
Usamah berhasil mengalahkan
dan membunuh mereka. Kemudian
kembalilah pasukan Usamah
dengan selamat dan orang-orang yang akan murtad itu tadi tetap
di atas Islam. (Baca kisah ini dalam Madarik An-Nazhar hal. 51-52 cet. kedua) Maka lihatlah, wahai orang-orang
yang menghendaki keselamatan!
Peganglah kaidah pertama ini
dengan baik, niscaya engkau
akan selamat dari fitnah di dunia
dan di akhirat. Kaidah Kedua, merujuk kepada para ulama. Allah Al-Hakim Al-‘ Alim mengisahkan tentang Qarun
dalam firman-Nya, “Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya.
Berkatalah orang-orang yang
menghendaki kehidupan dunia,
‘ Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang
telah diberikan kepada Qarun;
sesungguhnya ia benar-benar
mempunyai keberuntungan yang
besar.’ Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu, ‘ Celakalah kalian, pahala Allah adalah lebih
baik bagi orang-orang yang
beriman dan beramal shalih, dan
tidak diperoleh pahala itu kecuali
oleh orang-orang yang sabar.’ Maka Kami benamkanlah Qarun
beserta rumahnya ke dalam
bumi. Maka tidak ada baginya
suatu golongan pun yang
menolongnya terhadap adzab
Allah. dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat)
membela (dirinya).” [ Al- Qashash: 79-81 ] Karena itulah Imam Hasan Al-
Bashry berkata, “Sesungguhnya bila fitnah itu datang, diketahui
oleh setiap ‘ alim (ulama), dan apabila telah terjadi (lewat),
maka baru diketahui oleh orang-
orang yang jahil.” Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda pula
dalam hadits ‘ Ubadah bin Shamit riwayat Imam Ahmad dan lain-
lain, ﻞﺠﻳ ﻢﻟ ﻦﻣ ﻲﺘﻣﺃ ﻦﻣ ﺲﻴﻟ ﻑﺮﻌﻳﻭ ﺎﻧﺮﻴﻐﺻ ﻢﺣﺮﻳﻭ ﺎﻧﺮﻴﺒﻛ ﻪﻘﺣ ﺎﻨﻤﻟﺎﻌﻟ “Bukan dari ummatku siapa yang tidak menghormati orang yang
besar dari kami dan tidak
merahmati orang yang kecil dari
kami dan tidak mengetahui hak
orang yang alim dari
kami.” (Dihasankan oleh Syaikh Al Albany dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir ) Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam juga bersabda
dalam hadits Ibnu ‘ Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Al Hakim,
Ibnu Hibban dan lain-lain, ﻢﻛﺮﺑﺎﻛﺃ ﻊﻣ ﺔﻛﺮﺒﻟﺍ “Berkah itu bersama orang- orang besarnya
kalian.” (Dishahihkan oleh Syaikh Al Albany dalam Silsilah Ahadits Ash Shahihah no. 1778) Fitnah akan bermunculan apabila
para ulama sudah tidak lagi
dijadikan sebagai rujukan,
sebagaimana dalam hadits Abu
Hurairah riwayat Ibnu Majah dan
lain-lainnya, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda, ﺕﺍﻮﻨﺳ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﻲﺗﺄﻴﺳ ﺏﺫﺎﻜﻟﺍ ﺎﻬﻴﻓ ﻕﺪﺼﻳ ﺕﺎﻋﺍﺪﺧ ﻦﻤﺗﺆﻳﻭ ﻕﺩﺎﺼﻟﺍ ﺎﻬﻴﻓ ﺏﺬﻜﻳﻭ ﺎﻬﻴﻓ ﻥﻮﺨﻳﻭ ﻦﺋﺎﺨﻟﺍ ﺎﻬﻴﻓ ﺎﻬﻴﻓ ﻖﻄﻨﻳﻭ ﻦﻴﻣﺄﻟﺍ ﺔﻀﺒﻳﻭﺮﻟﺍ ﺎﻣﻭ ﻞﻴﻗ ﺔﻀﺒﻳﻭﺮﻟﺍ ﻲﻓ ﻢﻠﻜﺘﻳ ﻪﻓﺎﺘﻟﺍ ﻞﺟﺮﻟﺍ ﻝﺎﻗ ﺔﻣﺎﻌﻟﺍ ﺮﻣﺃ “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang menipu, akan
dipercaya/dibenarkan padanya
orang yang berdusta dan
dianggap berdusta orang yang
jujur, orang yang berkhianat
dianggap amanah dan orang yang amanah dianggap
berkhianat dan akan berbicara
Ar-Ruwaibidhah. Ditanyakan, ‘ Siapakah Ar-Ruwaibidhah itu? ’ Beliau berkata, ‘ Orang yang bodoh berbicara dalam perkara
umum.” (Dishahihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahih Al- Musnad Mimma Laisa Fi Ash-
Shahihain ) Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam juga bersabda
dalam hadits ‘ Abdullah bin ‘ Amr bin ‘ Ash riwayat Bukhary-Muslim, ﻢﻠﻌﻟﺍ ﺾﺒﻘﻳ ﻻ ﻪﻠﻟﺍ ﻥﺇ ﺩﺎﺒﻌﻟﺍ ﻦﻣ ﻪﻋﺰﺘﻨﻳ ﺎﻋﺍﺰﺘﻧﺍ ﺾﺒﻘﺑ ﻢﻠﻌﻟﺍ ﺾﺒﻘﻳ ﻦﻜﻟﻭ ﻖﺒﻳ ﻢﻟ ﺍﺫﺇ ﻰﺘﺣ ﺀﺎﻤﻠﻌﻟﺍ ﺎﺳﻭﺅﺭ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﺬﺨﺗﺍ ﺎﻤﻟﺎﻋ ﺮﻴﻐﺑ ﺍﻮﺘﻓﺄﻓ ﺍﻮﻠﺌﺴﻓ ﻻﺎﻬﺟ ﺍﻮﻠﺿﺃﻭ ﺍﻮﻠﻀﻓ ﻢﻠﻋ “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan
mencabutnya dari para hamba
akan tetapi Allah mencabutnya
dengan mencabut (mewafatkan)
para ulama sampai bila tidak
tersisa lagi seorang alim maka manusia pun mengambil para
pemimpin yang bodoh maka
mereka pun ditanya lalu mereka
memberi fatwa tanpa ilmu maka
sesatlah mereka lagi
menyesatkan.”

HADITS TENTANG HUKUM WANITA HAID,NIFAS,JUNUB MEMBACA ALQURAN

“Artinya : Dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam beliau bersabda, “Janganlah perempuan yang haid dan orang yang junub membaca sedikit pun juga dari (ayat) Al-Qur’ an.

” Dalam riwayat yang lain,
“Janganlah orang yang junub dan perempuan yang haid
membaca sedikit pun juga dari
(ayat) Al-Qur’ an”

DLA’ IF Dikeluarkan oleh Tirmidzi (no. 121). Ibnu Majah (no. 595
dan 596). Ad-Daruquthni (1/117)
dan Baihaqiy (1/89), dari jalan
Ismail bin Ayyaasy dari Musa bin
Uqbah dari Naafi, dari Ibnu Umar
(ia berkata seperti di atas)

Berkata Imam Bukhari, “Ismail (bin Ayyaasy) munkarul hadits
(apabila dia meriwayatkan
hadits) dari penduduk Hijaz dan
penduduk Iraq”

[1] Saya berkata : Hadits di atas
telah diriawayatkan oleh Ismail
bin Ayyaasy dari Musa bin Uqbah
seorang penduduk Iraq.
Dengan demikian riwayat Ismail bin
Ayyaasy dla’ if. Imam Az-Zaila’ i di kitabnya Nashbur Raayah (I/195)

menukil keterangan Imam Ibnu Adiy di kitabnya Al-Kaamil bahwa Ahmad
dan Bukhari dan lain-lain telah
melemahkan hadits ini dan Abu
Hatim menyatakan bahwa yang benar hadits ini mauquf kepada
Ibnu Umar (yakni yang benar
bukan sabda Nabi Shallallahu
‘ alaihi wa sallam akan tetapi hanya perkataan Ibnu Umar).

Berkata Al-Hafidzh Ibnu Hajar di
kitabnya Talkhisul Habir (1/138) :
Di dalam sanadnya ada Ismail bin
Ayyaasy, sedangkan riwayatnya
dari penduduk Hijaz dla’ if dan di antaranya (hadits) ini.

Berkata Ibnu Abi Hatim dari bapaknya (Abu Hatim), “Hadits Ismail bin Ayyaasy ini keliru, dan (yang benar) dia hanya perkataan Ibnu Umar”.

Dan telah berkata Abdullah bin Ahmad dari bapaknya (yaitu Imam Ahmad ia berkata), “(Hadits) ini batil, “Beliau mengingkari (riwayat) Ismail. Sekian dari Al-Hafidz Ibnu
Hajar.

Hadits yang lain dari jalan Ibnu
Umar “Artinya : Dari jalan Abdul Malik bin Maslamah (ia berkata) Telah menceritakan kepadaku
Mughirah bin Abdurrahman, dari
Musa bin Uqbah dan Naafi, dari
Ibnu Umar, ia berkata :

Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam, “Tidak boleh bagi orang junub membaca
sedikitpun juga dari (ayat) Al-
Qur’ an” DLA’ IF. Diriwayatkan oleh Ad- Daruquthni (1/117)

Al-Hafidz Ibnu Hajar telah
melemahkan riwayat di atas
disebabkan Abdul Malik bin
Maslamah seorang rawi yang
dla’ if (Talkhisul Habir 1/138)

Hadits yang lain dari jalan Ibnu
Umar. “Artinya : Dari seorang laki-laki, dari Abu Ma’ syar, dari Musa bin Uqbah, dari Naafi, dari Ibnu Umar,
dari Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam beliau bersabda,
“Perempuan yang haid dan orang yang junub, keduanya tidak
boleh membaca sedikitpun juga
dari (ayat) Al-Qur’ an ” DLA’ IF. Diriwayatkan oleh Ad- Daruquthni (1/117)

Saya berkata : Riwayat ini dla’ if karena : Pertama : Ada seorang
rawi yang mubham (tidak disebut
namanya yaitu dari seorang laki-
laki). Kedua : Abu Ma’ syar seorang rawi yang dla’ if.

Hadits yang lain dari jalan Jabir
bin Abdullah. “Artinya : Dari jalan Muhammad bin Fadl, dari bapaknya, dari Thawus, dari Jabir, ia berkata :
Telah bersabda Rasulullah
Shallallahu ‘ alaihi wa sallam, “Tidak boleh bagi perempuan yang haid dan nifas (dalam riwayat yang lain : Orang yang junub) membaca (ayat) Al-Qur’ an sedikitpun juga (dalam riwayat) yang lain : Sedikitpun juga dari (ayat) Al-Qur’ an)” MAUDLU, Diriwayatkan oleh Ad-
Daruquthni (2/87) dan Abu
Nua’ im di kitabnya Al-Hilyah (4/22).
Saya berkata : Sanad hadits ini
maudhu (palsu) karena
Muhammad bin Fadl bin Athiyah
bin Umar telah dikatakan oleh
para Imam ahli hadits sebagai
pendusta sebagaimana keterangan Al-Hafidz Ibnu Hajar di Taqrib-nya (2/200).
Dan di kitabnya Talkhisul Habir (1/138)
beliau mengatakan bahwa orang
ini matruk.

Ketika hadits-hadits diatas dari
semua jalannya dla’ if
bahkan hadits terakhir maudlu, maka
tidak bisa dijadikan sebagai dalil
larangan bagi perempuan haid
dan nifas dan orang yang junub
membaca Al-Qur’ an.
Bahkan telah datang sejumlah dalil yang membolehkannya.

Pertama : Apabila tidak ada satu
pun dalil yang sah (shahih dan
hasan) yang melarang
perempuan haid, nifas dan orang
yang junub membaca ayat-ayat
Al-Qur’ an, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum asal
tentang perintah dan keutamaan
membaca Al-Qur’ an secara mutlak termasuk perempuan
haid, nifas dan orang yang junub.

Kedua : Hadits Aisyah ketika dia
haid sewaktu menunaikan ibadah
haji.

“Artinya : Dari Aisyah, ia berkata : Kami keluar (menunaikan haji) bersama Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam (dan) kami tidak menyebut kecuali haji. Maka ketika kami sampai di (satu tempat bernama) Sarif aku haid. Lalu Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam masuk menemuiku dan aku sedang menangis, lalu beliau
bertanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?” Jawabku, “Aku ingin demi Allah kalau sekiranya aku tidak haji
pada tahun ini?” Jawabku,
“Ya” Beliau bersabda, “Sesungguhnya (haid) ini adalah sesuatu yang telah Allah tentukan untuk anak-anak perempuan Adam, oleh karena itu kerjakanlah apa-apa
yang dikerjakan oleh orang yang
sedang haji selain engkau tidak boleh thawaf di Ka’ bah sampai engkau suci (dari haid)”
Shahih riwayat Bukhari (no. 305)
dan Muslim (4/30)

Hadits yang mulia ini dijadikan
dalil oleh para Ulama di
antaranya amirul mu’ minin fil hadits Al-Imam Al-Bukhari di kitab
Shahih-nya bagian Kitabul Haid
bab 7 dan Imam Ibnu Baththaal,
Imam Ath-Thabari, Imam Ibnul
Mundzir dan lain-lain bahwa
perempuan haid, nifas dan orang yang junub boleh membaca Al-
Qur’ an dan tidak terlarang.

Berdasarkan perintah Nabi
Shallallahu ‘ alaihi wa sallam kepada Aisyah untuk
mengerjakan apa-apa yang
dikerjakan oleh orang yang
sedang menunaikan ibadah haji
selain thawaf dan tentunya juga
terlarang shalat.

Sedangkan yang selainnya boleh termasuk membaca Al-Qur’ an. Karena kalau membaca Al-Qur’ an terlarang bagi perempuan haid tentu Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam telah menjelaskannya kepada Aisyah. Sedangkan Aisyah saat itu
sangat membutuhkan penjelasan
dari Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam apa yang boleh dan
terlarang baginya.

Menurut ushul
“mengakhirkan keterangan dari waktu yang dibutuhkan tidak
boleh. Ketiga : Hadits Aisyah. “Artinya : Dari Aisyah, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam biasa berdzikir atas segala
keadaannya” [Hadits shahih riwayat Muslim (1/194 dan lain-
lain] Hadits yang mulia ini juga
dijadikan hujjah oleh Al-Imam Al-
Bukhari dan lain-lain imam
tentang bolehnya orang yang
junub dan perempuan haid atau
nifas membaca Al-Qur’ an.

Karena Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam berdzikir kepada Allah atas
segala keadaannya dan yang
termasuk berdzikir ialah
membaca Al-Qur’ an.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ ala.

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikra [2]

(Al-Qur’ an) ini, dan sesungguhnya Kami jugalah yang akan (tetap)
menjaganya” [Al-Hijr : 9]

“Dan Kami turunkan kepadamu Adz-Dzikra (Al-Qur’ an) supaya engkau jelaskan kepada manusia
apa yang diturunkan kepada
mereka dan agar supaya mereka
berfikir” [An-Nahl : 44]

Keempat : Surat Rasulullah
Shallallahu ‘ alaihi wa sallam kepada Heracleus yang di
dalamnya berisi ayat Al-Qur’ an sebagaimana diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim dan lain-lain.

Hadits yang mulia inipun dijadikan
dalil tentang bolehnya orang
yang junub membaca Al-Qur’ an.

Karena sudah barang tentu
orang-orang kafir tidak selamat
dari janabah, meskipun demikian
Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam menulis surat kepada mereka
yang didalamnya terdapat firman
Allah.

Kelima : Ibnu Abbas mengatakan
tidak mengapa bagi orang yang
junub membaca Al-Qur’ an (Shahih Bukhari Kitabul Haidh bab 7).

Jika engkau berkata : Bukankah
telah datang hadits bahwa Nabi
Shallallahu ‘ alaihi wa sallam tidak membaca Al-Qur’ an ketika janabah? Saya jawab : Hadits yang
dimaksud tidak sah dari hadits Ali
bin Abi Thalib dengan lafadz.

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam keluar dari tempat buang air (wc), lalu beliau makan daging bersama kami, dan tidak ada yang menghalangi beliau sesuatupun juga dari (membaca) Al-Qur’ an selain janabah: DLA’ IF. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 229), Tirmidzi (no
164), Nasa’ i (1/144), Ibnu Majah (no. 594), Ahmad (1/83, 84, 107
dan 124), Ath-Thayaalis di
Musnad-nya (no. 94), Ibnu
Khuzaimah di Shahih-nya (no.
208), Daruquthni (1/119), Hakim
(1/152 dan 4/107) dan Baihaqiy (1/88-89)

semuanya dari jalan
Amr bin Murrah dari Abdullah bin
Salimah dari Ali, marfu (Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wa salam berbeda seperti diatas)

Hadits ini telah dishahihkan oleh
Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu
Hibban, Hakim, Adz-Dzahabi, Ibnu
Sakan, Abdul Haq, Al-Baghawiy
dan Syaikhul Imam Ahmad
Muhammad Syakir di takhrij Tirmidzi dan takhrij musnad
Ahmad.

Dan hadits ini telah didlaifkan
oleh jama’ ah ahli hadits – dan inilah yang benar- Insya Allah di
antaranya oleh Syu’ bah, Syafi’ iy, Ahmad, Bukhari, Baihaqiy, Al-Mundziriy, An-
Nawawi, Al-Khathaabiy dan
Syaikhul Imam Al-Albani dan lain-
lain. Berkata Asy-Syafi’ iy, “Ahli hadits tidak mentsabitkan
(menguatkan)nya”.

Yakni, ahli hadits tidak menguatkan riwayat
Abdullah bin Salimah. Karena Amr
bin Murrah yang meriwayatkan
hadits ini Abdullah bin Salimah
sesudah Abdullah bin Salimah tua
dan berubah hafalannya.

Demikian telah diterangkan oleh
para Imam di atas. Oleh karena
itu hadits ini kalau kita mengikuti
kaidah-kaidah ilmu hadits, maka
tidak ragu lagi tentang dla’ ifnya dengan sebab di atas yaitu
Abdullah bin Salimah ketika
meriwayatkan hadits ini telah
tua dan berubah hafalannya.

Maka bagaimana mungkin hadits
ini sah (shahih atau hasan)!.
Selain itu hadits ini juga tidak
bisa dijadikan dalil larangan bagi
orang yang junub dan
perempuan yang haid atau nifas
membaca Al-Qur’ an, karena semata-mata Nabi Shallallahu
‘ alaihi wa sallam tidak membacanya dalam junub tidak
berarti beliau melarangnya
sampai datang larangan yang
tegas dari beliau.

Ini kalau kita takdirkan hadits di atas sah, apalagi hadits di atas dla’ if tentunya lebih tidak mungkin lagi
dijadikan sebagai hujjah atau
dalil!

HUKUM WANITA HAID MEMBACA AL QURAN

Dalam persoalan ini terdapat sebuah hadis Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

Tidak boleh membaca sesuatu apa jua daripada al-Qur’ an seorang yang dalam keadaan junub atau haid.[4]

Hadis ini memiliki beberapa jalan periwayatan namun setiap darinya adalah dha‘ if.
Berkata Imam al-Nawawi rahimahullah (676H):

[5] Adapun hadis Ibn Umar:

“Tidak boleh membaca sesuatu apa jua daripada al-Qur’ an seorang yang dalam keadaan junub atau haid” , maka ia diriwayatkan oleh al-Tirmizi, Ibn Majah, al-Baihaqi dan selainnya.
Ia adalah hadis yang dha‘ if,
didha‘ ifkan oleh al- Bukhari, al-Baihaqi dan selainnya.
Kedha‘ ifan yang terdapat padanya adalah jelas.

Namun sebahagian ahli fiqh tetap melarang seorang wanita yang sedang haid daripada membaca al-Qur’ an kerana diqiyaskan keadaan haid kepada keadaan junub.

[6] Namun hal ini dianggap tidak tepat kerana dua sebab:

1. Peranan qiyas ialah mengeluarkan hukum bagi perkara-perkara yang tidak wujud pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Apa- apa perkara baru yang wujud selepas itu, maka hukumnya disandarkan secara analogi kepada sesuatu yang sudah sedia dihukumkan pada zaman Rasulullah berdasarkan kesamaan
sebabnya (‘ illat).
Adapun haid, maka ia adalah sesuatu yang wujud secara lazim pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Apabila pada zaman itu Allah dan Rasul-Nya tidak menjatuhkan hukum melarang wanita yang haid daripada membaca al-Qur’ an, maka tidak perlu bagi orang-orang terkemudian membuat hukum yang baru.

2. Haid dan junub adalah dua keadaan yang jauh berbeda.
Junub adalah satu keadaan di mana seseorang itu memiliki pilihan untuk berada dalamnya atau tidak, dan seseorang itu boleh keluar daripada keadaan junub pada bila-bila masa melalui mandi wajib atau tayamum.

Berbeda halnya dengan haid ia bermula dan berakhir tanpa pilihan.

Sebagian lain melarang atas dasar memelihara kesucian dan keagungan al-Qur’ an.

Justeru mereka berpendapat tidak boleh membaca (mentilawahkan) al- Qur’ an kecuali beberapa perkataan atas dasar zikir dan memperoleh keberkatan.

[7] Pendapat ini juga dianggap kurang tepat kerana seseorang wanita, sama ada dalam keadaan haid atau tidak, tetap dianggap suci dan dihalalkan bagi mereka semua yang dihalalkan
melainkan wujudnya dalil yang sahih yang melarang sesuatu ibadah seperti solat, puasa, tawaf dan bersetubuh.
Adapun pensyari‘ atan mandi wajib selepas berakhirnya tempo haid,
ia adalah penyucian atas sesuatu yang sedia suci dan bukannya penyucian atas sesuatu yang sebelum itu bersifat najis.

Oleh itu tidaklah berkurang sedikitpun kesucian dan keagungan al-Qur’ an apabila ia dibaca oleh seseorang wanita yang sedang dalam keadaan haid.

Pernah sekali Abu Hurairah radhiallahu 'anh mengasingkan diri daripada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Beliau pulang ke rumah untuk mandi wajib dan kemudian kembali. Rasulullah bertanya kenapakah dilakukan sedemikian, lalu Abu Hurairah menerangkan bahwa tadi beliau sebenarnya dalam keadaan junub.
Mendengar itu Rasulullah bersabda:

Subhanallah! Wahai Abu Hurairah! Sesungguhnya orang mukmin tidaklah ia menjadi najis.

[8] Kata-kata Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di atas bersifat umum, menunjukkan bahawa seorang mukmin tidaklah ia sekali-kali akan berada dalam keadaan najis sekalipun dia dalam
keadaan junub.

Termasuk dalam keumuman hadis ini ialah wanita yang sedang haid.

Sebagai rumusan kepada kupasan ini, berikut dinukil kata- kata Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah (728H):

[9] Sesungguhnya para wanita mereka mengalami haid pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka seandainya membaca al-Qur’ an diharamkan ke atas mereka (ketika haid) seperti mana solat, pasti baginda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam akan menjelaskannya kepada umatnya.
Baginda akan mengajarnya kepada para Ummul Mukminun (para isteri baginda) dan akan dinukil daripada mereka oleh orang ramai.
Akan tetapi tidak ada satupun (riwayat) yang melarang yang dinukil daripada Nabi.
Oleh itu hal ini tidak boleh dianggap terlarang padahal telah diketahui bahawa baginda tidak melarangnya.

Justeru jika baginda tidak melarangnya padahal ramai wanita yang haid di zamannya, maka sesungguhnya ketahuilah bahwa
ia memangnya tidak haram.

Kesimpulan: Allah Subhanahu wa Ta‘ ala berfirman:

Alif-Lam-Mim. Kitab Al-Quran ini, tidak ada sebarang syak padanya; ia pula menjadi petunjuk bagi orang-orang yang (hendak) bertaqwa.
[al-Baqarah 2:1-2]

Setiap individu Muslim yang bertaqwa memerlukan al-Qur’ an sebagai kitab yang memberi petunjuk kepada mereka.
Petunjuk ini diperlukan pada setiap masa dan tempat, termasuk oleh para wanita ketika mereka didatangi haid.
Tidak mungkin untuk dikatakan bahawa ketika haid mereka tidak
memerlukan petunjuk dalam kehidupan sehari-harian mereka.
Atas keperluan inilah al-Qur’ an dan al-Sunnah yang sahih tidak melarang para wanita yang didatangi haid daripada memegang dan membaca al- Qur’ an seperti biasa.

Adapun pendapat yang mengatakan ianya haram, ia adalah pendapat yang lemah sekalipun masyhur. ----------------------------------
----------------------------------
-----------------------
[1] Sahih: Hadis daripada ‘ Amr bin Hazm radhiallahu 'anh, dikeluarkan oleh Ibn Hibban, al- Hakim, Baihaqi dan lain-lain melalui beberapa jalan yang setiap darinya memiliki kelemahan.
Namun setiap darinya saling menguat antara satu sama
lain sehingga dapat diangkat ke taraf sahih, atau setepatnya sahih lighairihi. Lihat semakan Badri Abdul al-Samad dalam al- Itihaf bi Takhrij Ahadith al-Isyraf ‘ ala Masail al-Ikhtilaf (Dar al- Buhts, Dubai 1999), jld. 1, ms. 77-82.

[2] Ayat yang sama ini juga digunakan oleh mereka yang berpendapat wajib berwudhu’ sebelum memegang al-Qur’ an, baik bagi lelaki atau wanita. Berdasarkan penjelasan yang sama di atas, dapat diketahui bahawa tidaklah tepat untuk menggunakan ayat ini sebagai dalil wajib berwudhu’ . Oleh itu yang benar adalah, boleh memegang dan membaca al- Qur’ an sekalipun tanpa berwudhu’ .

[3] Demikian juga keterangan beberapa sahabat dan tabi‘ in sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir al-Thabari dalam Jamii al-Bayan (Dar al-Fikr, Beirut
1999), riwayat no: 25955 – 25970. Lihat juga al-Mawardi - Al-Nukatu wa al-‘ Uyun (Dar al- Kutub al-Ilmiyah, Beirut), jld. 5, ms. 463-464.

[4] Dha‘ if: Hadis daripada ‘ Abd Allah ibn Umar radhiallahu 'anh, dikeluarkan oleh al-Tirmizi, Ibn Majah, al-Daruquthni dan lain- lain. Ia memiliki 3 jalan periwayatan yang semuanya dha‘ if. Shaikh al-Albani tidak menjadikannya penguat antara satu sama lain manakala Badri ‘ Abd al-Samad berpendapat ia saling menguat sehingga dapat diangkat ke taraf hasan (hasan lighairihi). Lihat Irwa al-Ghaleel fi Takhrij Ahadith Manar al-Sabil (Maktabah al-Islami, Beirut), hadis no: 192 dan al-Ittihaf bi Takhrij Ahadith al-Isyraf, jld 1, ms 83-84.

[5] Majmu’ Syarh al-Muhazzab (Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, Beirut 2001), jld. 2, ms. 123-125 (Kitab Taharah, Bab Apa yang mewajibkan mandi, Bab Hukum terhadap 3 perkara).

[6] Lihat Majmu Syarh al- Muhazzab jld. 2, ms. 267-268 (Kitab Haid, berkata al-Musannif: “Dan dilarang atasnya membaca Qur’ an… .”).

[7] Lihat al-Kasani – al-Bada‘ i al- Sona‘ i (Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut 1982), jld. 1, ms. 38 (Bab permasalahan adab-adab wudhu’) .

[8] Sahih: Ringkasan hadis yang dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim, lihat al-Lu’ Lu’ wa al- Marjan (Fu‘ ad Abdul Baqi; Dar al- Salam, Riyadh 1995) – hadis no: 210.

[9] Majmu al-Fatawa (Dar al- Wafa’ , Kaherah 2001), jld. 26, ms. 191. Lihat juga pembahasan Ibn Hazm dalam al-Muhalla (Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, Beirut), jld. 1, ms. 78-85 (Masalah no: 116: Membaca al-Qur’ an dan bersujud dan menyentuh mushaf).