Laman

Entri Populer

Selasa, April 05, 2011

HADITS TENTANG HUKUM WANITA HAID,NIFAS,JUNUB MEMBACA ALQURAN

“Artinya : Dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam beliau bersabda, “Janganlah perempuan yang haid dan orang yang junub membaca sedikit pun juga dari (ayat) Al-Qur’ an.

” Dalam riwayat yang lain,
“Janganlah orang yang junub dan perempuan yang haid
membaca sedikit pun juga dari
(ayat) Al-Qur’ an”

DLA’ IF Dikeluarkan oleh Tirmidzi (no. 121). Ibnu Majah (no. 595
dan 596). Ad-Daruquthni (1/117)
dan Baihaqiy (1/89), dari jalan
Ismail bin Ayyaasy dari Musa bin
Uqbah dari Naafi, dari Ibnu Umar
(ia berkata seperti di atas)

Berkata Imam Bukhari, “Ismail (bin Ayyaasy) munkarul hadits
(apabila dia meriwayatkan
hadits) dari penduduk Hijaz dan
penduduk Iraq”

[1] Saya berkata : Hadits di atas
telah diriawayatkan oleh Ismail
bin Ayyaasy dari Musa bin Uqbah
seorang penduduk Iraq.
Dengan demikian riwayat Ismail bin
Ayyaasy dla’ if. Imam Az-Zaila’ i di kitabnya Nashbur Raayah (I/195)

menukil keterangan Imam Ibnu Adiy di kitabnya Al-Kaamil bahwa Ahmad
dan Bukhari dan lain-lain telah
melemahkan hadits ini dan Abu
Hatim menyatakan bahwa yang benar hadits ini mauquf kepada
Ibnu Umar (yakni yang benar
bukan sabda Nabi Shallallahu
‘ alaihi wa sallam akan tetapi hanya perkataan Ibnu Umar).

Berkata Al-Hafidzh Ibnu Hajar di
kitabnya Talkhisul Habir (1/138) :
Di dalam sanadnya ada Ismail bin
Ayyaasy, sedangkan riwayatnya
dari penduduk Hijaz dla’ if dan di antaranya (hadits) ini.

Berkata Ibnu Abi Hatim dari bapaknya (Abu Hatim), “Hadits Ismail bin Ayyaasy ini keliru, dan (yang benar) dia hanya perkataan Ibnu Umar”.

Dan telah berkata Abdullah bin Ahmad dari bapaknya (yaitu Imam Ahmad ia berkata), “(Hadits) ini batil, “Beliau mengingkari (riwayat) Ismail. Sekian dari Al-Hafidz Ibnu
Hajar.

Hadits yang lain dari jalan Ibnu
Umar “Artinya : Dari jalan Abdul Malik bin Maslamah (ia berkata) Telah menceritakan kepadaku
Mughirah bin Abdurrahman, dari
Musa bin Uqbah dan Naafi, dari
Ibnu Umar, ia berkata :

Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam, “Tidak boleh bagi orang junub membaca
sedikitpun juga dari (ayat) Al-
Qur’ an” DLA’ IF. Diriwayatkan oleh Ad- Daruquthni (1/117)

Al-Hafidz Ibnu Hajar telah
melemahkan riwayat di atas
disebabkan Abdul Malik bin
Maslamah seorang rawi yang
dla’ if (Talkhisul Habir 1/138)

Hadits yang lain dari jalan Ibnu
Umar. “Artinya : Dari seorang laki-laki, dari Abu Ma’ syar, dari Musa bin Uqbah, dari Naafi, dari Ibnu Umar,
dari Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam beliau bersabda,
“Perempuan yang haid dan orang yang junub, keduanya tidak
boleh membaca sedikitpun juga
dari (ayat) Al-Qur’ an ” DLA’ IF. Diriwayatkan oleh Ad- Daruquthni (1/117)

Saya berkata : Riwayat ini dla’ if karena : Pertama : Ada seorang
rawi yang mubham (tidak disebut
namanya yaitu dari seorang laki-
laki). Kedua : Abu Ma’ syar seorang rawi yang dla’ if.

Hadits yang lain dari jalan Jabir
bin Abdullah. “Artinya : Dari jalan Muhammad bin Fadl, dari bapaknya, dari Thawus, dari Jabir, ia berkata :
Telah bersabda Rasulullah
Shallallahu ‘ alaihi wa sallam, “Tidak boleh bagi perempuan yang haid dan nifas (dalam riwayat yang lain : Orang yang junub) membaca (ayat) Al-Qur’ an sedikitpun juga (dalam riwayat) yang lain : Sedikitpun juga dari (ayat) Al-Qur’ an)” MAUDLU, Diriwayatkan oleh Ad-
Daruquthni (2/87) dan Abu
Nua’ im di kitabnya Al-Hilyah (4/22).
Saya berkata : Sanad hadits ini
maudhu (palsu) karena
Muhammad bin Fadl bin Athiyah
bin Umar telah dikatakan oleh
para Imam ahli hadits sebagai
pendusta sebagaimana keterangan Al-Hafidz Ibnu Hajar di Taqrib-nya (2/200).
Dan di kitabnya Talkhisul Habir (1/138)
beliau mengatakan bahwa orang
ini matruk.

Ketika hadits-hadits diatas dari
semua jalannya dla’ if
bahkan hadits terakhir maudlu, maka
tidak bisa dijadikan sebagai dalil
larangan bagi perempuan haid
dan nifas dan orang yang junub
membaca Al-Qur’ an.
Bahkan telah datang sejumlah dalil yang membolehkannya.

Pertama : Apabila tidak ada satu
pun dalil yang sah (shahih dan
hasan) yang melarang
perempuan haid, nifas dan orang
yang junub membaca ayat-ayat
Al-Qur’ an, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum asal
tentang perintah dan keutamaan
membaca Al-Qur’ an secara mutlak termasuk perempuan
haid, nifas dan orang yang junub.

Kedua : Hadits Aisyah ketika dia
haid sewaktu menunaikan ibadah
haji.

“Artinya : Dari Aisyah, ia berkata : Kami keluar (menunaikan haji) bersama Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam (dan) kami tidak menyebut kecuali haji. Maka ketika kami sampai di (satu tempat bernama) Sarif aku haid. Lalu Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam masuk menemuiku dan aku sedang menangis, lalu beliau
bertanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?” Jawabku, “Aku ingin demi Allah kalau sekiranya aku tidak haji
pada tahun ini?” Jawabku,
“Ya” Beliau bersabda, “Sesungguhnya (haid) ini adalah sesuatu yang telah Allah tentukan untuk anak-anak perempuan Adam, oleh karena itu kerjakanlah apa-apa
yang dikerjakan oleh orang yang
sedang haji selain engkau tidak boleh thawaf di Ka’ bah sampai engkau suci (dari haid)”
Shahih riwayat Bukhari (no. 305)
dan Muslim (4/30)

Hadits yang mulia ini dijadikan
dalil oleh para Ulama di
antaranya amirul mu’ minin fil hadits Al-Imam Al-Bukhari di kitab
Shahih-nya bagian Kitabul Haid
bab 7 dan Imam Ibnu Baththaal,
Imam Ath-Thabari, Imam Ibnul
Mundzir dan lain-lain bahwa
perempuan haid, nifas dan orang yang junub boleh membaca Al-
Qur’ an dan tidak terlarang.

Berdasarkan perintah Nabi
Shallallahu ‘ alaihi wa sallam kepada Aisyah untuk
mengerjakan apa-apa yang
dikerjakan oleh orang yang
sedang menunaikan ibadah haji
selain thawaf dan tentunya juga
terlarang shalat.

Sedangkan yang selainnya boleh termasuk membaca Al-Qur’ an. Karena kalau membaca Al-Qur’ an terlarang bagi perempuan haid tentu Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam telah menjelaskannya kepada Aisyah. Sedangkan Aisyah saat itu
sangat membutuhkan penjelasan
dari Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam apa yang boleh dan
terlarang baginya.

Menurut ushul
“mengakhirkan keterangan dari waktu yang dibutuhkan tidak
boleh. Ketiga : Hadits Aisyah. “Artinya : Dari Aisyah, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam biasa berdzikir atas segala
keadaannya” [Hadits shahih riwayat Muslim (1/194 dan lain-
lain] Hadits yang mulia ini juga
dijadikan hujjah oleh Al-Imam Al-
Bukhari dan lain-lain imam
tentang bolehnya orang yang
junub dan perempuan haid atau
nifas membaca Al-Qur’ an.

Karena Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam berdzikir kepada Allah atas
segala keadaannya dan yang
termasuk berdzikir ialah
membaca Al-Qur’ an.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ ala.

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikra [2]

(Al-Qur’ an) ini, dan sesungguhnya Kami jugalah yang akan (tetap)
menjaganya” [Al-Hijr : 9]

“Dan Kami turunkan kepadamu Adz-Dzikra (Al-Qur’ an) supaya engkau jelaskan kepada manusia
apa yang diturunkan kepada
mereka dan agar supaya mereka
berfikir” [An-Nahl : 44]

Keempat : Surat Rasulullah
Shallallahu ‘ alaihi wa sallam kepada Heracleus yang di
dalamnya berisi ayat Al-Qur’ an sebagaimana diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim dan lain-lain.

Hadits yang mulia inipun dijadikan
dalil tentang bolehnya orang
yang junub membaca Al-Qur’ an.

Karena sudah barang tentu
orang-orang kafir tidak selamat
dari janabah, meskipun demikian
Nabi Shallallahu ‘ alaihi wa sallam menulis surat kepada mereka
yang didalamnya terdapat firman
Allah.

Kelima : Ibnu Abbas mengatakan
tidak mengapa bagi orang yang
junub membaca Al-Qur’ an (Shahih Bukhari Kitabul Haidh bab 7).

Jika engkau berkata : Bukankah
telah datang hadits bahwa Nabi
Shallallahu ‘ alaihi wa sallam tidak membaca Al-Qur’ an ketika janabah? Saya jawab : Hadits yang
dimaksud tidak sah dari hadits Ali
bin Abi Thalib dengan lafadz.

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam keluar dari tempat buang air (wc), lalu beliau makan daging bersama kami, dan tidak ada yang menghalangi beliau sesuatupun juga dari (membaca) Al-Qur’ an selain janabah: DLA’ IF. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 229), Tirmidzi (no
164), Nasa’ i (1/144), Ibnu Majah (no. 594), Ahmad (1/83, 84, 107
dan 124), Ath-Thayaalis di
Musnad-nya (no. 94), Ibnu
Khuzaimah di Shahih-nya (no.
208), Daruquthni (1/119), Hakim
(1/152 dan 4/107) dan Baihaqiy (1/88-89)

semuanya dari jalan
Amr bin Murrah dari Abdullah bin
Salimah dari Ali, marfu (Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wa salam berbeda seperti diatas)

Hadits ini telah dishahihkan oleh
Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu
Hibban, Hakim, Adz-Dzahabi, Ibnu
Sakan, Abdul Haq, Al-Baghawiy
dan Syaikhul Imam Ahmad
Muhammad Syakir di takhrij Tirmidzi dan takhrij musnad
Ahmad.

Dan hadits ini telah didlaifkan
oleh jama’ ah ahli hadits – dan inilah yang benar- Insya Allah di
antaranya oleh Syu’ bah, Syafi’ iy, Ahmad, Bukhari, Baihaqiy, Al-Mundziriy, An-
Nawawi, Al-Khathaabiy dan
Syaikhul Imam Al-Albani dan lain-
lain. Berkata Asy-Syafi’ iy, “Ahli hadits tidak mentsabitkan
(menguatkan)nya”.

Yakni, ahli hadits tidak menguatkan riwayat
Abdullah bin Salimah. Karena Amr
bin Murrah yang meriwayatkan
hadits ini Abdullah bin Salimah
sesudah Abdullah bin Salimah tua
dan berubah hafalannya.

Demikian telah diterangkan oleh
para Imam di atas. Oleh karena
itu hadits ini kalau kita mengikuti
kaidah-kaidah ilmu hadits, maka
tidak ragu lagi tentang dla’ ifnya dengan sebab di atas yaitu
Abdullah bin Salimah ketika
meriwayatkan hadits ini telah
tua dan berubah hafalannya.

Maka bagaimana mungkin hadits
ini sah (shahih atau hasan)!.
Selain itu hadits ini juga tidak
bisa dijadikan dalil larangan bagi
orang yang junub dan
perempuan yang haid atau nifas
membaca Al-Qur’ an, karena semata-mata Nabi Shallallahu
‘ alaihi wa sallam tidak membacanya dalam junub tidak
berarti beliau melarangnya
sampai datang larangan yang
tegas dari beliau.

Ini kalau kita takdirkan hadits di atas sah, apalagi hadits di atas dla’ if tentunya lebih tidak mungkin lagi
dijadikan sebagai hujjah atau
dalil!

HUKUM WANITA HAID MEMBACA AL QURAN

Dalam persoalan ini terdapat sebuah hadis Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

Tidak boleh membaca sesuatu apa jua daripada al-Qur’ an seorang yang dalam keadaan junub atau haid.[4]

Hadis ini memiliki beberapa jalan periwayatan namun setiap darinya adalah dha‘ if.
Berkata Imam al-Nawawi rahimahullah (676H):

[5] Adapun hadis Ibn Umar:

“Tidak boleh membaca sesuatu apa jua daripada al-Qur’ an seorang yang dalam keadaan junub atau haid” , maka ia diriwayatkan oleh al-Tirmizi, Ibn Majah, al-Baihaqi dan selainnya.
Ia adalah hadis yang dha‘ if,
didha‘ ifkan oleh al- Bukhari, al-Baihaqi dan selainnya.
Kedha‘ ifan yang terdapat padanya adalah jelas.

Namun sebahagian ahli fiqh tetap melarang seorang wanita yang sedang haid daripada membaca al-Qur’ an kerana diqiyaskan keadaan haid kepada keadaan junub.

[6] Namun hal ini dianggap tidak tepat kerana dua sebab:

1. Peranan qiyas ialah mengeluarkan hukum bagi perkara-perkara yang tidak wujud pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Apa- apa perkara baru yang wujud selepas itu, maka hukumnya disandarkan secara analogi kepada sesuatu yang sudah sedia dihukumkan pada zaman Rasulullah berdasarkan kesamaan
sebabnya (‘ illat).
Adapun haid, maka ia adalah sesuatu yang wujud secara lazim pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Apabila pada zaman itu Allah dan Rasul-Nya tidak menjatuhkan hukum melarang wanita yang haid daripada membaca al-Qur’ an, maka tidak perlu bagi orang-orang terkemudian membuat hukum yang baru.

2. Haid dan junub adalah dua keadaan yang jauh berbeda.
Junub adalah satu keadaan di mana seseorang itu memiliki pilihan untuk berada dalamnya atau tidak, dan seseorang itu boleh keluar daripada keadaan junub pada bila-bila masa melalui mandi wajib atau tayamum.

Berbeda halnya dengan haid ia bermula dan berakhir tanpa pilihan.

Sebagian lain melarang atas dasar memelihara kesucian dan keagungan al-Qur’ an.

Justeru mereka berpendapat tidak boleh membaca (mentilawahkan) al- Qur’ an kecuali beberapa perkataan atas dasar zikir dan memperoleh keberkatan.

[7] Pendapat ini juga dianggap kurang tepat kerana seseorang wanita, sama ada dalam keadaan haid atau tidak, tetap dianggap suci dan dihalalkan bagi mereka semua yang dihalalkan
melainkan wujudnya dalil yang sahih yang melarang sesuatu ibadah seperti solat, puasa, tawaf dan bersetubuh.
Adapun pensyari‘ atan mandi wajib selepas berakhirnya tempo haid,
ia adalah penyucian atas sesuatu yang sedia suci dan bukannya penyucian atas sesuatu yang sebelum itu bersifat najis.

Oleh itu tidaklah berkurang sedikitpun kesucian dan keagungan al-Qur’ an apabila ia dibaca oleh seseorang wanita yang sedang dalam keadaan haid.

Pernah sekali Abu Hurairah radhiallahu 'anh mengasingkan diri daripada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Beliau pulang ke rumah untuk mandi wajib dan kemudian kembali. Rasulullah bertanya kenapakah dilakukan sedemikian, lalu Abu Hurairah menerangkan bahwa tadi beliau sebenarnya dalam keadaan junub.
Mendengar itu Rasulullah bersabda:

Subhanallah! Wahai Abu Hurairah! Sesungguhnya orang mukmin tidaklah ia menjadi najis.

[8] Kata-kata Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di atas bersifat umum, menunjukkan bahawa seorang mukmin tidaklah ia sekali-kali akan berada dalam keadaan najis sekalipun dia dalam
keadaan junub.

Termasuk dalam keumuman hadis ini ialah wanita yang sedang haid.

Sebagai rumusan kepada kupasan ini, berikut dinukil kata- kata Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah (728H):

[9] Sesungguhnya para wanita mereka mengalami haid pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka seandainya membaca al-Qur’ an diharamkan ke atas mereka (ketika haid) seperti mana solat, pasti baginda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam akan menjelaskannya kepada umatnya.
Baginda akan mengajarnya kepada para Ummul Mukminun (para isteri baginda) dan akan dinukil daripada mereka oleh orang ramai.
Akan tetapi tidak ada satupun (riwayat) yang melarang yang dinukil daripada Nabi.
Oleh itu hal ini tidak boleh dianggap terlarang padahal telah diketahui bahawa baginda tidak melarangnya.

Justeru jika baginda tidak melarangnya padahal ramai wanita yang haid di zamannya, maka sesungguhnya ketahuilah bahwa
ia memangnya tidak haram.

Kesimpulan: Allah Subhanahu wa Ta‘ ala berfirman:

Alif-Lam-Mim. Kitab Al-Quran ini, tidak ada sebarang syak padanya; ia pula menjadi petunjuk bagi orang-orang yang (hendak) bertaqwa.
[al-Baqarah 2:1-2]

Setiap individu Muslim yang bertaqwa memerlukan al-Qur’ an sebagai kitab yang memberi petunjuk kepada mereka.
Petunjuk ini diperlukan pada setiap masa dan tempat, termasuk oleh para wanita ketika mereka didatangi haid.
Tidak mungkin untuk dikatakan bahawa ketika haid mereka tidak
memerlukan petunjuk dalam kehidupan sehari-harian mereka.
Atas keperluan inilah al-Qur’ an dan al-Sunnah yang sahih tidak melarang para wanita yang didatangi haid daripada memegang dan membaca al- Qur’ an seperti biasa.

Adapun pendapat yang mengatakan ianya haram, ia adalah pendapat yang lemah sekalipun masyhur. ----------------------------------
----------------------------------
-----------------------
[1] Sahih: Hadis daripada ‘ Amr bin Hazm radhiallahu 'anh, dikeluarkan oleh Ibn Hibban, al- Hakim, Baihaqi dan lain-lain melalui beberapa jalan yang setiap darinya memiliki kelemahan.
Namun setiap darinya saling menguat antara satu sama
lain sehingga dapat diangkat ke taraf sahih, atau setepatnya sahih lighairihi. Lihat semakan Badri Abdul al-Samad dalam al- Itihaf bi Takhrij Ahadith al-Isyraf ‘ ala Masail al-Ikhtilaf (Dar al- Buhts, Dubai 1999), jld. 1, ms. 77-82.

[2] Ayat yang sama ini juga digunakan oleh mereka yang berpendapat wajib berwudhu’ sebelum memegang al-Qur’ an, baik bagi lelaki atau wanita. Berdasarkan penjelasan yang sama di atas, dapat diketahui bahawa tidaklah tepat untuk menggunakan ayat ini sebagai dalil wajib berwudhu’ . Oleh itu yang benar adalah, boleh memegang dan membaca al- Qur’ an sekalipun tanpa berwudhu’ .

[3] Demikian juga keterangan beberapa sahabat dan tabi‘ in sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir al-Thabari dalam Jamii al-Bayan (Dar al-Fikr, Beirut
1999), riwayat no: 25955 – 25970. Lihat juga al-Mawardi - Al-Nukatu wa al-‘ Uyun (Dar al- Kutub al-Ilmiyah, Beirut), jld. 5, ms. 463-464.

[4] Dha‘ if: Hadis daripada ‘ Abd Allah ibn Umar radhiallahu 'anh, dikeluarkan oleh al-Tirmizi, Ibn Majah, al-Daruquthni dan lain- lain. Ia memiliki 3 jalan periwayatan yang semuanya dha‘ if. Shaikh al-Albani tidak menjadikannya penguat antara satu sama lain manakala Badri ‘ Abd al-Samad berpendapat ia saling menguat sehingga dapat diangkat ke taraf hasan (hasan lighairihi). Lihat Irwa al-Ghaleel fi Takhrij Ahadith Manar al-Sabil (Maktabah al-Islami, Beirut), hadis no: 192 dan al-Ittihaf bi Takhrij Ahadith al-Isyraf, jld 1, ms 83-84.

[5] Majmu’ Syarh al-Muhazzab (Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, Beirut 2001), jld. 2, ms. 123-125 (Kitab Taharah, Bab Apa yang mewajibkan mandi, Bab Hukum terhadap 3 perkara).

[6] Lihat Majmu Syarh al- Muhazzab jld. 2, ms. 267-268 (Kitab Haid, berkata al-Musannif: “Dan dilarang atasnya membaca Qur’ an… .”).

[7] Lihat al-Kasani – al-Bada‘ i al- Sona‘ i (Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut 1982), jld. 1, ms. 38 (Bab permasalahan adab-adab wudhu’) .

[8] Sahih: Ringkasan hadis yang dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim, lihat al-Lu’ Lu’ wa al- Marjan (Fu‘ ad Abdul Baqi; Dar al- Salam, Riyadh 1995) – hadis no: 210.

[9] Majmu al-Fatawa (Dar al- Wafa’ , Kaherah 2001), jld. 26, ms. 191. Lihat juga pembahasan Ibn Hazm dalam al-Muhalla (Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, Beirut), jld. 1, ms. 78-85 (Masalah no: 116: Membaca al-Qur’ an dan bersujud dan menyentuh mushaf).

HUKUM WANITA HAID MEMEGANG AL QURAN

Hukum wanita yang didatangi haid memegang al- Qur’ an. Umumnya terdapat dua pendapat, yang pertama mengatakan tidak boleh manakala yang kedua berkata boleh. Pendapat yang pertama merujuk kepada firman Allah:
Yang tidak disentuh melainkan oleh makhluk-makhluk yang diakui bersih suci.
[al-Waqiah 56:79]
Diikuti dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
Tidaklah menyentuh al-Qur’ an dan tidak juga mushaf melainkan orang yang suci.[1] Manakala bagi pendapat kedua, mereka berpegang kepada kaedah bahawa seseorang wanita yang sedang haid boleh melakukan semua perkara seperti biasa melainkan wujud dalil tepat (qathi) yang melarangnya. Dalam hal ini yang jelas dilarang adalah bersolat, berpuasa, melakukan tawaf dan bersetubuh. Adapun hukum memegang al-Qur’ an, tidak ada dalil tepat yang melarang seseorang yang sedang haid daripada memegangnya.
Ayat al-Qur’ an yang dijadikan rujukan oleh pendapat pertama adalah tidak tepat untuk dijadikan hujah kerana perkataan al-Mutatahharun sebenarnya merujuk kepada para malaikat sebagaimana yang boleh dilihat daripada keseluruhan ayat yang berkaitan:
Bahawa sesungguhnya itu ialah Al-Quran yang mulia, Yang tersimpan dalam Kitab yang cukup terpelihara, Yang tidak disentuh melainkan oleh makhluk-
makhluk yang diakui bersih suci; Al-Quran itu diturunkan dari Allah
Tuhan sekalian alam. [al-Waqiah 56:77-80][2] Berkata Ibnu Abbas radhiallahu 'anh, ayat “fii Kitabim-maknun” bererti di langit, yakni di al-Lauh al-Mahfuz manakala al- Mutatahharun adalah para malaikat yang suci.[3] Justeru keseluruhan ayat sebenarnya menerangkan tentang kitab al-Qur’ an yang sebelum ini tersimpan dalam al- Lauh al-Mahfuz, di sana ia tidak disentuh oleh sesiapa kecuali para malaikat sehinggalah ia diturunkan ke bumi kepada manusia.
Hadis yang dijadikan dalil melarang adalah juga tidak tepat
sandarannya kerana perkataan al-Taharun yang bererti suci adalah satu perkataan yang memiliki banyak erti (lafaz Mushtarak) dan mengikut kaedah Usul Fiqh: Sesuatu perkataan yang memiliki banyak erti tidak boleh dibataskan kepada satu maksud tertentu melainkan wujud petunjuk yang dapat mendokongi pembatasan tersebut.
Perkataan suci dalam hadis di atas boleh bererti suci daripada najis seperti tahi dan air kencing. Boleh juga bererti suci daripada hadas besar seperti haid dan junub, dan suci daripada hadas kecil yakni seseorang yang dalam keadaan wudhu’ . Ia juga boleh bererti suci dari sudut akidah sepertimana firman Allah terhadap orang-orang musyrik:
Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis. [al-Taubah 9:28]
Oleh itu perlu dicari maksud sebenar kepada perkataan suci dalam hadis di atas. Salah satu caranya ialah dengan mengkaji keseluruhan hadis di mana ia sebenarnya adalah sepucuk surat yang dihantar oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada seorang sahabat di Yaman. Pada saat itu Yaman adalah sebuah wilayah yang penduduknya masih terdiri daripada campuran orang bukan Islam dan Islam, justeru kemungkinan yang besar adalah surat tersebut bertujuan melarang al-Qur’ an daripada disentuh oleh orang bukan Islam.
Himpunan antara asal usul hadis dan rujukan al-Qur’ an kepada orang musyrik sebagai najis dapat mengarah kepada satu petunjuk yang tepat bahawa erti suci dalam hadis di atas sebenarnya merujuk kepada orang Islam. Justeru keseluruhan hadis sebenarnya melarang orang-orang bukan Islam daripada memegang kitab atau mushaf al-Qur’ an. Akhirnya jika dianalisa antara dua pendapat di atas, yang lebih tepat adalah pendapat kedua yang membolehkan seorang wanita yang sedang haid untuk memegang al-Qur’ an.

Minggu, April 03, 2011

adzan dan iqomah pada bayi yg baru lahir

Al-
Ustadz
Abu
Muawiah Sepanjang
pemeriksaan
kami,
ada
lima
hadits yang
menyebutkan
masalah
ini,
berikut
penjelasannya: 1. Hadits Abu Rafi’ Maula Rasulullah -Shallallahu ‘ alaihi wasallam-. ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﺖﻳﺃﺭ ﻥﺫﺃ ﻲﻓ ﻥﺫﺃ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﺗﺪﻟﻭ ﻦﻴﺣ ﻲﻠﻋ ﻦﺑ ﻦﺴﺤﻟﺍ ﺓﻼﺼﻟﺎﺑ ﺔﻤﻃﺎﻓ “Saya melihat Rasulullah - Shallallahu ‘ alaihi wasallam- mengumandangkan azan di telinga Al-Hasan bin ‘ Ali -seperti azan shalat- tatkala beliau dilahirkan oleh Fathimah.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (6/391-392), Ath- Thoyalisy (970), Abu Daud (5105),
At-Tirmidzy (1514), Al-Baihaqy (9/305) dan dalam Asy-Syu’ ab (8617, 8618), Ath-Thobrony (931, 2578) dan dalam Ad-Du’ a` (2/944), Al-Hakim (3/179), Al- Bazzar (9/325), Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah (11/273), dan Ar-Ruyany dalam Al-Musnad (1/455). Semuanya dari jalan Sufyan Ats-Tsaury dari ‘ Ashim bin ‘ Ubaidillah bin ‘ Ashim dari ‘ Ubaidillah bin Abi Rafi’ dari Abi Rafi’ -radhiyallahu ‘ anhu-. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ath-Thobrany (926, 2579) tapi dari jalan Hammad bin Syu’ aib dari ‘ Ashim bin ‘ Ubaidillah dari ‘ Ali ibnul Husain dari Abi Rafi’ dengan lafadz: ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟﺍ ﻥﺃ ﻦﺴﺤﻟﺍ ﻥﺫﺃ ﻲﻓ ﻥﺫﺃ ﻢﻠﺳﻭ ﺎﻤﻬﻨﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻲﺿﺭ ﻦﻴﺴﺤﻟﺍﻭ ﻪﺑ ﺮﻣﺃﻭ ﺍﺪﻟﻭ ﻦﻴﺣ “Sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘ alaihi wasallam- mengumandangkan azan di telinga Al-Hasan dan Al-Husain - radhiyallahu ‘ anhuma- tatkala keduanya lahir, dan beliau memerintahkan hal tersebut”. Maka dari jalan ini kita bisa melihat bahwa Hammad bin Syu’ aib menyelisihi Sufyan Ats- Tsaury dengan menambah dua lafadz; “dan Al-Husain” dan “beliau memerintahkan hal tersebut(1)”. Akan tetapi jalan Hammad - termasuk kedua lafadz tambahannya- adalah mungkar, karena Hammad bin Syu’ aib telah menyelisihi Sufyan padahal dia (Hammad) adalah seorang rowi yang sangat lemah. Yahya bin Ma’ in berkata, “Tidak ada apa-apanya (arab: laisa bisyay`in)”. Imam Al-Bukhary berkata dalam At-Tarikh Al-Kabir (3/25), “Hammad bin Syu’ aib At- Taimy, Abu Syu’ aib Al-Hummany … , ada kritikan padanya (arab: fiihi nazhor)(2)”. Al-Haitsamy berkata mengomentari riwayat ini dalam Majma’ Az-Zawa`id (4/60), “Ath-Thobrony meriwayatkannya dalam Al-Kabir sedang di dalamnya ada terdapat Hammad bin Syu’ aib, dan dia adalah rowi yang sangat lemah”.(3) Kita kembali ke jalan Sufyan Ats- Tsaury. Di dalamnya sanadnya ada ‘ Ashim bin ‘ Ubaidillah dan dia juga adalah rowi yang sangat lemah. Imam Abu Hatim dan Abu Zur’ ah berkata, “Mungkar haditsnya dan goncang haditsnya”. Imam Ahmad berkata dari Sufyan ibnu ‘ Uyainah (beliau) berkata, “Saya melihat para masyaikh (guru-guru) menjauhi hadits ‘ Ashim bin ‘ Ubaidillah”. ‘ Ali ibnul Madiny berkata, “Saya melihat ‘ Abdurrahman bin Mahdy mengingkari dengan sangat keras hadits-hadits ‘ Ashim bin ‘ Ubaidillah”. Dan hadits ini adalah salah satu hadits yang diingkari atas ‘ Ashim bin ‘ Ubaidillah, sebagaimana dalam Mizanul I’ tidal (4/8). Lihat juga Al-Jarh wat Ta’ dil (6/347) karya Ibnu Abi Hatim dan Al-Kamil (5/225). Berkaca dari uraian di atas,
kita tidak ragu untuk menghukumi hadits ini sebagai hadits yang sangat lemah (arab: dho’ ifun Jiddan). 2. Hadits ‘ Abdullah bin ‘ Abbas -radhiyallahu ‘ anhuma-. ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟﺍ ﻥﺃ ﻦﺴﺤﻟﺍ ﻥﺫﺃ ﻲﻓ ﻥﺫﺃ ﻢﻠﺳﻭ ﺪﻟﻭ ﻡﻮﻳ ﻲﻠﻋ ﻦﺑ , ﻲﻓ ﻥﺫﺄﻓ ﻲﻓ ﻡﺎﻗﺃﻭ ﻰﻨﻤﻴﻟﺍ ﻪﻧﺫﺃ ﻯﺮﺴﻴﻟﺍ ﻪﻧﺫﺃ “Sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘ alaihi wasallam- mengumandangkan azan di telinga Al-Hasan bin ‘ Ali pada hari beliau dilahirkan. Beliau mengumandangkan azan di telinga kanannya dan iqomah di telinga kirinya”. Hadits ini diriwayatkan oleh Al- Baihaqy dalam Syu’ abul Iman (8620) -dan beliau melemahkan hadits ini- dari jalan Al-Hasan bin ‘ Amr bin Saif dari Al-Qosim bin Muthib dari Manshur bin Shofiyyah dari Abu Ma’ bad dari Ibnu ‘ Abbas. Ini adalah hadits yang palsu. Imam Adz-Dzahaby berkata -memberikan biografi bagi Al-Hasan bin ‘ Amr bin Saif di atas- dalam Al-Mizan (2/267), “Dia dianggap pendusta oleh Ibnu Ma’ in, Imam Al-Bukhary berkata, “Dia adalah pendusta””. 3. Hadits Al-Husain bin ‘ Ali - radhiyallahu ‘ anhuma-. Rasulullah -Shallallahu ‘ alaihi wasallam- bersabda: ﻪﻟ ﺪﻟﻭ ﻦﻣ , ﻪﻧﺫﺃ ﻲﻓ ﻥﺫﺄﻓ ﻪﻧﺫﺃ ﻲﻓ ﻡﺎﻗﺃﻭ ﻰﻨﻤﻴﻟﺍ ﻯﺮﺴﻴﻟﺍ , ﻡﺃ ﻩﺮﻀﺗ ﻢﻟ ﻥﺎﻴﺒﺼﻟﺍ “Barangsiapa yang dikaruniai seorang anak, lalu dia mengumandangkan azan di telinga kanannya dan iqomah di telinga kirinya, maka Ummu Shibyan (jin yang mengganggu anak kecil) tidak akan membahayakan dirinya”. Diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dalam Asy-Syu’ ab (8619), Abu Ya’ la (678), dan Ibnu As-Sunny dalam ‘ Amalul Yaum (623) dari jalan Yahya ibnul ‘ Ala` Ar-Rozy dari Marwan bin Salim dari Tholhah bin ‘ Abdillah dari Al- Husain bin ‘ Ali. Hadits ini bisa dihukumi sebagai hadits yang palsu karena adanya dua orang pendusta di dalamnya: 1. Yahya Ibnul ‘ Ala`. Imam Al- Bukhary, An-Nasa`i, dan Ad- Daraquthny berkata, “Dia ditinggalkan (arab: matra ditinggalkan (arab: matruk)”. Imam Ahmad berkata, “Dia adalah pendusta, sering membuat hadits-hadits palsu”. Lihat Al- Mizan (7/206-207) karya Adz- Dzahaby dan Al-Kamil (7/198) karya Ibnu ‘ Ady, dan mereka berdua menyebutkan hadits ini dalam jejeran hadits-hadits yang diingkari atas Yahya ibnul ‘ Ala`. 2. Marwan bin Salim Al-Jazary. An-Nasa`i berkata, “Matrukul hadits”, Imam Ahmad, Al- Bukhary, dan selainnya berkata, “Mungkarul hadits”, dan Abu ‘ Arubah Al-Harrony berkata, “Dia sering membuat hadits-hadits palsu”. Lihat Al-Mizan (6/397-399) 4. Hadits ‘ Abdullah bin ‘ Umar -radhiyallahu ‘ anhuma-. ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟﺍ ﻥﺃ ﻦﺴﺤﻟﺍ ﻥﺫﺃ ﻲﻓ ﻥﺫﺃ ﻢﻠﺳﻭ ﺎﻤﻬﻨﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻲﺿﺭ ﻦﻴﺴﺤﻟﺍﻭ ﺍﺪﻟﻭ ﻦﻴﺣ “Sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘ alaihi wasallam- mengumandangkan azan di telinga Al-Hasan dan Al-Husain - radhiyallahu ‘ anhuma- tatkala mereka berdua dilahirkan”. Diriwayatkan oleh Imam Tammam Ar-Rozy dalam Al-Fawa`id (1/147/333), dan di dalam sanadnya terdapat rowi yang bernama Al-Qosim bin ‘ Abdillah bin ‘ Umar bin Hafsh Al-’ Umary. Imam Ahmad berkata tentangnya, “Tidak ada apa- apanya, dia sering berdusta
dan membuat hadits-hadits palsu”. Lihat Al-Kasyful Hatsits (1/210) 5. Hadits Ummul Fadhl bintul Harits Al-Hilaliyah - radhiyallahu ‘ anha-. Dalam hadits yang agak panjang, beliau bercerita bahwa Rasulullah -Shallallahu ‘ alaihi wasallam- pernah bersabda kepadanya ketika beliau sedang hamil: ﻪﺑ ﻲﻨﺗﺄﻓ ﻪﻴﺘﻌﺿﻭ ﺍﺫﺈﻓ . ﺖﻟﺎﻗ : ﻪﺘﻌﺿﻭ ﺎﻤﻠﻓ , ﻲﺒﻨﻟﺍ ﻪﺑ ﺖﻴﺗﺃ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ . ﻥﺫﺄﻓ ﻲﻓ ﻡﺎﻗﺃﻭ ﻰﻨﻤﻴﻟﺍ ﻪﻧﺫﺃ ﻲﻓ ﻯﺮﺴﻴﻟﺍ ﻪﻧﺫﺃ “Jika kamu telah melahirkan maka bawalah bayimu kepadaku”. Dia berkata, “Maka ketika saya telah melahirkan, saya membawanya kepada Nabi - Shallallahu ‘ alaihi wasallam-, maka beliau mengumandangkan azan di telinga kanannya dan iqomah di telinga kirinya …” . Al-Haitsmy berkata dalam Al- Majma’ (5/187), “Diriwayatkan oleh Ath-Thobrany dalam Al- Ausath (4), dan di dalam sanadnya ada Ahmad bin Rosyid Al-Hilaly. Dia tertuduh telah memalsukan hadits ini”. Sebagai kesimpulan kami katakan bahwa semua hadits-hadits yang menerangkan disyari’ atkannya adzan di telinga kanan bayi yang baru lahir dan iqomah di telinga kirinya adalah hadits-hadits yang yang sangat lemah dan tidak boleh diamalkan. Wallahu A’ lam. _________
(1) Maka riwayat ini menunjukkan wajibnya mengazankan bayi yang baru lahir, karena asal dalam perintah Nabi -Shallallahu ‘ alaihi wasallam- adalah bermakna wajib.
(2) Ini termasuk jarh (kritikan) yang sangat keras tapi dengan penggunaan lafadz yang halus, dan ini adalah kebiasaan Imam Al- Bukhary -rahimahullah-. Imam Al- Bukhary menggunakan lafadz ini untuk rowi-rowi yang ditinggalkan haditsnya. Lihat Fathul Mughits (1/372)
(3) Lihat kritikan lain terhadapnya dalam Al-Kamil (2/242-243) karya Ibnu ‘ Ady (4) Al-Mu’ jamul Ausath (9/102/9250) Sumber : http://al- atsariyyah.com/?p=950

SOMBONG MENJADI SEBAB KEKAFIRAN

Sombong adalah sifat yang sangat dikutuk oleh Allah, hingga
Nabi Muhammad SAW bersabda : ﻪﻧﺍ ﺽﺭ ﻡﻼﺳ ﻦﺑ ﻪﻠﻟﺍ ﺪﺒﻋ ﻦﻋ ﺔﻣﺰﺣ ﻪﻴﻠﻋ ﻭ ﻕﻮﺴﻟﺍ ﻰﻓ ﺮﻣ ﻪﻟ ﻞﻴﻘﻓ ﺐﻄﺣ ﻦﻣ : ﻚﻠﻤﺤﻳ ﺎﻣ ﺍﺬﻫ ﻰﻠﻋ ، ﻪﻠﻟﺍ ﻙﺎﻨﻏﺍ ﺪﻗ ﻭ ﻝﺎﻗ ؟ﺍﺬﻫ ﻦﻋ : ﻥﺍ ﺕﺩﺭﺍ ﺮﺒﻜﻟﺍ ﻊﻓﺩﺍ ، ﻝﻮﺳﺭ ﺖﻌﻤﺳ ﻝﻮﻘﻳ ﺹ ﻪﻠﻟﺍ : ﺔﻨﺠﻟﺍ ﻞﺧﺪﻳ ﻻ ﺮﺒﻛ ﻦﻣ ﺔﻟﺩﺮﺧ ﻪﺒﻠـﻗ ﻰﻓ ﻦﻣ . ﻰﻓ ﻦﺴﺣ ﺩﺎﻨﺳﺈﺑ ﻰﻧﺍﺮﺒﻄﻟﺍ ﺐﻴﻫﺮﺘﻟﺍ ﻭ ﺐﻴﻏﺮﺘﻟﺍ Dari Abdullah bin Salam RA
bahwasanya ia pernah berjalan
di pasar dengan membawa seikat
kayu bakar. Lalu ada orang
bertanya kepadanya, “Apa yang menyebabkan engkau berbuat
demikian, padahal Allah telah
mencukupkan kamu dari semua
ini ?”. Ia menjawab: Saya ingin menghilangkan kesombongan,
karena aku mendengar Rasulullah
SAW bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang di
dalam hatinya ada sebesar
biji sawi dari sombong”. (HR. Thabarani dengan sanad Hasan,
dalam Targhib wat Tarhib) Oleh karena itu seharusnya
setiap orang mu’ min harus berusaha sungguh-sungguh
menjauhi sifat sombong dari
dirinya. Adapun pengertian sombong
menurut sabda Rasulullah SAW
adalah, “Al-Kibru bathorul haqqi wa ghomtun naas”. (Sombong itu menolak kebenaran dan
merendahkan orang lain).
Biasanya beberapa hal yang bisa
menyebabkan kesombongan
seseoranng antara lain karena
kekayaan, karena pendidikan, karena asal-usul, dan masih
banyak lagi. Orang kaya biasanya
merasa dirinya lebih mulia
daripada orang miskin.
Orang yang berpendidikan
tinggi merasa lebih mulia
daripada orang yang berpendidikan rendah.
Demikian pula seorang
pejabat merasa dirinya
lebih mulia daripada rakyat
biasa. Bahkan sampai anak-
anaknya pun terbawa perasaan yang demikian itu.
Lebih celaka lagi,
membanggakan asal-usul/
keturunan. Perasan ini bisa
menjadikan penyebab
kekafiran sebagaimana iblis, dia menjadi kufur, tidak
mau sujud kepada Adam. Ketika ditanya oleh Allah, “Apa yang menghalangi kamu untuk
bersujud (kepada Adam) ketika
Aku menyuruhmu ?”. Iblis menjawab, “Saya lebih baik daripadanya, Engkau ciptakan
saya dari api, sedangkan dia
Engkau ciptakan dari tanah”. QS. Al-A’ raaf : 12. ﺫﺇ ﺪﺠﺴﺗ ﻻﺃ ﻚﻌﻨﻣ ﺎﻣ ﻝﺎﻗ ﻪﻨﻣ ﺮﻴﺧ ﺎﻧﺃ ﻝﺎﻗ ﻚﺗﺮﻣﺃ ﻦﻣ ﻪﺘﻘﻠﺧﻭ ﺭﺎﻧ ﻦﻣ ﻲﻨﺘﻘﻠﺧ ﻦﻴﻃ Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud
(kepada Adam) di waktu aku
menyuruhmu?” Menjawab iblis “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api
sedang Dia Engkau ciptakan dari
tanah”. Sifat Iblis inilah yang banyak
diwarisi oleh manusia. Karena
dirinya merasa lebih mulia, maka
menolak/menganggap remeh
apapun yang datang dari orang
yang dianggap lebih rendah dari dirinya, sekalipun yang
didatangkan itu adalah suatu
kebenaran. Bani Israil mengkufuri kenabian
Nabi Muhammad SAW walaupun
mereka mengetahui secara pasti
bahwa Muhammad adalah Nabi
dan utusan Allah, sebagaimana
yang diungkapkan oleh Allah dalam QS. Al-Baqarah : 146 ﺏﺎﺘﻜﻟﺍ ﻢﻫﺎﻨﻴﺗﺁ ﻦﻳﺬﻟﺍ ﻥﻮﻓﺮﻌﻳ ﺎﻤﻛ ﻪﻧﻮﻓﺮﻌﻳ ﻢﻬﻨﻣ ﺎﻘﻳﺮﻓ ﻥﺇﻭ ﻢﻫﺀﺎﻨﺑﺃ ﻥﻮﻤﻠﻌﻳ ﻢﻫﻭ ﻖﺤﻟﺍ ﻥﻮﻤﺘﻜﻴﻟ Orang-orang (Yahudi dan
Nasrani) yang telah Kami beri Al
kitab (Taurat dan Injil) Mengenal
Muhammad seperti mereka
Mengenal anak-anaknya sendiri.
dan Sesungguhnya sebahagian diantara mereka
Menyembunyikan kebenaran,
Padahal mereka mengetahui. Mengapa mereka kufur kepada
Nabi Muhammad SAW ? Karena
mereka merasa dirinya menjadi
kekasih-kekasih Allah dan yang
dimuliakan oleh Allah, sedangkan
Muhammad dari keturunan bangsa yang rendah (bangsa
‘ Arab), menurut anggapan mereka, padahal mereka tahu
betul kalau Muhammad adalah
utusan Allah. Dalam kenyataan kehidupan ini
banyak orang yang mengabaikan
sesuatu yang disampaikan oleh
orang lain hanya karena
perbedaan latar belakang
pendidikan dan sebagainya, sekalipun yang disampaikan itu
suatu kebenaran, mereka tolak
karena merasa penyampainya
lebih rendah pendidikannya dari
pada dirinya. Rasulullah SAW mengajarkan
kepada kita, sekalipun yang
menyampaikan itu budak yang
hidungnya rumpung, kalau yang
disampaikan itu sesuatu
kebenaran, wajib didengar dan ditha’ ati. Rasulullah juga berpesan, “Undhur maa qoola walaa tandhur man qoola”. (Perhatikanlah apa yang
dikatakan, dan jangan
memperhatikan siapa yang
menyampaikan). Dari itu semua Islam mengajarkan
“Jangan berlaku sombong apabila Allah memberikan suatu kelebihan
pada dirinya dari pada orang
lain, karena pada hakikatnya
kemuliaan yang di sisi Allah
adalah bukan karena kelebihan-
kelebihan yang sifatnya meteriil/ duniawi, tetapi kemuliaan itu
terletak pada ketaqwaannya
kepada Allah. “Inna akromaku ‘ indalloohi atqookum: (Sesungguhnya orang yang
paling mulia di sisi Allah adalah
orang yang paling bertaqwa
diantara kalian). [QS. Al-Hujurat :
13] ﻦﻣ ﻢﻛﺎﻨﻘﻠﺧ ﺎﻧﺇ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﺎﻬﻳﺃ ﺎﻳ ﺎﺑﻮﻌﺷ ﻢﻛﺎﻨﻠﻌﺟﻭ ﻰﺜﻧﺃﻭ ﺮﻛﺫ ﻥﺇ ﺍﻮﻓﺭﺎﻌﺘﻟ ﻞﺋﺎﺒﻗﻭ ﻥﺇ ﻢﻛﺎﻘﺗﺃ ﻪﻠﻟﺍ ﺪﻨﻋ ﻢﻜﻣﺮﻛﺃ ﺮﻴﺒﺧ ﻢﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ Hai manusia, Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa
- bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal- mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal. Demikian semoga kita dijauhkan
oleh Allah dari sifat sombong
yang akan menyeret kita kepada
kekafiran, dan kita diberikan
sifat tawadldlu’ yang akan membimbing kita kepada
kebenaran. Aamiin.

Selasa, Maret 29, 2011

HUKUM MERAYAKAN ULANG TAHUN

ernyata ULANG TAHUN ada
Dalam INJIL MATIUS 14 : 6
dan INJIL MARKUS 6 :21 122 Mungkin kurangnya pengetahuan mengenai "ke-Aqidah-an", masih banyak ummat Islam yang mengikuti ritual paganisme ini. Bahkan tidak menutup kemungkinan para ustadz dan ustazdahpun ikut merayakannya dan terjebak di dalamnya. Apalagi
gencarnya media televisi dan media massa lainnya mempublikasikan seremonialnya yang terkadang dilakukan oleh beberapa da'i muda atau yang bergelar ustadz [setengah artis, katanya sih !]. Ditambah lagi kebiasaan ini sudah jamak dan menjadi hal yang seakan-akan wajib apabila ada anggota keluarga, rekan atau sahabat yang memperingati hari lahirnya. Dan tak kurang kelirunya sejak di Taman Kanak-kanak dan SD sudah diajarkan secara praktek langsung bahkan ada termaktub dalam buku-buku kurikulum mereka . Wallahu a'lam. Semoga Allah memberikan hidayah kepada
mereka. Pada masa-masa awal Nasrani generasi pertama (Ahlul Kitab / kaum khawariyyun / pengikut nabi Isa) mereka tidak merayakan Upacara UlangTahun, karena mereka menganggap bahwa pesta ulang tahun itu adalah pesta yang mungkar dan hanya pekerjaan orang kafir Paganisme. Pada masa Herodeslah acara ulang tahun dimeriahkan sebagaimana tertulis dalam Injil Matius 14:6; Tetapi pada HARI ULANG TAHUN Herodes, menarilah anak Herodes yang perempuan, Herodiaz, ditengah-tengah meraka akan menyukakan hati Herodes. (Matius14 : 6) Dalam Injil Markus 6:21 Akhirnya tiba juga kesempatan yang baik bagi Herodias, ketika Herodes pada HARI ULANG TAHUNNYA mengadakan perjamuan untuk pembesar- pembesarnya, perwira- perwiranya dan orang- orang terkemuka di Galilea. (Markus 6:21) ------------------------------------------------------------- Look
at
the
Bible,
Matthew
14 : 6
and
Mark
6:21; celebrating
of
birthday
is
Paganism,
and Jesus
(Isa, peace be upon him) doesn't to do it, but Herod. Matthew 14:6 : "But when Herod's birthday was kept, the daughter of Herodias danced before them, and pleased Herod". Mark 6:21 : And when a convenient day was come, that Herod on his birthday made a supper to his lords, and the high captains, and the chief men of Galilee. ------------------------------------------------------------- Orang Nasrani yang pertama kali mengadakan pesta ulang tahun adalah orang Nasrani Romawi. Beberapa batang lilin dinyalakan sesuai dengan usia orang yang berulang tahun. Sebuah kue ulang tahun dibuatnya dan dalam pesta itu, kue besar dipotong dan lilinpun ditiup. (Baca buku :Parasit Aqidah. A.D. El. Marzdedeq, Penerbit Syaamil, hal. 298) Sudah menjadi kebiasaan kita mengucapkan selamat ulang tahun kepada keluarga maupun teman, sahabat pada hari ULTAHnya. Bahkan tidak sedikit yang aktif dakwah (ustadz dan ustadzah) pun turut larut dalam tradisi jahiliyah ini. Sedangkan kita sama-sama tahu bahwa tradisi ini tidak pernah diajarkan oleh Nabi kita yang mulia MUHAMMAD Shalallah Alaihi Wasallam, dan kita ketahui Rasulullah adalah orang yang paling mengerti cara bermasyarakat, bersosialisasi, paling tahu bagaimana cara menggembirakan para sahabat- sahabatnya. Rasulullah paling mengerti bagaimana cara mensyukuri hidup dan kenikmatannya. Rasulullah paling mengerti bagaimana cara menghibur orang yang sedang bersedih. Rasulullah adalah orang yang paling mengerti CARA BERSYUKUR dalam setiap hal yang di dalamnya ada rasa kegembiraan. Adapun tradisi ULANG TAHUN ini merupakan tradisi orang-orang Yahudi, Nasrani dan kaum paganism, maka Rasulullah memerintahkan untuk menyelisihinya. Apakah Rasulullah pernah melakukannya ? Apakah para sahabat Rasululah pernah melakukannya ? Apakah para Tabi'in dan Tabiut tabi'in pernah melakukannya ? Padahal Herodes sudah hidup pada jaman Nabi Isa. Apakah Rasulullah mengikuti tradisi ini ? Apakah 3 generasi terbaik dalam Islam melakukan ritual paganisme ini ? Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian orang- orang yang mengikuti mereka (tabi’ in) dan kemudian orang-orang yang mengikuti mereka lagi (tabi’ ut tabi’ in).” (Muttafaq ‘ alaih) Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela seorang pun di antara para sahabatku. Karena sesungguhnya apabila seandainya ada salah satu di antara kalian yang bisa berinfak emas sebesar Gunung Uhud maka itu tidak akan bisa menyaingi infak salah seorang di antara mereka; yang hanya sebesar genggaman tangan atau bahkan setengahnya saja.” (Muttafaq ‘ alaih) Rasulullah pernah bersabda: "Kamu akan mengkuti cara hidup orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sehingga jika mereka masuk kedalam lobang biawak kamu pasti akan memasukinya juga". Para sahabat bertanya,"Apakah yang engkau maksud adalah kaum Yahudi dan Nasrani wahai Rasulullah?"Rasulullah menjawab:"Siapa lagi jika bukan mereka?!". Rasulullah bersabda: ﻢﻬﻨﻣ ﻮﻬﻓ ﻡﻮﻘﺑ ﻪﺒﺸﺗ ﻦﻣ “ Man tasabbaha biqaumin fahua minhum” (Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka."( HR. Ahmad dan Abu Daud dari Ibnu Umar). Allah berfirman; ﻻﻭ ﺩﻮﻬﻴﻟﺍ ﻚﻨﻋ ﻰﺿﺮﺗ ﻦﻟﻭ ﻢﻬﺘﻠﻣ ﻊﺒﺘﺗ ﻰﺘﺣ ﻯﺭﺎﺼﻨﻟﺍ Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. (QS. Al Baqarah : 120) ﻢﻠﻋ ﻪﺑ ﻚﻟ ﺲﻴﻟ ﺎﻣ ﻒﻘﺗ ﻻﻭ ﺮﺼﺒﻟﺍﻭ ﻊﻤﺴﻟﺍ ﻥﺇ ﻪﻨﻋ ﻥﺎﻛ ﻚﺌﻟﻭﺃ ﻞﻛ ﺩﺍﺆﻔﻟﺍﻭ ﻻﻮﺌﺴﻣ Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran , pengelihatan, dan hati, semuannya itu akan diminta pertanggungjawabannya. (QS. Al- Isra’ :36) "... dan kamu mengatakan dengan
mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikitpun juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar." (QS. an-Nuur: 15) Janganlah kita ikut-ikutan, karena tidak mengerti tentang sesuatu perkara. Latah ikut- ikutan memperingati Ulang Tahun, tanpa mengerti darimana asal perayaan tersebut. Ini penjelasan Nabi tentang sebagian umatnya yang akan meninggalkan tuntunan beliau dan lebih memilih tuntunan dan cara hidup diluar Islam. Termasuk juga diantaranya adalah peringatan perayaan ULTAH, meskipun ditutupi dengan label SYUKURAN, SELAMATAN atau ucapan selamat MILAD atau Met MILAD seakan-akan kelihatan lebih Islami. Ingatlah ! Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasul. ﺎﻧﺮﻣﺃ ﻪﻴﻠﻋ ﺲﻴﻟ ﻼﻤﻋ ﻞﻤﻋ ﻦﻣ ﺩﺭ ﻮﻬﻓ “Barangsiapa beramal dengan suatu amalan yang "tidak ada perintah dari kami padanya" maka amalan tersebut TERTOLAK (yaitu tidak diterima oleh Allah).” [HR. Muslim] Rasulullah, para sahabat, tabi'in dan tabiut tabi'in adalah orang yang PALING MENGERTI AGAMA ISLAM. Mereka tidak mengucapkan dan tidak memperingati Ulang Tahun, walaupun mungkin sebagian manusia menganggapnya baik. Pahamilah "Kaidah" yang agung ini; ﻪﻴﻟﺍ ﻥﻮﻘﺒﺴﻟ ﺍﺮﻴﺧ ﻥﺎﻛ ﻮﻟ "Lau Kaana Khairan Lasabaquuna ilaihi" SEANDAINYA PERBUATAN ITU BAIK, MAKA RASULULLAH, PARA SAHABAT, TABI'IN DAN TABIUT TABI'IN PASTI MEREKA LEBIH DAHULU MENGMALKANNYA DARIPADA KITA. Karena mereka paling tahu tentang nilai sebuah kebaikan daripada kita yang hidup di jaman sekarang ini. Jika kita mau merenung apa yang harus dirayakan atau disyukuri BERKURANGNYA usia kita? Semakin dekatnya kita dengan KUBUR? SUDAH SIAPKAH kita untuk itu? Akankah kita bisa
merayakannya tahun depan? Allah berfirman : ﺍﻮﻘﺗﺍ ﺍﻮﻨﻣﺁ ﻦﻳﺬﻟﺍ ﺎﻬﻳﺃ ﺎﻳ ﺖﻣﺪﻗ ﺎﻣ ﺲﻔﻧ ﺮﻈﻨﺘﻟﻭ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻠﻟﺍ ﻥﺇ ﻪﻠﻟﺍ ﺍﻮﻘﺗﺍﻭ ﺪﻐﻟ ﻥﻮﻠﻤﻌﺗ ﺎﻤﺑ ﺮﻴﺒﺧ “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri MEMPERHATIKAN apa yang telah diperbuatnya UNTUK HARI ESOK (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18) Seorang muslim dia dituntut untuk MUHASABAH setiap hari, karena setiap detik yang dilaluinya TIDAK akan pernah kembali lagi sampai nanti dipertemukan oleh ALLAH pada hari penghisaban , yang tidak ada yang bermanfaat pada hari itu baik anak maupun harta kecuali orang yang menghadap ALLAH dengan membawa hati yang ikhlas dan amal yang soleh. Jadi, alangkah baiknya jika tradisi jahiliyah ini kita buang jauh-jauh dari diri kita, keluarga dan anak-anak kita dan menggantinya dengan tuntunan yg mulia yang diajarkan oleh Rasulullah.

Kamis, Februari 03, 2011

Larangan Duduk, Menembok dan Mencat Kuburan

Tidur di atas kuburan Meninggikan kuburan lebih
dari satu jengkal Sebagian kaum muslimin
meninggikan kubur melebihi dari
hal yang dibolehkan agama. Hal
ini mungkin disebabkan karena
mereka belum memahami
tuntunan agama atau karena ada unsur lain seperti ingin
menunjukkan bahwa orang
tersebut seorang yang mulia. “Dari Abu Hayyaaj al-Asady, ia berkata: Berkata kepadaku Ali
bin Abi Tholib radhiyallahu ‘ anhu: Maukah engkau aku utus untuk
melakukan sesuatu yang aku
juga diutus oleh Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wasallam untuk melakukannya? Jangan engkau tinggalkan sebuah
patung melainkan engkau
hancurkan. Dan tidak pula
kuburan yang ditinggikan
kecuali engkau
datarkan.” [HR.Muslim] “Dari Tsumamah bin Syufai, ia berkata: Aku pernah bersama
Fudholah bin Ubaid di negeri
Romawi ‘ Barudis’ . Lalu meninggal salah seorang teman kami. Maka
Fudholah menyuruh untuk
mendatarkan kuburannya.
Kemudian ia berkata: Aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wasallam menyuruh untuk
mendatarkannya.” [HR.Muslim] Menembok dan mencat
kuburan Di antara kebiasan buruk
yang bisa membawa kepada
sikap pengkultusan kuburan
adalah menembok dan mencat kuburan bahkan
ada yang mengkramik
atau dilapisi Marmer. Di samping hal tersebut
diharamkan dalam agama,
termasuk pula membuang
harta kepada sesuatu yang
tidak ada manfaatnya. Dan
yang lebih ditakutkan adalah akan terfitnahnya orang
awam dengan kuburan
tersebut. Sehingga mereka
menganggap kuburan
tersebut memiliki berkah dan
sakti. Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam telah melarang
dengan tegas menembok dan
mencat kuburan dalam sabda
beliau (yang artinya): “Dari Jabir radhiyallahu ‘ anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wasallam melarang mencat kubur,
duduk diatasnya dan
membangun di
atasnya.” [HR.Muslim] Yang dimaksud dengan
membangun dalam hadits
tersebut adalah umum,
sekalipun hanya berbentuk
tembok saja. Apalagi
membuatkan rumah untuk kuburan dengan biaya
banyak sebagaimana telah
dilakukan sebagian orang-
orang yang jahil. Berkata Imam asy-Syafi’ i rahimahullah: “Aku melihat para ulama di Makkah
menyuruh menghancurkan
apa yang dibangun
tersebut.” Al-Manawy berkata: “Kebanyakan ulama Syafi’ iyyah berfatwa tentang wajibnya
menghancurkan segala
bangunan di Qorofah (tanah
pekuburan) sekali pun kubah
Imam kita sendiri Syafi’ i yang dibangun oleh sebagian
penguasa. Membangun rumah untuk
kuburan. Sebagian orang ada pula
yang mambangunkan rumah
untuk kuburan. Bahkan
kadang kala biayanya cukup
besar. Ini adalah salah satu
bentuk penyia-nyiaan dalam penggunaan harta. Mungkin
orang yang melakukan hal
tersebut berasumsi bahwa si
mayat mendapat naungan
dan nyaman dalam kuburnya.
Sesungguhnya tidak ada yang dapat memberikan
kenyamanan dalam kubur
kecuali amalan sendiri, walau
seindah apa pun kuburan
seseorang tersebut. “Ibnu Umar melihat sebuah tenda di atas kubur
Abdurrahman. Maka ia
berkata: “Bukalah tenda tersebut wahai Ghulam
(anak muda), maka
sesungguhnya yang
melindunginya hanyalah
amalannya.” Duduk dan makan di
kuburan. Bentuk lain yang merupakan
jalan membawa kepada
pengkultusan kuburan
adalah kebiasaan sebagian
orang mendatangi kuburan
pada momen-momen tertentu. Seperti mau masuk
bulan suci Ramadhan,
Lebaran atau masa setelah
panen. Mereka berbondong-
bondong ke kuburan dengan
membawa tikar dan makanan. Lalu sesampai di
kuburan membentangkan
tikar dan duduk bersama-
sama. Dilanjutkan dengan
rangkaian acara tahlilan dan
do’ a setelah itu ditutup acara makan bersama. Jika
hal tersebut kita timbang
dengan ajaran Islam yang
dibawa oleh Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wasallam, maka sungguh sangat
bertolak belakang sama
sekali. Jangankan untuk
tahlilan dan makan bersama,
duduk saja tidak
diperbolehkan. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wasallam berikut ini (yang artinya): “Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘ anhu berkata: Telah bersabda Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wasallam: "Sungguh salah seorang
kalian duduk di atas
bara api lalu membakar
baju sehingga tembus
ke kulitnya lebih baik
daripada ia duduk di atas kuburan.” [HR.Muslim] Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari [seorang ulama besar
dari Banjarmasin, yang
bermazhab Syafi'i] dalam
kitabnya Sabilal Muhtadin, beliau mengatakan : "Makruh memutihkan kuburan
dengan kafur. Haram
membikin sesuatu
bangunan di atas kuburan
seperti kubah atau
bangunan seperti rumah atau pagar di atas
kuburan . [Sabilal Muhtadin, Bab Jenazah hal. 736-737] Imam Syafi'i dalam kitabnya Al Umm, berkata : "Saya menyukai bahwa tidak
ditambahkan pada
kuburan tanah yang lain.
Dan tiada mengapa bahwa
ada pada kuburan itu
tanah yang lain, apabila ditambahkan padanya
tanah yang lain, maka ia
tinggi sekali. Saya
menyukai bahwa
ditinggikan kuburan atas
permukaan bumi sejengkal atau kira-kira sejengkal.
Saya menyukai bahwa
tidak dibangun kuburan
dan tidak dikapurkan.
Karena yang demikian itu
menyerupai hiasan dan kebanggaan. Dan tidaklah
kematian itu tempat
salah satu dari keduanya.
Saya tidak melihat
kuburan orang-orang
Muhajirin dan Anshar itu dikapurkan." [Kitab Al Umm, bab "Apa Yang Akan Ada
Sesudah Dikuburkan", hal. 216] Wallahu a'lam

Apakah 3 bulanan (Telonan) , 7 bulanan (Mitoni dan Tingkepan) masa kehamilan, Memberi lampu pada Ari-ari dari Ajaran Islam ?

Seorang mantan Pandita Hindu
ditanya; [Sebelum masuk Islam beliau
bernama Pandita Budi Winarno,
setelah masuk Islam bernama
Abdul Aziz] Pertanyaan : Apakah Telonan, Mitoni dan Tingkepan dari ajaran
Islam ? [Telonan : Upacara 3 bulan masa
kehamilan, Mitoni dan Tingkepan :
Upacara 7 Bulan masa kehamilan;
biasanya dengan mandi-mandi] Jawab : Telonan, Mitoni dan Tingkepan yang sering kita
jumpai di tengah-tengah
masyarkat adalah teradisi
masyarakat Hindu. Upacara ini dilakukan dalam rangka memohon
keselamatan anak yang ada di
dalam rahim (kandungan).
Upacara ini biasa disebut Garba Wedana [garba : perut, Wedana : sedang mengandung].
Selama bayi dalam kandungan
dibuatkan tumpeng selamatan
Telonan, Mitoni, Tingkepan
[terdapat dalam Kitab Upadesa
hal. 46] Intisari dari sesajinya adalah : 1. Pengambean, yaitu upacara pemanggilan atman (urip). 2. Sambutan, yaitu upacara penyambutan atau peneguhan
letak atman (urip) si jabang bayi. 3. Janganan, yaitu upacara suguhan terhadap "Empat Saudara" [sedulur papat] yang menyertai kelahiran sang
bayi, yaitu : darah, air, barah,
dan ari-ari. [orang Jawa
menyebut : kakang kawah adi
ari-ari] Hal ini dilakukan untuk panggilan
kepada semua kekuatan-
kekuatan alam yang tidak
kelihatan tapi mempunyai
hubungan langsung pada
kehidupan sang bayi dan juga pada panggilan kepada Empat Saudara yang bersama-sama ketika sang bayi dilahirkan,
untuk bersama-sama diupacarai,
diberi pensucian dan suguhan
agar sang bayi mendapat
keselamatan dan selalu dijaga
oleh unsur kekuatan alam. Sedangkan upacara terhadap
ari-ari, ialah setelah ari-ari
terlepas dari si bayi lalu
dibersihkan dengan air yang
kemudian dimasukkan ke dalam
tempurung kelapa selanjutnya dimasukkan ke dalam kendil atau
guci. Ke dalamnya dimasukkah
tulisan "AUM" agar sang Hyang Widhi melindungi. Selain itu dimasukkan juga berbagai benda
lain sebagai persembahan kepada
Hyang Widhi. Kendil kemudian
ditanam di pekarangan, di kanan
pintu apabila bayinya laki-laki, di
kiri pintu apabila bayinya perempuan. Kendil yang berisi ari-ari ditimbun
dengan baik, dan pada malam
harinya diberi lampu, selama tiga bulan. Apa yang diperbuat
kepada si bayi maka
diberlakukan juga kepada Empat
Saudara tersebut. Kalau si bayi
setelah dimandikan, maka airnya
juga disiramkan kepada kendil tersebut. (Kitab Upadesa, tentang ajaran-ajaran
Agama Hindu, oleh : Tjok Rai
Sudharta, MA. dan Drs. Ida
Bagus Oka Punia Atmaja,
cetakan kedua 2007) Dikutip dari buku : Santri
Bertanya Mantan Pendeta
(Hindu) Menjawab ___________________________
___________________________
___________ KETERANGAN TAMBAHAN ; *1. KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA (NU) KE-5
Di Pekalongan, pada tanggal
13 Rabiul Tsani 1349 H / 7
September 1930 M. Lihat halaman : 58. Air mandi kembang 7 rupa Pertanyaan : Bagaimana hukumnya melempar
kendi yang penuh air hingga
pecah pada waktu orang-orang
yang menghadiri UPACARA
PERINGATAN BULAN KE TUJUH dari
umur kandungan pulang dengan membaca shalawat bersama-
sama, dan dengan harapan
supaya mudah kelahiran anak
kelak. Apakah hal tersebut
hukumnya haram karena
termasuk membuang-buang uang (tabzir) ? Jawab : Ya, perbuatan tersebut
hukumnya H A R A M karena termasuk tabdzir. *2. KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA (NU) KE-7
Di Bandung, pada tanggal
13 Rabiul Tsani 1351 H / 9
Agustus 1932 M. Lihat halaman : 71. Ari-ari yang diberi lampu
Menanam ari-ari (masyimah/
tembuni) hukumnya sunnah.
Adapun menyalakan lilin (lampu)
dan menaburkan bunga-bunga di
atasnya itu hukumnya H A R A M, karena membuang-buang harta (tabzir) yang tidak ada
manfa'atnya. ______________________ *Dikutip dari buku : "Masalah Keagamaan" hasil
Muktamar/Munas Ulama NU
ke I s/d XXX (yang terdiri dari 430 masalah) oleh KH. A. Aziz
Masyhuri ketua Pimpinan Pusat
Rabithah Ma'ahid Islamiyah dan
Pengasuh Ponpes Al Aziziyyah
Denanyar Jombang, Kata
Pengantar Menteri Agama Maftuh Basuni. Wallahu 'alam.

Penjelasan Dari Nahdalatul Ulama (NU), Para Ulama Salafus salih, WaliSongo, 4 Mahzab Tentang Bid'ahnya Tahlilan

Penjelasan Dari Nahdalatul
Ulama (NU), Para Ulama
Salafus salih, WaliSongo, 4
Mahzab Tentang Bid'ahnya
Tahlilan

Segala puji bagi Allah, sholawat
serta salam kita haturkan
kepada Nabi Muhammad beserta
keluarga dan sahabat-
sahabatnya. Do’ a dan shodaqoh untuk sesama muslim yang telah
meninggal menjadi ladang amal
bagi kita yang masih di dunia ini
sekaligus tambahan amal bagi
yang telah berada di alam sana.
Sebagai agama yang mencerahkan dan mencerdaskan,
Islam membimbing kita menyikapi
sebuah kematian sesuai dengan
hakekatnya yaitu amal shalih,
tidak dengan hal-hal duniawi
yang tidak berhubungan sama sekali dengan alam sana seperti
kuburan yang megah, bekal
kubur yang berharga, tangisan
yang membahana, maupun pesta
besar-besaran. Bila diantara
saudara kita menghadapi musibah kematian, hendaklah
sanak saudara menjadi penghibur
dan penguat kesabaran,
sebagaimana Rasulullah
memerintahkan membuatkan
makanan bagi keluarga yang sedang terkena musibah
tersebut, dalam hadits:

“Kirimkanlah makanan oleh kalian kepada keluarga
Ja'far, karena mereka
sedang tertimpa masalah
yang menyesakkan”.(HR Abu Dawud (Sunan Aby Dawud,
3/195), al-Baihaqy (Sunan
al-Kubra, 4/61), al-
Daruquthny (Sunan al-
Daruquthny, 2/78), al-
Tirmidzi (Sunan al-Tirmidzi, 3/323), al- Hakim (al-
Mustadrak, 1/527), dan Ibn
Majah (Sunan Ibn Majah,
1/514)

Namun ironisnya kini, justru uang
jutaan rupiah dihabiskan tiap
malam untuk sebuah selamatan
kematian yang harus ditanggung
keluarga yang terkena musibah.
Padahal ketika Rasulullah ditanya shodaqoh terbaik yang akan
dikirimkan kepada sang ibu yang
telah meninggal, Beliau menjawab
‘ air’ . Bayangkan betapa banyak orang yang mengambil manfaat
dari sumur yang dibuat itu
(menyediakan air bagi
masyarakat indonesia yang
melimpah air saja sangat
berharga, apalagi di Arab yang beriklim gurun), awet dan
menjadi amal jariyah yang terus
mengalir. Rasulullah telah
mengisyaratkan amal jariyah kita
sebisa mungkin diprioritaskan
untuk hal-hal yang produktif, bukan konsumtif; memberi kail,
bukan memberi ikan; seandainya
seorang pengemis diberi uang
atau makanan, besok dia akan
mengemis lagi; namun jika diberi
kampak untuk mencari kayu, besok dia sudah bisa mandiri.
Juga amal jariyah yang
manfaatnya awet seperti menulis
mushaf, membangun masjid,
menanam pohon yang berbuah
(reboisasi; reklamasi lahan kritis), membuat sumur/mengalirkan air
(fasilitas umum, irigasi),
mengajarkan ilmu, yang memang
benar-benar sedang dibutuhkan
masyarakat. Bilamana tidak
mampu secara pribadi, toh bisa dilakukan secara patungan.
Seandainya dana umat Islam
yang demikian besar untuk
selamatan berupa makanan
(bahkan banyak makanan yang
akhirnya dibuang sia-sia; dimakan ayam; lainnya menjadi isyrof)
dialihkan untuk memberi
beasiswa kepada anak yatim
atau kurang mampu agar bisa
sekolah, membenahi madrasah/
sekolah islam agar kualitasnya sebaik sekolah faforit (yang
umumnya milik umat lain),atau
menciptakan lapangan kerja dan
memberi bekal ketrampilan bagi
pengangguran, niscaya akan
lebih bermanfaat. Namun shodaqoh tersebut bukan suatu
keharusan, apalagi bila memang
tidak mampu. Melakukannya
menjadi keutamaan, bila tidak
mau pun tidak boleh ada celaan. Sebagian ulama menyatakan
mengirimkan pahala tidak
selamanya harus dalam bentuk
materi, Imam Ahmad dan Ibnu
Taimiyah berpendapat bacaan al-
Qur’ an dapat sampai sebagaimana puasa, nadzar, haji,
dll; sedang Imam Syafi’ i dan Imam Nawawi menyatakan bacaan al-
Qur’ an untuk si mayit tidak sampai karena tidak ada dalil
yang memerintahkan hal
tersebut, tidak dicontohkan
Rasulullah dan para shahabat.
Berbeda dengan ibadah yang
wajib atau sunnah mu’ akad seperti shalat, zakat, qurban,
sholat jamaah, i’ tikaf 10 akhir ramadhan, yang mana ada celaan
bagi mereka yang
meninggalkannya dalam keadaan
mampu. Akan tetapi di
masyarakat kita selamatan
kematian/tahlilan telah dianggap melebihi kewajiban- kewajiban
agama. Orang yang
meninggalkannya dianggap lebih
tercela daripada orang yang
meninggalkan sholat, zakat, atau
kewajiban agama yang lain. Sehingga banyak yang akhirnya
memaksakan diri karena takut
akan sanksi sosial tersebut. Mulai
dari berhutang, menjual tanah,
ternak atau barang berharga
yang dimiliki, meskipun di antara keluarga terdapat anak yatim
atau orang lemah. Padahal di
dalam al-Qur’ an telah jelas terdapat arahan untuk
memberikan perlindungan harta
anak yatim; tidak memakan
harta anak yatim secara dzalim,
tetapi menjaga sampai ia dewasa

(QS an-Nisa’ : 2, 5, 10, QS al- An’ am: 152, QS al-Isra’ : 34) serta tidak membelanjakannya secara
boros (QS an- Nisa’ : 6) Dibalik selamatan kematian
tersebut sesungguhnya juga
terkandung tipuan yang
memperdayakan.
Seorang yang
tidak beribadah/menunaikan
kewajiban agama selama hidupnya, dengan besarnya
prosesi selamatan setelah
kematiannya akan menganggap
sudah cukup amalnya, bahkan
untuk menebus kesalahan-
kesalahannya. Juga seorang anak yang tidak taat
beribadahpun akan menganggap
dengan menyelenggarakan
selamatan, telah menunaikan
kewajibannya berbakti/
mendoakan orang tuanya.
Imam Syafi'i rahimahullah dalam
kitab al-Umm berkata: "...dan aku membenci al-
ma'tam, yaitu proses
berkumpul (di tempat
keluarga mayat) walaupun
tanpa tangisan, karena hal
tersebut hanya akan menimbulkan bertambahnya
kesedihan dan
membutuhkan biaya,
padahal beban kesedihan
masih melekat." (al-Umm
(Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1393) juz I, hal 279)

Namun ketika Islam datang ke
tanah Jawa ini, menghadapi
kuatnya adat istiadat yang telah
mengakar. Masuk Islam tapi
kehilangan selamatan-selamatan,
beratnya seperti masyarakat Romawi disuruh masuk Nasrani
tapi kehilangan perayaan
kelahiran anak Dewa Matahari 25
Desember. Dalam buku yang ditulis H
Machrus Ali, mengutip naskah
kuno tentang jawa yang
tersimpan di musium Leiden,

Sunan Ampel
memperingatkan Sunan
Kalijogo yang masih
melestarikan selamatan
tersebut:“Jangan ditiru perbuatan semacam itu
karena termasuk bid'ah”. Sunan Kalijogo menjawab:
“Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam
telah tertanam di hati
masyarakat yang akan
menghilangkan budaya
tahlilan itu”.
Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali
Songo yang ditulis H. Lawrens
Rasyidi dan diterbitkan Penerbit
Terbit Terang Surabaya juga
mengupas panjang lebar
mengenai masalah ini. Dimana Sunan Kalijaga, Sunan Bonang,
Sunan Kudus, Sunan Gunungjati
dan Sunan Muria (kaum abangan)
berbeda pandangan mengenai
adat istiadat dengan Sunan
Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat (kaum putihan). Sunan
Kalijaga mengusulkan agar adat
istiadat lama seperti selamatan,
bersaji, wayang dan gamelan
dimasuki rasa keislaman.
Sunan Ampel berpandangan lain: “Apakah tidak mengkhawatirkannya di
kemudian hari bahwa adat
istiadat dan upacara lama
itu nanti dianggap sebagai
ajaran yang berasal dari
agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan
menjadi bid’ ah?”
Sunan kudus menjawabnya bahwa
ia mempunyai keyakinan
bahwa di belakang hari
akan ada yang
menyempurnakannya. (hal
41, 64)

Dalam penyebaran agama
Islam di Pulau Jawa, para
Wali dibagi menjadi tiga
wilayah garapan Pembagian wilayah tersebut
berdasarkan obyek dakwah yang
dipengaruhi oleh agama yang
masyarakat anut pada saat itu,
yaitu Hindu dan Budha. Pertama: Wilayah Timur. Di wilayah bagian timur ini ditempati
oleh lima orang wali, karena
pengaruh hindu sangat dominan.
Disamping itu pusat kekuasaan
Hindu berada di wilayah Jawa
bagian timur ini (Jawa Timur sekarang) Wilayah ini ditempati
oleh lima wali, yaitu Syaikh
Maulana Ibrahim (Sunan Demak),
Raden Rahmat (Sunan Ampel),
Raden Paku (Sunan Giri), Makdum
Ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Kasim (Sunan Drajat) Kedua : Wilayah Tengah. Di wilayah Tengah ditempati oleh
tiga orang Wali. Pengaruh Hindu
tidak begitu dominan. Namun
budaya Hindu sudah kuat. Wali
yang ditugaskan di sini adalah :
Raden Syahid (Sunan Kali Jaga), Raden Prawoto (Sunan Muria),
Ja'far Shadiq (Sunan Kudus) Ketiga : Wilayah Barat. Di wilayah ini meliputi Jawa bagian
barat, ditempati oleh seorang
wali, yaitu Sunan Gunung Jati
alias Syarief Hidayatullah. Di
wilayah barat pengaruh Hindu-
Budha tidak dominan, karena di wilayah Tatar Sunda (Pasundan)
penduduknya telah menjadi
penganut agama asli sunda,
antara lain kepercayaan "Sunda Wiwitan" Dua Pendekatan dakwah para
wali.
1. Pendekatan Sosial Budaya
2. Pendekatan aqidah Salaf Sunan Ampel, Sunan Bonang,
Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati
dan terutama Sunan Giri
berusaha sekuat tenaga untuk
menyampaikan ajaran Islam
secara murni, baik tentang aqidah maupun ibadah. Dan
mereka menghindarkan diri dari
bentuk singkretisme ajaran Hindu
dan Budha.
Tetapi sebaliknya
Sunan Kudus, Sunan Muria dan
Sunan Kalijaga mencoba menerima sisa-sisa ajaran Hindu
dan Budha di dalam
menyampaikan ajaran Islam.
Sampai saat ini budaya itu masih
ada di masyarakat kita, seperti
sekatenan, ruwatan, shalawatan, tahlilan, upacara tujuh bulanan
dll. Pendekatan Sosial budaya
dipelopori oleh Sunan Kalijaga,
putra Tumenggung Wilwatika,
Adipati Majapahit Tuban.
Pendekatan sosial budaya yang
dilakukan oleh aliran Tuban memang cukup efektif, misalnya
Sunan Kalijaga menggunakan
wayang kulit untuk menarik
masyarakat jawa yang waktu itu
sangat menyenangi wayang kulit.
Sebagai contoh dakwah Sunan kalijaga kepada Prabu Brawijaya
V, Raja Majapahit terakhir yang
masih beragama Hindu,
dapat
dilihat di serat Darmogandul, yang antara lain bunyinya; Punika sadar sarengat,
tegese sarengat niki, yen
sare wadine njegat;
tarekat taren kang osteri;
hakikat unggil kapti, kedah
rujuk estri kakung, makripat ngentos wikan,
sarak sarat laki rabi,
ngaben aku kaidenna yayan
rina" (itulah yang namanya
sahadat syariat, artinya
syariat ini, bila tidur kemaluannya tegak;
sedangkan tarekat artinya
meminta kepada istrinya;
hakikat artinya menyatu
padu , semua itu harus
mendapat persetujuan suami istri; makrifat
artinya mengenal ; jadilah
sekarang hukum itu
merupakan syarat bagi
mereka yang ingin berumah
tangga, sehingga bersenggama itu dapat
dilaksanakan kapanpun
juga). Dengan cara dan sikap Sunan Kalijaga seperti tergambar
di muka, maka ia satu-satunya
Wali dari Sembilan Wali di Jawa
yang dianggap benar-benar wali
oleh golongan kejawen (Islam
Kejawen/abangan),
karena Sunan Kalijaga adalah satu-
satunya wali yang berasal
dari penduduk asli Jawa
(pribumi).
[Sumber : Abdul Qadir Jailani ,
Peran Ulama dan Santri
Dalam Perjuangan Politik
Islam di Indonesia, hal. 22-23,
Penerbit PT. Bina Ilmu dan
Muhammad Umar Jiau al Haq, M.Ag, Syahadatain Syarat

Utama Tegaknya Syariat
Islam, hal. 51-54, Kata
Pengantar Muhammad Arifin
Ilham (Pimpinan Majlis Adz
Zikra),
Penerbit Bina Biladi Press.] Nasehat Sunan Bonang Salah satu catatan menarik yang
terdapat dalam dokumen “Het Book van Mbonang”
[1] adalah peringatan dari sunan Mbonang
kepada umat untuk selalu
bersikap saling membantu dalam
suasana cinta kasih, dan
mencegah diri dari kesesatan
dan bid’ ah. Bunyinya sebagai berikut: “Ee..mitraningsun! Karana sira iki apapasihana sami-
saminira Islam lan mitranira
kang asih ing sira lan
anyegaha sira ing dalalah
lan bid’ ah“. Artinya: “Wahai saudaraku! Karena kalian semua adalah
sama-sama pemeluk Islam maka
hendaklah saling mengasihi
dengan saudaramu yang
mengasihimu. Kalian semua
hendaklah mencegah dari perbuatan sesat dan bid’ ah.[2]
[1] Dokumen ini adalah
sumber tentang walisongo
yang dipercayai sebagai
dokumen asli dan valid, yang
tersimpan di Museum Leiden,
Belanda. Dari dokumen ini telah dilakukan beberapa
kajian oleh beberapa peneliti.
Diantaranya thesis Dr. Bjo
Schrieke tahun 1816, dan
Thesis Dr. Jgh Gunning tahun
1881, Dr. Da Rinkers tahun 1910, dan Dr. Pj Zoetmulder
Sj, tahun 1935. [2] Dari info Abu Yahta Arif
Mustaqim,
pengedit buku
Mantan Kiai NU Menggugat
Tahlilan, Istighosahan dan
Ziarah Para Wali hlm. 12-13.
Muktamar NU ke-1 di
Surabaya tanggal 13
Rabiuts Tsani 1345 H/21
Oktober 1926 mencantumkan pendapat Ibnu Hajar al-Haitami
dan menyatakan bahwa
selamatan kematian adalah bid'ah yang hina namun tidak sampai diharamkan dan merujuk
juga kepada Kitab Ianatut
Thalibin. Namun Nahdliyin generasi
berikutnya menganggap
pentingnya tahlilan tersebut
sejajar (bahkan melebihi) rukun Islam/Ahli Sunnah wal Jama’ ah. Sekalipun seseorang telah
melakukan kewajiban-kewajiban
agama, namun tidak melakukan
tahlilan, akan dianggap tercela
sekali, bukan termasuk golongan
Ahli Sunnah wal Jama’ ah. Di zaman akhir yang ini dimana
keadaan pengikut sunnah seperti
orang 'aneh' asing di negeri
sendiri, begitu banyaknya orang
Islam yang meninggalkan
kewajiban agama tanpa rasa malu, seperti meninggalkan
Sholat Jum'at, puasa
Romadhon,dll. Sebaliknya
masyarakat begitu antusias
melaksanakan tahlilan ini, hanya
segelintir orang yang berani meninggalkannya. Bahkan non-
muslim pun akan merasa kikuk
bila tak melaksanakannya.
Padahal para ulama terdahulu
senantiasa mengingat dalil-dalil
yang menganggap buruk walimah (selamatan) dalam suasana
musibah tersebut.
Dari sahabat
Jarir bin Abdullah al-Bajali: "Kami
(para sahabat) menganggap
kegiatan berkumpul di rumah
keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh
mereka merupakan bagian dari
niyahah (meratapi mayit)".
(Musnad Ahmad bin Hambal
(Beirut: Dar al-Fikr, 1994) juz II,
hal 204 & Sunan Ibnu Majah (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 514)


MUKTAMAR I NAHDLATUL
ULAMA (NU) KEPUTUSAN
MASALAH DINIYYAH NO: 18 /
13 RABI’ UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926 DI
SURABAYA

islam agama yang sempurna

Kehidupan dan Kematian Adalah
Dua Keniscayaan Kamu Muhammadiyah Ya ? PERSIS
Ya ? Al Irsyad Ya ? Salafi Ya ?
Wahabi Ya ? Kalimat itulah yang
sering dilontarkan oleh mereka
yang anti pati kepada mereka
yang tidak melakukan Tahlilan [selamatan Kematian] apabila ada
sanak keluarganya yang
meninggal dunia. Maka katakanlah kepada mereka; ْدَهْشاَو اَّنَأِب َنوُمِلْسُم Saksikanlah bahwa sesungguhnya
kami adalah Muslimun (orang-
orang yang berserah diri). [QS. Ali
Imron :52] KEMATIAN dan KELAHIRAN adalah
dua keniscayaan. Satu
kegembiraan dan satunya
kesedihan. Dan tidak mungkin
Islam tidak mengatur prosesi-
prosesi yang bersangkutan dengan kedua hal tersebut, Islam
telah mengaturnya dengan
mencontoh Rasulullah orang yang
PALING MENGERTI cara bersosialisi/
bermasyarakat. Beliau memiliki
akhlakul karimah, hati yang penyayang, paling santun dan
lembut hatinya. Beliau paling
mengerti bagaimana cara
menghibur orang dan mendo'akan
orang yang KEMATIAN dan
musibah lainnya. Bagimana cara bergembira bersama orang yang
lagi senang, baik menyambut
KELAHIRAN dan lainnya. Pada kasus
kematian, Rasulullah tidak pernah
mencontohkan TAHLILAN [dlm arti :
Selamatan Kematian]. RASULULLAH ADALAH ORANG
YANG PALING MENGERTI CARA
BERSOSIALISI DAN
BERMASYARAKAT "Lau Kaana Khairan Lasabaquuna
ilahi" [seandainya Selamatan
kematian itu baik, niscaya
Rasulullah dan para sahabatnya
paling bersegera melakukannya,
sebab perkara apapun yang bernilai baik (hasanah) dalam
rangka taqarrub kepada Allah
tidak akan pernah mereka
lewatkan] Maka sungguh na'if bagi mereka
yang berdalih untuk melakukan
Selamatan kematian hanya
berdasarkan pendapat bukan
dalil. Seandainyapun ada dalilnya : MAKA ALANGKAH NAI'FNYA
RASULULLAH TIDAK MENGERTI
BAHWA KALAU TERNYATA ADA
"DALILNYA" UNTUK MELAKUKAN
TAHLILAN, PADAHAL AL QUR'AN
TURUN DI SISI MEREKA DAN RASULULLAH MEMBIMBING MEREKA
[PARA SAHABAT] SECARA LANGSUNG.
Padahal di jaman Rasulullah para
sahabat banyak yang mati
syahid, bahkan ketika Istri beliau
Siti Khadijah dan anak beliau Al Qasim dan Ibrahim meninggal,
tidak ada keterangan Rasulullah
mentahlili mereka [red: selamatan
kematian]. Ketahuilah, pendapat seorang
ulama bukanlah SEBUAH DALIL.
Pendapat ulama, mustahil dapat
mengalahkan IJMA' SAHABAT. Begitu Sempurnanya ajaran Islam,
Mengatur Masalah Kematian dan
Kelahiran Ketahuilah, Islam adalah ad Dien
yang sempurna, sehingga tidak
perlu lagi penambahan dan
pengurangan syari'atnya. Apa-
apa yang telah menjadi syari'at
agama sejak diturunkannya QS. Al Maidah : 3, maka ia tetap menjadi
syari'at sampai sekarang dan
nantinya tanpa ada perubahan.